BAB 22 🍒 Ada apa?

Happy reading....

🍒🍒🍒

· Maret 2016

"Perhatikan soal nomor delapan belas! Tentukan persamaan kurva yang melalui titik minus dua koma dua belas, dan memiliki persamaan gradien garis singgung dy per dx sama dengan enam x kurang lima belas." Suara menggelegar Pak Sisno bukannya membuat siswa takut, malah membuat siswa semakin mengantuk ditambah pusing berkunang-kunang. "Ini mudah sekali, yang bisa jawab langsung maju, ya. Kerjain di papan tulis," lanjutnya yang kemudian duduk di kursi guru. Pak Sisno menunggu para siswanya yang sedang memainkan pena di atas kertas, seakan-akan mencari jawaban padahal hanya menggoreskan gambar-gambar abstrak yang tak mampu dijangkau oleh otak cerdas beliau.

"Raf, udah dapat?" bisikku pada Rafif tanpa menengok ke belakang. Aku sudah memperoleh jawabannya.

"Udah," jawabnya pelan.

"Berapa?"

"Persamaan kurvanya, fx sama dengan tiga x pangkat dua kurang lima belas x kurang tiga puluh."

"Yes!" gumamku setelah mendengar jawaban Rafif yang sama persis dengan jawabanku.

"Udah?" tanya Rosa yang sejak tadi hanya menghias kukunya dengan kuteks.

"Udah, kamu kerjain gih!" jawabku diikuti suruhan.

Rosa hanya mengangkat bahunya. "Males!"

"Maju, Ra," suruh Rafif.

"Kamu aja." Aku malah menyuruh balik.

"Ini mah soal mudah, Raf, semua pasti bisa. Kasih kesempatan yang lain aja buat maju. Pak Sisno mungkin udah bosen lihat muka kamu, Ayra, dan Tita," ujar Rosa yang kini sibuk meniup-niup kukunya.

"Mudah? Semua pasti bisa? Emang kamu udah?" Arman bertanya meremehkan.

"Jawabannya fx sama dengan tiga x pangkat dua kurang lima belas x kurang tiga puluh!" Rosa membaca buku tulisku.

"Kampret!" Arman berdecak kesal. Membuat aku dan Rafif cekikikan menahan tawa.

"Itu kenapa ribut-ribut? Udah selesai?" Suara Pak Sisno membuat tubuh kami berempat menegang seketika.

"Udah, Pak," jawabku dan Rafif hampir bersamaan.

"Ya udah, maju sini. Arman!" titah Pak Sisno, membuat mata Arman membeliak. Belum sempat dia protes, guru berkulit putih itu menambahkan, "Berdua sama Rosa."

"Mampus!" keluh Rosa pelan. Aku dan Rafif hanya diam dan pura-pura polos.

"Maaf, Pak, saya belum selesai. Tapi saya bisa ngerjain di depan kok, pakai buku Khayra," ucap Rosa santai, membuatku tepuk jidat. Anak ini benar-benar rada miring otaknya.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu mengalihkan fokus Pak Sisno. Seorang gadis berambut hitam panjang dengan poni khasnya terlihat sedang berdiri di depan pintu XII IPA 1. Gadis yang sangat kukenal; atau mungkin tidak. Yumna.

"Permisi, Pak," ujarnya sopan.

"Iya, kenapa?"

"Maaf menganggu waktu mengajar Bapak, tapi saya diminta oleh wakil kepala sekolah untuk memanggil Bapak, katanya ada sesuatu yang penting," jelas Yumna.

Pak Sisno pun manggut-manggut. "Oke, makasih, Yumna."

"Sama-sama, Pak. Saya permisi." Sebelum menghilang dari balik pintu, mata Yumna sempat bertatapan denganku, hanya sekian detik. Tanpa ekspresi, tanpa senyuman. Datar. Aku sadar bahwa hubungan kami benar-benar sedang retak, entah bagaimana cara memperbaikinya.

Di tengah kebingunganku, Rosa dan Arman menghela napas lega karena terbebas dari jeratan Pak Sisno yang sudah meninggalkan kelas.

***

"Saya udah dapat jawaban nomor lima belas, jawabannya A!" seru Tita setelah terjadi hening beberapa menit. Jam istirahat pertama kami gunakan untuk membahas soal-soal Metematika. Awalnya aku menolak dan mengajak mereka membahas pelajaran lain, karena otakku sudah mabuk setelah Pak Sisno keluar. Namun, melihat teman-teman yang lain sangat bersemangat, aku pun ikut terbawa suasana. Memang belajar bersama teman itu lebih menyenangkan, meskipun berpotensi besar akan berujung candaan dan bermain-main.

"Saya malah dapat B," timpalku. Sementara Ratih dan Rafif masih dibuat bingung oleh soal Matematika itu. Tumben otak Rafif agak lambat, biasanya dia paling cepat.

"A dan B beda plus minus doang, coba deh perhatikan lagi plus minusnya," ujar Rafif. Aku dan Tita mengangguk dan melihat kembali cara kerja kami yang melebihi satu halaman buku tulis berukuran besar itu.

"Astaga, saya yang salah," sahutku, "ini seharusnya minus, karena plus dikali minus."

"Berarti jawabannya A, jelasin caranya dong," pinta Ratih.

Tita pun membantu Ratih untuk mengerjakan soal itu, sementara Rafif hanya melihat catatanku. Tak perlu dijelaskan, dia pasti akan paham hanya dengan melihat. Kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Terbukti dengan kepalanya yang terlihat manggut-manggut seakan mengerti.

Ujian Nasional yang kurang dari sebulan lagi membuat kami harus mempersiapkan segala sesuatunya. Apalagi guru-guru semakin jarang masuk sebab hampir semua mata pelajaran telah selesai, sehingga banyak waktu untuk memperdalam materi ketika di sekolah. Kami harus mempersiapkan diri dengan baik agar hasilnya nanti tak mengecewakan. Kami percaya bahwa usaha tak akan mengkhianati hasil.

Sampai akhirnya kami merasa bosan dan memutuskan untuk bermain. Permainnya pun tak tanggung-tanggung, permainan masa kecil. Siapa yang tak tahu ABC 5 Dasar? Permainan ini sangat hits dan menjadi favorit ketika zaman SD.

Di tengah-tengah permainan, Tita menceletuk, "Raf, gimana kamu sama Aksa?"

"Udah baikan, kok," jawab Rafif tanpa berpikir, "tapi ya gitu, nggak bisa sedekat dulu, kayak canggung."

"Nanti lama-lama juga balik lagi, tenang aja," ujar Ratih. Rafif pun hanya mengangguk.

"Hm, kalau hubungan kamu sama Ayra gimana?" cecar Tita dengan senyum jail. Aku memelotot padanya, memberi peringatan 'kamu nggak usah banyak bicara', tetapi gadis itu hanya cengengesan.

"Nggak gimana-gimana," jawab Rafif terlampau santai. Lelaki itu kemudian menghela napas dan menatap kami satu per satu. "Untuk kita semua, fokus aja dulu ke Ujian Nasional, oke?"

"Ah, ngalihin pembicaraan!" protes Tita dengan bibir dimanyunkan.

Aku akhirnya tertawa melihat tingkah gadis dengan hobi main rubik itu. Namun, tawaku seketika terhenti saat menangkap sosok gadis dari balik jendela yang sedang mengintip kegiatan kami dengan wajah sedih. Begitu aku memergokinya, gadis itu langsung kabur.

"Saya ke toilet dulu, ya," ujarku berbohong.

"Hei, Ra, jangan kabur dari pembicaraan dong!"

Aku tak memedulikan teriakan Tita dan segera keluar dari kelas, lantas berlari kecil menuju ruang XII IPA 3. Berusaha mencari si gadis yang tak lain adalah Yumna. Aku bisa melihat kesedihan di mata gadis itu ketika mataku sempat menatapnya.

Sampai di kelas Yumna, mataku menjelajah ke setiap sudut ruangan, tetapi tak menemukan gadis berponi itu.

"Nyari siapa, Ra?" tanya Farida, anak IPA 3 yang pernah sekelas denganku saat kelas sepuluh.

"Nyari Yumna, Da. Kamu lihat nggak?"

"Yumna tadi keluar, sampai sekarang belum balik," jelas Farida.

Aku pun manggut-manggut. Berarti aku salah lihat, dia bukan berlari ke arah sini. Berniat keluar kelas, aku membalikkan badan menghadap pintu, tetapi terhenti begitu melihat sosok yang sedang duduk sendirian di pojok kanan. Aksa. Lelaki jangkung itu sedang duduk dan bersandar di bangkunya dengan kedua kaki diluruskan dan wajah ditutupi sebuah topi. Tangannya bersedekap di dadanya yang tegas. Itu kali pertama aku melihat Aksa tidur di sekolah.

Entah bagaimana tiba-tiba saja Aksa terbangun, topinya disingkap dan langsung mendapati mataku yang sedang menatapnya. Kami tak sengaja saling tatap dalam beberapa detik, selanjutnya kecanggungan yang terjadi.

Aku tersenyum tipis, kemudian dibalas senyuman yang sama dari Aksa. Setelah itu aku berlari canggung keluar kelas. Aku tak peduli apa yang dia pikirkan. Aku hanya merasa tak nyaman. Aneh memang. Dua orang yang dulunya pernah mengobrol berjam-jam, kini mengatakan 'hai' saja tidak bisa. Dulunya pernah tertawa bersama, kini bingung bagaimana caranya mengundang tawa. Dan dulunya pernah saling menyukai, kini seperti dua orang asing yang tidak saling kenal. Aneh, bukan?

***

Buku, buku, dan buku. Aku harus membiasakan diri dengan benda itu. Tak ada waktu lagi untuk bersantai ria, apalagi memikirkan soal asmara. Malam itu, aku duduk tenang di meja belajar sembari berusaha memecahkan soal-soal Kimia. Namun, konsentrasiku sedikit terganggu saat mendengar suara motor memasuki halaman rumah. Aku bangkit dan menuju balkon, melihat motor siapa gerangan. Terlihat seorang lelaki dengan pakaian kasual sedang memarkir motor Mio hitam andalannya. Senyumku langsung terbit.

Aku berlari kecil ingin membukakan pintu rumah, tetapi Bunda sudah lebih dulu menyambut kedatangan Rafif.

"Assalamualaikum, Tante," ucap Rafif menyalami Bunda.

"Waalaikumsalam," jawab Bunda, "nyari Ayra, ya?"

"Iya, Tante. Mau balikin buku." Rafif mengangkat sebuah buku tulis di tangan kanannya.

"Masuk, Raf!" seruku menyela. Bunda dan Rafif langsung menoleh, aku tersenyum menatap mereka.

"Ya udah, Tante tinggal, ya," ucap Bunda pada Rafif. Lelaki beralis tebal itu mengangguk sopan.

"Udah selesai dicatat?" tanyaku setelah kami duduk di teras rumah. Aku sudah mengajak Rafif masuk, tetapi dia lebih memilih untuk duduk di luar. Katanya mau mencari angin segar.

"Udah, untung catatannya rapi," jawab Rafif.

"Tulisanku kan memang rapi," pamerku, membuat Rafif tak bisa membalasnya karena itu memang kenyataan. Dia hanya mengangguk sembari tersenyum.

Hening sejenak. Beberapa menit tanpa suara. Sampai akhirnya Rafif membuka mulutnya dan memulai pembicaraan yang sama sekali tak kuduga. "Ra, saya mau ngomong." Rafif menatapku dengan serius, membuatku sedikit tegang.

"Apa?" tanyaku berusaha tetap santai.

"Ayra, saya suka sama kamu."

Deg!!

Aku terdiam sekian detik. "Hah? Gimana?" tanyaku seperti orang linglung.

"Saya suka sama kamu, Ayra." Rafif mengulang kalimatnya, membuatku tersadar bahwa aku memang tak salah dengar.

Tubuhku tiba-tiba menengang, kaku. Kalimat yang keluar dari mulutnya membuat jantungku berdebar hebat, seperti sedang dalam pacuan. Bibirku seakan membisu. Aku membatu. Pengakuan Rafif yang tiba-tiba itu membuatku tak siap dengan semuanya.

"Nggak usah tegang, biasa aja, saya cuma mau ungkapin itu. Kamu nggak perlu bilang apa-apa," ucap Rafif dengan entengnya.

"Kamu blak-blakan banget, sih. Ngungkapin perasaan semudah narik napas," timpalku heran.

Rafif tertawa kecil. "Kamu nggak tahu, kan, sekarang hatiku kayak mau meledak," ungkapnya, "tapi ya tetap berusaha tenang aja."

Aku bergeming. Bingung harus menjawab apa.

"Saya cuma mau ungkapin perasaan aja kok, Ra. Kalau nggak diungkapin, takutnya mengganggu pikiran dan nggak fokus ujian nasional. Kalau udah diungkap gini kan saya jadi lega." Rafif mengucapkan kalimat demi kalimat dengan begitu gamblang. Seperti tak ada beban dalam pikirannya.

Iya, kamu lega. Saya yang bakal kepikiran!

Di antara debaran hati, ada perasaan senang yang menjalar. Aku menyadari itu. Namun, perasaan yang sedang berbunga-bunga ini harus cepat kukendalikan, sebelum hal itu benar-benar akan menganggu fokus belajarku.

"Kenapa melamun?" tanya Rafif. Aku menggeleng cepat, menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Rafif tersenyum tipis melihat tingkahku.

Mata Rafif tiba-tiba menatap sesuatu di jariku. "Itu cincin dari Aksa?" tanyanya. Entah iseng atau memang penasaran. Atau mungkin mengalihkan pembicaraan.

Aku memandang jari manis kananku. "Oh ini ... bukan, kok. Ya kali masih pake cincin dari Aksa," jawabku dengan senyum canggung.

Rafif ikut tersenyum. "Ya ... kan siapa tahu?"

"Ini cincin dari Ayah, hadiah ulang tahun ke empat belas. Saya jarang pake sih, takut hilang. Jadi cuma pake sesekali," jelasku tanpa diminta.

Rafif pun mengangguk paham, tetapi seperti masih ada yang mengganjal di otaknya. Terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. "Tapi saya kayak pernah lihat cincin itu deh, Ra."

"Ha ha, kamu kayak Aksa. Aksa juga pernah bilang gitu," ucapku spontan. Detik selanjutnya aku kembali merasa canggung, tak enak jika harus melibatkan Aksa di antara pembahasan kami. "Em ... mungkin kamu salah ingat, soalnya cincin ini didesain sendiri sama Ayah, nggak ada duanya," lanjutku menjauhkan pembicaraan dari nama Aksa.

"Oh, gitu." Rafif manggut-manggut dan selanjutnya tak bertanya lagi tentang cincin itu.

Namun, entah kenapa ekspresi Rafif tak berubah. Seperti ada yang aneh dalam pikirannya, atau mungkin hatinya. Dia sepertinya sedang mencoba mengingat sesuatu.

"Ra, tadi kamu bilang, Aksa merasa familiar sama cincin itu?" tanya Rafif setelah hening beberapa detik. Aku mengangguk.

"Di mana, ya?" gumam Rafif pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya.

"Di mana apanya, Raf?"

Rafif terkesiap. "Ah, bukan apa-apa, Ra."

Aku menatap Rafif penuh selidik. Dia sedang menyembunyikan sesuatu? Atau ... dia dan Aksa yang menyembunyikan sesuatu?

Aku menatap cincin dari Ayah. Cincin ini memang tak ada duanya, ini desain khusus dari Ayah. Lalu, apa yang dilihat Aksa dan Rafif?

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top