BAB 8 🍒 Rencana Liburan

Happy reading...
.
.
.
.

· Juli 2014

Setengah tahun menjalin hubungan, aku dan Aksa semakin lengket setiap harinya. Aku pun mulai berusaha melupakan semua hal yang membebani pikiranku selama ini. Rafif, Yumna, dan segala bully-an yang terkadang aku terima di sekolah. Bukan karena aku tak peduli, tapi aku ingin hidup bahagia untuk sejenak. Aku merasa selama ini hidupku selalu penuh dengan penderitaan. Kata Bunda, tubuhku akan semakin kurus jika aku banyak pikiran. Jadi, sebaiknya ini semua dihentikan.

Untuk perasaan, aku akan melupakan Rafif dan fokus pada Aksa saja. Walaupun Rafif pernah membuat jantungku berdebar, tapi aku yakin itu bukanlah hal penting yang perlu aku khawatirkan. Lagi pula, selama ini Bunda sangat bahagia sejak aku bersama Aksa. Tidak ada hal lain yang membuatku sangat senang selain melihat kebahagiaan Bunda. Dan itu cukup bagiku.

Bulan dan bintang; kedua benda langit tersebut hadir di malam minggu yang indah kala itu. Menambah keelokan hamparan langit yang luas. Aku sedang duduk bersandar di sebuah kursi di balkon kamarku, sembari memandang langit, mengagumi ciptaan Tuhan yang luar biasa indah menenangkan hati, mendamaikan jiwa. Aku berbincang dengan Aksa melalui telepon ditemani oleh bintang-bintang.

[Besok jalan, yuk!] ujar Aksa dari seberang sana.

"Ke mana?" tanyaku.

[Hm, ke mana aja. Pokoknya seharian kita jalan.]

Aku diam sejenak, kemudian menggumam.

[Kenapa? Kamu nggak mau jalan sama saya? Ya udah kalau nggak mau!]

"Apaan, sih? Saya kan belum jawab," ujarku sedikit kesal.

[Habisnya dari tadi kamu nggak ngomong, yang keluar dari mulut kamu itu cuma 'hm' doang.] Aksa mencontohkan suaraku menggumam, membuatku tertawa kecil.

"Ha ha, maaf maaf. Iya saya mau, kok. Besok jam berapa? Ke mana?" tanyaku bersemangat, supaya lelaki itu tidak menggerutu lagi.

[Nah, gitu kek dari tadi. Pokoknya nggak usah banyak nanya, jam sembilan saya jemput. Oke?]

"Hm, oke," jawabku menyetujui.

Tuuut... tuuut... tuuut...

Sambungan telepon tiba-tiba terputus. Aku ingin menelepon balik, tetapi mataku sudah mulai mengantuk. Aku pun mengetik pesan untuk Aksa. Namun, aku kalah cepat. Pesan Aksa lebih dulu sampai padaku.

Maaf ya sayang.. pulsaku abis.. hehe..

"Ha ha...." Aku spontan tertawa. Dasar Aksa!

Aku pun segera membalas pesannya.

Bohong, buktinya kamu bisa sms.

Aksa membalas lagi.

Kan saya punya sms gratis beb..

Lagi-lagi aku tertawa. Orang kaya kok nggak modal? Hi hi....

Aku sudah menguap beberapa kali. Sambil sesekali mengucek mata, aku membalas pesan Aksa untuk menyudahi komunikasi kami hari itu.

Iya, percaya kok. Hehe. Saya udah ngantuk nih, udah dulu ya sayang.

Aksa membalasnya lagi. Pesan terakhir Aksa malam itu berhasil membuat bibirku tersenyum.

Oke beb.. selamat tidur.. moga mimpi indah. Mimpiin saya ya.. jangan mimpiin Arman.. dia gak layak masuk dalam mimpi bidadari. Hehe. Love you sayang..

"Dasar gombal," gumamku sebelum akhirnya aku menutup mata dan hanyut dalam mimpi.

***

Tok tok tok!

Aku masih setengah sadar ketika kudengar suara ketukan pintu kamar yang berhasil menginterupsi tidur nyenyakku. Alih-alih membukakan pintu, aku malah menggeliat seraya menarik kembali selimutku sampai batas leher.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu masih terdengar, tapi tidak ada seseorang yang bersuara.

"Bi Siti, Ayra datang bulan, nggak usah dibangunin salat subuh!" teriakku dengan mata masih tertutup.

Namun, teriakanku percuma. Pintu kamarku masih terus diketuk, tetapi kali ini lebih keras sampai rasanya pintu itu akan rusak.

"Ah, siapa sih itu?" gerutuku sembari mengucek-ngucek kedua mataku. Aku mengambil ponsel di samping bantal, kemudian menyalakan layarnya untuk melihat waktu. Pukul 06.45 WITA. Ah, baru jam segini.

Ketukan pintu masih berlanjut, sungguh membuatku geram. Dengan langkah gontai, aku bangkit dari tidurku dan berjalan perlahan ke arah pintu. Aku membuka pintu dengan kasar. Baru saja aku akan mengomel, suara seseorang berhasil mengagetkanku.

"Pagi, Sayang!" seru seseorang yang sejak tadi mengetuk pintu.

Aku yang masih setengah sadar tak memperhatikan orang yang kini ada di depanku. Samar-sama kulihat orang itu tersenyum. Aku mengucek mataku, lantas memperhatikan lelaki di depanku. Lelaki dengan kemeja kotak-kotak andalannya yang hari ini berwarna maroon, celana jins hitam dan sepatu converse hitam putih.

Astaga! Aksa?

Aku seketika tersadar. Mataku terbelalak tatkala melihat pacarku itu kini ada di hadapanku dengan senyum jail. Aku melongo ketika sadar dengan penampilanku. Rambut acak-acakan, ileran, dan wajah kusut. Memalukan sekali.

"Ih, kok kamu...." Aku tak melanjutkan kalimatku. Aku langsung masuk dan menutup pintu kamar dengan keras. Di balik pintu, aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan sambil menghentak-hentakan kaki. Aku sangat malu berhadapan dengan Aksa dalam keadaan seperti itu. Ah, sial sekali.

"Kok kamu bisa di sini, sih?" tanyaku setelah diriku cukup tenang.

"Semalam kan udah janjian," jawab Aksa, terdengar sedang cekikikan.

"Apaan? Kamu bilangnya jam sembilan. Ini baru jam tujuh!" sungutku, kesal sekaligus malu.

"Ya, gimana dong? Saya diajak Bunda sarapan di sini," balas Aksa. "Buka pintunya dong...."

"Nggak mau!" sahutku. "Saya mau mandi dulu!"

"Kamu kayak tadi juga cantik, kok. Bagaimanapun penampilan kamu, tetap aja cantik," ucap Aksa lembut, tetapi masih terdengar olehku dari dalam kamar.

"Nggak usah gombal, Sa. Pergi sana! Saya mau mandi." Tanpa mendengarkan jawaban Aksa lagi, aku beringsut mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Ya ampun, benar-benar memalukan.

***

Setelah mandi dan bersiap-siap, aku keluar dari kamar. Aku memakai baju putih polos dengan blazer pink, rok selutut berwarna cokelat, lengkap dengan tas selempang berwarna pink pula. Rambut hitam sebahuku aku hiasi dengan sebuah bando berwarna cokelat. Tema hariku adalah "pink-brown". Aku keluar dari kamar dan langsung menuju meja makan dengan wajah tertekuk.

"Bunda, Ayra ngambek nih," lapor Aksa pada Bunda yang sedang mengatur beberapa selai di atas meja.

"Tenang aja, Sa, bentar lagi juga berhenti ngambeknya," jawab Bunda seraya melirikku yang sedang berdiri di hadapan mereka. "Ayo, duduk, Sayang."

Aku pun duduk di samping Bunda, berhadapan dengan Aksa. Aku masih menekuk wajahku sebal.

"Afan, mau selai apa, Sayang?" tanya Bunda pada adikku yang sedang duduk di samping Aksa.

"Hm...," gumam Afan seraya memandang berbagai macam selai di atas meja, "nanas aja, Bun."

"Ayra mau selai cokelat, kan? Biar saya olesin," ujar Aksa tiba-tiba.

Tanpa persetujuanku, lelaki itu langsung mengambil selembar roti tawar dan segera mengoleskannya dengan selai cokelat. Aku menatap Bunda, wanita kesayanganku itu sedang tersenyum. Senyum Bunda memang selalu berhasil meluluhkan hatiku.

"Ini rotinya, Tuan Putri. Roti dengan olesan selai cokelat spesial untuk Ayra," ucap Aksa seraya menaruh roti di atas piring dan memberikannya padaku. "Itu dioles dengan cinta, lho," lanjutnya sambil nyengir.

Aku berdecak, tetapi sedikit tersenyum. "Dasar, tukang gombal," gumamku.

"Nah, tuh kan, Ayra udah senyum lagi. Bunda bilang juga apa," ujar Bunda sembari mengoles selai nanas untuk Afan.

"He he, iya, Bunda. Ayra kan memang murah senyum. Cantik."

"Udah, jangan banyak gombal. Cepetan makan!" sahutku yang langsung melahap rotiku. Membuat Aksa cekikikan melihatku.

***

Aksa membawaku ke sebuah monumen di Kota Palu yang saat itu masih sangat baru, Monumen Nosarara Nosabatutu. Dalam bahasa Kaili—bahasa suku asli Sulawesi Tengah—Nosarara Nosabatutu dapat diartikan Bersama Kita Satu. Monumen yang terletak di sebuah bukit di daerah Palu Timur itu dibangun sebagai simbol perdamaian Sulawesi Tengah, sehingga biasa disebut Tugu Perdamaian. Dari atas bukit, panorama keindahan Kota Palu bisa terlihat, terutama hamparan laut biru yang sangat luas serta pegunungan yang menghiasi sekelilingnya. Udara sejuk dan bersih, pepohonan dan bunga-bunga indah menambah daya tarik tempat itu. Saat itu keadaan di sana masih sangat sederhana. Belum seperti sekarang, fasilitasnya sudah semakin lengkap dan tentunya semakin indah.

Aku dan Aksa baru pertama kali mengunjungi Tugu Perdamaian, dan kami sangat menikmatinya. Kami berfoto berulang kali sampai aku merasa bosan dan lelah. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.

"Tiba-tiba saya jadi ingat villa Ayah," ujarku saat kami duduk di salah satu tangga menuju monumen. Pergi ke tempat yang berada di atas bukit seperti ini membuatku tiba-tiba teringat Ayah. "Tempatnya di perbukitan kayak gini. Dulu saya sering ke sana sama Ayah, Bunda, Kak Adit, dan Afan," lanjutku terdengar getir.

Aksa menatapku, lalu bertanya, "Kamu kangen, ya?"

Aku ikut menatapnya, lantas mengangguk mengiakan.

"Gimana kalau kita ke sana?" usul Aksa bersemangat.

"Ke villa Ayah?"

"Iya. Mumpung liburan masih seminggu lagi. Kita bisa ajak teman-teman ke sana," jelasnya.

Mataku seketika berbinar memandang kekasihku itu. Senyumku langsung merekah. "Iya, saya mau! Minta izin sama Bunda, ya?" seruku heboh. Sudah lama sekali aku tidak ke sana. Sungguh, aku merindukan tempat itu.

"Oke. Siap, Bos!" sahut Aksa seraya mengangkat tangannya seperti melakukan hormat.

Aku tak henti-hentinya tersenyum. Aku sangat merindukan tempat itu; tempat di mana aku pernah berlibur bersama keluargaku, lengkap, tak kurang seorang pun. Masa-masa itu sungguh membahagiakan. Aku tak akan pernah melupakannya.

Waktu berjalan begitu cepat tanpa terasa. Saat hari menjelang siang, aku dan Aksa meninggalkan bukit dan berencana pergi ke tempat lain.

"Ke mana lagi, nih?" tanyaku setengah berteriak karena kami berada di atas motor dan angin di jalan perbukitan itu berembus sangat kencang.

"Ke Pantai Talise, di sana ada warung bakso enak banget," jawab Aksa. Aku hanya diam dan manggut-manggut, mengikuti ke mana saja Aksa membawaku.

Sesampainya di pantai, Aksa segera memarkir motor, lalu menyimpan helm. Dia lantas memegang tanganku tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut.

"Ayo, ke warung bakso," ajaknya dengan senyum merekah.

"Kamu sering makan di sini?" tanyaku saat kami tengah berjalan sambil berpegangan tangan. Aksa hanya menggumam.

Kami akhirnya tiba di sebuah warung kaki lima yang sangat sederhana. Tempatnya sangat ramai. Walaupun belum pernah merasakan makan di tempat itu, aku bisa menebak bahwa makanan di sini memang enak. Terbukti dengan banyaknya pengunjung. Aku sempat terkesima memandang Aksa. Selama ini aku pikir Aksa adalah anak yang manja yang selalu mengandalkan kekayaannya, ternyata aku salah. Aksa bahkan mau makan di warung kaki lima. Semakin lama berpacaran dengannya, aku semakin mengenalnya. Untuk sejenak aku berpikir bahwa Bunda tak salah memilih Aksa untukku.

Kami memesan dua porsi bakso dan menunggu di salah satu meja. Duduk berhadapan dan saling memandang. "Kamu sering makan di sini?" tanyaku, mengulang pertanyaan yang tadi sempat aku tanyakan.

"Iya, baksonya enak banget," jawab Aksa. "Setelah ini, kamu pasti ketagihan."

"Oh, ya? Jadi nggak sabar mau nyobain."

"Hm, selain enak, tempatnya nyaman dan sejuk, soalnya dekat pantai. Dan juga...," Aksa berhenti sejenak, seperti berpikir, "saya nggak merasa sendiri kalau makan di sini, karena tempat ini selalu ramai."

Aku berhenti bertanya. Aku sudah paham maksud dari jawaban Aksa. Kesibukan kedua orang tuanya tentu saja sering mengharuskan dirinya melakukan sesuatu sendirian, termasuk makan. Sebelas dua belas dengan Bunda. Hanya saja bedanya, aku punya saudara. Sementara Aksa adalah anak tunggal. Dia pasti sangat kesepian selama ini.

"Kamu jangan lihatin saya kayak gitu dong, Sayang. Saya nggak suka lihat kamu sedih. Saya suka lihat kamu senyum," ucap Aksa lembut. Membuat bibirku tertarik dan senyumku pun merekah. Tatapan senduku segera kuubah menjadi tatapan penuh kehangatan.

"Nah, gitu dong. Kalau senyum kan manis, apalagi ada ini yang bikin manis." Aksa menyentuh kedua pipiku, tepatnya di bagian lesung pipi.

Aku langsung menepis tangannya. "Jangan gitu, malu dilihatin orang." Sekarang wajahku pasti sudah memerah.

"Kamu jangan kayak cewek-cewek lain, ya," ujarnya, tiba-tiba membahas hal yang berbeda.

"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

"Itu ... cewek-cewek yang suka pakai krim macam-macam di wajah dan kulitnya. Kamu nggak usah pakai yang begituan," jelasnya.

Aku langsung tersenyum mendengar ucapannya. Dia terlihat serius sekali, sangat menggemaskan. "Saya nggak pakai yang begituan, kok. Boro-boro pakai krim, bedak aja masih bedak bayi."

"Bagus kalau gitu. Kamu itu udah cantik. Saya suka lihat kulit hitam manis kamu ini. Kalau kulit kamu putih pasti manisnya hilang. Nggak ada kan putih manis?" Aksa terus mengoceh. Belakangan ini aku sering tertawa dibuatnya. Ada-ada saja hal yang bisa dia bahas. Dan hal itu selalu sukses mengundang tawaku.

Perbincangan kami diinterupsi oleh pemilik warung yang datang membawa pesanan. Aroma bakso langsung menguar memenuhi indra penciumanku. Wangi sekali. Dari wanginya saja sudah lezat. Aku dan Aksa pun langsung menyantap bakso itu sambil sesekali tetap berbincang.

Selesai makan, kami berjalan-jalan di pinggir pantai. Aku berkata pada Aksa bahwa aku ingin kembali lagi ke warung itu karena memang baksonya sangat enak. Aksa terkekeh mendengar permintaanku, tetapi dia mengiakan.

Menjelang waktu ashar, kami pun memutuskan untuk pulang. Selama perjalanan, aku menyandarkan kepalaku ke punggung Aksa. "Makasih buat hari ini ya, Sa," ucapku. Perjalanan hari itu sungguh sederhana, tapi aku benar-benar senang.

Aku tak bisa melihat bagaimana ekspresi Aksa, tetapi dia dengan segera menjawab, "Sama-sama, Ayra cantik."

Aku sangat yakin, dia pasti sedang tersenyum.

Hari itu, aku merasa sangat nyaman bersama Aksa. Aku melupakan segala masalahku untuk sejenak. Aku berbahagia, dan itu semua berkat Aksa.

***

Aku memandang Tita, Ratih, Rafif dan Arman yang kini duduk di ruang tamuku. Aku mendapati teman-temanku itu sedang bersenda gurau saat aku tiba di rumah. "Kalian kok nggak bilang mau ke sini?" tanyaku langsung.

"Ngapain bilang sama kamu? Aksa yang ngajak ke sini, kok," jawab Tita santai.

Aku memutar bola mataku ke arah Aksa yang kini sedang cengengesan. "He he, saya yang panggil, mau ngomongin tentang liburan," jelas lelaki itu.

"Tita udah cerita tadi, Bunda setuju kok kalau kalian mau ke villa." Bunda datang ke ruang tamu membawa nampan berisi beberapa minuman. "Lagian di sana ada Pak Ari yang jagain villa, nggak apa-apa asalkan kalian perginya bareng," lanjutnya seraya mengatur minuman di atas meja.

Aku dan Aksa yang sejak tadi berdiri kini ikut duduk. "Beneran boleh, Bun?" tanyaku dengan mata berbinar.

"Iya, boleh, Sayang," jawab Bunda lembut.

"Wah! Akhirnya saya nggak kayak anak pingitan lagi di rumah," celetuk Tita heboh.

"Lagi-lagi Dewi Fortuna berpihak padaku," imbuh Arman dramatis. Sementara yang lain hanya tertawa melihat dua keran bocor itu.

"Jadi, kalian berenam aja nih yang mau pergi? Yumna di mana?" tanya Bunda.

Semua terdiam begitu nama Yumna disebutkan. Sejak aku dan Aksa pacaran, kami memang agak jauh dari Yumna, atau lebih tepatnya Yumna yang menjauh. Namun, apa pun yang terjadi, aku akan tetap mengajak Yumna. Walaupun Yumna tidak pernah menjelaskan sebab kemarahannya, dan aku pun masih belum tahu pasti, tetapi tetap saja ... Yumna adalah sahabatku. Aku memang belum lama mengenalnya, tapi dia sangat berarti untukku.

Selepas magrib, kami berenam berencana menuju rumah Yumna untuk mengajaknya ikut berlibur ke villa. Mudah-mudahan saja dia mau. Hitung-hitung untuk memperbaiki hubungan kami yang sudah merenggang.

***

Aku, Aksa, dan teman-teman lainnya kini berada di rumah Yumna. Asisten rumah tangga Yumna mempersilakan kami masuk ke dalam rumah yang didominasi warna ungu itu.

"Langsung aja, ada apa?" tanya Yumna dingin. Kini kami telah berkumpul di ruang tamu gadis bertubuh langsing itu.

"Kita mau liburan ke villa," sahut Tita to the point, "dan kita mau ngajak kamu juga, Yum."

"Iya, Yum. Kamu ikut, ya," imbuh Ratih.

"Yum, jujur sampai sekarang saya nggak tahu salahku apa," ucapku sembari menatapnya. "Maaf, saya beneran minta maaf kalau saya punya salah sama kamu."

Kulihat gadis itu menghela napas pelan. "Kamu nggak usah minta maaf, Ra. Kamu nggak punya salah kok, tapi saya nggak mau ikut," jelas Yumna, tak sedingin tadi.

"Lha, kenapa, Yum? Ini seru lho!" timpal Arman menyayangkan.

"Ikut dong, Yum. Biar lengkap," sambung Aksa meyakinkan, "kalau nggak ada kamu kayak ada yang kurang."

Mendengar ucapan Aksa, Yumna tiba-tiba mengubah ekspresinya. Matanya terlihat berbinar dalam sekejap. Gadis berambut sepunggung dengan poni itu menunduk sejenak, seperti berpikir.

"Oke, saya ikut!" sahutnya kemudian. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran gadis itu, tapi aku senang dia mau mengubah keputusannya.

Teman-teman lain pun ikut tersenyum senang. "Nah, gitu dong, Yum!" seru Tita dengan jentikan jari.

"Dari tadi kek, Yum. Bikin repot aja, ah!" seloroh Arman, mengundang tawa kami untuk ke sekian kalinya.

"Udah, kan?" sahut Rafif yang sejak awal hanya diam. "Kalau udah, saya mau pulang. Mau ngajarin adik saya ngerjain PR."

"Kamu bahkan nggak ikut ngebujuk saya, dan tiba-tiba mau pulang?" protes Yumna. "Di sini aja dulu, kita main PS, yuk!"

"PS? Okay!" Arman langsung bangkit dari duduknya. Lagi-lagi dia membuat kami tertawa dengan tingkahnya yang super heboh.

"Saya duluan, ya," lanjut Rafif seraya berdiri, tak berubah pikiran. "Oh ya, Yum, jangan mau main sama Arman, suka curang dia," lanjutnya sebelum membuka pintu dan keluar sambil cekikikan.

"Wah, parah. Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan!" sahut Arman tak terima.

"Berisik!" tegur Yumna. Gadis itu kemudian berjalan keluar.

"Mau ke mana?" tanya Arman.

Yumna tak menggubris. Dia pergi menuju teras. Dari ruang tamunya, kami bisa mendengar suara Yumna. "Hati-hati, Raf. Kapan-kapan saya tantang main PS bareng!"

"Yo!" Teriakan Rafif juga terdengar.

"Si Yumna belum tahu kalau si Rafif jagonya playstation," ujar Arman dengan tampang meremehkan.

Akhirnya, aku dan Aksa memutuskan untuk pulang. Aku sudah lelah seharian berada di luar rumah. Ratih juga ikut pulang. Sementara Arman dan Tita tetap tinggal karena ingin bermain bersama Yumna. Bravo! Tiga keran bocor akan berkumpul bersama. Bayangkan saja bagaimana kehebohannya.

Syukurlah. Yumna perlahan kembali. Memang pilihan yang tepat kami datang dan membujuknya. Suatu hari, aku berharap dia mau menceritakan sebab kebenciannya padaku beberapa waktu kemarin.

Lusa nanti kami akan berangkat ke villa. Sungguh, aku berharap semuanya akan baik-baik saja selama kami di sana. Namun, harapan memang terkadang tak sesuai kenyataan.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top