BAB 5 🍒 Berdebar

Happy reading...
.
.
.
.

Ayra, kamu marah ya sama saya?

Pesan ke lima dari Aksa masih saja aku abaikan. Aku masih kesal dengannya. Seenaknya saja dia bicara di depan teman-temanku tentang perjodohan konyol itu. Bahkan, di depan teman-temannya juga. Ah, aku benar-benar merasa sangat malu. Susah payah aku menyiapkan hati untuk bisa menceritakan semuanya, tapi dia dengan gamblang melakukannya sendiri tanpa bertanya lebih dulu padaku. Seakan-akan itu hanya urusannya, bukan urusanku. Padahal aku juga berhak menentukan.

Tok tok tok!

"Permisi, Non." Suara Bi Siti terdengar dari seberang pintu kamar.

"Masuk, Bi. Nggak dikunci, kok," sahutku.

Pintu kamar pun terbuka. Menampakkan wanita berusia lima puluhan dengan senyum hangatnya. Bi Siti merupakan asisten rumah tangga di keluargaku sejak Ayah dan Bunda menikah. Bahkan dia sudah seperti keluarga sendiri. "Kenapa, Bi?" tanyaku.

"Di luar ada Den Aksa, Non," jawab Bi Siti.

"Aksa?!" responsku spontan. Aku lalu melirik ponselku, sudah pukul 21:15 WITA. Ngapain malam-malam begini datang ke rumah?

"Bi, Ayra mana?" Bunda tiba-tiba datang ke kamarku. "Ay, sana temuin Aksa," lanjutnya saat melihatku masih duduk santai di atas kasur.

Aku hanya bisa menghela napas. Dengan rasa malas dan terpaksa, aku beranjak tanpa memedulikan penampilanku yang sudah memakai piama dan rambut tergerai acak-acakan.

"Itu rambutnya disisir dulu dong, Sayang," titah Bunda yang dengan sigap mencegahku keluar. Lagi-lagi aku hanya menghela napas. Aku diam dan mengikuti perintah Bunda. Berdebat dengan Bunda adalah hal yang paling tidak kusukai, maka sebisa mungkin akan aku hindari.

Aku kemudian menghampiri Aksa yang sedang duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Begitu melihatku, dia langsung berdiri. Senyum adalah hal pertama yang dia lakukan sebelum menyapaku. "Makasih ya kamu udah mau ketemu," ucapnya lembut. Aku hanya mengangguk dan langsung duduk di salah satu sofa.

"Duduk aja," ujarku. Aksa mengangguk patuh. Dia kembali duduk seperti semula.

"Saya mau minta maaf soal tadi siang, Ra," ujarnya langsung ke topik pembicaraan.

"Iya, nggak apa-apa," jawabku tanpa berpikir. Walaupun sejujurnya aku masih kesal, tapi aku tidak bisa menunjukkan rasa kesalku. Aku tidak tahu bagaimana caranya marah pada orang lain. Yang bisa kulakukan hanyalah diam.

"Ini buat kamu." Aksa menyodorkan bunga mawar putih kepadaku. Kumpulan bunga itu ditata sehingga berbentuk hati. Indah sekali. Bunganya juga sangat segar. Aroma mawar itu langsung menyeruak memenuhi ruang tamuku.

"Wah," responsku tanpa sadar.

"Ini memang bukan apa-apa, tapi anggap aja ini sebagai permintaan maaf," jelas lelaki berkulit putih itu. Aku menatapnya sejenak, lalu mengambil alih bunga itu dari tangannya. Aku menghirup aroma bunga favoritku itu. Dan dalam sekejap aku merasa tenang dan damai.

"Saya juga bawa gitar," sahut Aksa. Lelaki itu meraih gitar yang sejak tadi berada di sampingnya.

Alisku saling tertaut. "Gitar buat apa?"

"Kamu suka nyanyi dan main gitar, kan? Nyanyi duet, yuk!" serunya bersemangat.

"I-iya, sih, tapi saya nggak pernah nyanyi di depan orang lain," jelasku. Ya, aku memang suka bernyanyi, tapi hanya sebatas penyanyi kamar mandi. Selain keluargaku, Tita, serta Ratih, tak ada lagi yang pernah melihatku bernyanyi.

"Malu, ya?" tebak Aksa. Aku mengangguk pelan.

"Nggak usah malu, di sini kan nggak ada siapa-siapa, cuma saya doang," ujarnya diikuti senyuman. Ah, dia semakin tampan jika sedang tersenyum.

Tapi ... tunggu! Aku baru menyadari sesuatu.

"Aksa, dari mana kamu tahu kalau saya suka mawar putih, suka nyanyi dan main gitar?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Eee ... itu—"

"Bentar, sebelumnya kamu juga tahu kalau saya trauma dengar sirine ambulans. Kok bisa?" Aku menyela sebelum Aksa sempat menjelaskan.

Tiba-tiba saja Aksa menjadi kikuk. Reaksinya sama seperti tadi pagi ketika aku bertanya tentang sirine ambulans.

"Saya ... saya cari tahu tentang kamu, Ra. Saya nanya-nanya," jawabnya sedikit terbata-bata.

Ah, iya. Kenapa aku tidak kepikiran? Dia pasti telah mencari tahu segala tentang diriku dari Bunda. Dari siapa lagi? Toh Bunda yang memperkenalkan aku dengan lelaki bertubuh atletis ini.

"Cari tahu dari Bunda, ya?" tebakku.

"Iya," jawabnya cepat, "dari Bunda." Aku pun manggut-manggut paham. Seharusnya aku sudah bisa menebaknya.

Tak lama setelah itu, Aksa mulai memetik gitarnya di hadapanku. Seakan-akan dia ingin segera keluar dari pembahasan ini.

Kusuka kamu apa adanya

Senatural mungkin aku lebih suka

Kusuka kamu begini saja

Bukan karena ada apa-apanya dari yang kau punya

Aksa mulai menyanyikan sebuah lagu. Dia menyanyikan salah satu lagu dari band D'masiv yang berjudul Natural. Suara Aksa lumayan bagus, terdengar merdu di telinga. Jika dia mengikuti ajang pencarian bakat­, mungkin bisa sampai babak spektakuler show. Suara merdunya juga mengalahkan suara jangkrik yang tadinya bersahut-sahutan di sekitar halaman rumahku.

Memancing dengan petikan gitar dan penggalan lirik lagu yang kebetulan aku hafal, Aksa berhasil membuatku perlahan ikut bersenandung bersamanya. Ya, walaupun suaraku tidak keluar dengan sempurna. Rasanya malu bernyanyi di depan lelaki yang satu ini. Lebih tepatnya, aku merasa malu bernyanyi di depan orang lain.

Aku hidup di dunia ingin tenang baik-baik saja

Bersamamu aku bisa melewati itu

Bukan aku yang mencarimu

Bukan kamu yang mencari aku

Cinta yang mempertemukan

Dua hati yang berbeda ini

Aku dan Aksa hanyut dalam nyanyian malam. Suara kami bisa dikatakan klop, tapi tentu saja suara aksa lebih baik. Apalah aku yang hanya penyanyi kamar mandi. Sementara Aksa, dia luar biasa. Bisa kukatakan seperti itu? Tampan, mapan, mampu mengelola usaha di usia muda, berbakat, dan tentu saja baik hati. Lalu, apa lagi yang aku butuhkan? Sifatnya yang menyebalkan mungkin seperti kejadian pagi tadi; melakukan sesuatu seenaknya.

Ada yang aneh malam ini. Entah kenapa Bunda tak menegur kami yang lumayan berisik. Padahal biasanya, jika aku dan Afan bermain pada jam malam seperti ini, Bunda pasti akan menegur dan menyuruh kami untuk segera tidur. Ya, atau mungkin saja Bunda justru senang dengan keadaan yang sedang terjadi.

"Udah malem nih, kamu pulang gih!" titahku setelah melihat jam dinding di ruang tamuku sudah menunjukkan pukul 22:40 WITA.

"Iya, ini udah mau pulang, kok," jawabnya. "Makasih, ya, kamu udah mau terima permintaan maafku."

"Iya, sama-sama," jawabku canggung.

"Ya udah, saya pamit, ya."

Aksa pun berpamitan dengan Bunda yang masih berkutat dengan komputernya. Aku tak tahu apa yang Bunda kerjakan, yang jelas itu pasti berhubungan dengan rumah sakit, pasien, atau sejenisnya. Setelah Aksa pulang, Bunda melanjutkan kegiatannya. Aku ikut ke ruang kerja Bunda dan duduk di sampingnya.

"Ngapain, Ay? Tidur sana, kamu kan besok sekolah," ujar Bunda. Jarinya mulai menari lagi di atas keyboard.

"Permisi, Non, ini susunya." Bi Siti tiba-tiba datang dengan segelas susu cokelat. Aku mempersilakannya masuk.

"Afan udah tidur kan, Bi?" tanya Bunda.

"Iya, sudah, Bu."

"Ya udah, Bibi juga istirahat aja, ya. Jangan terlalu capek, Bi," ujar Bunda lembut, seperti berbicara pada ibunya sendiri. Aku tersenyum melihatnya.

"Iya, Bu. Saya permisi."

Setelah Bi Siti keluar dari ruang kerja Bunda, aku langsung bertanya, "Bunda masih lama?"

"Kenapa?" Bunda bertanya balik. "Habisin susunya, terus gosok gigi, terus tidur deh," lanjutnya seperti memberi titah pada anak kecil.

"Apaan sih, Bunda. Ayra bukan anak kecil lagi," protesku dengan bibir mengerucut.

Bunda hanya tersenyum. Aku menghirup aroma susu cokelat yang asapnya masih mengepul. Wangi cokelatnya sangat lezat. Perlahan aku menyeruput susu hangat itu, sambil sesekali meniupnya. Waktu itu aku belum tahu bahwa Nabi menganjurkan agar jangan meniup makanan maupun minuman. Wajar saja, aku masih anak polos.

Gelas susuku sudah hampir habis ketika Bunda mematikan komputernya. Tatapannya kini fokus ke arahku. "Mau ngomong apa, Sayang?" tanyanya langsung.

"Tahu dari mana Ayra mau ngomong?"

"Kalau nggak mau ngomong pasti dari tadi kamu udah masuk kamar," jawab Bunda diikuti senyum jail. Aku pun tersenyum, lantas mengangguk mengiakan.

"Bunda jangan terlalu terbuka sama Aksa, masa semua informasi disebarin, sih." Aku langsung ke topik pembicaraan. Tak mau basa-basi, karena mataku juga sudah tinggal lima watt.

Bunda mengernyit setelah mendengar ucapanku. "Maksud kamu apa, Sayang?"

"Kebiasaan, kesukaan, dan segala sesuatu tentang Ayra, Bunda jangan kasih tahu Aksa, dong. Suruh dia cari tahu sendiri," jelasku.

"Hm ... memangnya dia tahu tentang kamu?" Bunda malah bertanya. Aku pun langsung mengangguk. "Tapi Bunda nggak pernah bilang apa-apa, kok."

"Masa, sih?" tanyaku memastikan. "Dia tahu Ayra trauma dengar sirine ambulans, dia tahu Ayra suka mawar putih, dan dia tahu Ayra suka nyanyi. Katanya tahu dari Bunda." Aku mencoba menjelaskan lebih detail agar Bunda segera mengaku.

Kening Bunda berkerut, seperti orang heran, atau mungkin sedang berpikir. Aku menunggu Bunda merespons, tapi tak kunjung terjadi. "Bunda!" seruku.

"Eh!" Bunda tersentak. Detik selanjutnya dia tersenyum seraya mengelus puncak kepalaku, diikuti perkataannya yang lembut, "Ay, nggak ada salahnya kan Aksa tahu tentang kamu."

"Iya, Bunda. Tapi Ayra nggak suka dia cari tahu dari Bunda, seharusnya dia nanya langsung ke Ayra, yang gentle dong. Nggak adil banget, dia tahu tentang Ayra tapi Ayra nggak tahu tentang dia," gerutuku panjang lebar.

Untuk ke sekian kalinya, Bunda tersenyum. "Udah, ah. Nanti aja bahas ini, tidur sana!"

"Tapi Bunda jangan bilang apa-apa lagi ke Aksa," pintaku memelas.

"Iya, Ay. Lagian Bunda udah bilang, Bunda nggak ngomong apa-apa kok sama dia."

Aku berdecak karena Bunda tak kunjung mengaku. Tapi sudahlah, intinya aku sudah lega karena sudah mengutarakan semuanya pada Bunda. Hanya di hadapan Bunda aku bisa nyaman mengutarakan isi hatiku. Walaupun terkadang ada juga hal yang tak bisa kusampaikan. Selain Bunda, aku juga sering curhat dengan Kak Adit. Namun, karena sekarang Kak Adit berada jauh dariku, maka aku tak bisa selalu membagi cerita dengannya. Ya, ujung-ujungnya pelarianku adalah mereka. Lagi-lagi aku harus menyebut nama Tita dan Ratih. Tapi kini aku tak hanya punya Tita dan Ratih, aku juga sudah punya Yumna.

Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Menghela napas, lantas menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Suara jangkrik kembali bersahut-sahutan menambah kelam suasana malam. Satu nama yang tiba-tiba terbesit dalam benakku; Aksa. Aku benar-benar harus belajar menerimanya. Mungkin Tuhan telah memilih takdir ini untukku. Aku tak pernah jatuh cinta. Aku tak pernah menaruh hati pada siapa pun selama ini. Di saat teman-temanku sudah pernah berpacaran sejak SMP, aku justru tidak pernah menyukai siapa pun. Aku memang terlambat mengalami masa puber. Tamu bulanan saja baru muncul ketika aku sudah tamat SMP. Ah, sudahlah, itu tidak penting.

Bahkan sampai detik ini, di usiaku yang sudah menginjak angka 16 tahun, aku belum menyukai siapa pun. Bukankah seperti itu? Atau hanya aku yang tak sadar?

***

· Agustus 2013

Halo, Agustus! Tak terasa, sudah sebulan aku dekat dengan lelaki bernama Danadyaksa Hernando itu. Tak terlewat satu hari pun, aku dan Aksa selalu berangkat ke sekolah bersama. Sesekali teman-teman kami bertanya, apa sebenarnya hubungan kami? Namun, aku dan Aksa tidak mau ambil pusing. Sesuai kenyataan, kami menjawab bahwa kami hanyalah teman. Walaupun tetap saja ada yang tidak percaya. Selama sebulan juga kami berdua berusaha saling mengenal satu sama lain. Kami mulai akrab dan nyaman berbicara, terutama aku. Ya, aku. Gadis biasa yang cenderung introvert sudah mulai merasa 'nyambung' saat bicara dengan Aksa. Hal itu membuatku lama-kelamaan menjadi nyaman, tapi aku merasa bahwa aku belum menyukai Aksa. Aku hanya kagum. Ya, hanya itu.

Namun, di luar semua itu, ada hal yang lebih penting dan membuatku bertanya-tanya. Yumna. Ya, sikap gadis itu menjadi sangat aneh. Yumna yang ceria seperti Tita, mendadak menjadi gadis kalem dan pendiam. Aku sudah bertanya pada Tita dan Ratih, tapi mereka juga tidak tahu apa yang terjadi. Kami pun pernah bertanya langsung pada Yumna. Namun, percuma, dia tak mengatakan apa pun.

Seperti hari ini, gerombolanku dan gerombolan Aksa makan bersama di kantin. Terakhir kami makan bersama sekitar seminggu yang lalu. Seperti sebelumnya, dua meja kami satukan agar cukup untuk makan tujuh orang. Hal itu benar-benar menarik perhatian orang-orang di sekeliling. Dan tentu saja, keadaan itu menyebalkan.

Seperti yang kukatakan, dalam pertemuan itu Yumna lebih banyak diam. Jika aku, Ratih, dan Rafif yang banyak diam, itu udah biasa, karena kami memang bukan tipe orang yang banyak bicara. Tapi ... ini adalah Yumna. Padahal semua orang sedang dalam mode ceria. Di sela-sela makan, mereka membicarakan banyak hal, bahkan hal yang tak penting sekali pun. Dari pihak cowok didominasi oleh cerita Arman, sedangkan dari pihak para gadis dikuasai oleh Tita. Banyak hal yang mereka bahas; mulai dari selebriti yang menikah dan ujung-ujungnya akan cerai, berita tentang Teuku Wisnu yang melamar Shireen Sungkar, berita tentang boyband dan girlband Korea yang sama sekali tak kupahami, sampai Kak Vela dan gengnya ikut dijadikan bahan obrolan. Mereka juga bahkan membahas tentang kepala botak Pak Sisno dan make up tebal Bu Sarah. Kedua guru Matematika itu memang sering menjadi bahan gunjingan.

Dalam keadaan seperti itu pun, Yumna tetap diam. Sumpah, aku benar-benar penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis pecinta ungu itu?

***

Selesai makan bersama di kantin, kami kembali ke kelas masing-masing. Yumna masih berdiam diri ketika tiba di kelas. Rasa penasaranku yang semakin tinggi akhirnya membuatku memberanikan diri untuk kembali bertanya.

"Yum, kamu kenapa? Kok dari tadi diam aja?" tanyaku ketika kami telah duduk di dalam kelas.

Yumna langsung menatapku. Dari sorot matanya, terlihat bahwa dia ingin mengatakan sesuatu padaku. "Cerita aja, Yum. Ada apa?" tanyaku lagi.

Gadis itu mengalihkan pandangannya, diikuti helaan napas. Seperti orang yang lelah akan keadaan. "Saya suka sama cowok, Ra, tapi kayaknya cowok itu lagi suka sama cewek lain," ucap Yumna. Untuk pertama kalinya dia mau membuka masalahnya. "Enggak, bukan kayaknya. Tapi dia emang suka sama cewek lain."

Mendengar pengakuannya, aku spontan tertawa kecil. Aku pikir Yumna sedang bercanda. Gadis seceria dia sedih karena cowok? Yang benar saja. "Ya ampun, jadi karena cowok kamu kayak gini? Ha ha, ada-ada aja."

"Saya nggak bercanda, Ra. Apa kamu pikir perasaan itu bahan candaan?!" sahut Yumna dengan nada yang meninggi, membuatku terdiam seketika. "Perasaan itu nggak pantas jadi bahan candaan," lanjutnya.

Aku diam mematung. Sungguh, aku pikir Yumna tak serius dengan ucapannya. "Maaf, Yum. Saya kira kamu lagi bercanda," ucapku merasa bersalah.

Yumna menghela napas dengan kasar. Padangan matanya mengarah lurus ke depan. Walaupun terlihat kesal dengan ulahku, tapi ada kesedihan yang tertangkap jelas dari kedua matanya.

"Saya kesel sama diri saya sendiri," ucapnya pelan, "karena cowok itu suka sama cewek lain tapi saya nggak bisa ngapa-ngapain."

Aku masih diam, mendengar curhatan Yumna dengan saksama. Aku tak ingin melakukan hal seperti tadi. Dia benar-benar sedang serius.

"Dan cewek itu ... cewek itu ... ah udahlah, nggak usah dibahas lagi," ucap Yumna dengan suara sedikit gemetar.

"Saya nggak maksa kamu cerita, kok. Cerita aja kalau kamu udah siap, ya." Aku memegang pundaknya, kemudian tersenyum walaupun dia tak melihat ke arahku.

"Saya mau ke toilet dulu," ujarnya seraya berdiri dan langsung berjalan keluar kelas.

Sebelum Yumna keluar, aku menyahut, "Cowok itu siapa?"

Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku benar-benar merasa seperti orang bodoh. Baru saja aku mengatakan bahwa Yumna boleh cerita jika dia sudah siap, dan sekarang aku justru bertanya. Bodoh!

Yumna menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik, dia langsung menjawab, "Cowok itu ... orang yang nggak akan pernah kamu duga!"

Setelah menjawab itu, Yumna dengan cepat keluar dari kelas. Meninggalkan diriku yang masih belum mengerti dengan maksud ucapannya. Ah, sekarang aku jadi penasaran. Siapa orang yang dia maksud? Otakku mendadak menjadi lambat. Menyebalkan.

***

"Hey! Kenapa diam aja?" tanya Aksa dengan jentikan jari ketika kami dalam perjalanan pulang. Aku terlonjak kaget. "Untung saya yang nyetir, kalau kamu yang nyetir nanti kayak waktu itu lagi, hampir kecelakaan. Kamu ngelamun mulu, sih," lanjutnya.

"Nggak usah ngomongin kecelakaan, Sa. Ngeri," protesku.

Aksa tertawa kecil, lalu bertanya, "Terus kamu mikirin apa?"

"Mikirin Yumna," jawabku tanpa tedeng aling-aling.

"Ck, saya cemburu nih kalau kamu mikirin Yumna," sahut Aksa dengan wajah kesal yang dibuat-buat. Aku langsung tertawa melihat ekspresinya. "Makasih," ucapnya tiba-tiba.

"Untuk apa?" tanyaku tak mengerti.

"Untuk senyum kamu yang barusan," jawab Aksa tenang, pandangannya tetap fokus ke jalanan.

Mendengar jawaban Aksa, aku spontan mengalihkan pandanganku ke samping kiri, melihat ke luar jendela. Aku sangat sebal karena lelaki itu selalu saja melontarkan kata-kata yang mampu membuatku terdiam.

"Lihat ke depan aja, saya kan fokus nyetir, nggak akan bisa lihatin kamu," ujarnya telak. Aku tersenyum masam dan segera memutar kepalaku ke depan. "Emang Yumna kenapa?" tanyanya kemudian.

"Nggak tahu, udah, nggak usah dibahas," jawabku.

Kulihat Aksa manggut-manggut. "Bunda apa kabar? Bisnisnya lancar? Udah lama nggak main ke rumah kamu, padahal tiap hari nganterin kamu pulang." Aksa mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku hanya menggumam.

"Saya kagum sama Bunda. Dokter yang super sibuk, tapi harus ngurusin butik, toko kue, dan bisnis-bisnis kalian yang lain."

"Bunda kan dibantuin sama saudara-saudaranya," jelasku. "Tapi, Bunda memang hebat. Dia perempuan kuat."

"Iya. Kayak kamu."

Deg!!

Ck, lagi-lagi Aksa membuatku terdiam. Entah kenapa kali ini jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Perasaan apa ini? Aku tak mengerti.

Di tengah perjalanan yang sedang adem ayem, tiba-tiba saja mobil Aksa terhenti. Mesinnya mati mendadak. "Aduh!" seru Aksa dengan wajah nelangsa.

"Kenapa?" tanyaku.

"Mogok lagi, astaga!" Aksa mengeluh, kesal.

"Lagi?"

"Iya, waktu itu pernah mogok sekali. Waktu saya nganterin Mama ke rumah sakit."

"Kan saya udah bilang, bawa motor aja ke rumah. Sampai di rumahku, simpan motor kamu dan pakai mobilku ke sekolah. Kayak pertama kali kita berangkat bareng." Aku tiba-tiba mengoceh. Mungkin efek dari kekesalanku pada Aksa yang sejak tadi membuatku mati kutu.

"Ciyee ... kamu masih ingat pertama kali kita berangkat bareng?" goda Aksa dengan senyum jail, membuatku berdecak kesal.

"Ha ha, maaf. Bentar ya, saya cek duu." Aksa pun turun dari mobil dan membuka kap mobilnya. Beberapa menit kemudian, lelaki bertubuh tinggi itu menyuruhku keluar dari mobil.

"Kamu naik taksi aja, ya. Mobilnya harus dibawa ke bengkel, biar saya aja yang di sini nungguin montirnya" jelas Aksa. "Nggak apa-apa, kan?"

Aku mengangguk setuju. Tepat saat itu juga, tiba-tiba sebuah motor Mio hitam melintasi jalan tempat kami berhenti. Aksa spontan berteriak, "Woii, Raf!"

Rafif?

Tiba-tiba saja jantungku berdetak hebat. Huh! Kenapa juga aku harus berdebar, padahal baru namanya saja yang disebut. Oke, aku simpulkan debaran ini bukanlah perasaan apa-apa. Tidak mungkin rasa suka. Aku juga berdebar dekat Aksa. Tidak mungkin kan aku menyukai keduanya? Sungguh tidak mungkin. Ya, aku mencoba menyakinkan diriku.

Motor itu berbalik arah. Sang pengemudi membuka helmnya dan dia benar-benar Rafif.

"Main lewat aja, Bro. Kamu nggak lihat saya di sini?" protes Aksa seraya menepuk bahu Rafif.

"Sorry, saya nggak lihat," jawab Rafif santai.

"Wah, parah," sahut Aksa. "Oh ya, kamu mau pulang?" lanjutnya.

"Hm," gumam Rafif. Lelaki itu benar-benar irit bicara.

"Rumahmu di Jalan Nokilalaki, kan? Ayra bareng kamu aja, ya. Mogok nih mobilku," pinta Aksa seraya memandangi mobilnya dengan tatapan lesu.

Aku spontan terbelalak mendengar permintaan Aksa yang konyol itu. Apa-apan dia? Aku benci sekali sifatnya yang seperti ini. Berbuat sesuatu seenaknya. Aku bahkan menelan saliva berkali-kali saking gugupnya. Tunggu, kenapa aku gugup? Ya ampun, ingin rasanya aku berkata 'tidak mau', tetapi mulutku seakan terkunci.

"Kenapa harus saya?" respons Rafif, yang langsung dibalas dengan mata mendelik dari Aksa.

"Searah, Bro. Lagian taksi juga nggak lewat-lewat. Rumahnya di Jalan Kartini. Pelit amat sih!" gerutu Aksa kesal.

"Tapi kayaknya pacar kamu nggak mau tuh!" sahut si Eye Smile itu.

Lagi-lagi mataku membulat mendengar Rafif menyebutku sebagai pacar Aksa. "Kita nggak pacaran," ujarku mencoba mengoreksi. Entah ada dorongan dari mana sehingga aku ingin sekali mengatakan kalimat itu. Aksa sempat melongo, kemudian tersadar.

"Ah, iya, Raf. Kita teman kok," timpal Aksa. Tapi kemudian dia berbisik pada Rafif. Entah apa yang dia katakan, aku tak bisa mendengarnya. Tak lama setelah itu, mereka berdua tersenyum, membuatku semakin penasaran apa yang sedang mereka bicarakan.

"Naik, Ra. Kamu bareng Rafif aja, ya," ujar Aksa yang langsung mengambil helm cadangan dari samping motor Rafif. Dia hendak memakaikan helm itu di kepalaku, tetapi aku langsung menepisnya. Aku mengambil helm dari tangan Aksa dan memakainya sendiri.

Sungguh, aku benar-benar merasa kesal pada lelaki jangkung itu karena melakukan sesuatu tanpa persetujuanku, melakukan sesuatu seenak jidatnya. Belum jadi pacar, tapi sudah berbuat seenaknya. Dan kenapa juga aku tak berani bicara?

Huh! Ayra, tenangkan dirimu. Ini bukan hal buruk.

Tapi ... kenapa aku deg-degan? Tuhan tolong....

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top