| IV | SMLA

"Kenapa pengin banget nikah muda?"

"Karena aku enggak tahu apalagi yang harus kulakuin."

"Jadi, semacam kehilangan arah?"

"Bukan. Maksudnya ... ada saatnya ... okay, karena memang aku pikir nikah muda itu seru." Aku enggak mungkin bilang kalau aku pengin banget nunjukin ke Nina bahwa aku juga mampu.

"Gimana kalau ternyata semuanya enggak sesuai asumsimu?"

Aku diam.

Kupikir dia ini arsitek, bukan jaksa penuntut umum. Tapi, kenapa pertanyaannya malah cenderung menuntut dan memojokkan? Apakah semuanya butuh alasan? Bahkan kadang aku juga enggak tahu kenapa aku dipilih untuk hidup.

Aku menelengkan kepala, kutatap wajahnya dari samping. Well, aku enggak pernah protes setiap kali kaum adam mengklaim bahwa yang dilihat kali pertama dari kami adalah fisik. Karena aku pun sama. Fisik adalah hal penentu untuk ke depannya. Maksudku, semua indraku sudah punya kriteria sendiri bagaimana untuk menilai si lelaki itu tampan. Meskipun semua balik lagi ke selera. Penilaianku dan Tiara jelas berbeda. Antara aku dan Mami apalagi. Atau bahkan aku dan kamu pun tak sependapat.

Tapi, tetap aja, good looking adalah syarat utama. Setelahnya, baru aku ingin tahu siapa dia.

Arsanggah Narasangka.

Menurutku dia ini lokal abis, meski bagian wajah serba minimalis. Memang, sih, aku sempat berpikir dia ada darah chinese karena matanya. Tahun ini usianya sudah 36 tahun. Pekerjaannya bangun rumah, tapi bukan rumah tangga. Papanya adalah teman Papi dan merupakan single father. Dia punya satu adik cowok juga, masih kuliah.

Nah itu, aku enggak mau anak-anakku nanti memiliki jarak usia yang jauh. Mereka harus bisa hidup layaknya teman juga saudara.

"Aku dateng ke sini untuk menghormati Om Arjuna. Aku ngelakuin hal yang sama ke semua teman Papa."

Kata lainnya adalah: sadar diri, Dis! Gue ke sini bukan buat jadi laki lo!

Hah, enggak perlulah otakku seencer Naka cuma buat tahu kalau si Sangkakala ini enggak tertarik sama aku. Gila, ya, ini baru Sangkakala versi manusia, lho, sudah meluluhlantakkan harapan sekaligus harga diri begini. Apa kabar sangkakalanya Allah Swt? Lenyap seketika. Tak bersisa.

Oh!

Apa jangan-jangan dia ilfeel sama kumis tipisku ini? Bisa jadi! Naka oh Naka oh Naka, gara-gara idenya yang melarangku untuk waxing ataupun mencukur, begini, kan, akhirnya. Mungkin dia syok karena di foto profil, aku terlihat dari jauh dan—ngomongin soal foto profil, haruskah aku membahas tentang CMB? Dia kirim pesan ke aku, lho, apa dia mendadak lupa?

"Mas Sangka sendiri enggak mau nikah?"

"Mau," jawabnya cepat. "Tapi, nanti, setelah adikku lulus kuliah."

Tolong, ya, itu lama banget.

"Tapi, enggak nunggu dia yang nikah duluan, kan?"

"Kalau memang dia udah siap, enggak masalah."

Buset, buset, buset!

"Katanya enggak boleh, lho, Mas. Kalau kakak adiknya satu jenis kelamin, enggak boleh dilangkahin. Enggak bagus. Kecuali kayak aku sama Naka. Kalaupun aku nikah duluan itu enggak masalah."

Dia tertawa. "Itu cuma mitos, Judis."

"What about CMB?"

Hajar ajalah, ya, kerahkan seluruh senjata. Urusan kalah atau menang, itu nanti. Harapanku, sih, sudah enggak tinggi, palingan tersisa 10% doang. Tapi, apa pun itu, aku harus tetap optimis. Walaupun, rasanya semua serba susah.

Dulu, setelah mantan-mantan pacarku menghilang, aku berpikiran kalau memang yang siap menikah dengan pikiran dewasa adalah lelaki matang. Ternyata, Sangkakala mematahkan harapan kecil itu.

Menikah bukan soal usia, Dis. Tapi, kesiapan.

"CMB? Apa itu CMB? Semacam nama bank?"

Aku melongo.

Dia enggak pura-pura amnesia hanya untuk menolakku dengan halus, kan? Bahkan dia yang menyukaiku lebih dulu, mengirimiku pesan!

"Mas ...."

"Ya?"

"Serius enggak tahu CMB?"

"Bank?"

"Bukan."

"Bank asing?"

"Bukan."

"I have no idea."

Ini namanya super duper annoying. Kenapa, sih, mudah banget bagi lelaki buat melupakan sesuatu? Apa mereka enggak tahu kalau perempuan mempunyai daya ingat yang luar biasa hebat?

Aku enggak boleh kelihatan bego. Aku harus menunjukkan padanya kalau aku juga sempat menarik perhatiannya. Hantam dia dengan kenyataan, Dis, bagus. Kubuka aplikasi penentu nasib itu, kucari namanya di bagian chats dan ... boom! Syukurlah belum kuhapus.

"Is that you?"

Matanya memicing, terlihat sangat serius mengamati layar hape yang kusodorkan. Buka pikiranmu dan ingat baik-baik, Bapak! "Ya. Ini aku. How could ...." Matanya menatapku, aku memberinya ekspresi penuh kemenangan sambil mengedikkan bahu. "Judis ...."

"Kamu nge-like aku. Kamu bahkan chat aku duluan. Dan sekarang kamu nunjukin seolah aku ngemis ke Papi buat dikenalin ke kamu." Judis enggak suka basa-basi. Judis enggak suka direndahkan. Perempuan harus berdiri tegak membela dirinya sendiri. Itu kalimat Naka setiap aku menangis di zaman jahiliah dulu. "We've e-met before, Mas Sangka. CMB jadi saksi. Tapi, sikapmu hari ini, itu menyinggung banget. Aku memang pengin nikah muda. Entah lewat Papi atau kamu bisa liat sendiri betapa aku ngebet soal itu. Tapi, caraku tetap harus berkelas. Bukan mengemis."

"Tahan dulu." Mukanya masih masang ekspresi bingung. Aktingnya keren parah. Bisa-bisa aku kebanting abis ini. "Pertama, aku enggak berniat merendahkan kamu. Kalau kamu ngerasanya begitu, aku minta maaf." Ia menarik napas. "Kedua, aku beneran enggak kenal aplikasi itu. Aku enggak tahu kenapa bisa ada fotoku dengan semua biodata ...." Kalimatnya terputus. "Kayaknya aku tahu ulah siapa. Tunggu sebentar." Diotak-atik hape-nya, kemudian dia menelepon seseorang. "Halo, Bi? Kamu main CMB atas nama Mas? Jangan dilanjutin dan jangan diulangi."

Dis, sudah siap diketawain dunia? Malu banget, enggak? Bukan dia yang main, lho, Dis, tapi orang lain. Pantes aja fotonya candid enggak jelas begitu. Gimana? Masih mau duduk di teras, di sampingnya begini? Enggak pengin kabur aja? Ke rumah Tiara misalnya.

"Itu ulah Abi. Adikku. Dia memang selalu minta aku buat punya pasangan. Aku benar-benar minta maaf."

Aku tertawa.

Dalam hati hancur. Harga diri enggak tersisa. Aku bahkan berhasil datang ke pernikahannya Karel dengan elegan tanpa drama. Karena aku enggak mau diinjek-injek oleh orang lain. Aku bukan keset.

Namun, yang satu ini, bagaimana cara melawannya? Aku bahkan baru mengenalnya malam ini. Di dalam juga masih ada keluargaku. Kalau aku ngamuk sekarang, mereka bisa jantungan.

Kalau aja para Bagel di CMB itu bisa lebih kooperatif, aku bakalan buang si Sangkakala ini. Tapi, sayangnya, kamu tahu, bisa bertahan berbalas pesan hingga waktu yang diberikan CMB habis aja itu sudah alhamdulillah banget. Mereka sepasif itu.

Apa aku harus berjuang untuk yang satu ini? Tapi, gimana kalau dia beneran enggak mau? Aku enggak mau, ya, sakit hati terus-menerus.

"Berapa target maksimalmu, Dis?"

"Untuk nikah?"

Dia mengangguk.

"Umur 25, minimal aku udah harus hamil."

"Sekarang umurmu berapa?"

"23."

"Dalam waktu dua tahun, kamu yakin bisa penuhi target itu?"

"Kalaupun aku enggak bisa cari sendiri, aku yakin Papi hebat dalam segala hal. Aku percaya orang terdekatnya Papi adalah orang baik. Buat kali ini, anggap aja itu kesalahan Papi."

Dia diam, menatapku. Dia enggak akan bodoh untuk memahami kalimat terakhirku, aku tahu. "Memangnya, setelah menikah, lalu apa?"

Ya, bikin anaklah, ya. Setelahnya ngeden, keluarin, besarin, nikahin lagi tuh anak, aku tua dan lama-lama mati. Masa hal sefundamental gitu aja dia enggak paham. Doi lulusan kampus luar negeri, kan? Katanya kampus-kampus sana tuh melahirkan generasi bangsa yang kritis dan visioner. Itu kenapa, beberapa orang yang pulang ke tanah air bisa jadi songong banget.

Lama-lama aku beneran emosi. Bahkan ini masih di hari pertama.

"Judistia."

"Yes, Sir?"

"Enggak nemu jawaban dari pertanyaanku?"

Aku senyum lebar. Mana ada, sih, seorang Judis enggak bisa jawab. Kamu belum kenal aku, Sangkakala, sini kenalan dulu. "Bukannya mau sombong, tapi pertanyaanmu belum masuk level yang tidak bisa ditemukan jawabannya." Melihat dia yang mengangguk kayak dosen yang sedang menguji, aku jadi kesal. "Aku mau nikah karena memang aku mau. Dan, aku selalu menuruti apa mauku, as long as it doesn't cross the line."

"Sesimpel maumu?"

"Ya. Menikah enggak akan sesulit yang dibayangkan, kok, Mas Sangka. Jalani aja lagi, maka kita bakalan hidup damai."

"Kita coba ikuti jalan pikiranmu. Kalau nikah karena memang itu maumu, terus bersedia nikah denganmu, itu juga karena kemauanku. Bener?"

"Yap."

"Apa yang akan aku dapet dengan menikahimu dibanding aku menikahi perempuan lain?"

Gila, ya, Cuuuuuk!

Papanya dia ini jabatannya apa? Mamanya dulu siapa? Kenapa Bapak satu ini punya pertanyaan yang enggak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Judis ... kenapa diem?"

Aku menggelengkan kepala cepat. Hajar lagi, Dis! Hajar sampai mampus! "Aku bakalan jadi istri yang baik. Aku enggak bergantung sama suami. Aku punya penghasilan sendiri. Aku bisa masak. Aku akan maksimalin pelajaran soal seks dan semuanya. Intinya aku mau nikah."

"Tapi, aku enggak menikah hanya karena mau." Matanya. Sumpah, aku enggak peduli jatuh cinta itu apa, yang jelas aku suka matanya. Bukan belok, tapi minimalis. Lebih ciamik, dong, tentunya dari Aladdin-ku. Well, cinta bisa dipupuk, kan? "Kalau memang cuma mau yang jadi alasan aku nikah, kita enggak akan di sini, dengan penawaran super konyolmu itu. Sampe sini paham?"

Aku bahkan sudah membayangkan, gimana rasanya mengelus wajahnya itu. Menatap dalam-dalam matanya itu saat kita bercinta, atau mengelus alisnya. Dan ....

"Gimana kalau ternyata aku adalah penjahat? Kamu enggak takut?"

"Teman Papi bukan penjahat. Dan, aku udah diajari cara membela diri sejak kecil."

Dia terkekeh. Kemudian mengurut keningnya. "Gimana kalau aku orang yang kasar? Banyak menuntut? Banyak aturan?"

"I can deal with bad things."

Thanks, Justin.

"Dan kenapa harus aku, Dis?"

Karena enggak ada yang lain, sementara hari terus berganti. Itu adalah jawaban sejujurnya. Tapi, dia enggak boleh tahu. Maka dari itu, aku memilih, "Karena kamu pilihan Papi. Aku berkali-kali gagal dengan pilihanku, dan aku yakin Papi enggak mau anaknya terjerumus." Kelihatan anak baik-baik sekali.

Dia diam sesaat, aku ketawa menang dalam hati.

"Kamu yakin enggak akan menyesal mengenalku, Dis?"

"Kenapa harus?"

"Okay. Kita coba. Semoga kuat, ya."

"Tapi, kita harus jalani ini. Like other couples. Setuju?"

"Judistia." Dia tertawa kecil. Mati aku, manis amat, nih, Bagel satu! Otakku sudah ke mana-mana. "Kamu main-main dengan hubungan. Tapi ... okay, jenis couple kayak gimana yang kamu mau untuk kita tiru? Nonton bioskop? Cooking together? Atau?"

"Bukan." Aku mengibaskan tangan. "Kebutuhan."

"Boleh diulangi?"

"Ya, kalau kamu butuh, aku ada. Begitu pun sebaliknya."

"Termasuk seks?"

Aku mendadak terbatuk.

Tombol off pada otakku terasa ditekan. Oh, my goodness, my lord, my mom, my dad ... ngapain, sih, dia lihatin bibirku? Apa ... ini yang disebut sex appeal? Dia bisa merasakannya juga? Melihatnya? Well, aku jelas enggak takut soal permasalahan seks. Aku paham betul, dengan memiliki cita-cita punya anak di usia muda, jelas aja aku harus melewati proses produksi. Dan, seks juga jadi salah satu hal yang kubayangkan di dalam pernikahan.

Mana dia menarik banget lagi.

Namun, ingat ini, sejujurnya aku hanya jago teori dan imajinasi. Sebab pengalaman ... nol besar. Being a good kisser is me, tapi di ranjang? Ya, mana aku tahu!

"Sounds promising. Deal."

Aku belum jawab!

You know, Fellas, my question, it's so simple: aku akan baik-baik aja, kan, ke depannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top