BAB 2 🍒 Hari Pertama

Happy reading...
.
.
.
.

"Gimana, Sayang? Capek, ya? Sini duduk di samping Bunda."

Aku berjalan mendekati Bunda yang tengah duduk di sofa ruang keluarga, menonton televisi bersama Afan, adikku. Sebisa mungkin aku berjalan normal agar Bunda tak mengetahui bahwa kakiku sedang terluka. Bunda merupakan tipe orang yang cepat panik. Jika Bunda tahu apa yang terjadi padaku, dia pasti akan sangat marah sekaligus khawatir. Aku tak mau membuatnya merasa seperti itu.

"Udah makan?" tanya Bunda begitu aku telah duduk di sampingnya.

"Udah kok, Bun," jawabku pelan.

"Mau dibuatin jus? Biar seger." Bunda menawarkan. Mungkin wajahku terlalu pucat untuk disebut baik-baik saja.

"Nggak usah, Bun. Ayra mau istirahat di kamar aja," jawabku, lantas bangkit dari sofa. Sebelum Bunda bertanya lebih jauh, aku harus segera menghindar. Sungguh aku tak ingin Bunda mengkhawatirkan keadaanku.

"Kak Ay, tadi Kak Adit nelfon," sahut Afan dengan tatapan mata tak beralih dari mainan lego kesayangannya. Susunan lego itu kini sudah membentuk sebuah rumah mewah. Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, adikku itu memang sangat menyukai lego. Dia kemudian melanjutkan, "Katanya kalau Kak Ay udah pulang suruh telfon balik."

Aku memang biasa disapa Ay oleh keluargaku. Katanya biar lebih mudah memanggil. Lebih simpel. "Oke, Sayang," jawabku seraya mengecup kening adikku yang kini duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar itu.

"Apaan sih, Kak Ay, Afan bukan anak kecil lagi," protesnya kesal. Dia mengusap keningnya dengan wajah cemberut.

"Ciyee ... udah gede ya sekarang."

"Iya, dong," sahutnya.

"Udah, Ay, ganti baju sana. Terus istirahat." Bunda bersuara setelah sebelumnya hanya tersenyum melihat aku dan Afan. Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda, warna kesukaanku.

Aku pun merebahkan tubuh di atas kasur, menutup mata, mencoba menghilangkan penat. Tak lama kemudian, ponselku bergetar. Ada sebuah pesan singkat dari seseorang dengan nama kontak 'Darling Brother'.

Ay, udah pulang? Nanti malam Kakak telfon ya. Sekarang masih ada urusan di kampus. Pokoknya Kakak mau dengar cerita kamu selama MOS. Oke?

Aku tersenyum lebar membaca pesan dari Kak Adit. Aku pun segera membalas pesan dari kakakku yang kala itu sedang berada di Bandung. Selanjutnya, aku kembali menutup mata. Menenangkan pikiran. Mencoba menghayati setiap kejadian yang telah aku lewati, terutama kejadian di hari terakhir MOS. Aku berusaha menyerap makna di balik setiap peristiwa yang telah aku alami. Aku yakin, semuanya memiliki arti tersendiri.

Entah apa makna dibalik pertemuanku dengan dua penolong itu.

Aku belum bisa memahaminya.

***

Langit masih gelap. Sang fajar belum menampakkan diri. Banyak pula orang yang masih terlelap bersama mimpi-mimpinya. Aku yang baru saja selesai salat subuh langsung beringsut ke meja belajar. Buku-buku baru yang masih tersegel plastik bening kubuka dengan perlahan, lalu beberapa buku aku masukkan ke dalam tas baru, yang pastinya bukan tas dari karung lagi. Semuanya serba baru. Hal yang paling membuatku gembira adalah seragam putih abu-abu. Kalian yang kini sudah menduduki bangku Sekolah Menengah Atas, pasti tahu kan sensasinya ketika baru pertama kali menggunakan seragam kebanggaan itu? Senang sekali rasanya.

Setelah menyiapkan buku-buku dan menyetrika seragam, aku kembali ke tempat ternyaman. Apa lagi kalau bukan kasur? Tempat teristimewa untuk beristirahat dan bersantai ria. Aku menyalakan ponselku. Waktu itu aku memakai ponsel Samsung Galaxy SIII. Ponsel keluaran tahun 2012 itu kubeli bersamaan dengan Tita dan Ratih sehingga kami memiliki ponsel yang kembar dan acap kali tertukar. Kala itu masih jarang orang yang menggunakan android. Jika ada yang sudah menggunakan android, maka akan dianggap luar biasa, akan dianggap orang berada. Beda dengan sekarang, hampir tak ada orang yang tak memiliki android.

Aku langsung membuka facebook dan menulis status: Hari pertama di SMA, semangat!

Kalau dipikir-pikir, pada zaman itu aku alay sekali. Semua hal, semua kegiatan, bahkan yang tak penting sekali pun disebarkan melalui status. Aku geli sendiri memikirkannya.

Status baruku sudah muncul di beranda facebook, berharap mendapatkan banyak like. Entah apa faedahnya. Kemudian jariku tertarik untuk menengok permintaan pertemanan. Klik. Muncullah beberapa nama. Sekitar sepuluh akun. Namun, ada satu akun yang paling menarik perhatianku.

Muhammad Rafif Sava.

Rafif? Mendadak aku jadi penasaran dan mengintip profilnya. Seorang lelaki dengan senyum manis berdiri di depan sebuah rumah sederhana dengan cat biru muda. Ternyata dia benar-benar Rafif. Si Eye Smile. Untuk ukuran anak remaja zaman itu, nama akun facebook-nya sangat normal, sama sekali tidak alay. Aku jadi malu sendiri melihat nama akun facebook-ku: Rha Ayra KhayRa. Namun, pada zaman itu, 'alay' adalah sesuatu yang sangat biasa.

Meski begitu, tetap saja aku merasa malu. Sumpah. Entah kenapa. Aku berpikir untuk segera menggantinya, tetapi si Eye Smile itu sudah telanjur melihatnya. Ah, biarlah. Aku memutuskan untuk tetap mengubahnya: Khayra F Harun.

Aku kemudian mengonfirmasi permintaan pertemanannya. Hanya hitungan detik, hal yang tak pernah aku duga terjadi. Dia mengirim pesan padaku.

Thanks ya udah dikonfir.

Aku segera membalas: Sama-sama.

Aku menunggu balasan lagi darinya. Dia sudah membaca pesanku, tetapi dia belum membalas. Apa dia sengaja? Ah, iya, lagi pula apa yang harus dibalas? Apa yang harus kami bahas? Kami bahkan belum pernah berkenalan secara langsung. Aku bahkan tak ada urusan dengannya, dan sebaliknya. Untuk apa aku berharap bisa chat dengannya?

Aku hendak mematikan data selulerku ketika sebuah pesan kembali datang.

Muhammad Rafif Sava: Kamu ingat saya, kan?

Khayra F Harun: Iyaa, yang di minimarket kan, Hamba Allah? Haha....

Aku sedikit menyinggung mengenai surat pemberiannya yang dititipkan pada Tita. Surat yang berhasil membuatku tertawa lepas, padahal isinya sangat singkat.

Muhammad Rafif Sava: Haha ... iya. Oh ya, nama panggilanmu siapa?

Khayra F Harun: Panggil Ayra aja. Kamu?

Muhammad Rafif Sava: Rafif.

Khayra F Harun: Ooh, iyaa.

Muhammad Rafif Sava: Ya udah. Saya mau siap-siap ke sekolah.

Khayra F Harun: Oke.

Hanya percakapan singkat, dan juga tidak ada hal spesial. Namun, entah kenapa aku merasa senang. Bahkan aku terus tersenyum selama beberapa menit. Aneh, bukan? Ah, tapi yang terpenting, dia sama sekali tak membahas nama akunku sebelumnya. Alhamdulillah.

Aku segera beringsut meninggalkan kasur kesayanganku. Lalu mandi dan bersiap ke sekolah.

***

Nama Khayra Fayyola Harun terpampang nyata berada di bagian daftar nama kelas X.A. Aku menatap kertas di mading itu dengan kesal. Aku tak menemukan nama Tita dan Ratih di sana. Itu artinya, aku harus bersiap-siap mencari teman baru yang bisa kuajak bicara di kelas nanti. Menyebalkan. Aku tak suka bertemu orang baru tanpa ada teman lama di sisiku. Sebab aku termasuk orang yang sangat sulit beradaptasi.

"Ayraaa!" teriak Tita yang baru saja tiba di sekolah bersama Ratih. Mereka segera berlari ke arah mading, menghampiriku.

"Gimana gimana? Saya cantik kan pakai putih abu-abu? Ya ampun, akhirnya bisa pakai baju ini," celoteh Tita sembari bergaya layaknya model. Alih-alih menjawab ocehan Tita, aku dan Ratih malah menatap intens gadis cerewet itu.

"Kenapa?" tanya Tita, merasa terintimidasi.

"Lebay!" seruku dan Ratih serempak, bagaikan mendapat komando.

Tita memonyongkan bibirnya kesal. Selanjutnya, tatapan matanya beralih ke mading, tak mau memperpanjang ejekan 'Lebay' dari aku dan Ratih. "Oh, ini pembagian kelas?" gumamnya.

"Saya di X.A, nama kalian berdua nggak ada," ujarku nelangsa.

Tita dan Ratih tak menggubris ucapanku, mereka mulai sibuk mencari nama mereka dengan membaca satu per satu nama yang terpampang. Padahal sebenarnya tak perlu membaca nama satu per satu, cukup cari saja di sekitar abjad T. Entah mereka terlalu teliti atau memang pikiran mereka tak sampai ke sana. Aku mengikuti arah jari telunjuk mereka yang sedang menari di permukaan mading.

26. ....

27. ....

28. TITANIA

29. TRI RATIH

Absen urutan ke-28 dan 29 di kelas X.D itu spontan membuat dua sahabatku berteriak kegirangan. Bagaikan anak kecil yang baru mendapat hadiah mainan kesukaannya, mereka melompat-lompat tanpa memedulikan diriku. Sampai aku berdeham, perayaan mereka terhenti.

"Aduh, kasihan si Ayra nggak sekelas sama kita, cup cup cup," hibur Tita dramatis seraya merangkul dan mengelus kepalaku.

"Tenang aja, Ra. Kalau ke kantin kan kita bisa tetap bareng," tambah Ratih.

"Kalau ada yang jahat sama kamu, lapor ke saya aja, Ra. Biar saya hajar!"

"Kalian ngeselin, ya," komentarku.

"Tapi tetap sayang, kan?" balas Tita dengan sebelah alis terangkat.

Aku hanya bisa tersenyum dan merangkul kedua sahabatku itu. Pembicaraan kami harus terhenti oleh bel yang berbunyi nyaring. Kami harus segera mengikuti apel pagi.

***

Selesai apel pagi, aku berjalan menuju kelas X.A sendirian. Tak ada satu pun siswa kelas X.A yang kukenal. Aku semakin kesal setelah tahu bahwa aku tak satu gedung dengan kelas X.D. Peletakan kelasnya diacak, katanya biar pergaulan tak hanya pada siswa satu angkatan saja. Benar-benar menyebalkan. Ditambah lagi diriku yang sulit beradaptasi pasti akan menghambat pergaulanku. Ah, aku sangat berharap ada yang mengajakku berkenalan. Karena jika tidak, aku tak akan pernah punya teman.

"Khayra!" teriak seseorang saat aku sedang berjalan di koridor. Aku berbalik, seorang lelaki yang wajahnya sudah tak asing lagi sedang berlari kecil ke arahku. Setelah lelaki itu berdiri di depanku, aku langsung ingat bahwa dia adalah Aksa. Melihatnya dari dekat, aku baru sadar bahwa dia memiliki tahi lalat di bibir bagian bawah. Cukup menarik. Itu membuatnya semakin tampan. Apalagi bibirnya itu berwarna merah muda, tak pucat seperti lelaki kebanyakan. Dia pasti bukan anak nakal yang suka merokok. Kulitnya yang putih dan bersih semakin menambah daya tariknya. Oh, iya. Aku baru ingat bahwa Aksa dan Rafif mendadak jadi lelaki idaman di sekolah semenjak hari terakhir MOS. Pantas saja banyak mata yang menatap ke arah kami. Terutama mata para gadis. Ck!

"Kemarin kita belum kenalan, kan? Saya Aksa," ujarnya tanpa basa-basi, sembari mengulurkan tangan.

Aku menatap wajah Aksa sejenak, lalu tersenyum dan menerima uluran tangannya. "Panggil Ayra aja."

"Oke, Ayra," jawabnya ramah. "Oh ya, kamu kelas apa?"

"X.A," jawabku singkat, agak canggung. "Kamu?"

"X.B, bareng sahabat baru."

Entah siapa sahabat baru yang dimaksud oleh Aksa, tetapi aku tak bertanya lagi. Kami berdua akhirnya berjalan bersama karena kelas kami saling berdampingan. Masing-masing dari kami hanya berdiam diri. Momen canggung tiba-tiba saja tercipta. Entah dari mana asalnya.

Aku tiba di kelas dan ternyata tempat duduk telah diatur. Di setiap kursi, tertera nomor absen. Aku pun mulai mencari nomor absenku yang ternyata ada di salah satu bangku terdepan, tepatnya di bagian paling kanan dekat pintu. Dan ... seorang gadis telah duduk di sana. Gadis itu tak asing bagiku. Senyum seketika terbit dari bibir merah mudaku.

"Hai, kamu di sini?" sapa gadis itu langsung. "Duduk aja, jangan malu-malu."

Aku hanya mengangguk. Aku langsung bisa menebak, sepertinya gadis yang menjadi teman sebangkuku itu adalah Tita sapiens. Saat aku duduk, gadis itu menatap wajahku lekat-lekat. Hal itu membuatku mulai tak nyaman. "Ke-kenapa?" tanyaku bingung.

"Kamu yang kemarin disuruh lari sama Kak Vela, kan?" tebaknya. Ternyata dia baru sadar.

Aku tersenyum dan mengangguk mengiakan. "Yumna Arista, kan? Yang waktu itu baris di sampingku," sahutku.

Yumna tersenyum canggung. Lalu berkata, "Kamu ingat namaku ya, tapi maaf saya nggak ingat namamu."

"Nggak apa-apa. Namaku Khayra Fayyola, panggil aja Ayra," ujarku, yang diikuti anggukan kepala dan senyuman dari Yumna.

"Kak Vela itu nyebelin banget, awas aja kalau ketemu lagi. Saya nggak bakalan pernah nurut sama dia," gerutu Yumna kesal. "Modal tampang doang. Saya yakin, dia pasti nggak pintar," sambungnya. Aku hanya tertawa mendengarnya.

Saat itu juga, aku benar-benar langsung teringat Tita. Sepertinya telingaku harus bersiap-siap menghadapi dua gadis cerewet dalam hidupku.

"Kenapa ketawa?" tanya Yumna heran.

"Kamu mirip sahabatku, namanya Tita. Nanti saya kenalin," jawabku apa adanya. Entah kenapa aku langsung bersemangat saat bicara dengan gadis berambut panjang sepunggung itu. Senang sekali rasanya. Sebenarnya, aku sudah pernah bertemu Yumna di hari pertama MOS, bahkan sudah pernah berbicara sekali ketika jam makan siang. Hanya saja, baru kali ini kami berkenalan dan berbicara banyak. Aku berharap, Yumna bisa menjadi teman yang baik untukku. Setidaknya, aku tak akan kesepian di kelas ini.

***

Hari pertama sekolah hanya diisi dengan perkenalan. Seperti biasa, satu per satu menyebutkan nama dan asal sekolah. Istilahnya 'tak kenal maka tak sayang'. Di mana-mana, semuanya butuh perkenalan.

"Ke kantin, yuk!" ajak Yumna saat jam istirahat.

"Tapi saya ajak Tita dan Ratih, ya?" pintaku. Yumna tersenyum senang dan mengangguk. Baru saja kami akan pergi ke kelas X.D, Tita dan Ratih lebih dulu datang menghampiri.

"Gimana? Kalian duduk bareng?" tanyaku langsung. Dua gadis itu kompak menggeleng.

"Bersyukur, udah bagus kalian sekelas," ejekku sembari cekikikan. "Oh, ya. Kenalin ini Yumna."

"Hai," sapa Yumna.

"Ini Tita, ini Ratih," ucapku seraya menunjuk Tita dan Ratih secara bergantian. Mereka pun saling bersalaman.

Kami berempat kemudian pergi ke kantin bersama, makan bersama, mengobrol bersama. Tita yang paling banyak bicara pada Yumna. Dia bertanya banyak hal. Aku jadi tahu tentang Yumna berkat mulut cerewet gadis berambut pirang cokelat itu. Pembicaraan di kantin itu juga menambah keyakinanku, bahwa Yumna dan Tita adalah manusia yang sejenis.

"Pulang sekolah jalan, yuk!" ajak Tita di sela-sela makan.

"Gimana kalau ke mal?" saran Yumna.

Aku dan Ratih saling tatap dan akhirnya mengangguk setuju. Sepulang sekolah, kami akan jalan-jalan berempat agar bisa semakin dekat, terutama dengan Yumna.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 15:10 WITA ketika Bunda tiba di rumah. Aku harus meminta izinnya untuk pergi ke mal bersama ketiga temanku. Kulihat Bunda terduduk lelah di sofa ruang tengah, masih dengan balutan baju putihnya. Kasihan Bunda, wajahnya letih sekali.

Baru saja aku akan menghampirinya, ponsel Bunda berdering. Aku harus menunggu Bunda selesai menerima telepon itu. "Halo, Assalamualaikum," sapa Bunda.

"Iya. Maaf, ini siapa, ya?" Bunda bertanya. Sepertinya telepon dari nomor baru.

"Wilda? Ya ampun. Udah lama banget. Kamu apa kabar?"

Aku menatap Bunda yang kini sedang bernostalgia bersama sahabat lamanya. Sudah sangat jelas bahwa yang menelepon adalah Tante Wilda. Sejak aku memberi nomor ponsel Bunda pada Tante Wilda, mungkin ini pertama kalinya Tante Wilda menelepon.

"Ngapain, Kak Ay?" Afan datang dengan cokelat batang di tangannya.

Bukannya menjawab pertanyaan Afan, aku malah meminta cokelat milik bocah itu. "Bagi dong."

Tanpa berpikir, Afan mengeluarkan satu cokelat lagi dari saku celananya, lalu memberikannya padaku.

"Makasih," ucapku singkat. Aku membuka bungkus cokelat itu dan langsung melahapnya. Aku benar-benar tak tahan melihat cokelat. Segala makanan yang mengandung cokelat akan cepat berpindah ke perutku. Tetapi anehnya aku tak pernah gemuk. Berat badanku tak pernah lebih dari empat puluh lima kilogram. Bagaimanapun banyaknya aku makan, tetap saja tak berpengaruh.

"Kenapa, Ay?" tanya Bunda selesai menelepon.

Aku mendekat. Tanpa basa-basi, aku berkata, "Ayra mau izin, Bun. Mau ke mal."

"Bareng Tita dan Ratih?" tanya Bunda sembari bangkit dari sofa.

"Iya, Bun. Sama Yumna juga. Teman baru Ayra," jawabku.

"Oke. Bunda juga mau ketemuan sama Tante Wilda. Kamu jangan pulang malam-malam, ya," titahnya. Aku mengangguk paham.

"Afan di rumah aja ya sama Bibi. Mau titip apa? Nanti Bunda beliin."

"Terang bulan!" sahutku dan Afan kompak, membuat Bunda tersenyum lebar. Terang bulan adalah sebutan untuk martabak manis di Kota Palu. Entah dari mana asal namanya, aku juga tak tahu, yang jelas di Kota Palu martabak manis disebut dengan nama terang bulan. Aku dan Afan sangat menyukai makanan lezat itu.

***

Sudah hampir tiga jam kami berkeliling mal. Masing-masing dari kami sudah menenteng belanjaan. Tita dan Yumna kompak membeli baju, sepatu, dan jam tangan. Dua gadis itu sepertinya memang sangat cocok. Klop. Sementara Ratih hanya membeli beberapa lembar kerudung, menambah koleksi kerudungnya yang sudah lebih dari satu lemari. Sedangkan aku, aku hanya membeli sebuah boneka doraemon.

"Makan, yuk!" ajak Tita sembari mengusap perutnya. "Laper nih!"

"Ayo!" sahut kami bersamaan.

Memang, belanja membuat perut keroncongan.

"Tapi saya nggak mau makan di dalam mal. Makan di restoran depan mal aja, makannya enak banget," ujar Yumna.

Aku, Tita, dan Ratih saling tatap. Sampai akhirnya kami mengiakan.

Kami pun menuju ke restoran yang ada di depan mal. Hernando Resto. Begitu nama yang terpampang di depan restoran itu. Hernando? Rasanya aku tak asing dengan nama itu, tapi entahlah. Aku tak bisa mengingatnya. Restoran itu tak begitu besar, tapi desain bangunannya sangat menarik. Pernak-pernik di dalamnya pun menyegarkan. Serba hijau. Aku bisa menyimpulkan bahwa restoran itu mengambil tema "Taman". Sembari menunggu pesanan, kami berempat berfoto ria. Unggah di facebook, saling tag, dan bikin caption alay. Sungguh memalukan jika mengingatnya.

"Saya ke toilet dulu, ya. Kebelet nih!" ujarku. Saat itu aku memang ingin buang air kecil.

"Oke, Ra."

Aku pun langsung berdiri dan hendak menuju toilet sembari bermain ponsel. Namun, aku tak memperhatikan bahwa ada seorang pelayan dari arah depan yang sedang membawa minuman. Kejadiannya begitu cepat, sampai akhirnya aku bertabrakan dengan pelayan itu.

"Ihh!!" pekik seorang gadis tiba-tiba.

Gadis itu terkena tumpahan jus oleh pelayan yang tadinya mencoba menghindariku. Aku terhindar, tapi minumannya malah tumpah di baju salah satu pelanggan. Gadis itu berdiri, lalu menatapku tajam.

Deg!!

Apa aku tidak salah lihat? Astaga, kenapa harus dia lagi?

Gadis cantik berwajah oriental itu ... Kak Vela.

"Kamu anak manja itu, kan?" ucapnya dengan wajah meremehkan. "Kamu kalau jalan pake mata, dong! Jalan malah lihat hape, lihat nih bajuku jadi kotor!"

"Maaf, Mbak. Saya minta maaf," ucap pelayan pria yang tadi membawa minuman.

"Mas diam aja, ini salah cewek manja ini!" sahut Kak Vela sarkastis. Tatapannya sangat sinis. Ah, mungkin gadis ini dendam padaku. Apa dia mendapat hukuman dari Kak Ferdi atas ulahnya tempo hari?

"Maaf, Kak. Saya nggak sengaja," ucapku. Sungguh, aku tulus. Karena memang aku yang bersalah saat itu.

"Terus, kalau kamu minta maaf semuanya selesai gitu?" Kak Vela menaikkan sebelah alisnya.

Aku melihat ke sekelilingku, semua mata tertuju padaku. Sial. Aku tak suka situasi seperti ini. Aku tak suka menjadi pusat perhatian. Aku tak suka ditatap oleh banyak orang. Tanganku mulai gemetar lagi. Kumohon ... hentikan.

"Santai dong, Kak. Nggak usah emosi. Ayra kan nggak sengaja." Tita muncul bak pahlawan. Ketiga temanku tentu saja menyaksikan kejadian itu sejak tadi.

"Teman kamu yang salah!" bentak Kak Vela.

"Eh, santai dong!" Sekarang Yumna yang datang.

Dari arah belakang, seseorang merangkulku, mencoba menenangkan diriku yang sudah gemetaran. Ratih, dia mengusap punggungku.

"Ini ada apa, sih?" sahut seseorang tiba-tiba. Seorang lelaki tepatnya.

"Maaf, Den. Ini salah saya," ucap pelayan yang sejak tadi diam terpaku di dekatku.

Aku menatap lelaki itu. Dia menggunakan celana jins belel dengan hoodie berwarna cokelat. Ah, sepertinya apa pun yang dia kenakan, dia tetap terlihat tampan. Tapi ... kenapa dia bisa ada di sini? Baiklah, itu bisa dikatakan kebetulan. Ada yang lebih mengundang tanya. Kenapa pelayan itu memangginya 'Den' dan sangat sopan padanya? Memangnya dia siapa?

Ah, seharusnya siapa dia itu tidak penting, yang terpenting ... apakah kali ini dia akan membelaku juga? Bahkan jika aku yang salah?

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top