02 - Ibu dan Anak + Bapak?
Enze mengantar putrinya tepat waktu ke sekolah, nyaris telat sebenarnya, sebab yang lain sudah banyak yang menaiki mobil elf, hanya tinggal beberapa saja yang masih di luar, dan mereka merupakan kakak kelas serta guru Yupta. Gadis muda dengan tas yang begitu besar di punggung itu tampak cemberut menatap ibunya yang hanya menampilkan cengiran.
"Jangan cemberut gitu, dong. Kan, enggak jadi telat," kata Enze yang justru membuat putrinya semakin cemberut.
"Gimana aku nggak kesel, orang dari tadi aku ngajak Ibu berangkat, Ibu malah asyik ngobrol sama Mbak Tasya. Kalau aku ketinggalan, terus gagal ikut seleksi, gimana?" ujarnya berapi-api, pipi putihnya sampai memerah sebab terlalu kesal.
Enze menampilkan senyum lebarnya, merasa lucu dengan ekspresi kesal sang putri yang membuat ia lagi-lagi teringat dengan mantan suaminya. Jadi, seharusnya tidak mengherankan kenapa sampai sekarang Enze gagal melupakan mantan suaminya itu. Sebab, gadis muda kesayangannya ini bak duplikat Sehan versi perempuan. Tidak hanya rupa, bahkan hobi dan minatnya saja sama dengan pria tersebut. Sehan mencintai Pramuka, begitu juga Yupta. Namun, meskipun gagal melupakan, tapi Enze sudah move on, kok.
"Ya, kan, nggak telat. Justru, kalau kamu masih sibuk ngomel-ngomel gini, kamu bakal telat. Udah, gih, sana kamu masuk elf-nya. Sebelum kena marah, tuh." Enze mendorong lirih tubuh sang putri.
Yupta masih tampak cemberut, tetapi gadis muda itu tetap menurut. Ia menyalami tangan sang ibu kemudian berpamitan untuk berangkat.
"Hati-hati. Yang primpen nyimpan barang-barangnya, jangan asal taruh. Naruh uangnya juga hati-hati, sering diceki. Oh iya, karena kamu kemahnya di dekat pantai, besar kemungkinan ada yang jual makanan laut, dan kamu harus ingat, jangan makan udang, kamu ada alergi udang." Enze mengusap puncak kepala putrinya yang tertutupi topi boni cokelat serta hijab.
Pipi berisi Yupta menggembung setelah mendengar nasihat ibunya. "Iya, Bu, iya. Aku berangkat, Ibu pulangnya hati-hati. Di rumahnya juga hati-hati, terus segera cari suami biar kalau aku nggak ada gini, Ibu ada yang nemenin," kata gadis muda itu yang kini tak lagi menampilkan ekspresi muramnya.
Enze tak lagi membantah, ia hanya mengangguk sembari mengulas senyum, kemudian melambaikan tangan kala sang putri akhirnya berjalan menghampiri mobil elf di mana sudah ada kakak kelas yang berdiri di sisi mobil, tampak memang menunggu Yupta.
Enze tak segera pulang, ia menunggu sampai mobil elf yang ditumpangi putrinya melaju meninggalkan sekolah yang sepi, sebab hari Jumat itu yang telah bertemu sore.
Disertai helaan napas panjang, Enze kembali ke motor matiknya. Matanya menyorot malas benda beroda dua yang sudah ia miliki sejak enam tahun lalu. Motor tersebut dibelinya dari tetangga. Sebab harganya yang murah, Enze tergoda. Namun, ternyata kuda besi itu memiliki banyak minus yang justru membuat Enze harus rajin-rajin pergi ke bengkel dan mengeluarkan uang lebih banyak.
Aki motornya sudah soak, setiap akan menggunakannya, Enze harus menyalakan lewat kick starter yang kadang memerlukan waktu bermenit-menit sampai motornya menyala. Sudah berkali-kali Enze mengganti akinya, tetapi motornya tersebut tetap saja tidak mau diajak berkompromi.
Benar saja, butuh waktu nyaris sepuluh menit sampai motor matiknya menyala. Ekspresi muramnya kini tampak lega. Wanita itu tak membuang waktu untuk segera mengenakan helmnya dan segera mengendarai motornya tersebut membelah jalanan.
***
Sebelum pulang, Enze memutuskam untuk mampir ke toko terlebih dahulu. Sebagai pemilik usaha laundry, dirinya harus sering-sering berbelanja deterjen serta parfum laundry. Kebetulan, parfum baju serta deterjen cairnya tengah habis dan ia kurang suka memakai deterjen bubuk sebab akan menimbulkan garis-garis putih di kain apabila tidak benar diaduk saat di awal.
Biasanya, Enze memilih belanja bahan deterjen cair lewat toko online dan meraciknya sendiri, sebab dengan begitu, pengeluarannya akan lebih sedikit. Namun, bahan deterjen cair pesanannya masih belum datang, sehingga ia harus memikirkan alternatif lain. Kini, di bagian pijakan motor matik wanita itu sudah ada kantung plastik berisi sabun dan deterjen. Hanya satu jerigen deterjen cair dan satu jerigen bibit parfum laundry.
Sepertinya, nasib buruk memang sedang menguji kesabaran Enze. Tiba-tiba saja motornya mati dan tidak bisa dinyalakan lagi sesaat setelah ia menghentikannya di lampu merah. Enze segera menyalakan motornya lagi. Berusaha menginjak pedal kick starter, meski hasilnya sama saja, motor itu tidak segera menyala. Membuatnya harap-harap cemas sebab sebentar lagi lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
Pemilik mobil yang berhenti di sebelah Enze tampak menaruh atensi. "Ada apa, Mbak?" tanyanya dengan kening berkerut.
Enze yang tadinya sibuk dengan motornya itu, pun menoleh ke sumber suara. Seorang pria botak dengan kemeja hitam melongokkan kepala dan menatapnya penuh empati.
Belum sempat Enze menjawab, pria itu kembali berbicara, "Bensinnya habis, ya, Mbak?" tanyanya.
Enze menggeleng, sebelum akhirnya membalas, "Tidak, Pak. Motor saya memang sering begini, kalau habis dibuat ngebut, terus tiba-tiba berhenti, jadi mati dan agak sulit dinyalakan." Enze mengulas senyum tipis setelah menjawab.
"Oalah, tapi bisa dinyalakan lagi, kan, Mbak? Saya mau bantu, tapi bos saya juga sedang buru-buru," ucap pria itu kemudian.
Enze segera menggelengkan kepala. "Tidak perlu, Pak. Terima kasih banyak, ini sebentar lagi pasti bisa dinyalakan." Senyum canggung menghiasai paras cantik Enze. Wanita itu melirik ke lampu lalu lintas yang mulai berkedip ke oranye. "Pak, sebentar lagi lampunya hijau, saya permisi. Hati-hati di jalan, terima kasih atas perhatiannya," kata Enze kemudian. Tanpa menunggu pria itu membalas, ia segera menuntun motornya ke tepian. Tempat yang sekiranya lebih aman.
Enze mendesah, ekspresinya tampak muram melihat kantung plastiknya yang hendak jatuh. Ia menunduk, segera membenarkannya sebelum kembali untuk menyalakan motornya tersebut. Samar-samar Enze mendengar suara sopir mobil itu yang seperti membalas pertanyaan bosnya.
"Oh itu, Pak, motor mbaknya tidak bisa dinyalakan, tapi katanya tidak apa-apa."
Tidak lama, mobil hitam itu mulai melaju dan klakson yang dibunyikan seolah menjadi perpisahan antara Enze dan sopir mobil. Ketika Enze mendongak, ibu Yupta tersebut dapat melihat sesosok pria yang duduk di jok belakang dari jendela yang sedikit diturunkan. Tampak sibuk menundukkan kepala, memusatkan atensi pada benda dalam genggam, yang tampaknya adalah handphone. Siluet wajahnya familier di ingatan Enze.
Entah perasaan Enze saja atau memang pria di dalam mobil itu adalah sosok yang dikenalnya? Dari samping, wajahnya begitu mirip dengan ayah Yupta alias mantan suaminya. Namun, dalam versi yang lebih dewasa. Sebab, ingatan terakhir Enze soal sosok mantan suaminya, di bayangannya wajah Sehan masih tampak begitu muda.
"Ah, masa, sih, dia Mas Sehan?"
Enze menggeleng tegas. Mana mungkin pria itu mantan suaminya? Lagi pula, bukannya Sehan sedang ada di Kanada? Kalaupun dia sudah kembali ke Indonesia, kota yang ditempatinya sekarang, tidak mungkin menjadi tempat yang akan laki-laki itu kunjungi. Selain karena jauh dari ibukota, kota di Jawa Timur ini hanya kota kecil, bahkan lebih dikenal sebagai kabupaten, tidak seterkenal Kediri ataupun Malang. Lebih masuk akal lagi kalau Sehan ada di Jakarta.
"Aku nggak kangen dia. Tapi, kok, kebayang mukanya terus, sih? Ah, ini paling efek ditinggal Yupta, sampai-sampai penglihatanku jadi bermasalah gini," gumamnya disertai helaan napas panjang. Ia merutuki pikirannya yang sulit mengenyahkan bayang-bayang mantan.
-tbc
Saya usahakan bakal sering update. Tapi, mungkin ada waktu-waktu tertentu di mana saya bakal jarang update. Maklum, lagi skripsian. Mohon dukungannya, ya, semua. Mohon tinggalkan vote serta komen. Terima kasih banyak 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top