BAB 23 🍒 Sederhana yang Membahagiakan
Happy reading....
🍒🍒🍒
· April 2016
"Hah!" Aku menghela napas lega setelah keluar dari kelas yang sungguh terasa mencekam. Ujian Nasional Bahasa Indonesia menemani hari Senin pagiku. Aku sangat bersyukur bisa melewati satu pelajaran walau otakku sempat pusing tujuh keliling. Pelajaran Bahasa Indonesia yang sering diremehkan ternyata mampu membuat kami geleng-geleng kepala. Lumayan juga!
Aku segera menuju ke kelas sebelah, di mana ruangan Tita, Ratih, dan Rafif berada. Aku mendapat ruang ujian terpisah dari sahabat-sahabatku itu. Satu ruangan dengan Yumna tak ada bedanya bagiku, karena gadis itu tetap saja diam seribu bahasa. Karena aku ingin fokus, maka aku berusaha melupakan masalah di antara kami untuk sementara waktu.
Setelah ujian, kami sibuk membahas soal yang baru saja terlewati. Saling menyamakan jawaban, saling bertanya mengenai soal yang susah atau unik, sampai curhat tentang soal yang letak nomornya salah atau nomornya kurang. Tak lupa juga, pengawas ujian menjadi salah satu bahan pembicaraan. Padahal kalau dipikir-pikir, ujian itu sudah lewat dan tak ada hal yang perlu dibahas lagi. Tetapi begitulah, yang namanya kebiasaan susah dihilangkan.
"Udah, nggak usah bahas itu lagi, mending belajar untuk ujian selanjutnya," saran Tita ketika kami telah duduk melingkar di dekat tangga.
"Saya nggak bisa belajar dalam keadaan mepet kayak gini, beberapa menit lagi masuk ujian kedua," jawabku.
"Iya sih, tapi nggak apa-apa, daripada ngerumpi. Mending baca lagi yang udah kita pelajari semalam, siapa tahu ada yang nyangkut," kata Tita sembari membolak-balikkan buku Detik-Detik Ujian Nasional Biologi. Ratih melakukan hal yang sama. Sementara Rafif menatap ke atas seperti memikirkan sesuatu.
"Eh, itu tadi soal yang paragraf rumpang kalian bingung nggak, sih?" tanya Rafif dengan nada polos.
"Aduh, udah deh, Raf. Nggak usah bahas yang tadi," sungut Tita sebal.
"Iya, apaan sih, Raf. Biarin aja yang udah lewat," timpal Ratih.
"Oke, oke. Silakan lanjutkan," respons Rafif santai, tetapi ekspresinya kembali terlihat bingung, seperti sedang berpikir keras. Ekspresi itu menimbulkan seulas senyum di wajahku. Rafif terlihat sangat menggemaskan.
Senyum di bibirku langsung menghilang begitu saja saat mataku menangkap Yumna yang sedang duduk di sebuah bangku tak jauh dari tangga. Dia terlihat kebingungan seraya membolak-balik sebuah buku.
"Bentar, ya," pamitku yang kemudian langsung menghampiri Yumna.
"Ada yang bisa saya bantu, Yum?" tanyaku langsung. Yumna mendongak dan terdiam saat melihatku ada di hadapannya.
Tanpa dipersilakan, aku duduk di samping Yumna dan mengambil buku dari tangan gadis itu. "Kok belajar Matematika, bukan Biologi?" tanyaku setelah melihat judul buku yang dipegang oleh Yumna.
Yumna hanya diam mengunci mulutnya.
"Ya udah, nggak apa-apa kalau kamu pengen belajar ini. Saya ajarin yang saya bisa, ya," ujarku lembut. Yumna masih tak berkata apa-apa.
"Woy, Ra! Rafif dari tadi natap kamu nih!" teriak Tita tiba-tiba. Beberapa pasang mata langsung menatap ke arahku. Ah, Tita ini benar-benar! Aku langsung memelotot pada gadis mulut ember itu. Sementara yang ditatap hanya cengengesan.
Tatapanku kemudian kembali pada Yumna. Gadis itu menunduk. Aku menghela napas pelan. "Maaf ya, Yum. Kamu kan tahu Tita emang kayak gitu."
"Ra...." Yumna akhirnya membuka mulut.
"Iya?"
"Nggak usah sok pintar, saya bisa belajar sendiri, kok," serangnya tajam. Aku terdiam menatap wajahnya. Bingung harus mengatakan apa. Sebelum aku membuka suara, gadis itu kembali berkata, "Rafif sayang banget sama kamu, jadi jangan sia-siain dia." Yumna kemudian menyabet bukunya dari tanganku, lantas melangkahkan kaki masuk ke kelas. Hah, kenapa semuanya semakin terasa rumit?
"Udah, biarin aja, Ra. Sini!" panggil Tita.
"Biarin aja dia, setelah ujian baru deh kita ajak bicara," ujar Ratih begitu aku telah kembali duduk di lingkaran yang mereka buat. Aku hanya menanggapi dengan anggukan kepala.
Entah kenapa, hidupku sudah dipenuhi dengan banyak drama yang tak kuinginkan terjadi. Terkadang aku mengeluh, tetapi bayangan wajah Ayah selalu menenangkan hatiku. Ingat Allah, hanya itu yang Ayah katakan jika aku sedang merasa terpuruk. Dan hingga kini, dua kata itu selalu tertanam jelas di dalam ingatanku. Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umat-Nya.
***
"Ciee ... yang sekarang berangkat dan pulang sekolah sendiri," tegur Tita saat kami akan segera pulang.
"Iya, dong. Harus mandiri," jawabku.
Tita menyeringai. "Harus mandiri atau karena udah nggak ada motor sport lagi yang antar jemput?" balasnya. Aku memanyunkan bibir. Aku hampir saja menjitak kepala gadis jail itu jika Rafif dan Arman tidak segera datang.
"Ra, kamu langsung pulang?" tanya Rafif.
"Rafif mau ngajak jalan, Ra!" seloroh Arman asal.
"Nggak usah dengerin Arman." Seperti biasa, Rafif menanggapi dengan sikap santainya. Dia kemudian melanjutkan, "Kamu ikut saya, yuk! Nggak lama, kok."
"Ratih, Arman, go!" Tita menarik Ratih dan Arman menjauh, gadis itu seakan mengerti situasi dan memberikan kesempatan padaku dan Rafif untuk bicara.
"Ke mana?" tanyaku.
"Udah, kamu ikut aja. Saya ambil motor dulu, kamu ikutin dari bekalang, ya." Tanpa menunggu jawaban dariku, Rafif berlalu untuk mengambil motornya. Ah, sudahlah. Aku ikut saja.
***
Sebuah rumah sederhana bercat putih terlihat begitu Rafif menghentikan motornya. Aku pun ikut menepikan mobilku, lantas segera turun menghampiri Rafif.
"Ini rumahmu?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Hm...," responsnya singkat, "ayo masuk!"
"Eh, tapi ngapain saya dibawa ke sini?"
"Kenalan sama Vika."
"Vika? Vika sia—"
Rafif langsung menarik tanganku dan membawaku masuk ke rumahnya. Ruang tamu rumah Rafif tak lebih besar dari kamarku, tetapi sangat rapi dan tertata. Walaupun ruangan itu kecil, tetap terlihat nyaman.
"Kak Afif!" Seorang gadis kecil berlari dan memeluk Rafif. Rafif pun langsung menggendong si kecil imut itu. "Sekarang Kakak pulangnya cepat, ya?"
"Iya dong, Kakak kan mau main sama Vika," jawab Rafif kemudian mengecup pipi adiknya. Senyumku mengembang melihat apa yang ada di hadapanku. Ternyata Vika yang dia maksud adalah adiknya.
"Hore!!" Gadis kecil itu bertepuk tangan riang.
"Oh, ya, Kakak bawa temen nih, Vika kenalan dong." Rafif kemudian menurunkan Vika dari gendongannya. Gadis yang kira-kira berusia enam atau tujuh tahun itu mendekatiku.
"Halo, Kakak. Nama saya Arvika Putri Safa, biasa dipanggil Vika. Nama Kakak siapa?" Dengan suara menggemaskan itu, Vika mengulurkan tangannya padaku. Aku tidak tahan untuk tidak memeluknya. Adik Rafif ini benar-benar menggemaskan.
"Kamu gemesin banget sih, Dek," kataku masih mendekap gadis berambut hitam panjang itu.
"Vika emang gemesin, banyak yang bilang." Suara itu lagi-lagi membuatku tertawa. Aku melepaskan dekapanku, lalu mencubit pipi tembamnya pelan.
"Nama Kakak Ayra, Vika cantik. Panggil Kak Ayra aja, ya. Kakak dengar tadi kamu udah bisa bilang R."
"Vika udah bisa bilang R sejak TK, Kak."
"Wah ... hebat! Sekarang Vika kelas berapa?" Aku mengelus pucuk kepala Vika.
"Kelas satu, Kak. Vika selalu juara satu di kelas. Sama kayak Kak Afif."
"Ya ampun, kamu pinter banget, sih." Aku kembali mencubit pipi gadis kecil itu. Ah, sepertinya menyenangkan sekali memiliki saudara perempuan, apalagi yang seimut Vika.
"Vika kok belum ganti baju, sih? Kakak kan udah bilang jangan pakai baju sekolah di rumah." Rafif akhirnya kembali bersuara setelah beberapa saat membiarkan aku dan Vika berkenalan.
"Iya, Kak. Ini Vika mau ganti baju, kok."
"Afif?" Seorang wanita paruh baya dengan kerudung hitam keluar dari sebuah kamar. Mata wanita itu sedikit memerah.
"Ah, maaf, Bu. Afif bangunin Ibu, ya." Rafif menghampiri wanita itu dan menyalaminya. Sudah jelas bahwa wanita itu adalah ibu Rafif.
"Nggak apa-apa, Ibu juga mau bangun nyiapin makan siang buat kalian."
"Nggak usah, Bu. Biar Afif yang nyiapin makan siang, Ibu kan lagi nggak enak badan."
"Nggak apa-apa, ah."
"Biar saya bantuin nyiapin makanannya, Tante." Entah ada keberanian dari mana sehingga aku bisa membuka suara.
"Ee ... ini Ayra, Bu." Rafif memperkenalkanku.
Aku segera mendekat dan menyalami ibu Rafif. "Ayra, Tante."
"Tante Santi," jawab ibu Rafif menyebutkan namanya. Tante Santi kemudian menatap Rafif. "Jadi ini yang sering kamu ceritain itu?"
Rafif terlihat salah tingkah. Dia mencolek lengan ibunya, seakan memberi kode agar ibunya diam dan tak membuka rahasianya. Aku hanya bisa tersenyum. Tante Santi pun tersenyum karena berhasil menggoda putranya. Jadi ... Rafif sudah sering menceritakan aku pada ibunya? Ah, kenapa rasanya sebahagia ini?
"Ya udah, Vika ganti baju terus main sama Kak Afif, ya. Ibu sama Kak Ayra mau nyiapin makanan dulu," ujar Tante Santi kemudian.
"Siap, Bu." Vika langsung berlari ke sebuah kamar dengan pintu berwarna merah muda, satu-satunya pintu kamar yang terlihat berbeda dari pintu lainnya. Sepertinya warna kesukaanku sama dengan warna kesukaan Vika. Mungkin.
***
"Ayra biasa makan tempe nggak?" tanya Tante Santi saat kami memasuki dapur.
"Iya, Tante. Kadang-kadang di rumah masak tempe. Sekeluarga juga suka," jawabku apa adanya.
"Hm ... bagus deh, soalnya Tante hanya punya tempe dan sayur kangkung sekarang. He he, kayak makanan anak kosan," ujar Tante Santi. Aku tertawa kecil. Tiba-tiba teringat Kak Adit yang kini juga sedang hidup di sebuah indekos dekat kampusnya di Bandung.
"Kamu potong tempenya aja, ya. Biar Tante yang ngurusin sayurnya."
"Iya, Tante."
Suara gaduh dari arah ruang tamu terdengar ketika aku dan Tante Santi sedang memasak. Sepertinya Rafif dan Vika sedang bermain petak umpet. Mereka terlihat sangat manis saat bersama. Lagi-lagi mengingatkanku pada Kak Adit. Aku benar-benar merindukan kakakku satu-satunya itu.
"Ayra?" Suara Tante Santi membuyarkan lamunanku. "Jangan sampai gosong ya tempenya," lanjutnya dengan lembut.
"Eh, iya. Maaf, Tante." Aku segera membalikkan tempe yang sedang digoreng dengan sodet yang sejak tadi kupegang.
"Gimana hubungan kamu sama Aksa, Nak?"
Deg!!
Tanganku yang sedang bermain di atas kuali mendadak terhenti. Keningku berkerut. Apakah aku salah dengar? Tapi jelas sekali Tante Santi bertanya tentang Aksa. Apa pendengaranku juga sudah memburuk seiring pikiranku yang terganggu akhir-akhir ini. Belum sempat aku berkata apa-apa, Tante Santi melanjutkan, "Walaupun udah putus, silaturahmi harus tetap jalan, lho."
Ternyata Tante Santi tahu apa yang terjadi antara aku dan Aksa? Astaga! Dan sekarang aku sedang dekat dengan putranya. Ah, entah apa yang beliau pikirkan tentang aku. Mungkin Tante Santi mengira bahwa aku ini adalah gadis labil yang suka gonta-ganti pacar. Memalukan sekali.
"Kamu jangan mikir macam-macam. Tante tahu kok kamu itu anak yang baik. Rafif nggak pernah suka sama perempuan selama ini. Kalau dia udah suka, Tante yakin gadis yang dia suka pasti bukan gadis biasa."
Lagi-lagi aku terkesima mendengar ucapan Tante Santi. Seperti Rafif yang suka membaca pikiran orang lain, Tante Santi kini melakukan hal yang sama. Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya.
"Ee ... iya, Tante. Ayra sama Aksa tetap temenan, kok," jawabku gugup. Entah apa yang keluar dari mulutku, aku tak sadar.
"Kamu nggak perlu merasa sungkan atau gimana. Tante yakin semuanya akan kembali seperti semula." Tante Santi tersenyum padaku. Hanya bisa kubalas dengan senyum pula.
Aku tak mengerti maksud dari Tante Santi. Satu hal yang pasti; Tante Santi berharap yang terbaik untuk putra dan orang-orang di sekitar putranya. Bukan hanya Tante Santi, aku pun berharap demikian. Keluarga yang menenangkan ini ... membuatku seperti berada di rumah kedua.
Hari itu aku bahagia. Aku bahagia bisa datang ke rumah Rafif, bertemu ibu dan adiknya. Memasak bersama, makan bersama, bermain bersama. Sederhana memang. Tetapi bukankah hal sederhana itu terkadang lebih membahagiakan?
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top