06 - Yang Keempat

Enze pernah berdarah-darah, tidak secara harfiah, tetapi sakitnya terasa sama parah, lebih bahkan. Hatinya yang hanya satu itu, tersayat di segala sisi. Lukanya basah dan dalam. Nyaris tak berbentuk. Beruntung, waktu—walau secara perlahan—berhasil menyembuhkan. Meski, mungkin bekasnya masih bersisa.

Enze tak benar-benar ingin menghilangkan bekas luka hatinya. Biarkan saja tetap ada. Anggap saja kenang-kenangan sebelum ia berhasil sampai di tahap ini, tahap di mana hatinya sudah ikhlas.

Sepanjang usianya, Enze tak pernah menjalin hubungan romantis selain dengan Sehandanu. Masih Sehan satu-satunya. Mereka pernah bahagia bersama, sebelum akhirnya sama-sama terluka.

Enze tak menyalahkan Sehan, sebab tahu keputusan mereka untuk menikah muda dahulu memang bukan keputusan yang tepat di saat keduanya belum benar-benar siap, baik secara mental maupun finansial.

Bukan salah Sehan karena tak berhasil mempertahankan pernikahan mereka.

"Aku tahu kamu mulai meragukan pernikahan kita, Ze. Tapi, percaya sama aku, Ze. Kita bisa lewatin ini, kok."

Laki-laki itu sudah pernah membujuknya.

"Kalau itu memang keinginan kamu, oke, aku akan menyetujui gugatan kamu. Maaf karena aku nggak bisa kasih kebahagiaan sesuai yang aku janjikan dulu."

Bukan salah Sehan kalau pada akhirnya, lelaki itu menyetujui gugatan cerainya, tetapi salahnya yang tak ingin berusaha.

Kejadian itu telah berlalu lama. Nyaris 15 tahun. Namun, sesal masih menggelayuti hati Enze. Ia menyesal harus memberi kenangan buruk di detik-detik terakhir sebelum sang ayah meninggalkan dunia.

Ayah Enze meninggal hanya berselang satu minggu setelah ketuk palu hakim menggema di ruang sidang. Ketuk palu yang menegaskan bahwa Enze dan Sehan resmi bukan lagi sepasang suami istri. Hanya berselang satu minggu, dua gelar didapatkan Enze sekaligus. Janda dan yatim.

Namun, penyesalan terbesar Enze adalah ketika ia tak dapat memberi kehidupan yang normal untuk putri sematawayangnya.

Enze menyesal tak berusaha lebih keras untuk memberi tahu mantan suaminya tentang kehadiran Yupta. Enze menyesal membuat Yupta hidup layaknya seorang yatim, padahal ayah anak itu masih ada. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya berandai. Semua sudah terjadi dan penyesalan tak akan membawanya ke mana-mana.

***

"Lia, aku mau jadi suami kamu, aku mau jadi ayah Yupta, Lia ...."

Enze mengerjap, kesadaran seolah menariknya paksa dari lamunan singkat yang membawanya ke masa lalu ketika mendengar nama panggilannya yang lain tertangkap indra pendengarnya.

Ia sedikit tergagap kala tangannya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja, tiba-tiba dilingkupi kehangatan yang berasal dari tangan lawan bicaranya.

"Aku bisa menjadi ayah yang baik untuk putri kamu, Lia."

Wanita itu terlalu terkejut untuk menarik tangannya kembali setelah mendengar ucapan Prasatya. Tangan pria yang duduk di depannya itu cukup kasar, tetapi ia menggenggam tangannya dengan begitu lembut. Ia memperlakukan tangan Enze selayaknya barang rapuh yang bisa pecah hanya karena sedikit sentuhan.

"Aku bisa antar jemput Yupta tiap dia sekolah."

Ekspresi Enze kian kaku. Telinganya berdenging. Matanya sempat terpejam sesaat sebelum akhirnya kembali melihat pada wajah pria di depannya.

"Aku bisa memperlakukan Yupta selayaknya Dio, selayaknya anak kandungku sendiri."

Enze menarik napas panjang. Ia menarik tangannya dari genggaman pria itu. Gerakan yang ia tahu telah berhasil membuat pria di depannya tersebut kecewa, tampak dari hela napasnya yang terdengar berat.

"Lia, aku mungkin emang ndak seganteng mantan kamu."

Kalau boleh jujur, Enze kesal mendengarnya. Ia tak memandang pria hanya karena tampangnya saja. Namun, Enze enggan menjelaskan.

"Tapi, aku yakin bisa membahagiakan kamu. Aku bisa meringankan beban kamu. Kamu tidak perlu bekerja terlalu keras. Aku bisa menjamin semua kebutuhan kamu dan Yupta," ujarnya lagi, masih tak ingin menyerah.

Enze mengalihkan tatapannya pada gelas berisi teh dengan asap yang masih mengepul itu. Pras memang pria baik. Ia sosok yang lembut dan pekerja keras, tetapi Enze tak bisa untuk lebih dari sekadar teman.

Enze tak bermaksud membuat Pras lebih kecewa. Namun, ia juga tak ingin meletakkan dirinya di situasi yang salah, apalagi mengancam kebahagiaan putrinya.

"Mas Pras, jawaban saya masih sama seperti kali pertama, kedua, dan ketiga Mas menyampaikan maksud serupa," ujarnya tegas.

Wanita itu menatap wajah penuh kecewa di depannya dengan tatapan tak kalah tegas. Enze tak ingin memberi Pras harapan. Ia sudah menunjukkan penolakan sejak kali pertama Prasatya Hermawan datang melamarnya, tetapi duda beranak satu itu entah mengapa tak juga menyerah.

"Maafkan saya, Mas. Saya benar-benar tidak bisa," tutup Enze, masih dengan nada tegasnya.

Enze tak pernah berpikir untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Meski, sudah berkali-kali ada lelaki yang datang dan mendekatinya, dan bermaksud menjadikannya istri.

Bukan berarti karena ia gagal move on dari Sehan yang menjadi penyebab ia menolak. Nyaris 15 tahun waktu berlalu, nyatanya selain berhasil menyembuhkan luka, waktu juga berhasil mengubur perasaan Enze terhadap Sehan. Perasaan itu telah tiada, hanya kenangan saja yang tersisa.

Satu-satunya yang membuat Enze enggan menikah lagi adalah Yupta. Tidak, Yupta tak melarang ibunya menikah lagi, ia malah sedang giat-giatnya menyuruh sang ibu mencari pria yang mau menikahi.

Enze tahu dirinya terlalu paranoid, tetapi melihat berita-berita sekarang yang di antaranya banyak yang berupa tindak pelecehan—misal saja pelecehan ayah tiri terhadap anak tirinya—membuat Enze benar-benar dipeluk ketakutan.

Enze tahu, tak semua pria berotak layaknya binatang, tetapi apa salahnya mencegah? Enze hanya ingin putrinya aman. Masalah ekonomi, Enze tak masalah jika ia harus bekerja lebih keras untuk memberikan kehidupan yang layak untuk sang putri.

Enze tak masalah jika setiap malam badannya terasa pegal-pegal.

Enze tak masalah jika badannya penuh dengan koyo.

Enze tak masalah, jika hasilnya berupa senyum lebar sang putri.

"Apa kesempatan itu sama sekali tidak ada, Ya?" tanya Pras, menatap tepat wajah Enze.

Enze menggeleng tegas dan Pras menghela napas panjang karenanya.

"Kamu tahu, Ya, aku suka kamu dari lama, sudah bertahun-tahun, tetapi ternyata terlalu sulit meruntuhkan dinding yang kamu bangun." Pria itu mengusap wajahnya, lantas menunduk menatap ujung kakinya yang menapak di keramik putih serambi rumah Enze.

"Maaf, Mas. Saya memang ndak ada rencana nikah lagi," Enze membalas lugas. "Lagi pula, mantan istri Mas, bukannya lagi deketin Mas lagi? Kenapa tidak rujuk saja? Saya rasa, Dio akan lebih senang jika orang tuanya kembali bersama."

Prasatya terdiam. Ekspresi wajahnya berubah kaku.

Enze pura-pura tak menyadari, dengan santai ia meraih gelas tehnya dan menyesap sembari melempar tatap pada halaman yang pagi tadi sudah ia sapu, tetapi kini sudah kotor lagi oleh bunga-bunga mangga yang berjatuhan.

"Jangan berusaha membahagiakan anak orang lain, jika kebahagiaan anak sendiri malah Mas abaikan," ujar Enze setelah membiarkan hening mengambil alih untuk sesaat.

Enze teramat mengenal sang putri. Yupta memang memintanya menikah lagi, tetapi jika pria itu adalah Prasatya Hermawan, maka Yupta akan menolaknya dengan keras. Bukan tanpa alasan, Yupta hanya tidak suka jika sang ibu direcoki oleh mantan istri Pras yang gagal move on. Dan Yupta pernah mengatakan secara terang-terangan ketidaksukaannya tersebut.

Berbicara soal Yupta, mendadak Enze merindukan putrinya itu. Sedang apa anaknya sekarang? Hari ini, hari Minggu, bukankah nanti sore anaknya itu akan pulang?

-tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top