BAB 18 🍒 Break

Happy reading....

🍒🍒🍒

Pagi itu aku masih berada di atas kasur ketika dering ponsel membuatku tertarik membuka benda pipih itu. Kumpulan pesan dari grup XII IPA 1 menghiasi ponselku. Ternyata mereka antusias sekali dengan rencana belajar bersama.

Romi: Jadi kan hari ini bahas buku detik-detik UN?

Tita: Jadi dong. On time ya. Jam 10 udah harus ada di rumah Ayra.

Ratih: Oke.

Rafif: Sip.

Arman: Siapin makanan ya, Ra :D

Aku tersenyum kecil membaca coletehan teman-teman sekelasku itu. Aku pun beralih ke layar depan ponsel dan melihat waktu, rupanya sudah pukul 07:35 WITA. Aku segera bangun dan cuci muka, lantas menuju meja makan untuk sarapan. Tak ada orang di dapur begitu aku tiba, hanya roti selai kesukaanku dan Afan yang sudah tersedia di atas meja.

Bibi ke pasar ya, Non. Ibu masih tidur, semalam pulang jam 2. Den Afan juga masih tidur. Non sarapan duluan aja.

Seperti biasa Bi Siti meninggalkan pesan di pintu kulkas. Lagi-lagi aku harus makan sendirian. Aku hanya mengambil sepotong roti dan segelas susu, lalu kubawa ke kamarku. Lebih baik makan di kamar daripada makan di meja makan besar itu sendirian. Setidaknya jika di kamar, aku tak terlihat kesepian.

Pukul sembilan tepat, aku sudah duduk di ruang tamu sambil mendengarkan musik. Buku Detik-Detik Ujian Nasional sudah tertata rapi di atas meja, lengkap dengan album selama les, juga beberapa buku catatan. Ketika musik di ponselku beralih ke lagu Ungu yang judulnya Cinta Dalam Hati, bel rumahku berdenting. Aku sempat berpikir mungkin itu teman sekelasku. Tetapi melihat waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh, dan aku tahu bahwa teman-temanku itu suka molor, aku pun bangkit untuk membukakan pintu. Aku yakin itu adalah tamu lain.

Pintu terbuka, menampilkan figur lelaki tujuh belas tahun dengan pakaian kasual. Lengkap dengan senyum manisnya yang selalu membuat hatiku berdebar.

"Hai," sapanya, "kenapa kaget?"

Aku tersenyum sekilas. "Rafif? Kirain orang lain. Ini baru setengah sepuluh, biasanya kan kalian suka molor," jawabku.

"Kalian? Kamu pernah lihat saya molor waktu?"

"Enggak, sih. Kamu selalu tepat waktu. Ayo masuk!"

Aku dan Rafif duduk di ruang tamu. Aku duduk di sofa panjang, sementara Rafif di sofa pendek di sampingku. Mendengar lagu yang sedang diputar di ponselku, Rafif tersenyum. Senyum yang aneh, tak seperti biasanya.

Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu

Meski ku tunggu hingga ujung waktuku

Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya

Rafif ikut bersenandung pelan, tetapi masih terdengar di telingaku. "Kamu suka lagu ini?" tanyaku mencari bahan obrolan.

"Banget," jawab Rafif, "soalnya lagu ini mewakili perasaanku."

"Mewakili perasaan?" Aku tak mengerti maksud Rafif.

"Bercanda, lupain aja," balas Rafif santai.

Setelah itu, entah kenapa suasana mendadak canggung. Masing-masing dari kami berdiam diri. Tak tahu topik apa yang harus dibicarakan. Sampai akhirnya Rafif memecah keheningan. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan buku Detik-Detik Ujian Nasional Fisika.

"Pecahin soal, yuk!" ajaknya. Aku mengangguk cepat dan mematikan musik di ponselku.

"Buka halaman 123 deh!" titah Rafif. Aku mengikuti instruksinya. "Nomor sepuluh. Siapa duluan selesai, dia yang menang."

Aku sontak menatap Rafif, lalu tertawa kecil. "Oke, siapa takut."

Stopwatch di ponselku mulai berjalan. Kami mulai sibuk mencoret-coret kertas, melakukan perhitungan agar mendapat jawaban yang benar. Namun, sepuluh menit berlalu, belum ada yang selesai mengerjakan soal itu. Masing-masing menggaruk kepala kebingungan.

"Ini gambarnya gimana, sih?" keluh Rafif. Dia terlihat menggemaskan sekali.

"Ha ha, kenapa nyalahin gambar, sih?" responsku dengan tawa kecil.

"Rumusnya nggak bisa dipake, nggak ada massanya."

"Ya massanya dicari dulu."

Kami terus berdebat dengan soal-soal membingungkan itu sampai akhirnya Rafif merasa pusing. "Udah, ah!" serunya, membuatku tersenyum melihat wajah kesalnya. "Nih anak-anak mana lagi, udah setengah sebelas belum pada datang."

"Saya udah bilang, kan, mereka molor," kataku.

"Main yuk, Ra!" ajak Rafif bersemangat.

"Main apa?"

"Hm ... tebak-tebakan?"

"Boleh."

"Saya duluan, ya. Kecil, putih, bisa terbang ke mana-mana. Apa coba?"

"Burung?" tebakku ragu.

"Kecilnya sekecil upil," timpal Rafif.

"Apaan?" Aku mengernyit bingung.

"Nyerah?" tanyanya, aku langsung mengangguk. Reaksiku membuat senyum Rafif kembali merekah. "Sebutir nasi nempel di pesawat," jawab Rafif akhirnya.

"Ih, apaan, nggak masuk akal." Aku mencoba melakukan protes dengan tawa kecil.

"Masuk akal, dong. Kamunya aja yang nggak pernah dengar." Rafif membela diri.

Aku pun tak mau kalah. Aku balas memberinya tebak-tebakan yang sulit. Alhasil kami terus tertawa karena banyak jawaban dari terbak-tebakan yang tak masuk akal. Aku tertawa seakan tak ada beban, semua masalah seperti hilang begitu saja dari hidupku. Rafif yang selama ini pendiam ternyata punya sisi humoris yang jarang sekali terlihat. Dia bukan tipe lelaki yang membosankan seperti kata orang, justru dia adalah tipe lelaki yang akan selalu membuat orang terdekatnya tertawa. Dan aku sudah menyadari hal itu.

"Ayra!"

Seruan seseorang yang tiba-tiba itu menghentikan tawaku dan Rafif. Kami terlalu senang, sampai tak mendengar ada seseorang yang datang. Aku sontak saja bangkit ketika melihat Aksa sedang berdiri dan menatap horor ke arahku. Rafif tak ikut menampilkan wajah tegang, dia justru terlihat santai.

"Hai, Sa. Mau ikut belajar bareng? Kamu datang duluan dari teman-teman IPA 1," celoteh Rafif dengan tawa kecil. Mungkin dia sedang mencoba membuat suasana tidak tegang.

Aksa menghampiriku dan menarik pergelangan tanganku sampai ke teras, dengan cara yang lumayan kasar. "Lepas, Sa, sakit," keluhku. Genggaman tangan Aksa sangat erat sampai kulitku memerah.

"Ngapain kamu?" tanya Aksa dengan nada rendah, tetapi terdengar menakutkan.

"Saya mau belajar bareng teman-teman sekelas," jawabku jujur dengan sesekali meringis.

"Jawab jujur!" sungut Aksa dengan nada suara naik beberapa oktaf.

"Lepasin!" Aku melakukan perlawanan dengan menghempas keras tangan Aksa sampai terlepas.

"Ngapain kamu berduaan sama Rafif di sini?!" Teriakan, bahkan terdengar seperti makian itu membuat tubuhku bergetar seketika. Aku diam terpaku di hadapan lelaki yang sudah bersamaku selama dua tahun itu. "Kalian selingkuh ya di belakangku?"

"Saya udah bilang, Sa. Saya mau belajar bareng," lirihku.

Aksa menyeringai. "Belajar bareng berdua?!"

"Teman-teman lain belum datang, Sa. Saya nggak bohong." Terdengar jelas suaraku bergetar. Siapa pun yang mendengarnya, pasti bisa menebak bahwa aku sedang menahan tangis.

"Saya nggak percaya! Kamu cuma nyari alasan doang!"

"Rafif itu teman kamu, Sa. Kenapa kamu nggak percaya sama kita?" Aku mencoba melawan.

"Gimana mau percaya, Ra? Kalian berdua itu selalu mencurigakan, terutama tatapan mata kalian itu!" Aksa pun tak kehabisan kata-kata.

Aku terdiam seketika. Manik mataku menatap Aksa intens. Kemarahan, kekecewaan, dan rasa sakit yang saat itu kurasakan. Perlahan butiran bening mengalir di pipi tirusku, tak bisa dibendung lagi. Aku terisak, aku menangis. Sementara Aksa dengan segala amarahnya hanya diam memandangku yang sedang terisak di depan matanya. Ah, aku benar-benar cengeng.

"Oke. Saya udah capek, Sa. Kamu nggak pernah percaya sama saya," ucapku, masih sesenggukan. Aku lalu memberanikan diri menatap mata Aksa. "Aksa ... kita putus aja. Saya udah nggak bisa lagi sama kamu. Kita putus!"

"Putus?" Aksa seperti tak percaya.

"Saya mau putus," ujarku meyakinkan, walau dengan suara gemetar.

Aksa menghela napas, telapak tangan kanannya mengusap wajahnya dengan kasar. Lelaki jangkung itu lalu kembali menatapku. "Setahun belakangan ini kita selalu berantem, Ra. Tapi saya nggak pernah sekali pun kepikiran untuk putus. Dan hari ini, kamu...."

"Ayra udah jujur, Sa," ucap Rafif yang tiba-tiba keluar, dia telah berdiri di antara aku dan Aksa. Mata Aksa langsung terarah padanya. Sementara aku hanya tertunduk dan menangis. "Kamu bisa cek hapenya. Dari semalam sampai pagi tadi, ada chat di SMS grup. Kita emang janjian, tapi sampai sekarang mereka belum datang," lanjutnya.

Aksa terdiam. Dia menatapku sejenak, lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Dengan mudahnya dia pergi, semudah aku mengucap kata putus.

"Kenapa kamu putusin, Ra?" serang Rafif begitu Aksa sudah berlalu pergi.

Aku mendongak. Mataku sudah memerah. "Kamu pulang aja. Kasih tahu Pak Ali, kalau ada teman-teman yang datang suruh pulang aja. Saya nggak mau ketemu siapa-siapa," ujarku yang masih sesenggukan. Tanpa menunggu balasan dari Rafif, aku berlari masuk ke dalam rumah dan langsung mengunci pintu.

"Tunggu, Ra!" Rafif berusaha mencegah, tetapi terlambat. "Kunci motor dan barang-barangku ada di dalam," gumamnya nelangsa. Tetapi aku masih tak peduli.

***

Tok tok tok!

Sudah ke sekian kali Bunda mengetuk pintu kamarku, tetapi aku tak kunjung membuka pintu. "Ay, kamu kenapa sih, Nak? Ada apa?"

Aku masih tak menjawab. Hanya berbaring di ranjangku, di balik selimut, dengan air mata yang terus mengalir. Tak lama kemudian, Bunda berhenti mengetuk. Aku mendengar suara Bi Siti. "Bu, ada telepon dari Bu Wilda, katanya dia hubungi nomor Ibu tapi nggak aktif," lapornya.

"Astaga! Dari rumah sakit tadi saya lupa charger hape!" pekik Bunda. "Ya udah, Bibi bujuk Ayra makan, ya, saya terima telepon dulu."

"Iya, Bu."

Tante Wilda telepon Bunda? Apa jangan-jangan Aksa sudah bilang ke mamanya kalau kami sudah putus? Ah, bagaimana ini? Bunda pasti kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Aku benar-benar sudah tak tahan dengan sikap Aksa yang sangat posesif.

***

Malam harinya, aku akhirnya keluar dari kamar dengan mata bengkak dan wajah lesu. Aku keluar untuk makan malam. Walaupun menangis seharian, aku bukan gadis bodoh yang akan mogok makan hanya karena putus dari pacar. Menyiksa diri dikala sedang sedih bukanlah hal yang tepat dilakukan. Justru kita harus bangkit dan berbuat lebih baik dari sebelumnya. Itu yang aku pernah dengar dari Ayah. Dan itu akan selalu membekas dalam ingatanku. Jadi, untuk apa menangis seharian? Ini harus dihentikan sekarang juga!

"Bunda udah dengar dari Tante Wilda," ucap Bunda yang sedang mengatur piring saat aku tiba di meja makan. "Kamu harus minta maaf sama Aksa," lanjutnya tegas.

"Ayra salah apa, Bun?" responsku dingin.

Bunda langsung menghentikan kegiatannya, lalu menatapku. "Ay, kamu yang mutusin Aksa—"

"Emang bener, Ayra yang mutusin dia." Aku menyela perkataan Bunda. "Jadi, Bunda mau Ayra minta maaf sama Aksa dan minta balikan gitu? Enggak, Bun. Ayra nggak mau."

Selera makanku tiba-tiba hilang dalam sekejap. Aku berbalik ke kamar ketika suara lantang Bunda tiba-tiba menggetarkan hatiku. "Bunda nggak bakal bicara sama kamu sampai kamu dan Aksa balikan!"

Setelah mengucapkan kalimat horor itu, Bunda bergegas pergi dari meja makan. "Kamu makan aja duluan, Bunda nanti nyusul."

Aku masih membatu di tempatku. Sama sekali tak menyangka bahwa Bunda akan berbicara seperti itu. Air mata yang sejak tadi tertahan, kini mulus menghujani kedua pipi tirusku. Aku kembali ke kamar, mengunci pintu, masuk dalam selimut dan berbaur di sana selama yang aku mau.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top