BAB 24 🍒 Pengakuan

Happy reading....

🍒🍒🍒

"Yuhuu ... akhirnya selesai juga."

"Alhamdulillah."

"Udah lega, akhirnya..."

Berbagai bentuk ucapan syukur keluar dari mulut para siswa kelas XII karena Ujian Nasional telah selesai. Segala sesuatu yang selama ini kami anggap beban, kini telah terangkat. Namun, masih ada hal yang menegangkan: menunggu pengumuman dan hasil ujian. Ya, namanya juga menunggu, pasti tidak enak.

"Kita liburan, yuk! Refreshing," ajak Tita super semangat.

"Ayo, ayo!" sahutku sama semangatnya.

"Boleh," komentar Rafif, "ajak Aksa sama Arman juga."

"Piknik aja, kalau liburan beberapa hari saya nggak bisa. Mama lagi sakit, saya harus jagain," jelas Ratih.

"Hm, ya udah. Kita piknik aja," ujar Tita.

Kami semua akhirnya setuju untuk pergi piknik. Kami sedang membahas tempat yang akan dituju ketika mataku tiba-tiba menangkap sosok gadis yang sedang mendengar pembicaraan kami. Ini kesekian kalinya terjadi. Dan ketika kepergok, gadis itu lari seperti biasa. Aku dengan gesit mengejar gadis yang tidak lain adalah Yumna itu.

"Yumna!" seruku menahan lengan gadis berponi itu. "Yum, kamu ikut piknik, ya," ucapku sembari mengatur napas yang lelah setelah berlari.

"Enggak, saya sibuk," jawab Yumna singkat.

"Tempat dan waktunya masih belum pasti, sih. Nanti saya SMS, ya," ujarku tanpa peduli jawaban Yumna sebelumnya. Setelah itu, aku pergi. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Aku hanya ingin memperbaiki hubungan kami yang telah retak ini.

***

Setelah diskusi tentang rencana piknik, aku langsung pulang ke rumah. Begitu tiba, aku hanya mendapati Bi Siti di sana. Bunda masih di rumah sakit dan Afan masih di sekolah. Padahal aku ingin sekali berbagi kebahagiaan karena Ujian Nasional telah selesai. Tetapi tak apa, aku akan menemui mereka nanti.

Aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur, menghela napas lega. Sembari tersenyum, aku mengambil ponsel dan mengetik sesuatu di instastory. Sesuatu yang mengungkapkan kesenangan dan rasa syukurku.

Aku sedang melihat-lihat instastory orang-orang yang aku ikuti ketika sebuah direct message masuk dan menarik perhatianku. Yumna?

yumnarista : Ra, nanti jam 3 sore ke taman tempat kita pernah janjian ya.

ayra_kfh : Boleh, emang mau ngapain?

yumnarista : Ada hal penting yang mau saya ngomongin.

ayra_kfh : Oke.

Yumna mau ngomong apa ya? gumamku. Tiba-tiba terdengar teriakan dari lantai satu. Itu pasti Afan yang baru pulang dari sekolah. Aku ingin sekali bermain dengannya karena suasana hatiku sedang baik hari ini. Aku pun melupakan Yumna untuk sejenak. Apa pun yang akan dia bicarakan, aku harus menyelesaikan masalah kami sore ini juga.

"Kakak, Afan dapat kiriman paket dari Kak Adit!" serunya heboh sebelum aku sempat keluar dari kamar. Dia sendiri yang menghampiriku ke kamar. Dia memamerkan sebuah kotak berukuran sedang.

"Curang, ih. Kok cuma kamu yang dapat?" ujarku sebal.

"Kak Ay udah punya semuanya, emang perlu apa lagi?" balasnya menyindir. Aku hanya memanyunkan bibirku.

Anak itu kemudian membuka kotaknya, menampilkan sepaket lego keluaran terbaru. Hal itu membuat Afan melompat kegirangan. "Yeay! Ini lego yang nggak ada di Palu. Akhirnya Afan bisa punya!" Dia mengeluarkan mainan itu dan langsung mencobanya. Aku tersenyum. Ikut senang melihat kebahagiaannya.

"Wah, keren! Kak Ay ini keren!"

"Iya, keren. Jangan sampai rusak, ya."

"Siap, Bu Bos!" Afan menegakkan badannya dan melakukan hormat ala-ala pasukan paskibra. Membuatku lagi-lagi tersenyum. Dari dulu, hingga kini dia sudah duduk di bangku kelas enam SD, lego masih menjadi favorit baginya.

***

Pukul tiga sore, aku pergi ke taman. Taman yang penuh dengan kenangan. Di taman ini aku pernah saling bertukar cerita dengan Rafif, hingga aku menangis dan masuk ke dalam dekapannya. Menyebabkan pertengkaran antara aku, dia dan Aksa. Aku masih ingat setiap detail kejadian tak mengenakkan itu. Mudah-mudahan kali ini bukan hal yang buruk yang akan terjadi.

Aku duduk di sebuah bangku di bawah pohon. Sembari menunggu Yumna, aku mengutak-atik ponsel, sesekali melakukan selfie. Aktivitasku terhenti ketika telingaku mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Aku menoleh dan mendapati Aksa sedang berdiri di dekatku.

Aku seperti merasa ... deja vu.

Kami terdiam beberapa detik, sampai akhirnya Aksa bersuara, "Ngapain, Ra?"

"Nungguin Yumna," jawabku. "Kamu?"

"Nunggu Yumna juga," jawabnya.

"Oh, iya." Ah, canggung sekali rasanya. Aku mendadak merasa haus.

"Boleh duduk nggak?"

"Boleh, duduk aja."

Ah, suasana macam apa ini? Kami hanya saling diam dalam waktu beberapa menit.

Sekitar lima menit setelah Aksa datang, Yumna pun tiba. Dia tersenyum singkat dan langsung duduk di antara aku dan Aksa. "Ada apa, Yum?" tanya Aksa tanpa basa-basi.

"Iya, Yum. Kenapa kamu manggil saya dan Aksa ke sini?" Aku ikut memberi pertanyaan.

Yumna menghela napas sejenak, lantas memandangku dan Aksa bergantian. "Saya mau minta maaf sama kalian," ucapnya pelan.

"Minta maaf?" responsku dan Aksa kompak. Gadis itu segera mengangguk.

"Minta maaf buat apa? Emang kamu salah apa?" cecar Aksa dengan alis tertaut.

"Ayra udah tahu, dan sekarang saya bakalan jelasin sama kamu, Sa," ujar Yumna sembari memandang lelaki jangkung itu. Aksa masih mengernyit tak mengerti. Aku mulai paham apa yang ingin Yumna bicarakan.

Tanpa tedeng aling-aling, Yumna pun mulai mengungkapkan semuanya. Segala rencana dan tujuannya diungkapkan secara lengkap pada Aksa. Setelah mendengar penjelasan Yumna, Aksa berdiri secara spontan. Kedua matanya menatap Yumna tajam, dengan tatapan kemarahan yang luar biasa.

"Keterlaluan kamu, Yum!" sungut Aksa yang sudah meradang. Lelaki itu hendak melayangkan tamparan di pipi Yumna, tetapi tanganku menepis tepat waktu. Lelaki ini benar-benar tak bisa mengendalikan emosinya, selalu saja main tangan. Aku prihatin dengan perempuan yang nanti akan menjadi istrinya.

"Kamu banci? Enak aja mau nampar cewek!" ujarku telak. Aksa menurunkan tangannya. Terlihat bahwa napasnya memburu, dadanya menggebu-gebu. Dia benar-benar terlihat marah.

"Ma-maaf...," ucap Yumna, mulai terisak.

"Saya udah maafin kamu kok, Yum." Aku memeluk Yumna seraya mengusap-usap punggung gadis itu.

"Makasih, Ra."

"Iya, Yumna."

Selanjutnya, Yumna berdiri di hadapan Aksa. Menatap nanar lelaki tinggi putih itu. "Saya tahu kalau penyesalan ini nggak ada gunanya, Sa. Tapi tetap aja saya harus minta maaf." Aksa terdiam. Yumna lalu melanjutkan, "Dan untuk kamu, Ra ... kamu tenang aja, saya udah nggak ada perasaan sama Rafif, kok."

Sekarang aku yang dibuat terdiam. Aku menunduk, bingung dengan semua yang terjadi. Aksa terlihat memejamkan mata dan menghela napas secara perlahan.

"Yumna udah minta maaf, Sa. Kamu nggak perlu marah sama dia. Perasaan kita emang lemah, Sa. Tanpa rencana Yumna pun kita bakalan tetap putus," ujarku dengan tatapan tajam ke arah Aksa.

"Saya harap ... kita semua masih bisa jadi sahabat. Saya sayang sama kalian berdua. Sekali lagi saya minta maaf." Yumna mengelap air matanya yang masih saja mengalir. "Saya pamit, ya. Mau minta maaf sama Rafif."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Yumna berlari pergi tanpa mendengar apa-apa lagi dariku maupun Aksa. Gadis itu pergi menjauh dengan air mata di pipinya. Sementara aku dan Aksa masih berdiri hening di bawah pohon rindang dan angin sepoi-sepoi.

"Mumpung kita udah di sini, saya juga mau minta maaf, Sa," ucapku membuka percakapan. "Omongan Yumna tempo hari emang bener, saya yang salah. Dari awal, seharusnya saya nggak nerima kamu."

"Kamu suka sama Rafif dari awal?" tebak Aksa.

Aku mengangguk pelan. "Maaf, Sa. Saya tahu kamu cowok yang tulus, dan kamu pantas dapat cewek yang lebih baik dari saya, yang bisa sayang sama kamu dengan tulus juga," jelasku. Suaraku mulai gemetar karena menahan tangis.

Aksa menghela napas, setelahnya berkata, "Oke. Semoga kamu bahagia."

Aku mendongak kaget. "Hah?"

"Saya bilang, semoga kamu bahagia," ulang Aksa.

Aku masih bergeming. Aku tak menyangka Aksa akan mengatakan hal itu. Aku pikir Aksa akan marah padaku.

"Semoga Rafif yang terbaik buat kamu," ucap Aksa lagi. Setelahnya, dia memegang bahuku dan menatap mataku. "Kamu harus bahagia, Ra."

Sebuah senyum singkat dari Aksa mengakiri pertemuan kami hari itu. Aksa meninggalkanku setelah memberikan senyumannya. Sementara aku yang masih terkejut, tak sempat membalas senyum itu.

Kamu juga harus bahagia, Sa. Walau tanpaku...

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top