BAB 9 🍒 Kekacauan

Happy reading...
.
.
.
.

Hari liburan pun tiba. Selepas salat subuh, aku mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke villa. Mulai dari pakaian, kamera, serta bekal untuk di perjalanan. Membutuhkan waktu 3-4 jam dari Kota Palu menuju villa itu. Sekitar setengah enam, Aksa dan yang lainnya mulai berdatangan. Mobil sedan hitam milik Bunda yang hari itu kami bawa ke sana. Setelah sarapan bersama, kami mulai bergegas untuk berangkat.

"Gimana, udah siap semua?" tanya Bunda.

"Udah, Bun," jawabku.

"Udah siap, Tante," jawab yang lainnya.

"Semuanya udah dapat izin dari orang tua, kan?" tanya Bunda lagi, yang dijawab anggukan dari teman-temanku. Bunda pun menyunggingkan senyum. "Hati-hati ya di sana. Nurut sama Pak Ari. Kalau dibilang jangan ya jangan, kalau dibilang iya baru boleh lakuin," lanjutnya menasihati.

"Lakuin apa, Tante?" tanya Arman sok polos.

"Dasar telmi!" ejek Tita. "Maksudnya, kalau kita mau lakuin sesuatu harus izin sama Pak Ari."

"Eh, Ta, walaupun telat mikir, itu nggak akan mempengaruhi ketampanan di wajahku," balasnya percaya diri, sembari mengusap rambutnya ke belakang.

"Apaan sih, Ar, nggak nyambung," timpalku seraya tertawa kecil.

Setelah sedikit bersenda gurau, kami kemudian berpamitan pada Bunda. Satu per satu mencium tangan ibu dari tiga anak itu. Tak henti-hentinya Bunda bertitah agar kami semua berhati-hati di jalan, juga ketika di sana. Bunda memang tipe wanita yang sangat penyayang, bahkan teman-temanku sudah Bunda anggap seperti anaknya sendiri.

Aksa yang mengemudikan mobil saat itu, dan aku yang duduk di sampingnya. Para gadis duduk di kursi tengah, dan dua sahabat karib Rafif dan Arman di kursi belakang.

"Ar, kameraku di mana?" tanya Tita dalam perjalanan.

"Di bagasi," jawab lelaki berambut ikal itu, "simpan aja napa, semuanya pada bawa kamera, pake satu atau dua kamera aja buat foto."

"Saya nggak bawa," sahut Rafif.

"Iya, saya tau, Raf. Kamu kan nggak punya kamera, apa yang mau dibawa? Lagian kamu mana suka foto-foto, kerjaanmu cuma baca puisi Kahlil Gibran," seloroh Arman, membuat Rafif tergoda untuk menoyor kepalanya.

Tunggu, puisi Kahlil Gibran? Aku tiba-tiba-tiba saja teringat sesuatu. Tanpa berpikir lagi, aku segera menyalakan ponsel, lantas mencari sebuah nomor. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya, nomor dengan akhir triple sembilan itu aku simpan dengan nama 'Kahlil Gibran KW'.

Jangan-jangan ... Rafif, batinku menebak-nebak.

Kalau dipikir-pikir, Rafif satu-satunya orang di antara mereka yang nomor ponselnya belum ada padaku. Dan aku baru menyadari itu. Kini jemariku tergerak untuk menghubungi nomor itu. Aku harus membuktikan apakah benar itu nomor Rafif atau bukan. Namun, aku sedikit ragu. Aku terus memandang ponsel sampai Aksa menegurku, "Lihatin apa sih, Ra? Serius banget."

"Bukan apa-apa, buka facebook doang," jawabku berbohong.

"Uhuy, pura-pura manggil 'Ra', padahal biasanya manggil sayang," cerocos Arman dari kursi belakang.

"Jangan panggil sayang, nanti yang jomblo pada iri," balas Aksa sambil tertawa, tetapi tetap fokus menatap jalanan.

"Si Aksa rese banget. Kamu nggak lupa kan kalau kita semua di sini jomblo kecuali kalian berdua?" timpal Tita kesal.

"Astaga, Ta, nggak usah diomongin juga kali, kesannya kita ngenes banget," sambung Ratih.

Obrolan terus berlanjut, tetapi aku masih diam dan fokus ke ponselku. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri. Aku menekan tombol hijau di layar ponselku, lantas menutup mata, takut jika memang itu adalah Rafif.

Tak butuh waktu lama, dari arah belakang terdengar ponsel berdering. Nada khas dari ponsel Nokia itu menyebar ke seluruh sudut mobil. Siapa lagi yang masih memakai ponsel Nokia selain Rafif? Kami semua sudah memakai ponsel Samsung tipe-tipe keluaran 2011-2013. Aku sontak saja membuka mataku. Aku menggigit bibir, lalu dengan cepat mematikan sambungan panggilannya.

"Siapa, Bro? Kok nggak diangkat?" tanya Arman.

"Mau tau aja," jawab Rafif santai, membuat Arman berdecak kesal.

Beberapa menit kemudian, sebuah pesan datang ke ponselku. Dari Kahlil Gibran KW.

Berhenti lihatin hape, nanti Aksa nanyain lagi. Kan susah urusannya kalau dia tau kamu sibuk hubungin saya. Oke, cewek cengeng?

Aku membaca pesan itu, jantungku tiba-tiba berdebar. Ya ampun, aku ini kenapa?

Aku kembali membaca pesan itu, tanpa sadar aku tersenyum. Dia benar-benar Rafif. Dan dia masih saja memanggilku 'cewek cengeng' seperti di surat waktu itu.

Iya, maaf. Habisnya saya nggak tahu kalau itu kamu. Makasih puisinya waktu itu, walau sebenarnya saya udah pernah baca.

Setelah balasan pesanku, tak ada lagi balasan dari Rafif. Aku segera menghapus pesan itu, takut Aksa memergokiku. Namun, entah kenapa aku tak ingin mengganti nama kontak itu dengan nama Rafif. Aku sudah terbiasa dengan nama sebelumnya. Setelah sekian lama menjauh dari Rafif, hari ini aku kembali merasa dekat dengan lelaki pecinta pedas itu itu. Dan hatiku tiba-tiba merasakan kehangatan seperti biasa.

Lamunan konyol tentang Rafif itu segera aku hilangkan tatkala mengingat lelaki yang kini ada di sampingku. Iya, sekarang aku adalah pacar Aksa. Itu kenyataannya. Aku tak boleh mengecewakan Aksa, apalagi Bunda. Apa pun yang terjadi, aku harus setia pada lelaki bernama lengkap Danadyaksa Hernando itu.

***

Pukul sembilan kami akhirnya tiba di villa milik Ayah. Tak banyak yang berubah di sana. Hanya beberapa tanaman yang terlihat bertambah. Pohon yang pernah aku tanam bersama Kak Adit kini sudah tumbuh besar. Mataku sempat berkaca-kaca ketika menginjakkan kaki ke dalam villa, terlebih lagi ketika melihat Pak Ari. Sungguh aku sangat berterima kasih kepada orang-orang yang sangat setia pada Ayah, bahkan ketika Ayah sudah tidak ada. Mereka benar-benar luar biasa.

"Apa kabar, Nak?" sapa Pak Ari ramah.

"Alhamdulillah baik, Pak," jawabku seraya menyalami Pak Ari. "Pak Ari sehat, kan?"

"Alhamdulillah."

"Bu Sari dan Dira Dika gimana?" Aku juga menanyakan kabar istri dan anak kembar Pak Ari yang rumahnya tak jauh dari villa ini.

"Alhamdulillah, semuanya sehat." Pak Ari masih seperti dulu. Ramah dan tenang. Villa Ayah terjaga dengan baik berkat pria paruh baya itu.

Aku pun memperkenalkan sahabat-sahabatku pada Pak Ari. Setelah itu, Pak Ari mempersilakan kami masuk ke kamar masing-masing yang telah dipersiapkan. Aku sekamar dengan Ratih, Tita dan Yumna, serta para lelaki masing-masing di kamar yang berbeda.

Sore harinya, setelah berenang, aku duduk di pinggir kolam ketika merasakan kakiku mulai keram. Wajar saja, aku memang tidak melakukan pemanasan sebelumnya. Sebagian teman-temanku masih melakukan aktivitas masing-masing; ada yang sedang makan, ada yang main game, dan ada yang bernyanyi sambil memainkan gitar. Pastinya belum ada yang keluar dari villa. Kami berencana mengelilingi bukit sekitar villa esok hari, sekalian melihat sunrise. Malam nanti, kami berencana berkumpul di taman belakang untuk pesta barbeque.

"Sendirian aja, Nak," sapa Pak Ari, "yang lainnya mana?"

Aku tersenyum, lantas menjawab, "Ada di dalam, Pak. Lagi pada main."

"Oh, iya. Bapak mau ke rumah dulu, ya. Mau ngasih tahu Ibu kalau Nak Ayra udah sampai di sini," pamitnya.

"Iya, Pak," jawabku seraya mengangguk.

Setelah Pak Ari pergi, aku memutuskan untuk beristirahat. Aku pun berdiri hendak kembali ke kamarku. Namun, kemalangan menghampiriku. Semuanya terjadi begitu cepat. Ketika aku berdiri, kakiku terpeleset dan spontan jatuh ke dalam kolam. Aku berusaha berenang, tetapi aku tidak bisa karena kakiku sedang keram. Aku berusaha berteriak meminta pertolongan.

Napasku hampir habis. Samar-samar kulihat seseorang melompat ke dalam kolam dan berusaha menyelamatkanku. Selanjutnya, semua gelap. Aku tak merasakan apa-apa lagi.

***

Perlahan aku membuka mata. Plafon kayu berwarna cokelat langsung menyambutku. Aku mengucek mata dan memandangi sekeliling. Aku telah berada di kamarku.

"Udah sadar?" tanya Tita yang duduk di pinggir ranjang.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Ratih dengan segelas air di tangannya. "Ayra udah sadar?" ucapnya sama seperti Tita.

Segala kejadian berputar di otakku. Aku pasti pingsan setelah tenggelam. Namun, aku lupa siapa yang menolongku. Aku pun tidak tahu apa yang terjadi setelah kejadian itu.

"Yang lain mana?" tanyaku seraya berusaha untuk duduk.

"Minum dulu." Ratih menyodorkan segelas air padaku. Aku langsung meneguknya, kemudian mengulang pertanyaanku.

Tita dan Ratih hanya diam saja. Ekspresi kedua gadis itu juga terlihat kacau. Aku menatap mereka dengan tatapan mengintimidasi. "Kenapa, sih?" tanyaku sekali lagi.

"Keluar, yuk! Makan malam." Tita mengalihkan pembicaraan.

"Malam?!" seruku kaget. Aku menengok jam dinding di kamar itu, sudah pukul 19.20 WITA. Aku langsung menghela napas. Kenapa aku bisa pingsan selama itu?

Masih berdiam diri, Tita dan Ratih keluar dari kamar. Mereka benar-benar aneh. Aku pun memutuskan untuk menyusul mereka.

Aku mendapati seluruh teman-temanku sedang duduk di ruang tengah. Mereka tak menyadari kehadiranku. Ada yang aneh. Suasananya hening, tak satu pun yang berbicara. Hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan.

"Ini ada apa, sih?" tanyaku penasaran. Mereka semua kontan menoleh padaku. Aksa pun langsung berdiri dan menghampiriku.

"Kamu udah sadar. Nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang sakit?" serangnya seraya memegangi kedua bahuku. Dia terlihat sangat khawatir.

Aku tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kok. Tenang aja," jawabku lembut.

Aku kembali mengalihkan tatapanku, menatap teman-temanku yang seperti manekin hidup. "Kalian kenapa pada diam? Malam ini kan kita mau pesta barbeque, kok nggak siap-siap?"

Krik krik!

Mereka masih saja diam. Arman sibuk bermain game di ponselnya, Yumna memetik gitar dengan pelan, Tita asyik dengan rubiknya, dan Ratih pun mengutak-atik ponsel. Sementara Rafif hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa.

"Kalian kenapa, sih!" Aku berteriak. Muak dengan mereka semua. Aku seperti berbicara dengan tembok.

Alih-alih menjawab, Rafif malah bangkit dari duduknya. Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kemudian dia pergi begitu saja.

"Besok kita semua pulang!" seru Aksa tiba-tiba. Langkah Rafif terhenti sejenak, tetapi dia segera melanjutkan langkahnya. Sementara Aksa kini menatapku. Aku mengernyit tak mengerti.

"Pak Ari udah nyiapin makan malam buat kita. Sekarang dia udah balik ke rumahnya. Dia nggak lihat kejadian tadi, kok. Besok kita bakalan pamit," ujar Aksa sebelum aku sempat berkata. Tentu saja aku masih tak mengerti. Kejadian? Kejadian apa?

"Kalian semua jangan lupa makan malam," lanjut lelaki jangkung itu menatap ke arah teman-teman. Kemudian dia kembali menatapku. "Kamu juga. Setelah itu istirahat."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Aksa tiba-tiba mengecup keningku. Kemudian pergi ke kamarnya. Arman pun ikut pergi. Menyisakan kami para gadis di antara keheningan malam. Aku duduk di samping Ratih, dan tanpa basa-basi melayangkan pertanyaan, "Ada apa, sih? Please ... ceritain apa yang terjadi selama saya pingsan."

Ketiga temanku itu menatapku sejenak. Kemudian kembali melanjutkan aktivitas mereka masing-masing. Aku menghela napas dengan kasar, kesal dengan sikap teman-temanku yang sangat menyebalkan. Hanya berselang beberapa menit, Ratih bangkit dari duduknya. "Ke kamar yuk, Ra. Nanti saya ceritain," ujarnya memecah keheningan.

Aku mengangguk dengan semangat, lantas mengikuti Ratih yang sudah lebih dulu berjalan menuju kamar.

"Jadi, gimana ceritanya?" tanyaku langsung. Aku duduk di pinggiran kasur, sementara Ratih telah berbaring sembari memandang langit-langit kamar.

"Ada kesalahpahaman, Aksa sama Rafif tadi berantem," ujar Ratih tenang.

"Hah? Kok bisa?" responsku terkejut, sekaligus penasaran.

Ratih menatapku. Gadis berhijab itu kemudian membuka suara. Mulai bercerita tentang apa saja yang dia ketahui terkait kejadian tadi.

***

Entah bagaimana awalnya. Aku yang sedang asyik memainkan ponsel di ruang tengah, mendadak terkejut ketika Aksa dan yang lainnya berlarian ke arah kolam renang.

"Kenapa, Ta?" tanyaku mencegat tangan Tita yang juga ikut berlari.

"Itu, Rat. Kata Yumna, Ayra sama Rafif lagi di kolam renang. Ayra tenggelam," jawab Tita panik. Aku pun ikut menyusul mereka ke kolam renang.

Di tepi kolam, kulihat Rafif mencoba menyadarkan Ayra yang sudah pingsan. Rafif terlihat sedang menunduk dan wajahnya begitu dekat dengan wajah Ayra. Sontak saja Aksa marah sebab mengira Rafif mencoba memberi napas buatan pada Ayra. Namun, aku yakin Rafif tidak mungkin melakukan itu. Tetapi posisi Rafif membuat Aksa salah paham. Jika dilihat dari belakang, posisi Rafif memang seakan-akan mau mencium Ayra, seperti ingin memberi napas buatan kayak di film-film.

"Woy! Ngapain kamu, Raf?!" seru Aksa, seraya berlari mendekati Rafif.

Rafif menoleh dan langsung berdiri. Aksa yang sudah tak terkendali langsung memukul Rafif sampai Rafif terjatuh ke dalam kolam. "Ngapain kamu mau nyium Ayra?" sungutnya. Dari situ aku tahu sesuatu; kekasih Ayra ini sangat mudah terpancing oleh emosinya sendiri.

Rafif meringis memegangi pipinya, kemudian berenang ke tepi dan keluar dari kolam. "Siapa juga yang mau nyium Ayra. Gila kali," jawab Rafif santai. Dia tak terbawa emosi seperti sahabatnya itu.

"Kamu pikir saya nggak lihat? Hah?" teriak Aksa geram.

"Kamu salah paham, Sa." Rafif mencoba menjelaskan.

"Salah paham apaan? Saya lihat sendiri kamu mau nyium!"

"Saya cuma nepuk-nepuk pipinya doang, Sa. Jangan asal nuduh!" Nada bicara Rafif naik beberapa oktaf. Dia mulai terbawa emosi.

"Stop!" teriak Tita cukup keras.

Arman yang sejak tadi diam akhirnya maju dan melerai dua sahabatnya itu. "Woy, Sa! Kamu lihat nih cewekmu, lagi pingsan," ujar Arman seraya menujuk Ayra yang masih tergeletak. "Mendingan kamu bawa dia ke kamar. Ini bisa diselesaikan nanti. Kayak anak kecil aja," lanjutnya.

Aksa mendengus jengkel menatap Rafif, lalu memutar bola matanya ke arah pacarnya yang masih tergeletak. Lelaki itu kemudian mendekati Ayra. Dengan sigap dia meletakkan tangan kanannya di bawah kepala Ayra dan tangan kirinya di bawah lutut. Dia membawa Ayra ke kamar dengan wajah yang masih penuh amarah.

Sementara keadaan di kolam renang masih terasa tegang.

"Saya nggak ngelakuin itu, Ar," ujar Rafif sambil menatap Arman.

"Kamu nggak perlu ngomong gitu, saya percaya," jawab Arman. "Udah bertahun-tahun kita bareng, dan saya tahu kalau kamu bukan orang yang kayak gitu."

Rafif tersenyum dan manggut-manggut. Lelaki itu lantas memandang kami para gadis yang masih berdiam diri.

"Saya percaya sama kamu," ucap Yumna tiba-tiba.

"Saya juga percaya sama kamu, Raf," sambungku.

"Saya juga, Raf." Tita ikut bersuara.

"Makasih ya," ucap Rafif, diikuti senyum tipis.

Rafif dan Arman pun masuk ke dalam rumah. Menyisakan aku, Tita, dan Yumna.

"Kamu sih, Yum. Kenapa kamu ngomong gitu ke Aksa? Lihat kan, akhirnya dia emosi duluan," ujar Tita jengkel. Aku tak mengerti apa yang dia bicarakan.

"Saya nggak tahu apa-apa. Saya memang lihat Ayra dan Rafif berenang bareng, kok," jawab Yumna ikut kesal.

"Bisa aja kan kamu lihat mereka pas Ayra udah tenggelam, jadi Rafif nolongin, bukan berenang bareng. Kalau nggak tahu apa-apa jangan ngomong sembarangan!" Suara Tita meninggi. Setelah mengatakan itu, Tita masuk ke dalam villa dengan wajah kusutnya.

Aku benar-benar tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

Setelah mendengar cerita Ratih, aku akhirnya paham kenapa semua orang saling berdiam diri. Aksa dan Rafif sedang bertengkar, begitu pula Tita dan Yumna. Aku ingin tahu apa maksud Tita yang marah-marah pada Yumna. Namun, aku tak mungkin bertanya sekarang. Aku tahu seperti apa Tita jika sedang marah. Gadis itu sama sekali tak mau membuka suara. Tetapi dari cerita Ratih aku bisa menangkap bahwa Yumna telah mencoba memanas-manasi Aksa. Begitukah? Entahlah. Aku tak tahu pasti.

Huh! Liburan kami jadi kacau seperti ini. Semuanya salahku. Jika aku tidak ceroboh dan tidak tenggelam, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Aku benar-benar menyesali semuanya.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top