BAB 15 🍒 Rindu Ayah
Happy reading...
Selepas magrib, aku memutuskan untuk mendatangi Yumna. Aku harus menceritakan kejadian di taman agar Yumna bisa membantu menjelaskan kepada Aksa tentang kejadian sebenarnya. Hujan deras mengguyur kota Palu ketika aku berada dalam perjalanan. Beberapa pengendara motor memilih untuk singgah di beberapa gerai fotokopi, warung-warung kaki lima, bahkan pelataran toko. Ada pula yang memilih melanjutkan perjalanan karena sudah kepalang basah. Aku ingat pernah naik motor hujan-hujanan bersama Aksa, yang berujung dicerahami Bunda sebab aku mendadak flu. Ah, Aksa. Dia benar-benar membuatku bingung.
Rumah Yumna hanya tinggal beberapa meter saja ketika kulihat motor Rafif memasuki rumah dengan gerbang hitam itu.
"Berhenti di sini aja, Pak!" seruku cepat.
"Lho, kenapa, Non?" tanya Pak Jono mulai memelankan laju mobil.
"Udah, berhenti aja, Pak."
Pak Jono pun menurut. Aku segera keluar dari mobil dan membuka payung untuk melindungi diriku. Untung saja hujannya tak sederas saat berada dalam perjalanan, hanya menyisakan gerimis. Aku kemudian berjalan sampai tepat di depan gerbang rumah Yumna. Aku mengintip ke dalam. Kulihat Rafif yang sudah basah kuyup sedang berdiri di depan pintu. Tak lama kemudian, Yumna keluar. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan hingga memutuskan untuk mendekat.
Dengan perlahan, aku memasuki pelataran rumah bernuansa ungu itu dan akhirnya bersembunyi di balik mobil Yumna yang sedang terparkir di dekat motor Rafif. Setidaknya tempat itu lebih dekat dari pintu dan aku sudah bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Saya beneran dijambret, Raf. Saya udah bilang kok sama Ayra," ujar Yumna.
"Dijambret tapi masih sempat hubungin Aksa? Kamu punya berapa hape, sih?" tanya Rafif. "Ah, bukan. Kamu punya berapa nomor?" lanjutnya meralat.
"Saya nggak ngerti kamu ngomong apa." Yumna bersedakap tangan di dada sambil memalingkan wajahnya.
"Kamu kan yang hubungin Aksa dan nyuruh dia ke taman? Kamu mau jebak saya sama Ayra?" Mendengar pertanyaan Rafif, hatiku langsung bergetar. Apa benar Yumna melakukan itu?
"Saya habis kena musibah dan sekarang kamu nuduh saya?" Yumna menghela napas sebelum melanjutkan. "Gini ya, Raf. Saya nggak ngerti apa yang kamu maksud dari tadi. Tapi apa pun itu, saya sama sekali nggak pernah punya niat jahat ke orang lain, apalagi teman sendiri."
Mereka terdiam beberapa detik, sampai akhirnya terdengar helaan napas lelah dari Rafif. Lelaki itu kemudian manggut-manggut. "Saya harap benar seperti itu, Yum. Selama dua tahun saya kenal kamu, saya percaya kamu orang baik. Semoga hati kamu nggak pernah dikalahkan sama rasa ego." Yumna masih diam mendengarkan.
"Kamu suka sama Aksa, kan?"
Deg!!
Lagi-lagi pertanyaan Rafif untuk Yumna membuatku tertegun. Ya, sebenarnya aku juga sudah lama mencurigai perasaan Yumna. Sejak pertama kali aku berpacaran dengan Aksa, dia langsung membenciku. Tapi aku tidak menyangka dia akan melakukan ini. Aku masih berharap Yumna bukanlah seperti yang Rafif kira.
Hening. Tak ada jawaban dari Yumna. Rafif yang kelihatannya sudah lelah dan mulai kedinginan dengan baju basahnya, akhirnya memilih meninggalkan Yumna. Dia berbalik badan dan hendak melangkah, tetapi Yumna mencegahnya. "Tunggu!"
Rafif kembali memutar badannya ke arah Yumna. "Tunggu di sini," ulang gadis pecinta ungu itu. Yumna masuk ke dalam rumahnya dan kembali setelah beberapa menit. Dia membawa sebuah jaket kulit berwarna hitam.
"Nih pake. Masih gerimis nih!" titahnya seraya menyerahkan jaket itu pada Rafif. Sementara Rafif hanya diam mengernyit. Dengan kesal, Yumna pun melempar jaket itu ke arah wajah Rafif dan tepat mengenai sasaran. Rafif berdecak.
"Saya tahu kamu suka sama Ayra," ucap Yumna tiba-tiba. Ck, percakapan mereka lama-lama membuatku pusing. "Saya nggak pernah ikut campur urusan kamu yang suka sama Ayra. Kalau pun saya memang suka sama Aksa, saya rasa kamu juga nggak perlu ikut campur."
Setelah mengutarakan kalimat itu, Yumna masuk ke rumahnya dan menutup pintu dengan sedikit kasar. Rafif masih diam terpaku. Tetapi dia segera tersadar dan akhirnya memilih untuk mengenakan jaket yang Yumna berikan. Aku segera berjongkok agar Rafif tidak melihatku di balik mobil Yumna. Lelaki itu kemudian segera pergi dengan motor hitam kesayangannya.
Aku menghela napas lega setelah Rafif telah pergi. Sejenak aku mendongak, menatap balkon kamar Yumna. Aku terlalu bingung dengan apa yang terjadi. Hah, kenapa jadi serumit ini?
Tak ingin semakin pusing, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Menenangkan diri sampai waktu yang tak kuketahui.
***
· September 2015
Aku duduk di depan cermin riasku. Kurasa penampilanku sudah cukup anggun dengan dress hitam bermotif bunga-bunga lengkap dengan flat shoes putih di kedua kakiku. Rambut hitam sebahuku kubiarkan tergerai, dihiasi pita yang senada dengan warna sepatu tertaut di rambut sisi kiri. Seperti biasa aku lebih memilih menggunakan make up yang natural. Namun, keanggunan itu seakan tak ada artinya bagiku. Aku duduk menatap cermin dengan wajah suram. Aku tak bisa tersenyum sedikit pun, bibirku hanya membentuk garis lurus. Malam itu aku akan pergi bersama Bunda, Aksa dan Tante Wilda untuk makan malam.
Ah, sejak kejadian di taman beberapa waktu yang lalu, entah kenapa ada yang berubah dari perasaanku. Aku masih tidak yakin, tetapi aku bisa merasakannya. Perasaanku pada Aksa seakan hilang ditelan bumi. Yang ada, aku malah lebih sering memikirkan Rafif. Si Eye Smile itu sepertinya sudah melekat kuat di dalam pikiranku. Perasaanku itu benar-benar membuatku bingung setengah mati.
"Ay, ayo berangkat, Sayang!" teriak Bunda dari luar kamar. Lamunanku buyar seketika.
"Iya, Bun," jawabku seraya berdiri dengan malas. Aku lalu mengambil tas selempang putih dan langsung melangkahkan kaki ke luar kamar.
Mobil sedan hitam milik Bunda yang dikemudikan oleh Pak Jono menyusuri jalanan Kota Palu yang keramaiannya selalu sama pada malam hari. Kami akan pergi ke Careto Resto and Cafe, restoran tempat kami makan malam berempat untuk pertama kali. Ketika aku dan Bunda tiba, Tante Wilda dan Aksa telah duduk menunggu di salah satu meja.
"Maaf ya, Wil, kita telat," ujar Bunda sembari duduk.
"Ya ampun, nggak apa-apa, Lia. Santai aja," jawab Tante Wilda dengan senyum kecil.
Sembari menunggu pesanan makanan datang, mereka mengobrol ria. Awalnya membahas pekerjaan Bunda dan Tante Wilda sebagai dokter, lalu membahas usaha-usaha Bunda yang semakin hari semakin sukses. Ujung-ujungnya membahas mengenai hubunganku dan Aksa. Ya, pada akhirnya mereka membahas itu lagi. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan mencoba membahas makanan yang baru saja dihidangkan. Namun, hal itu percuma.
"Kalian nggak lagi berantem, kan?" tanya Tante Wilda seraya memotong steak. Sementara kami yang ditanya hanya diam saja.
"Kok diam?" Bunda ikut bertanya.
"Enggak, Ma, Bun," jawab Aksa akhirnya.
Tante Wilda menghentikan kegiatan makannya, lantas menatapku dan Aksa secara bergantian. "Nak, hubungan kalian jangan sampai renggang, ya. Ini permintaan lho," ujar Tante Wilda.
"Jangan sampai renggang, apalagi putus," imbuh Bunda.
"Kalian tahu? Sejak kalian masih kecil, kami udah berencana jodohin kalian ketika dewasa nanti," jelas Tante Wilda, "dan akhirnya sekarang kalian bersama, itu hal yang membahagiakan."
"Aksa dan Ayra nggak akan putus kok, Ma. Jangan khawatir," ujar Aksa meyakinkan. Sedangkan aku hanya berdiam diri, bahkan tak bersemangat menyentuh makanan.
Pikiranku sudah melayang ke mana-mana. Sekarang, aku yakin bahwa perasaanku benar-benar sudah goyah. Apalagi jika aku memikirkan Rafif, seolah-olah Aksa langsung lenyap dari pikiranku.
"Hm, ya udah. Sekarang kita lanjutin makan, ya. Keburu dingin," ucap Bunda. Diikuti anggukan dari yang lainnya.
***
Aku langsung masuk ke kamar setalah pulang dari restoran. Tubuhku terasa sangat lemah. Aku segera mengganti dress yang aku gunakan dengan piama bergambar Hello Kitty, lantas berbaring dan mencoba untuk tidur. Namun, aku belum juga bisa berpindah ke alam mimpi sampai waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku merasa gelisah. Sangat gelisah.
Aku pun memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum. Sekembalinya dari dapur, langkahku terhenti di ruang tengah, tepatnya di dekat sebuah nakas. Tatapanku fokus pada sebuah bingkai foto berukuran sedang di atas nakas tersebut, fotoku dan Ayah. Mataku berubah sendu. Air mataku perlahan jatuh. Dadaku terasa sesak. "Ayah...," lirihku.
Kedua bola mata hitamku menatap jam dinding di ruangan itu. Tepat pukul 22:05 WITA. Aku berpikir sejenak. Aku lalu berlari kecil ke kamarku, mengambil jaket dan kunci mobil. Lalu mengendap-endap keluar rumah.
Sampai akhirnya aku berhasil tiba di garasi dan mengeluarkan mobilku. Namun, begitu sampai di gerbang, satpam rumahku mencegah.
"Mau ke mana, Non?" tanya Pak Ali.
"Mau keluar sebentar, Pak," jawabku, "tapi jangan bilang-bilang Bunda, ya."
"Tapi Non, ini udah malam. Bahaya keluar sendiri," nasihat Pak Ali.
"Nggak apa-apa kok, Pak. Saya cuma ke rumah teman dekat sini, ini penting! Tolong jangan bilang Bunda, ya," pintaku sekali lagi.
Pak Ali akhirnya mengangguk mengiakan. Walaupun aku yakin pria paruh baya itu merasa khawatir. Tapi ... aku benar-benar merindukan Ayah. Kalian mungkin berpikir, lebih baik aku salat dan berdoa. Namun, entah apa yang ada di pikiranku kala itu sehingga memutuskan untuk menuju makam Ayah.
Aku akhirnya sampai di Taman Pemakaman Umum dengan selamat. Aku memilih jalan yang agak ramai agak terhindar dari hal-hal yang membahayakan diriku. Aku sebenarnya sangat penakut. Namun, kala itu aku memberanikan diri. Aku sangat merindukan Ayah, aku sangat ingin bertemu Ayah, aku sudah tak tahan lagi. Dan detik itu juga, aku akan berdoa di pusara Ayah.
Aku memarkir mobil biruku di dekat sebuah pohon besar. Suasana begitu sepi karena tempat pemakaman ini sedikit masuk ke dalam lorong. Suara burung hantu semakin membuatku merinding. Aku keluar dari mobil dengan tubuh gemetar. Kulitku langsung disambut oleh desiran angin yang dingin, menerbangkan dedaunan pohon sehingga menimbulkan bunyi gemerisik. Dengan perlahan, aku melangkahkan kaki memasuki area pemakaman. Namun, tiba-tiba suara seseorang terdengar. Langkahku terhenti, telingaku mencoba mendengar suara siapa gerangan. Ternyata bukan cuma satu, tapi beberapa orang.
Aku pun berbalik dan melangkah kembali ke mobilku. Namun, belum sempat aku membuka pintu mobil, seseorang menahan tanganku. Aku menengok, mataku langsung membelalak begitu melihat seorang pria dengan rambut gondrong yang penampilannya seperti preman. Tubuhku semakin gemetar. Bayang-bayang Ayah yang dibunuh oleh sekelompok pembegal langsung memenuhi kepalaku. Walaupun aku tak melihat kejadian itu secara langsung, tetap saja aku ketakutan bertemu orang-orang sejenis itu.
"Halo, Cantik. Malam-malam kok ke sini?" ujar pria gondrong. Tiga orang teman di belakangnya ikut menatapku. "Bro, dia gemetar!" lanjutnya, diikuti tawa dari teman-temannya.
"Le-lepasin," lirihku.
"Tenang aja, Cantik. Kita nggak bakal ngapa-ngapain kamu, kok," goda pria berkumis.
"Kita hanya mau itu tuh!" ujar yang lainnya sambil menunjuk mobilku dengan dagunya.
Aku menatap mobil kesayanganku. Aku mungkin bisa saja menyerahkan mobil itu untuk menyelamatkan nyawaku, tapi mobil itu sangat berarti untukku. Di mobil itu, aku pernah melewati banyak hal bersama Ayah.
"Ayra pengen belajar bawa mobil dong, Yah," pintaku pada Ayah yang sedang fokus menyetir.
"Kamu kan baru tiga belas tahun. Putri Ayah ini masih kecil," jawab Ayah.
"Tapi kata Ayah mobil ini buat Ayra," balasku merajuk.
"Iya, dong. Ayah beli ini untuk Ayra kesayangannya Ayah. Tapi untuk nanti, bukan sekarang," jelasnya. "Hm, nanti Ayah ajarin kalau kamu udah masuk SMA. Oke?"
"Janji?"
"Janji!"
Air mataku langsung mengalir deras mengingat kejadian itu. Pria yang sejak tadi memegang tanganku mengambil kesempatan di saat aku sedang lengah. Secepat kilat, pria itu merampas kunci mobil dari tanganku. Kunci itu berpindah tangan hanya dalam hitungan detik.
"Jangan diambil! Balikin!" teriakku dengan air mata yang masih mengalir.
Salah satu pria mendorong tubuhku dengan keras hingga aku tersungkur. "Aw!!" pekikku. Siku kananku bergesekan dengan sebuah batu besar, berdarah.
Keempat preman itu segera masuk ke dalam mobil dan akhirnya melaju. Aku mencoba bangkit dan mengejar, tapi sialnya aku terjatuh. Kakiku menyandung sebuah batu dan akhirnya terkilir. Aku meringis kesakitan. Air mataku mengalir semakin deras. Aku mencoba berdiri, tapi lagi-lagi jatuh.
Tiba-tiba terdengar langkah seseorang yang mendekat dari arah belakang. Jantungku berdegup kencang, merasa was-was. Keringat bercucuran di kedua pelipisku. Semoga bukan preman, Ya Allah, lirihku dalam hati.
"Ayra," panggil orang itu.
Aku tersentak. Suara itu ... aku mengenalinya.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top