BAB 27 🍒 Kantor Polisi
Happy reading....
🍒🍒🍒
Persiapan yang telah dilakukan selama beberapa hari tidak sia-sia. Acara perpisahan kelas XII SMA Tadulako berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan. Berkat kerja sama tim, acara itu terlaksana dengan sukses. Dan yang lebih mengharukan, kelas XII dinyatakan lulus 100%. Aku dan sahabat-sahabatku, juga tentunya seluruh kelas XII yang kini sudah resmi menjadi alumni, merasakan suka cita yang luar biasa.
Setelah acara perpisahan, kami bertujuh berkumpul di depan aula dan berfoto beberapa kali. Bukan hanya beberapa kali, karena setelah dicek, foto kami mencapai seratus lebih. Wajah para gadis yang paling banyak, tentu saja.
"Lagi, lagi!" seru Tita bersemangat.
"Udah, ah, capek," keluhku.
"Iya, udah. Lagian itu udah banyak," imbuh Ratih.
Tita hanya mengerucutkan bibirnya kesal. Sebelum gadis itu semakin kesal, Yumna menyahut, "Ayo, Ta. Kita berdua foto lagi."
Seketika bibir Tita kembali tersenyum dan matanya berbinar. Kedua gadis itu kembali ber-selfie ria. Aku dan yang lainnya hanya menatap Tita dan Yumna sambil geleng-geleng kepala.
"Raf, setelah ini kamu ke mana?" bisikku pada Rafif.
"Hmm ... saya mau jemput Ibu di sekolah," jawab Rafif.
"Oh ya, ngomong-ngomong, ibumu ngajar di sekolah mana?"
"Di SMP 3, Ra."
Aku pun manggut-manggut. Sebenarnya aku berharap bisa jalan-jalan bersama Rafif, tapi aku tak mungkin mengganggu waktunya dan keluarga.
"Hargain yang jomblo, dong. Serasa dunia milik berdua," sindir Tita sewot.
"Aksa sama Yumna juga, kenapa sejak piknik waktu itu kalian nempel mulu sih? Udah ada rasa ya kalian?" imbuh Arman.
"Kenapa, sih?" Yumna membuka suara.
"Tita dan Arman kayaknya cocok deh kalau pacaran, sifatnya sama." Ratih menimpali.
"Ratih, sesama kaum jomblo seharusnya saling membela, dong. Gimana, sih?" Tita mencoba melakukan protes.
"Bentar lagi Ratih nggak jomblo loh!" seruku.
Mata Tita langsung melebar mendengar ucapanku. "Apa? Kenapa? Ih, kalian rahasiain sesuatu ya?"
"Ayra!" keluh Ratih.
"Kasih tahu, nggak?" Tita mendekatiku dengan tatapan mengancam.
"Ratih lagi deket sama anak kuliahan," jawabku enteng.
"Siapa?"
"Udah, nanti saya ceritain, Ta."
"Siapa?"
"Kak Ferdi."
"Kak Ferdi siapa? Mantan ketos yang nggak bertanggung jawab itu? Temennya Kak Vela and the geng?" Tita bertanya gaduh seakan tak percaya.
"Hah, serius, demi apa?" Yumna ikutan heboh.
"Ih, kayak nggak ada cowok lain aja." Tita terlihat kesal. Sepertinya dendamnya belum berakhir. Rasa kesal yang dia rasakan karena membiarkan aku disiksa ketika MOS dulu ternyata masih membekas hingga sekarang.
"Bicarain pacar, pikirin kuliah kalian!" Pak Sisno tiba-tiba datang menginterupsi. "Bentar lagi pengumuman SNMPTN, siapkan mental!"
"Iya, Pak," jawab kami bersamaan.
Aku tahu semua orang pasti penasaran dengan hubungan Ratna dan Kak Ferdi, tetapi mereka tak bisa berkutik karena Pak Sisno terus mengawasi. Aku hanya cekikikan melihat ekspresi mereka. Kami pun segera membereskan tempat kegiatan, lantas berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Di sekolah kami memang ada larangan mencoret-coret baju saat kelulusan, sebab dianggap tak bermanfaat. Apalagi sampai melakukan konvoi di jalanan. Hal itu benar-benar akan mengganggu kenyamanan masyarakat. Kami juga lebih memilih pulang ke rumah dan berbagi kebahagiaan bersama keluarga.
***
Ponselku bergetar saat aku baru saja masuk ke dalam mobil. Aku membuka ponsel, ada pesan dari Bunda.
Ay, pulang skolah tolong jemput Bunda di toko kue ya.
Aku langsung membalas pesan Bunda.
Bunda gak di rumah sakit? Toko kue yg mana?
Toko kue Bunda sudah ada tiga cabang di kota ini, jika tak jelas, bisa-bisa aku salah alamat.
Bunda cuma mampir bentar, tadi ke sini sama Pak Jono, tapi Pak Jono lgi jemput Afan. Toko kue yg di jalan garuda syg.
Aku membalas "Siap, Bunda", lalu segera melajukan mobilku keluar dari pelataran sekolah. Begitu aku tiba di lampu merah pertama, aku melihat Rafif.
"Dia bener-bener nggak pulang, ini bukan arah rumahnya," ucapku berbicara sendiri. Awalnya aku tak penasaran, tetapi sepanjang perjalanan ternyata jalurku searah dengan Rafif, hal ini membuat mobilku seakan-akan sedang mengikutinya. Ah, semoga saja dia tak sadar. Aku tak mau dia salah paham, walaupun sebenarnya aku mulai penasaran akan tujuannya. Sebab arah yang dia tuju bukan lagi arah ke SMP 3, padahal tadi dia sempat mengatakan bahwa dia ingin menjemput ibunya.
Lampu sein Rafif menunjukkan bahwa dia akan belok ke kiri. Aku menengok. Keningku saling bertautan, bingung. Kantor polisi?
Ternyata motor Rafif benar-benar masuk ke kantor polisi. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka mengurusi urusan orang lain, tapi entah kenapa aku begitu penasaran. Toko kue Bunda sekitar satu kilometer saja dari kantor polisi itu, tetapi aku malah menghentikan mobilku.
Bunda tunggu ya, Ayra udah di perjalanan ke toko kue.
Setelah mengirim pesan, aku ikut memasuki pelataran parkir. Mengikuti Rafif diam-diam. Hal yang aku lihat membuatku semakin bingung. Dia mengunjungi seorang tahanan. Siapa?
"Khayra!" Suara berat seseorang membuatku terkesiap. Aku menoleh. Salah satu polisi—yang tak lain adalah sahabat Ayah sejak zaman SMA—menghampiriku.
"Om Karim?" Aku menyalami pria berbadan kekar itu.
"Ngapain di sini, Nak?" tanyanya.
Aku ragu ingin bertanya, tetapi akhirnya kulakukan juga. "Om tadi lihat kan anak yang pakai baju SMA? Yang barusan masuk?"
"Ooh ... iya, itu Rafif, anak dari salah satu tahanan di sini," jawab Om Karim. "Dia anaknya baik banget, nggak tahu kenapa ayahnya sejahat itu."
Keningku seketika berkerut. "A-ayahnya?" tanyaku memastikan, seraya mengatasi keterkejutanku. Om Karim langsung mengangguk.
"J-jadi ... ayahnya...." Aku seketika teringat percakapanku dengan Rafif ketika di taman tahun lalu.
"Saya dengar dari Arman, katanya kamu cuma tinggal sama Ibu dan adik kamu, ayah kamu di mana?"
"Ayahku ada di suatu tempat, tempat yang mengecewakan."
"Maksudnya?"
"Ayahku ... dia ... saya nggak ingin bahas dia."
"Ah, maaf, Raf. Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita."
"Jangan minta maaf, kamu nggak salah apa-apa."
"Bagaimanapun sosok ayah kamu, dia tetap seorang ayah. Dia pasti sayang banget sama kamu."
Kakiku mendadak melemah. Jadi, ayah Rafif di penjara? Ah, mungkin karena itu dia tidak mau menceritakannya, atau mungkin belum bisa. Dia sepertinya belum mampu mengungkap sosok ayahnya.
"Khayra!" Suara Om Karim kembali membuatku tersadar.
"Om, ruang besuknya di mana? Rafif itu teman Khayra, Om."
Setelah Om Karim memberi tahu ruangan itu, aku hanya berdiri di dekat pintu, bersandar di tembok putih yang sudah memudar, berusaha mendengar pembicaraan mereka. Padahal aku bisa saja bertanya pada Om Karim, kesalahan apa yang membuat ayah Rafif ada di penjara, tetapi entah kenapa tak kulakukan. Saat itu otakku sudah buntu. Aku diserang oleh rasa penasaran yang luar biasa, membuatku ingin mendengar langsung apa yang mereka bahas.
"Gimana pengumumannya, Nak?" tanya ayah Rafif.
"Lulus," jawab Rafif singkat. Sayang sekali aku tak bisa melihat ekspresi wajah mereka berdua. Tetapi dari cara bicaranya, sepertinya sikap Rafif sangat dingin.
"Alhamdulillah. Syukurlah."
"Hm," respons Rafif singkat.
"Ibu dan Vika gimana?" Ayahnya terus bertanya.
"Ibu baik. Vika juga baik. Saya ke sini cuma mau lihat keadaan Ayah, dan Ayah baik-baik aja. Jadi saya mau pulang."
"Tunggu!" cegah ayahnya.
"Apa lagi?"
"Pemilik kalung ... apa sudah ketemu?"
Pemilik kalung? gumamku.
Hening beberapa saat, lama sekali Rafif menjawab. Sampai akhirnya dia berkata, "Belum."
"Belum ketemu, atau kamu memang belum nyari?"
Lagi-lagi hening sebelum Rafif membuka suara.
"Saya memang belum cari. Kalau Ayah mau cari, cari aja sendiri. Saya selalu tersiksa, Yah. Saya merasa lagi menanggung beban yang beratnya luar biasa." Rafif terdengar menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. Suaranya bergetar. "Merasa bersalah sama satu keluarga aja udah menyakitkan, Yah, apalagi dua keluarga. Kalau pemilik kalung itu ditemukan ... saya nggak tahu harus gimana, Yah."
"Maafin Ayah, Fif," lirih sang ayah.
Kalung? Keluarga? Apa yang mereka bicarakan? Entah kenapa tubuhku tiba-tiba gemetar.
"Kamu punya cincin? Saya baru kali ini lihat kamu pake cincin."
"Oh, ini cincin dari Ayah. Selama ini saya simpan, soalnya takut hilang. Hari ini saya tiba-tiba kangen Ayah, jadi pengen pakai aja."
"Kayak nggak asing."
"Kenapa, Sa?"
"Enggak, saya hanya ngerasa pernah lihat cincin itu, tapi lupa di mana, di rumah Rafif atau di mana, ya."
"Nggak mungkin, cincin ini didesain langsung sama Ayah, nggak ada duanya. Ini ada pasangannya, kalung, tapi udah hilang."
"Waktu itu Aksa bilang ... ng-nggak mungkin...." Kakiku mendadak lemah, tubuhku seakan kehilangan tenaga. Aku terduduk dan bersandar di sisi tembok.
"Itu cincin dari Aksa?"
"Oh ini ... bukan, kok. Ya kali masih pake cincin dari Aksa."
"Ya ... kan siapa tahu?"
"Ini cincin dari Ayah, hadiah ulang tahun ke empat belas. Saya jarang pake sih, takut hilang. Jadi cuma pake sesekali."
"Tapi saya kayak pernah lihat cincin itu deh, Ra."
"Ha ha, kamu kayak Aksa. Aksa juga pernah bilang gitu. Em ... mungkin kamu salah ingat, soalnya cincin ini didesain sendiri sama Ayah, nggak ada duanya."
"Aku pulang." Suara Rafif membuatku tersadar dari segala macam teka-teki yang aku pecahkan sendiri di dalam otakku. Entah teka-teki itu terjawab dengan benar atau hanya sebatas asumsi. Aku segera berdiri dan hendak pergi, tetapi Rafif telanjur keluar dan memergokiku.
Mata kami bertatapan. Air mata masih terlihat jelas di mata indah Rafif. Di sisi lain, mata itu membeliak kaget menatapku. "Ayra, ka-kamu kok bisa di sini?"
Aku diam. Tubuhku masih gemetar.
"Kamu kenapa, Ra?" Nada khawatir terdengar jelas dari suaranya.
"S-saya ... m-mau...." Dering telepon menghentikan kegugupanku. Telepon dari Bunda. Aku segera berlari keluar dengan kenyataan yang sedang aku coba lawan.
***
Kalut. Pikiranku sangat kacau. Rasanya aku tidak bisa berpikir jernih. Apa yang ada di dalam otakku sekarang? Tidak mungkin. Ya, itu tidak mungkin. Rasanya tidak masuk akal.
"Ayra?"
"Hmm...."
"Ayra!"
Aku tersentak. "I-iya, Bun."
"Mikirin apa sih, Ay? Sejak jemput Bunda tadi kamu kelihatan banyak pikiran." Bunda terlihat cemas.
"Ah, nggak mikirin apa-apa kok, Bun," kilahku.
Bunda menghela napas, lantas mendekatiku yang kini terduduk lesu di sofa ruang tengah. "Kalau ada apa-apa cerita dong sama Bunda, Sayang. Jangan dipendam sendiri, nanti jadi beban pikiran. Bunda takut nanti kamu nggak fokus sama ujian masuk perguruan tinggi nanti," ucap Bunda lembut diikuti senyuman. Tangan yang telah kasar karena terlalu sering bekerja itu kemudian mengelus lembut rambut hitamku yang selalu kupotong sebahu.
Secara ajaib hatiku merasa tenang. Senyumnya, tatapan matanya, juga telapak tangannya yang menyapu pucuk kepalaku membuat segala macam pikiran buruk yang sejak tadi bersarang di otakku melebur begitu saja. Hatiku terasa damai. Lega. Tuhan benar-benar luar biasa, bisa menciptakan makhluk seindah Ibu di dunia ini. Masya Allah!
Aku tersenyum dan segera memeluk Bunda dengan erat. "Nanti ya, Bunda. Nanti pasti Ayra ceritain," ujarku. Bunda tak menjawab, hanya mengelus rambutku.
"Bunda, Kak Ay!" seru Afan yang datang berlarian dari kamarnya. Adikku satu-satunya itu membawa lego yang sepertinya terlihat baru.
"Afan dapat itu dari mana, Sayang?" tanya Bunda.
"Kak Adit yang ngirim, Bun," jawab Afan santai.
"Hah? Dikirimin lagi?" Aku dibuat terheran-heran. Kak Adit benar-benar menyebalkan. "Curang, ih. Kok Kak Ay nggak dikirimin apa-apa?"
"Kak Ay udah gede, nggak perlu hadiah lagi!"
"Enak aja."
Afan terus mengejekku. Sementara Bunda hanya tertawa kecil. Untuk sejenak, pikiranku teralihkan. Rasanya aku ingin terus-menerus mengobrol dengan Bunda dan Afan. Dengan begitu, aku bisa melupakan apa yang baru saja kulihat. Walaupun hanya untuk sejenak.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top