| III | SMLA

"Mbak, customer yang ini masih tetep marah-marah. Katanya dia enggak peduli sama prosedur apa pun itu, karena dia merasa dia udah dikerjain."

Aku mengurut kening.

Pembeli model begini yang bikin jiwa baik hatiku kadang berubah drastis menjadi antagonis. Dikasih penyelesaian menolak, tapi terus neror bikin Sasa—asisten sekaligus admin yang ngurusin bagian pembelian online—mau nangis sambil guling-guling di lantai.

Beneran, kok, saat aku bilang dia begitu, Sasa memang pernah melakukannya. Literally guling-guling, Fellas, kebayang, dong, gimana kacaunya. Saat itu, dia dapat telepon dari seorang perempuan dan langsung menghajarnya dengan semua nama binatang dan kata umpatan dalam berbagai bahasa.

Jadi, aku tuh suka kasihan kalau dia sudah bolak-balik datang ke ruanganku. Masalahnya pasti enggak sepele lagi. Maksudnya, si pembelinya yang kadang suka banget membuat masalah menjadi berlebihan.

"Udah ditawarin ganti ukuran?"

"Udah."

"Tetep bilang enggak mau?"

"Iya. Pake ngancem mau kasih review jelek dan viralin di sosmed segala."

"Yaudah, lakuin gitu! Kenapa harus ngancem. Pembeli kasih review subjektif, kan, memang udah tugasnya. Enggak perlu izin segala, toh kita enggak bisa nyetop, kan. Kalau dia mau dikasih jalan keluar, kirim balik barangnya. Dia tahu kita kasih free untuk kesalahan yang kita buat, kita kasih kompensasi buat itu. Gue udah minta maaf secara pribadi dia tetep nolak, yaudah biarin. Pembeli baru kali dia."

"Terus aku harus gimana, Mbak? Aduh, aku udah enggak tahu lagi harus jawab apa kalau dia telepon lagi."

"Gue yakin udah enggak akan telepon. Biarin aja. Dia nolak cara baik-baik, ya, biarin dia mau ngelakuin apa."

"Kalau review dia jelek?"

"Barang kita bukan ciptaan Allah, Sa, yang sempurna. Itu ciptaan tangan manusia. Enggak apa. Bilangin ke Andi sama Rea harus lebih teliti masalah warna dan size."

"Iya, Mbak. Makasih. Aku permisi dulu."

Untuk urusan begini, sebenarnya aku maklum banget Andi dan Rea membuat kesalahan. Bagaimanapun mereka manusia, ada kalanya pikirannya terbagi ke mana-mana meski sudah berusaha fokus. Untuk itu, sebisa mungkin aku enggak menyudutkannya dan mencari jalan keluar terbaik.

Kalau enggak nemu, yaudahlah, ya, mau gimana lagi.

Lagian, tolong, ya, tolong banget, wahai para pembeli sekalian, kami ini manusia biasa. Kami sudah melakukan semaksimal mungkin. Tapi, kami juga sadar akan kesalahan, makanya kami minta maaf dan siap untuk menukar dan setidaknya mengurangi rasa kecewamu.

O o, Papi nelepon.

Ada gerangan apakah kira-kira? Apa dia merindukanku di sana?

"Halo, Ganteng yang ngelebihi Aladdin sejuta umat itu. Dengan Lilyoka Judistia, ada yang bisa dibantu?"

Suara tawanya terdengar. Merdu banget, dong, Bapak! Jadi gemes.

"Kami dari Jellow, sedang ada promo untuk setiap pembelian minimal lima ratus ribu, akan mendapatkan satu foto gratis bersama pemiliknya. Apakah bisa laku di pasaran, Pi?"

"Berlian yang cantik enggak pernah mengumbar dirinya. Cukup diam, orang-orang tahu seberapa berharganya dia."

"Ow, that's so sweet of you. Jadi pengin kasih sun."

"Papi baru sampai rumah, Abang baru selesai meeting sama Mas Ikram." Meeting terooss! "Dia kelihatan mulai passionate buat gantiin Papi nanti."

"Tapi, kejam. Enggak mau buatin campaign buat produkku."

"Oh, mau?"

"Enggak, ah. Aku udah bisa promo sendiri. Promo dari para pembeli jauh lebih ampuh. Dan jangan lupa, aku punya brand ambassador gadungan sekeren Tiara. Gitu-gitu subscriber-nya banyak."

Anak tuyul satu itu memang loyalitasnya enggak perlu diragukan lagi. Aku enggak pernah memintanya untuk melakukan, tetapi ketika aku menonton video terbarunya, pasti di description box-nya selalu ada nama website kami dengan jenis outfit yang dia pakai. Aku bahkan enggak tahu kapan dia memesan. Untuk itu, aku juga enggak pernah ragu untuk memberinya hadiah.

Orang cantik dengan outfit kece, kan, makin sempurna.

"Ly."

"Ya, Pi?"

"Nanti malam ke rumah, bisa?"

"Nanti malam?"

Aku sudah punya janji dengan Tiara untuk membuat video QnA. Sebenarnya janji ini sudah lama sekali, tetapi aku selalu mengundur karena enggak siap untuk ngomong di depan kamera. Aku memang bukan pemalu, sama sekali bukan. Tetapi, bagiku, ngomong di depan manusia langsung jauh lebih baik dibanding hanya lensa.

"Udah ada janji, ya?"

"Dengan Tiara. Mau buat video. Tapi, enggak masalah, bisa diundur. Nanti aku ke rumahnya buat bilang. Apa, sih, yang enggak buat Arjunaku."

"Serius?"

"Iya, Sayang."

"Atau kamu ajak aja dia sekalian."

"Jangan, ah. Nanti aku pasti sedih denger jawaban dia."

"Lho kenapa? Dia enggak mau? Sibuk banget memang Tiara kelihatannya."

"Bukan."

"Terus?"

"Justru dia pasti mau karena bisa ketemu Naka. Males, ah."

Papi tertawa.

"Dia ganjen sama Naka, Pi."

"Enggak apa. Hal wajar, kok. Yaudah, Papi tunggu di rumah, ya. Papi mau bersihin badan dulu."

Hal wajar.

Maksud Papi, ganjennya Tiara ke Naka itu harus diterima, ya? Bolehlah. Kegilaannya memang dimulai semenjak lulus kuliah, oh bukan, semua berawal dari ketika aku menghadiri sidang pendadaran Naka. Saat itu Tiara ngotot ikut karena penasaran dengan wajah Naka yang akan dibabat habis dosen (walaupun kami hanya bisa mengintip dari kaca kecil di pintu). Dan, sejak hari itu, dia mendeklarasikan diri sebagai bucin level dungu untuk Naka.

Najis banget, serius.

Jadi, aku dan Tiara memiliki macam-macam teori untuk segala permasalahan sosial di hidup kami. Salah satunya mengenai definisi bucin ini. Oh ya, kamu tahu apa itu bucin, kan, Fellas? Oh, please, kalau enggak tahu, mendingan hape-mu dijual aja, deh, buat beli pembalut.

Menurut kami, ketika seseorang mengalah untuk pasangannya padahal bukan dia yang salah, itu bukan bucin, lho. Melainkan apa? Adalah salah satu bentuk usaha untuk mendewasakan diri. Sebab mengalah bukan selalu berarti salah. Kadang kita hanya enggak mau memperbesar masalah.

Lalu, ketika si cowok mau antar jemput ceweknya dengan catatan dia tidak ada kegiatan penting, itu juga bukan bucin. Karena jiwa lelaki untuk melindungi orang yang disayang, terlihat sedang tumbuh baik.

Kalau gitu, bucin yang gimana, Dis?

Level pertama.

Kamu dan pasanganmu lebih banyak bertengkar ketimbang bermesraan. Dia enggak pernah meminta maaf dan cenderung lupain masalah, lalu kamu yang selalu memulai duluan. Akhirnya, hook up lagi.

Itu Tiara banget. Dulu.

Level kedua. Kamu sudah tahu visi dan misinya dalam hidup enggak seirama denganmu. Dia selalu meminta kamu untuk merevisi milikmu dan mengikuti apa maunya. Lalu, dengan berbesar hati, kamu mengatakan pada diri sendiri dan teman-teman yang menasihatimu bahwa itu adalah upayanya untuk menyatukan dua pikiran berbeda.

Hah, Tiara lagi.

Level ketiga. Ini sekaligus menjadi yang paling dungu. Adalah ketika kamu tahu masa depannya bukan kamu. Kamu tak pernah bisa membuatnya siap untuk melangkah jauh. Dia hanya menginginkan casual relationship dan terlihat takut banget ketika kamu meminta steady relationship. Tapi, dalam hati, kamu selalu yakin kalau dia akan berubah. Padahal, setiap hari, dia sudah menunjukkan tanda bukan kamu untuk ke depannya. 'Jalani aja dulu' adalah andalannya. Dan kamu terus menutup indera dan berlagak tak tahu.

Shit, kali ini adalah aku.

That's why, I hate people. Tapi, ya, gimana, aku enggak mungkin hidup di dunia sendirian. Mau gabung ke Bikini Bottom? Aku juga enggak yakin bisa lolos seleksi. Squidward benci orang, apalagi sama mantan bucin? Pasti dia najis banget sama aku.

Dan, poin utamanya, aku ingin sekali menikah. Pasti sama orang kan, enggak mungkin sama sapi. Di bayanganku, tak memiliki perbedaan usia yang jauh dengan anak adalah sebuah pencapaian hebat. Namun, cowok-cowok seumuranku (yang kukenal) belum siap menuju ke sana. Itu kenapa, aku selalu bilang aku enggak peduli seberapa tuanya dia, yang penting good looking.

Ah, sudahlah, pusing sendiri ngomongin masalah dunia per-burung-an ini.

***

"Nungguin jemputan, Len?"

"Eh, iya, Mbak. Mbak udah mau pulang?"

"Iya, nih. Makasih, ya, buat hari ini. Gue duluan."

"Makasih kembali, Mbak. Hati-hati."

Dia salah satu pramuniaga di toko. Bagian yang melayani offline. Kelihatannya, sih, lebih enak daripada yang nerima komplain by phone, cuma tetap aja, Leni juga pernah nangis di depanku karena dikatain tolol sama bapak-bapak hanya karena saat dia salah dengar.

Intinya, enggak ada kerja yang enak. Semuanya berat.

Ah, kayaknya aku harus mampir ke rumah Tiara dulu, deh, sebelum balik ke rumah. Oh, apa aku sudah cerita kalau kami tinggal di komplek yang sama?

Beluuuuuuum!

Aku tertawa sendiri, seolah mendengar ada puluhan orang menjawab serentak.

Rumah kami hanya dibedakan bloknya aja. Jadi, Tiara ada di blok D, sementara aku di F. Gerbang komplek kami satu, satpam kami juga sama. Cuma, kami memang enggak saling mengenal, dulu. Jangankan berbeda blok, tetangga jarak lima rumah aja aku enggak tahu namanya. Atau, kadang, hanya tahu nama tapi enggak saling dekat.

Nah, dengan Tiara ini, kami mulai kenal ketika kami SMA. Bukan di sekolah, tapi di gardu satpam. Aku memang nakal banget, sih, selain otakku berfungsi untuk jualan. Sekolah hanya kujadikan tempat berdagang. Pulangnya, sering kali enggak sesuai jam. Biasanya aku nongkrong dulu di mana gitu, pulang-pulang Mami ngomel, Papi hanya melirik, dan Naka yang tahu segalanya hanya diam.

Belum lagi ortu melarangku berpacaran, karena aku dianggap masih kecil. Tapi, demi apa pun, anak SMA itu sudah besar, lho. Seperti yang bisa diduga, aku pacaran sembunyi-sembunyi dari Mami dan Papi (kalau Naka enggak perlulah, kami satu sekolah dan dia jelas tahu). Suatu hari, aku pulang kesorean, maksudku, begitu turun dari motor pacar di depan gerbang, azan magrib berkumandang. Aku panik bukan main, meminta pacarku untuk segera pulang dan ketika aku menghampiri bapak satpam, hendak memberinya amanah agar tutup mulut, ada cewek yang baru turun dari motor dengan seragam SMA.

Dia Tiara.

Ternyata, dia juga kesorean dan sama paniknya buat pulang ke rumah. Begitulah. Perkenalannya enggak banget. Dia cerita tentang sekolahnya, aku pun sama. Kemudian kami berteman hingga akhirnya memilih satu kampus, sementara Naka berbeda haluan.

Alhamdulillah.

"Beb, kok, pake baju itu?" todongnya. Mukanya langsung cemberut. "Kan, udah dibilang, pake putih biar senada. Terus nanti kena kerlap-kerlip lampu tumblr gue. Lo gimana, sih. Harus paham estetika, dong, ah."

"Filming-nya diundur aja, ya, Ra? Gue—"

"Apa-apaan ini, Tuhan! Segini lo belum jadi Selena Gomez, ya, Dis. Enggak usah songong. Jadwal gue juga padat. Gue harus ngerjain analisa teori itu, ya ampun, nyesel banget gue iyain waktu Bunda minta langsung lanjut master."

"Weh, dengerin gue dulu!" Semuanya ngoceh terus siapa yang mau dengar ini? Heran kadang sama cewek, kosakatanya banyak buat dikeluarin saat itu juga. "Bokap gue baru balik, minta anak ciwi-nya ini pulang. Sebagai anak patuh bermartabat, gue harus dateng, dong. Lo gimana, sih. Kalau, nih, Ayah lo balik dari luar kota, lo bakalan pilih gue gitu?"

"Ya, enggaklah!"

"Nah! Terus kenapa enggak ngertiin posisi gue? Gue cuma bilang diundur bukan batal."

"Ya, tapi lo bilangnya gitu melulu! Kalau temuan sama Bagel aja, selalu ada waktu. Waktu buat gue kapan, Dis?"

"Ya, ini karena momennya aja yang belum pas, Cuuuuuuk. Gue bakalan tepati janji, kok. Okay, gue janji, besok malam."

"Lusanya gue UAS, mohon maaf."

"Okay, weekend."

"Yaudalah kalau memang enggak niat."

"Astagfirullah. Weekend, Katrina! Weekend! Lo ngerti enggak, sih? Akhir pekan."

"Kok, Katrina?"

"Elo, kan, kek badai kalau udah ngoceh. Ancur peradaban."

Kami malah sama-sama terbahak. Anyway, aku belum ditawari masuk sama bocah satu ini. Dibiarkan di halaman rumah. Kayaknya dia takut banget aku mengotori lantai marmernya itu. Tipikal sahabat.

"Judis, udah lama banget enggak pernah main. Ke mana aja?" Sang empu rumah keluar dengan dandanan memukau.

"Please, Tante. Belum ada sebulan lalu Judis ke sini. Jangan gitu, deh, ah. Jadi pengin diangkat anak."

"Tante selalu tawarin kamu buat diangkat anak, tapi kamu maunya enggak resmi." Senyumnya adem banget. "Ajak masuk, Ra. Bunda keluar dulu, ya."

"Nge-date, Tante?"

Sebelahnya matanya berkedip. "Ayah udah nunggu di sana."

"Panasin aja terooos. Yang jomblo begini bisa apa." Aku menyaksikan Tante masuk ke dalam mobil. "Tumben enggak dianterin sopir? Kok, dibolehin sama Om Chandra?"

"Lagi pulang kampung. Biarinlah, biar latihan emosi nyetir sendiri di Jakarta."

Menurutku, nih, ya, definisi tajir melintir itu, ya, Tiara. Anak semata wayang. Keluarga pertambangan. Mau dikemanain uangnya kalau bukan buat hidup anaknya satu ini, kan? Jadi, sebenarnya, aku, sih, mau aja nyodorin Naka buat dia. Secara materi pasti enggak akan habis-habis. Tapi, ya, gitu, kami selalu berdebat. Aku memintanya jadi mualaf, dia ngeyel minta Naka dan dia nikah di gereja.

Dan, kalau sudah begitu, penyelesaian dari kami adalah.

"Gue bisa digantung Tuhan, Dis!"

"Lo pikir Naka bakalan dielus-elus sama Allah dengan ngikut elo? Sama ajalah!"

Setelahnya, masalah dihentikan. Dilanjut keesokan hari. Terus begitu. Entah sampai kapan.

"Lho, elo mau ke mana?" Aku kebingungan saat dia teriak pada mbaknya untuk pamit keluar. "Bunda pergi, lalu Anda buru-buru beraksi, ya. Bagus."

"Apaan, sih. Posesif. Gue mau ke rumah lo, lah. Ikut makan malam, hehe."

"Enggak ada!"

"Ya Tuhan, Dis, sayang, dong, gue udah dandan begini masa harus apus lagi. Ya, ya, ya? Please ... gue belum ketemu sama Naka beberapa hari ini. Dia punya Instagram buat apa, sih, Dis. SG enggak ada, feed-nya anyep. WhatsApp juga sama. Sepi kayak kuburan."

"Niat lo udah busuk. Enggak diterima."

"Gue janji enggak bakalan marah kalaupun lo harus undur lagi jadwal QnA kita. Gue bakalan bilang sama sahabat online itu kalau sahabat nyata gue ini lagi petualangan mencari jati diri."

"Jijik."

Dia ketawa. "Ya? Please ... okay, deh! Bayarannya gue enggak akan maksa lo buat bisa masuk ke kamarnya Naka. Itu biarin jadi mimpi gue ke depannya. Gue bakalan usaha sendiri."

Kasihan juga sama anak ini. Apa pun keinginannya soal Naka belum kesampaian. Padahal, dia terbiasa mendapatkan semua yang dimau. Kalau aku pernah bilang Naka suka gadis manja, sebetulnya itu juga ada di diri Tiara. Dia minta apa pun, Ayah dan Bundanya tinggal ngedipin mata doang. Soal Naka berat banget.

"Janji jangan alay nanti di depan Naka."

"Sumpah. Demi Tuhan, gue enggak akan alay." Senyumnya merekah, dia buru-buru masuk ke dalam mobil. Dengan lancang, tangannya menyalakan radio dan ... "Bundaaaa! Ini pas banget, dong. Gue tuh ke Naka kayak lagu ini, Dis. Rasa yang tepat di waktu yang salah. Menurut lo, Naka pernah enggak, sih, notis gue?"

Pertanyaannya sedih amat.

"Dia enggak buta kali."

"Di mata dia gue ini gimana, ya, Dis? Sumpah, gue tuh rasanya mau bongkar seluruh badannya buat tahu apa yang dia pikir dan rasain. Seumur-umur gue kenal elo dan dia, dia cuma bakalan nyapa gue 'hai, Ra' that's it. Kejaaaaaaaam. Gue juga save nomor dia, tapi enggak pernah berani chat duluan."

"Ra."

"Lo inget enggak, sih, waktu itu beberapa hari setelah sidangnya Naka, gue subuh-subuh dateng ke rumah lo karena baru baca chat kalau lo sakit?"

"Ingetlah. Kacau banget emang lo."

"Kan, gue panik. Terus lo tahu enggak apa yang bikin gue makin gila?"

"Apa?"

"Masa lo enggak inget? Naka pake sarung! Turun tangga buat ke dapur. Sejak itu, Dis, gue rasanya kayak udah enggak tahu lagi cara gue mandang dia udah beda."

"Elo tuh aneh. Sarung, kan, dia buat salat. Ngapain lo terpesona, weh! Harusnya tuh lo klepek-klepek kalau liat cowok rajin ke gereja. Wah, emang enggak beres otak lo."

Dia mengedikkan bahu. "Ya, kan, ini Naka. Gue berharap dia rajin ke gereja sama aja kayak berdoa lo jodoh sama Zayn Malik. Cuma diketawain sama Tuhan gue."

Aku meringis. Membelokkan mobil ke arah blokku. "Jadi, rasa lo ke Naka tuh serius?"

"Menurut lo? Kapan gue pernah bohong? Gue serius."

Kukira ini hanya bentuk mengagumi aja. Sama kayak aku ke Zayn Malik. Kayak aku ke cowok-cowok ganteng lainnya. Bahaya, nih. Kalau begini, kan, makin rumit jadinya.

"Tapi, lo tahu, kan, kalian enggak mungkin nyatu?"

"Lo pernah baca enggak di VICE Indonesia, bisa tahu nikah beda agama. Kalau Naka enggak mau ribet ke luar negeri. Di sini aja. Cuma memang semuanya tetep agak ribet, sih. Jadi, kita nikah secara dua agama. Terus, dia enggak akan dapet buku nikah karena KUA cuma mau kasih itu kalau mempelainya satu agama: Islam. Mungkin kita bakalan dapetnya surat nikah dari hukum."

"Ra ...."

"Enggak perlu sekarang juga. Gue enggak kayak lo yang ngebet nikah. Cuma yang penting tuh dia notis gue, dia mau sama gue gitu."

"Ra ...."

"Gue menyedihkan banget, ya, Dis? Lo selama ini anggep gue bercanda? Emang, itu saking terlatihnya gue untuk berpura-pura, Dis. Awalnya juga gue mikirnya sama, tapi makin lama, kok, makin sakit liat dia. Mana gue enggak bisa liat aktivitasnya lagi."

"Di WhatsApp dia suka update, kok. PUBG palingan."

"Demi? Kok, di gue enggak ada."

"Oh, gampang itu mah. Nomor lo enggak di-save kali."

"JUDIS BANGSAT!"

Aku buru-buru keluar mobil setelah mematikan mesin. Bisa dicekik Tiara kalau memutuskan lama-lama di mobil. Aku, kan, sudah bilang dia sama seperti badai Katrina kalau udah ngamuk.

"Dis."

"Jangan macem-macem. Gue enggak mau mati di tangan—"

"Liat itu!"

Kakiku berhenti melangkah. Membalikkan badan, aku melihat ada mobil hitam yang memasuki halaman rumahku, berjejer dengan mobilku. Tiara memainkan matanya seolah bertanya dan aku hanya menggeleng.

Plat mobilnya asing. Jadi kura ... OH, MY GOODNESS! Dia, kan ... refleks, aku mengucek mata. Tetapi, mukanya masih tetap sama. Apa ini hanya mirip aja? Karena aku tak melihat detail jelas mukanya saat itu, jadilah berpikiran mereka sama? Tapi, kok ....

"Hai. Ini beneran rumahnya Om Arjuna?"

"Dis."

"Apa?"

"Dia nanya siapa?"

"Elo kali."

"Elo, deh, kayaknya. Jawab, Dis."

"Elo aja, deh, Ra. Elo, kan, paling jago soal ini."

"Tapi, Dis. Dia—"

"Permisi. Mbak ... hello."

"Oh, hai. Nanya sama—"

"Eh, Mas Sangka. Gue kira bakalan macet parah, ternyata udah sampe." Naka berjalan menghampirinya. Kok, kenal? "Masuk, yuk! Mami dan Papi udah nungguin. Om Restu enggak ikut?"

"Lagi nemenin Tante. Lusa mau sidang, stresnya udah dari sekarang."

"Ly. Ngapain bengong gitu? Ayok, masuk. Udah ditungguin di dalem."

"Oh, okay." Aku senyum kikuk, tetapi enggak dibalas. Apa maksudmu, wahai orang asing? Tadi ramah banget sama Naka. Mereka berdua sudah berjalan mendahuluiku, tetapi aku teringat sesuatu. Langkahku terhenti. "Ra, ngapain lo di situ? Masuk!"

Bibirnya cemberut. Dia menggeleng lemah. Kelihatan sungguh tak berdaya.

"Apa lagi? Kenapa diem?"

"Naka cuma nyuruh lo masuk. Gue dilewatin gitu aja seolah gue enggak ada."

Tolong, ya, tolong banget ini mah, ya Allah. Sahabatku sedang berduka, dan aku sendiri enggak tahu bagaimana kondisi diriku saat ini. Maksudnya, sebuah kebetulan itu hanya ada dalam cerita fiksi, kan? Tapi, kenapa aku malah bertemu dengan orang dari dating app itu?

Padahal, aku sudah menganggapnya seperti Bagel lain. Karena setelah kubalas pesannya, dia enggak membalasnya lagi sampai sekarang.

Kuhampiri si gadis malang itu, kugenggam tangannya. "Kita senasib, kok, Cuk. Tenang aja."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top