BAB 20 🍒 Kebenaran
Happy reading....
🍒🍒🍒
Pagi itu aku telah duduk di dalam kelas ketika Rafif tiba. Teman-teman sekelasku sibuk dengan kegiatannya masing-masing; ada yang membentuk kelompok untuk bergosip, ada yang main games, ada yang mendadak jadi biduan dangdut, dan tentunya ada pula yang belajar walau sekadar membuka buku Detik-Detik Ujian Nasional. Aku duduk seorang diri, memainkan pena tanpa tujuan. Seperti orang kurang kerjaan. Padahal biasanya aku akan mengerjakan soal-soal latihan, hanya saja saat itu aku tak bersemangat.
Rafif langsung duduk di bangkunya sendiri, yang tidak lain tepat di belakangku. Saat Rafif duduk, Bu Nini—guru Biologi—masuk ke dalam kelas.
"Tutup pintunya, yang terlambat biarin aja di luar!" titahnya setelah para murid memberi salam. Siswa di dekat pintu langsung melaksanakan perintah guru yang terkenal killer itu. Setiap beliau masuk ke dalam kelas, seluruh siswa diam seribu bahasa. Tak berani bicara sedikit pun. Guru yang super tegas, menyeramkan, menakutkan, tapi sebenarnya penyayang. Beliau akan berusaha keras agar anak-anaknya berhasil dalam menerima materi.
"Untuk yang nggak bawa buku detik-detik UN, keluar sekarang!" perintahnya kemudian. Tak ada yang bergerak dari posisi. Itu artinya semua siswa membawa buku. Pada les terakhir, siswa yang tidak membawa buku dikeluarkan dari kelas dan harus lari keliling lapangan tanpa sepatu. Mengingat hal itu, tidak ada lagi yang mau melanggar. Melihat semua siswanya diam, Bu Nini manggut-manggut tersenyum. "Oke, bagus."
"Buka halaman lima puluh tiga!" Suara lantangnya menggerakan tangan para siswa untuk segera membuka buku. Aku pun membuka lembar demi lembar dengan malas. Begitu halaman lima puluh tiga terbuka, materi DNA dan RNA menyambutku.
"Baca bagian A, paragraf pertama!" titahnya. Aku hanya menatap kosong ke arah buku. Entah kenapa gairah belajarku seperti hilang ditelan bumi. Hanya beberapa detik, Bu Nini kemudian melanjutkan kalimatnya yang membuatku terkesiap seketika, "Jelaskan maksud paragraf itu, Khayra!"
Mataku membeliak begitu namaku disebutkan secara mendadak. "Sa-saya, Bu?" tanyaku memastikan. Bisa saja aku berhalusinasi karena pikiranku memang sedang kacau. Namun, jawaban cepat dari guru bertubuh tinggi itu menyadarkanku. Ini bukan halusinasi!
"Iya, memangnya ada berapa nama Khayra di kelas ini? Ayo jelaskan!" jawab Bu Nini mantap.
Aku pun segera membaca paragraf yang dimaksud, tetapi otakku tak bisa menangkap apa makna dari paragraf itu. Sebelumnya aku tak belajar di rumah. Ditambah lagi Bu Nini dengan ekspresi menyeramkan itu sedang menatap ke arahku, sehingga aku semakin tak bisa berpikir jernih.
"Satu." Bu Nini mulai menghitung. "Paragraf itu tentang apa, Khayra?"
"Tentang DNA, Bu," jawabku gugup.
"Anak SD juga tahu kalau disuruh baca judulnya aja, Nak. Ibu minta penjelasan yang lebih rinci."
Aku menghela napas pelan. Otakku benar-benar tak bisa berpikir.
"Dua."
Dan aku masih membisu.
"Tiga. Berdiri!" titah Bu Nini, mengakhiri intimidasi padaku.
Aku menghela napas, lantas berdiri dengan lesu. Wajahku memerah karena malu. Bu Nini pasti kecewa dengan diriku. Ah, sudahlah, nggak apa-apa, juara kelas juga manusia, batinku menguatkan diri sendiri.
"Muhammad Rafif!" sebutnya lantang. Rafif langsung mendongak menatap Bu Nini dengan ekspresi yang sebelas dua belas dengan ekspresiku. "Pertanyaannya masih sama. Kalau kamu bisa jawab, Khayra boleh duduk."
Tanpa pikir panjang, seperti orang yang memang sudah belajar sebelumnya, Rafif menjawab dengan lancar dan lantang. Aku pun menghela napas lega.
"Oke. Udah benar penjelasan Rafif. Jadi...." Bu Nini mulai menjelaskan yang lebih rinci lagi. Pada saat guru bermata bulat itu menjelaskan, hampir semua indra bekerja. Telinga mendengar dengan saksama, mata melihat ke depan dan ke buku bergantian, tangan menulis cepat, hidung mencium bau-bau mencekam, dan lidah terasa kaku karena terpaku oleh Bu Nini.
"Khayra, kamu boleh duduk," suruh Bu Nini.
"Terima kasih, Bu," ucapku sembari duduk kembali.
"Kamu kenapa, Khayra?" tanyanya kemudian.
Aku yang tak siap dengan pertanyaan itu, spontan menjawab dengan gelagapan, "Ng-gak ... nggak kenapa-napa, Bu."
"Usahakan kalau ada masalah pribadi jangan dibawa ke sekolah, ya. Itu bisa mengganggu pelajaran," nasihat Bu Nini, yang sepertinya bisa menebak masalah dari wajah nelangsaku. "Bukan cuma untuk Khayra, tapi untuk semua!" lanjutnya.
"Iya, Buu...," sahut para siswa kompak.
Aku berbalik ke belakang, menatap Rafif. Tanpa berucap kata pun, aku yakin Rafif mengerti arti tatapanku. Terima kasih.
Lalu dia tersenyum. Membuat hatiku kembali berdesir hebat.
***
Bel pulang sekolah telah berdering nyaring sejak lima menit yang lalu. Aku dan Ratih masih sibuk membereskan buku-buku dan peralatan lainnya. Sementara anak-anak lain satu per satu mulai meninggalkan sekolah.
"Ke rumah Tita yuk, Ra!" ajak Ratih. Hari ini Tita tidak masuk sekolah karena sedang tidak enak badan.
"Tita sakit apa, sih? Kirain dia nggak bisa sakit," celoteh Arman sarkastis.
"Tita juga manusia, Ar," timpalku.
"Oke, kalian pergi aja. Kita para cowok nanti sore aja perginya," lanjut Arman. Tetapi tak digubris olehku dan Ratih. Kami malah melenggang keluar kelas tanpa memedulikan ucapan Arman.
Aku dan Ratih menuju kelas XII IPA 3 untuk mengajak Yumna, tetapi kelas itu telah kosong. "Mungkin dia udah pulang," tebakku.
"Atau mungkin udah duluan ke rumah Tita," imbuh Ratih ikut menebak.
"Udah, ah. Ayo kita pergi, kalau dia nggak ada di sana, ya tinggal kita telfon aja," saranku. Ratih mengangguk setuju.
Kami pun pergi ke sebuah toko kue untuk membelikan kue cokelat kesukaan Tita sebelum akhirnya meluncur ke rumah gadis bertubuh mungil itu. Tak banyak orang di rumah Tita ketika aku dan Ratih tiba di sana. Hanya ada asisten rumah tangga yang dengan segera mempersilakan kami masuk.
"Tita sendirian di rumah, Bi?" tanya Ratih.
"Enggak, Non. Ada Non Yumna di kamarnya," jawab asisten rumah tangga Tita.
"Oh, ternyata dia udah duluan." Ratih manggut-manggut. "Ayo, Ra!" ajaknya.
"Kita ke kamar Tita dulu ya, Bi," ucapku.
"Iya, Non. Silakan."
Aku dan Ratih melangkahkan kaki satu per satu menapaki anak tangga menuju lantai dua. "Jangan berisik, Ra," bisik Ratih begitu sampai di ujung tangga. Aku mengernyit tak mengerti.
"Kayaknya seru kalau kita ngagetin mereka," jelas Ratih dengan senyum jail. Menimbulkan kejailan yang sama di otakku. Kami lantas mengendap-endap seperti orang yang ingin kabur dari pernikahan mantan.
Tepat saat di depan pintu kamar, suara Tita yang terdengar serak membuat langkahku dan Ratih terhenti seketika. Bukan suara seraknya, tapi kalimatnya yang membuat kami penasaran.
"Tapi sampai sekarang Ayra dan Ratih belum tahu, kan?" tanya Tita dari dalam sana.
"Belum. Cuma kamu aja yang tahu," jawab Yumna.
Aku dan Ratih saling bertatapan di depan pintu kamar. Aku mengernyit diikuti Ratih yang juga menampilkan ekspresi kebingungan. Tanda tanya besar kini ada dalam benak kami. Kami pun memutuskan untuk menguping pembicaraan Tita dan Yumna sampai akhirnya kami diberi penerangan.
"Di villa, di taman, semuanya sempurna. Malahan sekarang mereka udah putus, tapi saya tetap nggak dapat apa-apa. Saya udah coba hibur Aksa, tapi dia kayaknya sedih banget kehilangan Ayra. Dan parahnya lagi, hubungan Ayra dan Rafif juga belum ada perkembangan. Sia-sia dong pengorbananku."
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Yumna membuatku semakin bingung. Jadi, Yumna dalang dari kejadian di villa dan di taman? Jika iya, apa motifnya? Apa hubungannya dengan Rafif? Bukankah dia hanya menyukai Aksa? Lalu apa hubungannya dengan Rafif?
Dihantui rasa penasaran, aku memegang knop pintu kamar Tita dan membukanya. Terlihat Tita sedang berbaring dan Yumna duduk di sisinya. Mata kedua gadis itu membelalak begitu melihatku. "Ay ... ra," lirih Yumna masih dengan keterkejutannya.
"Jadi semuanya ulah kamu, Yum?" Aku mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sudah memiliki jawaban yang jelas. "Kamu juga, Ta. Ternyata kamu tahu semuanya," lanjutku menatap kedua sahabatku dengan mata nanar.
"Kalian berdua kenapa, sih? Jahat banget!" Ratih ikut berkomentar.
Yumna dan Tita terdiam. Mulut mereka seakan terkunci. Ke mana kecerewetan mereka pergi?
"Kenapa kalian diam aja?!" teriakku dengan suara gemetar.
Kini Yumna menunduk, deru napasnya menampakkan bahwa dia sedang menahan amarah. "Iya!" seru Yumna kemudian. Gadis itu berdiri dan menatap mataku tajam. "Iya, semuanya ulahku, semuanya rencanaku, semuanya keinginanku!"
Aku mengernyit. Menatap Yumna penuh selidik. "Ta-tapi ... kenapa?"
"Karena saya benci sama kamu, Ra!" respons Yumna cepat, tanpa pikir panjang. "Kamu udah bikin orang yang saya cintai menderita!"
"Saya nggak ngerti—"
"Makanya kamu harus ngerti!" potong Yumna. Aku semakin tak paham ke mana arah pembicarannya.
Aku terdiam sejenak. Hanya beberapa detik, aku buka suara lagi. "Apa pun alasan kamu, kamu nggak harus lakuin ini, Yum."
"Jadi, sekarang kamu anggap saya yang salah? Kamu nggak merasa salah? Kamu sadar nggak udah nyakitin Aksa dan Rafif bersamaan? Kamu nggak suka sama Aksa tapi kamu malah nerima dia, ngasih harapan palsu ke dia. Kamu juga nyakitin Rafif, dia sayang sama kamu tapi kamu malah pacaran sama orang lain! Dari semua yang udah terjadi, kamu nggak merasa bersalah?" Rentetan pertanyaan telak dari Yumna membuatku mati kutu. Yumna sama sekali tak mengizinkan aku berbicara. Tapi ... semua yang dia katakan itu ... benar?
Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku berlari keluar dari kamar Tita. Meninggalkan mereka semua dengan air mata berlinang. Apa yang terjadi pada kami? Apa yang terjadi padaku?
***
Bruk!!
"Aw!" pekikku.
"Kamu kenapa sih, Ay? Kaca aja sampai nggak kelihatan," tanya Bunda heran.
Aku meringis seraya mengusap dahiku. Seketika aku tersadar telah menabrak kaca yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Aku menatap Bunda yang sedang menonton televisi, tetapi kini menatapku tajam.
"Bun...," lirihku, "barusan Bunda negur Ayra, Bunda udah nggak marah?"
"Kemarin-kemarin kan Bunda juga negur," balas Bunda singkat.
"Tapi sikap Bunda masih dingin sama Ayra. Ayra nggak bakalan bisa balik sama Aksa, Bun, Ayra udah nggak ada perasaan sama dia," jelasku. Setelahnya aku berlalu menuju kamar tanpa melihat bagaimana ekspresi yang ditunjukkan oleh Bunda.
"Ay!" cegah Bunda begitu aku akan masuk ke kamar. Aku menoleh. "Kamu nggak perlu mikirin Aksa. Fokus aja sama try out," lanjutnya.
"Selesai try out, selesai UAS, maupun selesai UN, Ayra tetap nggak bisa balik sama Aksa, Bun," jawabku, kemudian menghilang di balik pintu.
Aku hanya butuh satu hal sekarang. Ketenangan.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top