EXTRA PART

Happy reading....

🍒🍒🍒


· Juli 2018

Aku telah siap dengan dress biru mudaku, lengkap dengan tas selempang berwarna cokelat. Dress code malam itu memang biru, khusus angkatan 2016. Malam itu adalah malam penutupan dari rangkaian reuni akbar SMA Tadulako yang sudah berlangsung selama tiga hari. Reuni yang mempertemukan seluruh angkatan mulai tahun 1995-2018. Angkatan 2018 mungkin yang paling merasa tak berkesan. Mereka baru dinyatakan lulus dua minggu yang lalu, dan kini sudah reuni. Tetapi tetap saja, acara ini menyenangkan.

Aku berangkat bersama Tita. Aku dan Tita tetap dekat setelah lulus SMA karena kami melanjutkan di kampus yang sama, bahkan fakultas yang sama. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi pilihan kami. Kami ingin menjadi seorang dosen. Biar Afan saja yang masuk di bidang kesehatan nantinya, meneruskan bidang Ayah dan Bunda.

Aku dan Tita tiba di sekolah pukul tujuh. Kami lantas mencari pasukan biru muda yang rupanya berkumpul di sisi kanan aula SMA Tadulako yang kini sudah semakin besar setelah renovasi. Ya, begitulah. Setelah sekolah ditinggalkan, akan menjadi semakin keren.

Aku merasa sangat bahagia, akhirnya bisa bertemu lagi dengan teman-temanku setelah dua tahun berpisah. Selama ini, aku hanya sering bertemu Ratih dan Aksa yang juga sefakultas denganku. Sisanya, hilang di telan bumi. Hanya terkadang bertemu sesekali, itu pun tak sengaja bertemu di fakultas lain saat sedang keliling kampus, atau hanya bertemu di jalan.

Aku sedang tertawa ria bersama Tita, Ratih, dan Arman ketika seseorang tiba-tiba muncul di antara kami. Seseorang yang membuat tawaku seketika terhenti. Seseorang yang sampai detik ini masih saja membuat hatiku berdebar. Dan aku tak bisa memungkiri, aku merindukan sosok itu.

"Lama banget sih kamu, Raf!" komentar Arman.

"Biasalah, Vika," balas Rafif.

"Itu anak masih manja aja, ya." Arman tak berhenti mengoceh.

"Wih, ada calon dokter, nih!" sahut Ratih. Aku memang sudah mendengar berita bahwa Rafif mendapat beasiswa di Fakultas Kedokteran di kampus yang sama denganku. Tetapi satu kampus tak membuatku sering bertemu Rafif. Bahkan Tuhan tak mengizinkan kami bertemu secara tak sengaja. Ini pertama kalinya aku bertemu Rafif setelah kejadian di rumahku tempo hari. Sebab di acara tiga hari kemarin, aku sama sekali tak hadir karena sakit. Sehingga aku hanya bisa datang di malam penutupan ini.

Mata Rafif akhirnya menangkap sosokku. Netra kami bertemu. Senyumnya langsung memudar. Tingkahnya mendadak canggung. Dia terlihat mengusap tengkuknya. Suasana menjadi tak enak.

"Ratih, Arman, ikut saya, yuk! Dua sejoli Aksa sama Yumna udah nunggu di luar!" seru Tita heboh. Dia lantas menarik tangan Ratih dan Arman keluar dari gedung aula. Menyisakan aku dan Rafif di tengah-tengah lautan manusia.

Aku menatap Rafif sekilas. Lelaki itu memakai setelan kemeja lengan panjang berwarna biru muda tentunya, dengan celana jins hitam dan sepatu berwarna hitam pula. Gaya rambutnya masih sama. Hanya satu yang tak bisa aku pungkiri: dia terlihat lebih tampan sekarang.

"Duduk di sana, yuk!" ajak Rafif setelah hening cukup lama. Lelaki itu menunjuk ke arah luar aula melalui jendela. Di luar aula juga sangat ramai. Aku mengangguk perlahan.

Kami pun akhirnya memilih duduk di sebuah bangku depan kelas X.A dulu. Menatap lurus ke halaman sekolah yang dipenuhi berbagai macam dress code, warna-warni yang terlihat.

"Udah lama ya, Ra?" Rafif tampak gugup memandangku yang kini tengah berusaha tersenyum tenang, walau sebenarnya aku mungkin lebih gugup dari lelaki di sampingku itu.

"Gimana kabar kamu selama ini, Ra?"

Hanya satu kalimat. Hanya satu pertanyaan. Namun, sungguh, pertanyaan itu berhasil merobohkan benteng pertahanan yang sudah kubangun selama dua tahun. Hatiku kembali berdebar, bahkan sangat berdebar. Rasanya aneh. Padahal sudah dua tahun aku tak pernah bertemu dengannya. Bahkan aku sudah menganggap dirinya tak pernah ada di dunia ini, walau sering kali aku merasa rindu. Jahat memang, tapi tujuanku hanyalah agar aku bisa melupakannya. Dan ketika aku dipertemukan lagi dengannya, rasa hatiku seperti kembali ke masa silam.

"Alhamdulillah, baik. Kamu?" Aku mencoba menjawab dengan nada suara yang biasa saja. Sebisa mungkin aku mengatur ritme jantungku yang berdetak hebat. Debaran jantung, perasaan hangat dan tenang, semuanya masih sama seperti dulu.

"Alhamdulillah," ucapnya diikuti senyum khas yang sejujurnya aku rindukan, "saya juga baik."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku canggung. Salah tingkah. Aku tak tahu harus melakukan apa.

Hening. Aku—mungkin juga dia—berpikir tentang kata atau kalimat apa yang harus diucapkan selanjutnya. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup lama. Tak bersua, bahkan tak saling berkomunikasi. Padahal sebelumnya pernah saling menyukai. Jadi, hal yang wajar jika kami duduk berdampingan, tetapi saling diam penuh arti. Saat itu adalah waktu yang sangat sulit bagiku, dan aku yakin dia juga merasakan hal yang sama denganku.

Apa kabar? Apa yang kamu lakukan selama dua tahun ini? Apa kesibukanmu? Apa kamu baik-baik saja? Aku selalu merindukanmu.

Aku hanya menyimpan berbagai macam pertanyaan di benakku, tanpa ada niat memulai. Gengsi memang menghancurkan segalanya.

Sabtu malam dengan bintang-bintang bertaburan indah di langit Kota Palu. Aku melempar pandanganku ke sekeliling. Para alumni SMA Tadulako saling melepas rindu. Ada beberapa alumni yang datang bersama anaknya. Aku tersenyum simpul. Andai beberapa tahun akan datang diadakan lagi reuni akbar, mungkin aku akan melakukan hal yang sama.

Padanganku kembali pada lelaki di sebelahku. Lelaki dengan suara dan tatapan mata yang menenangkan. Reuni akbar SMA Tadulako telah mempertemukan kami lagi.

Lelaki dengan eye smile. Sungguh, aku sangat merindukannya.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top