01- Ibu dan Anak
Enze memasukkan satu setel baju olahraga ke dalam tas bermerk Paloalto, setelah sebelumnya ia memasukkan dua setel baju harian ke dalam sana beserta dua hijab instan. Selanjutnya, ia memasukkan dua pasang kaus kaki hitam di tas paling depan. Terakhir, yang dimasukkannya adalah tas kecil berisi mukena.
"Apa lagi yang mau dibawa? Ini pakaian kamu sama mukena udah masuk semua, nih," kata Enze seraya menatap putrinya yang malah sibuk memandangi layar HP.
Tunggu demi tunggu, putrinya sama sekali tak merespons. Masih asyik main HP. Enze merotasikan bola matanya. Anaknya memang bolot kalau sudah sibuk dengan benda berbentuk pipih itu.
"Yupta, Ibu tanya, lho. Jangan sampai Ibu marah dan sita HP kamu," kata Enze kemudian, ia menatap anaknya dengan tatapan tajam.
Yupta masih tak merespons, anak itu tetap fokus menggerakkan jarinya di atas layar HP.
"Yupta." Nada suara Enze begitu dalam, matanya sudah menatap sang putri dengan tajam.
Akhirnya, usaha Enze membuahkan hasil. Sang putri mengerahkan atensi padanya.
"Apa, sih, Ibu? Aku lagi main game ini, jangan ganggu, dong." Wajahnya tampak cemberut dan itu mengingatkan Enze pada mantan suaminya. Bisa dibilang, Yupta ini duplikat Sehan versi perempuan.
Persis bapaknya kalau cemberut begitu. Ah, jadi inget mantan, kan, batin Enze yang lantas segera menggelengkan kepala guna mengenyahkan bayang-bayang mantan suaminya.
"Iya, mainnya entar dulu, sekarang kamu bantu Ibu packing keperluan kamu buat kemah besok. Ini yang mau kemah kamu, tapi kamunya malah males-malesan. Entar kalau ada yang ketinggalan, Ibu lagi yang kamu salahin. Sekarang Yupta, kan, udah kelas sepuluh, udah SMA, harusnya lebih dewasa lagi," omel Enze yang membuat Yupta mengerucutkan bibirnya.
"Aku capek tahu, Bu. Tadi di sekolah habis panas-panasan, soalnya latihan baris-berbaris pake tongkat. Aku sampe mau pingsan rasanya. Keringatku kayaknya udah berliter-liter yang keluar. Aku sampai dehidrasi parah," kata Yupta, bercerita dengan ekspresi wajah yang dibuat sememelas mungkin.
Enze merotasikan bola matanya, sebab tahu putrinya terlalu berlebihan. "Ya udah, iya. Ibu cuma mau tahu, yang belum masuk apa aja. Kamu tinggal jawab aja, kok. Lagian, kamu Ibu minta list yang mesti dibawa malah nggak kamu kasih-kasih dari kemarin," balas Enze, membuat senyum lebar menghiasi wajah Yupta.
"Ya maaf, Bu. Aku kemarin ngebuat daftarnya di buku Kimia, tapi bukuku malah ketinggalan di kelas. Aku mau nge-chat temen-temen di grup, juga belum dibales sampe sekarang, padahal udah dibaca. Emang, yang udah Ibu masukin apa aja?" balas Yupta dengan ekspresi memelas.
"Tuh, kan, kamu nggak denger, padahal tadi udah Ibu sebut. Dengerin yang bener, yang udah masuk ada baju harian dua setel, hijab instan dua, kaus kaki hitam dua pasang, mukena, sajadahnya nggak usah, ya? Udah, itu aja masihan. Nah, buat keperluan barang lain, kayak telur, beras, minyak, gula, teh, dan bumbu-bumbuan udah Ibu masukkan ke totebag, jadi tinggal kamu tenteng. Nah, sekarang kamu bilang, keperluannya masih kurang apa?"
"Ehm, bentar, Bu. Aku inget-inget," kata Yupta seraya membawa jari telunjuk dan ibu jarinya ke dagu seolah tengah berpikir. "Oh iya, bawa sandal. Sandal belum masuk, kan, Bu? Sama obat-obatan, tapi kayaknya cukup bawain aku Antangin atau Tolak Angin sama Safe Care aja, Bu. Eh iya, sama plester luka. Kalau baju pramukanya besok aku pakai dari rumah," katanya kemudian.
Enze mengangguk. "Ada lagi, nggak?"
Yupta kembali berpikir. Ia mengingat-ingat apa saja yang harus ia bawa untuk acara kemahnya besok. Matanya seketika berbinar ketika ingat sesuatu. "Bawain aku camilan yang banyak, ya, Bu. Biar bisa tak makan pas istirahat."
"Oke, udah Ibu siapin, entar tinggal masukin. Udah itu aja, kan?"
Yupta kembali berpikir. "Jaket, Bu. Biarpun tempat kemahku di pantai dan pantai itu seringnya kerasa panas, aku tetep butuh jaket. Bawain di totebag lagi aja, biar tasku nggak gede-gede banget."
Enze mengangguk, lalu segera menuju lemari dan mengambil jaket berwarna hitam dengan tudung kepala berwarna abu-abu yang lantas ia masukkan ke dalam totebag berukuran sedang yang memang sudah ia siapkan sebelumnya.
"Oke, beres, udah semua. Oh iya, kayu bakarnya kemarin kamu bilang minimal bawa tiga biji, kan? Itu udah Ibu siapin, tapi kayunya agak basah. Nggak apa-apa, kan?"
Yupta menggeleng. "Nggak apa-apa, Bu, penting aku bawa aja, buat formalitas." Gadis berusia awal remaja itu tampak cengengesan, membuat ibunya jadi geleng-geleng kepala.
"Ya udah, sekarang udahan main HP-nya. Mending kamu istirahat, soalnya besok kudu berangkat pagi. Kamu charge HP kamu sampai penuh, habis itu masukin charger-nya ke tas."
Wajah cengengesan Yupta seketika berubah cemberut. "Masih jam setengah sembilan, Bu. Aku belum ngantuk, kok, udah disuruh tidur aja? Lagian, ya, di tempat kemah besok, HP bakal disita, jadi aku puas-puasin dulu, lah."
Enze seketika berdecak, anaknya ini terlalu keras kepala kalau dinasihati.
"Terserah kamu, deh. Kalo telat, Ibu nggak tanggung jawab, ya." Ditatapnya sang putri dengan ekspresi kesal.
"Lho, kan, tugas Ibu buat bangunin aku pagi-pagi besok, masa Ibu mau anaknya telat terus jadi bahan gunjingan orang-orang?" Yupta menatap ibunya dengan tatapan polos, membuat sang ibu tampak dongkol.
"Bandel emang kamu, nurun siapa, sih? Perasaan ibumu ini nggak bandel-bandel amat," gerutu Enze.
"Nurun mantan suami Ibu, lah. Tapi, bandelan mantan suami Ibu, sih. Soalnya sampai ninggalin kewajiban banget," balas Yupta santai seraya kembali fokus dengan ponselnya.
Enze meringis, selain bandel, putrinya ini jago me-roasting mantan suaminya.
Enze memang sudah bercerai dengan Sehan lebih dari satu dekade. Hubungan Sehan dan Enze pascacerai memang tidak baik, tetapi Enze tetap memberi tahu putrinya tentang sosok sang ayah. Semua kebaikan dan keburukan Sehandanu Galuh Prasaja, Enze ceritakan tanpa mengurangi atau menambahi barang sedikit pun.
Enze tidak mau membuat Sehan berdosa dengan meninggalkan kewajibannya terhadap buah hati mereka. Berbagai cara sudah Enze lakukan supaya Sehan tahu keberadaan Nayupta Damayanti Paramitha, putri mereka. Akan tetapi, usahanya itu tidak membuahkan hasil.
Sehan hilang bak ditelan bumi. Keduanya putus kontak setelah ketuk palu hakim berbunyi tiga kali. Kabar terakhir yang wanita itu dapat, Sehan sudah menetap di Kanada-entah di mana pastinya-selama nyaris lima belas tahun terakhir dan mungkin sekarang sudah membina keluarga baru. Usaha terakhirnya adalah dengan menghubungi keluarga Sehan, tetapi keluarga mantan suaminya sama sekali tak memberi tanggapan. Entahlah, saat itu alat komunikasi tidak secanggih sekarang yang serba cepat dan praktis. Enze tidak tahu, apakah pesannya dulu sudah tersampaikan dengan baik ataukah belum.
Pada akhirnya, Enze menyerah menghubungi Sehan. Ia memutuskan untuk pindah ke kampung halaman sang nenek dan memulai kehidupan yang baru di sana.
"Hust, jangan gitu, ah. Kan bapakmu itu belum tahu kamu ada. Nggak sepenuhnya salah dia," balas Enze.
Yupta langsung mencebikkan bibir. "Bela aja terus. Curiga, Ibu masih cinta sama mantan suami Ibu itu pasti. Kalau enggak, sekarang aku mungkin udah punya bapak baru," cibir Yupta.
"Udah, pokoknya nanti jam sembilan, maksimal jam setengah sepuluh, kamu harus udah tidur. Ibu mau beberes dapur." Enze memilih tak menanggapi perkataan putrinya, ia pun meninggalkan ruangan seluas tiga kali tiga meter itu.
"Perasaan bapakku nggak ganteng-ganteng amat dilihat dari foto. Kok, sampai segitunya Ibu nggak bisa move on?" gumam Yupta setelah pintu kamar tertutup rapat dan tubuh sang ibu tenggelam di baliknya. Gadis muda itu dibuat geleng-geleng kepala dengan pikirannya sendiri.
-tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top