BAB 14 🍒 Insiden Taman

Happy reading....
.
.
.
.

Bosan. Itulah yang kurasakan sore itu. Sejak pagi aku hanya berada di rumah saja dan tidak melakukan apa-apa. Aku juga sedang kesal pada Kak Adit karena dia hanya pergi bersama teman-teman SMA-nya. Sebenarnya aku tidak sepantasnya merasa kesal, sebab Kak Adit juga pasti merindukan teman-temannya yang kini sudah berpisah kampus atau bahkan berpisah kota itu. Namun, tetap saja aku merajuk padanya. Hari Minggu tanpa kegiatan itu benar-benar membosankan.

Dering ponselku memutus lagu Afgan yang sedang kudengarkan. Tergantikan oleh nada dering telepon. "Halo, Yum," sapaku pada Yumna yang menelepon.

[Halo, Ra. Kamu lagi ngapain?]

"Nggak ngapa-ngapain, Yum," jawabku lesu, "bosen nih!"

[Jalan, yuk!] Yumna mengajak.

Aku yang sedang berbaring di atas ranjang, sontak saja duduk tegap mendengar ajakan Yumna. "Ayo! Ke mana? Ajak Tita sama Ratih juga, ya," responsku semangat.

Hening beberapa saat. Entah apa yang Yumna pikirkan hingga dia membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab. Sampai akhirnya gadis itu kembali membuka suara.

[Ke taman dekat Jembatan Kuning aja yuk! Tapi kita berdua aja, Tita kayaknya males keluar deh, papanya kan lagi di rumah. Kalau Ratih hari Minggu sore gini biasanya ada kegiatan remaja Masjid].

"Oh iya, ya. Lupa," ujarku. "Hm, oke deh! Saya siap-siap dulu. Kamu yang ke sini atau saya yang ke rumah kamu?"

[Langsung ketemu di taman aja.]

"Okay!"

Sambungan terputus. Aku segara mandi dan bersiap-siap. Aku terlalu senang sampai tak sadar bahwa hari itu bukanlah hari yang baik bagiku.

***

Setelah waktu Asar, aku pergi ke sebuah taman tempat aku dan Yumna janjian, yaitu Taman Pantai Talise. Taman itu adalah salah satu taman yang berdekatan dengan Taman Anjungan Kota Palu yang juga sering dikunjungi masyarakat, letaknya di samping Jembatan Kuning yang menjadi ikon Kota Palu. Keindahan taman serta kesejukannya membuat banyak orang sering mengunjunginya.

Di hari Minggu sore itu, suasana taman tak terlalu ramai, tak seperti biasanya. Mungkin karena kebetulan ada acara di salah satu tempat wisata lainnya. Sore itu hanya ada beberapa kumpulan remaja, ada juga pasangan yang sedang berduaan. Aku hanya bisa berdecak menyaksikan pemandangan itu, seakan-akan aku adalah jomblo yang sedang merasa iri, padahal aku sendiri sudah memiliki kekasih.

Yumna belum berada di taman ketika aku sampai. Aku pun duduk di sebuah bangku dengan cat putih yang sudah mulai pudar. Sendirian, sembari mengutak-atik ponsel dan sesekali berfoto. Lima menit, sepuluh menit, Yumna belum juga datang. Namun, tiba-tiba aku melihat seseorang yang berjalan ke arahku. Bukan Yumna. Aku memicingkan mata untuk memastikan bahwa penglihatanku tidak salah.

Mataku membelalak tatkala seseorang itu semakin dekat, dan akhirnya tiba di hadapanku.

"Ayra? Ngapain di sini?" tanyanya langsung.

"Saya nungguin Yumna," jawabku tanpa basa-basi. "Kamu ngapain?"

"Sama," jawab lelaki yang sejak awal aku juluki Eye Smile itu. "Yumna tadi kirim SMS, katanya ada sesuatu yang penting mau dia omongin."

Keningku seketika menampakkan kernyitan setelah mendengar ucapan Rafif. Memangnya apa yang ingin Yumna bicarakan? Apa ini ada hubungannya dengan Rafif juga?

Rafif kemudian duduk di sampingku. Keheningan terjadi di antara kami. Hanya terdengar suara kendaraan yang berlalu lalang melewati jembatan, suara desiran angin yang perlahan berembus, serta suara ombak dari pantai yang tak jauh dari taman. Kami masih saja menunggu Yumna yang entah kapan akan datang. Sekitar setengah jam menunggu, Yumna belum juga tiba.

Rafif akhirnya mulai membuka suara setelah cukup lama kami saling diam. "Telfon Yumna gih!" suruhnya. Aku langsung mengangguk dan menghubungi gadis berponi itu.

"Nggak aktif, Raf," ujarku setelah mencoba menelepon beberapa kali.

"Mungkin lagi di jalan kali," tebak Rafif. Aku hanya mengangguk setuju.

Namun, nyatanya sampai satu jam kami menunggu, Yumna tak kunjung datang. Tak lama kemudian, seseorang mendekati kami. Bukan Yumna, melainkan seorang penjual es krim dengan kaus berwarna merah.

"Es krim, Neng," tawar Abang penjual es krim itu.

Aku menggeleng pelan. Sementara Rafif menatapku. Lelaki itu langsung tersenyum. "Es krimnya dua ya, Bang!" sahut Rafif tiba-tiba.

Aku langsung menatapnya. "Kenapa?" tanya Rafif.

Belum sempat aku berkata, penjual es krim itu menyahut lebih dulu, "Setelah makan es krim, pasti kalian nggak marahan lagi."

Mendengar ocehan itu, aku dan Rafif mengeryit tak mengerti. "Maksudnya, Bang?" tanya Rafif.

"Kalian duduknya jauh-jauhan gitu, pasti lagi berantem, ya?" tebak Abang berkumis tipis itu, sok tahu.

Aku dan Rafif saling bertatapan sejenak, spontan tawa kami pecah. Kali ini aku bisa melihat eye smile milik Rafif dalam waktu yang agak lama. Sementara si penjual es krim di hadapan kami hanya tersenyum.

Setelah dibayar es krimnya, si penjual itu berpamitan seraya berkata, "Saya permisi, ya. Saya doakan, semoga hubungan kalian langgeng."

Aku dan Rafif hanya mengangguk sembari tersenyum. Selepas penjual es krim itu pergi, lagi-lagi kami tertawa. "Ini kedua kalinya lho kita didoain kayak gitu," ujar Rafif.

"Dua kali?" tanyaku memastikan.

"Iya. Kamu ingat tukang parkir?" tanya Rafif mencoba mengingatkan.

Aku berpikir sembari mengemut es krimku. Sampai akhirnya aku berujar, "Oh, iya. Saya ingat! Yang di minimarket, kan?"

Rafif mengangguk mengiakan seraya tersenyum, lagi-lagi memperlihatkan eye smile-nya yang sangat manis itu. Kami masih terus duduk di bangku taman itu, bahkan sampai es krim kami habis, Yumna sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya.

"Aneh, ya. Kita selalu dikira pasangan," ujar Rafif, menyinggung perihal penjual es krim tadi. Aku hanya tersenyum. "Ayah sama ibuku juga dulunya sahabat, setiap jalan berdua, mereka selalu dikira pacaran," kenang Rafif dengan senyum tipis.

"Saya dengar dari Arman, katanya kamu cuma tinggal sama Ibu dan adik kamu," ucapku hati-hati, "ayah kamu di mana?"

Mulut Rafif bungkam beberapa saat. Sampai akhirnya dia menghela napas perlahan, lalu menjawab pertanyaanku dengan suara pelan, "Ayahku ada di suatu tempat, tempat yang mengecewakan."

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Ayahku ... dia ... saya nggak ingin bahas dia," lirih Rafif dengan mata sendu. Kesedihan tertangkap jelas dari kedua manik mata cokelatnya.

Aku tiba-tiba merasa bersalah dan penasaran dalam waktu bersamaan, tetapi aku tak mungkin memaksa Rafif untuk menceritakan masalah keluarganya. Memangnya aku siapa? Aku sadar aku bukan siapa-siapa. "Ah, maaf, Raf. Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita."

"Jangan minta maaf, kamu nggak salah apa-apa," jawab Rafif.

"Bagaimanapun sosok ayah kamu, dia tetap seorang ayah. Dia pasti sayang banget sama kamu," ucapku sambil menunduk, aku tiba-tiba teringat ayahku sendiri.

Mataku mulai berkaca-kaca. Berbicara tentang sosok seorang ayah tentu saja sensitif bagiku. Aku pasti akan langsung teringat pria yang sangat kucintai itu, pria yang sudah tiga tahun meninggalkanku.

"Ra," panggil Rafif. Aku langsung menyeka air mata yang mulai jatuh ke pipiku.

"Ma-maaf, Raf, saya cengeng banget," lirihku dengan suara gemetar. Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali, berusaha mengendalikan perasaanku. "Maaf, Raf," ucapku lagi.

Aku menatap Rafif yang sedang menatapku sendu. Lelaki beralis tebal itu beringsut duduk lebih dekat denganku. Tangan kanannya bergerak menghapus air mata di pipiku. Perlahan, ibu jarinya mengusap lembut pipi tirusku. Sementara aku hanya terdiam menatapnya. Lelaki itu juga menatapku, dengan tatapan penuh kehangatan. Entah kenapa aku merasa sangat damai bahkan hanya dengan menatap mata bulat dan tegas milik Rafif.

"Jangan nangis, Ra," ucap Rafif. Aku masih bergeming, mataku seakan tak berkedip menatapnya. "Saya mohon, kamu harus bahagia, Ra. Sekarang ada Aksa di samping kamu. Kamu nggak boleh nangis lagi," lanjutnya sembari memegang tanganku. Suara halusnya menenangkan hatiku, walau sedikit bergetar ketika menyebutkan nama Aksa.

Aku akhirnya tersenyum, lalu berucap, "Makasih, Raf."

"Rafif!" teriak seseorang tepat setelah aku mengucap terima kasih. Kami pun spontan menoleh ke sumber suara.

Aksa. Lelaki jangkung itu sedang berdiri tak jauh dari bangku yang aku duduki bersama Rafif. Kedua matanya menatap tajam ke arah kami. Penuh kemarahan dan kecemburuan, begitulah ekspresi yang ditunjukkan dari matanya.

Aku terlonjak dan sontak saja berdiri, diikuti Rafif, tetapi Rafif terlihat lebih tenang. Alih-alih membelalak dan terkejut sepertiku, Rafif malah menautkan kedua alisnya. Apa Rafif memikirkan sesuatu yang sama dengan yang ada dalam pikiranku? Batinku sempat bertanya-tanya, bagaimana Aksa bisa ada di sini? Bukannya Yumna yang datang, tapi malah Aksa.

"Ternyata benar kata orang yang barusan nelfon saya, kalian lagi berduaan di sini!" sungut Aksa.

Kini, bukan hanya Rafif, aku juga ikut mengernyit. Apa maksud Aksa?

"Kenapa kalian berdua diam?!" sungut Aksa, emosinya masih belum mereda.

"Sa, kamu dengerin saya dulu," ujar Rafif, mencoba menangkan.

"Dengerin apa? Waktu di villa salah paham. Oke, saya percaya. Terus sekarang salah paham lagi?" tanya Aksa dengan alis kiri terangkat.

"Kita berdua lagi nungguin Yumna," imbuhku.

Bukannya semakin tenang, Aksa malah maju dan menarik kerah baju Rafif. "Kamu suka sama Ayra?" tanyanya langsung.

Rafif dengan cepat menghempas tangan Aksa dari kerah bajunya. Mereka saling berhadapan dengan tatapan mata tajam, sedangkan aku tak tahu harus melakukan apa.

"Ayra pacar kamu, Sa. Saya nggak mungkin macam-macam sama dia. Kita beneran nungguin Yumna di sini," jelas Rafif dengan suara yang tenang, "kita juga ke sininya nggak bareng, kok."

"Terus, maksudnya apa tadi kamu pegang-pegang tangannya? Kebetulan juga? Hah?" cecar Aksa dengan dagu terangkat seperti sedang menantang.

"Saya cuma mau nenangin dia," ucap Rafif.

Tangan kanan Aksa telah mengepal erat dan napasnya memburu. "Banyak alasan!" serunya diiringi pukulan ke wajah Rafif dan tepat mengenai hidung lelaki beralis tebal itu. Rafif meringis dan hidungnya mengeluarkan darah.

Tubuhku gemetar, aku tak bisa berdiam diri lagi. Ini akan semakin parah. Apalagi satu per satu orang di sekitar taman datang menghampiri dan melerai kedua lelaki itu.

Bibirku bergerak, ingin mengatakan sesuatu. Aku tak ingin melibatkan orang lain dalam masalah ini. Namun, tentu saja aku tak mampu berkata-kata di depan kerumunan orang. Tubuhku malah semakin gemetar begitu satu per satu orang berdatangan.

"Kenapa berantem di sini sih, Dek?" tanya salah satu pria berkumis tebal.

Kami bertiga hanya diam.

"Anak muda zaman sekarang tahunya hanya berantem," sahut salah satu pria paruh baya yang penampilannya seperti preman.

Salah satu temannya menyahut, "Ngerebutin cewek, ya? Yang direbutin juga nggak cantik-cantik amat!"

Aksa dan Rafif kompak mendelik tajam ke arah pria itu. Aku hanya bisa memejamkan mata saking malunya. Aku perlahan menarik dan mengembuskan napas, mencoba mengumpulkan keberanian. "Semuanya, tolong tinggalkan kami dulu, ini hanya kesalahpahaman. Saya mohon."

Walaupun terdengar gemetar, tapi keberanianku sontak saja menarik perhatian Aksa dan Rafif. Kedua lelaki itu menatapku intens. Aku tak peduli dengan tatapan mereka. Akhirnya, orang-orang itu pergi meninggalkan kami dengan sesekali menggerutu.

Rafif masih meringis kesakitan memegang hidungnya yang kini mengeluarkan darah segar. Tangannya sudah memerah menahan darahnya.

Dengan tangan yang masih gemetar, aku membuka tes selempangku dan mengambil beberapa lembar tisu. Tangan kananku hendak menyentuh hidung Rafif, tetapi Rafif langsung menghindar. "Biar saya aja," ucap Rafif mengambil tisu di tanganku.

Mataku kini menatap tajam ke arah Aksa. "Kamu apa-apaan sih, Sa? Main pukul aja. Kamu mau sok jagoan di sini?!" bentakku. Entah dapat keberanian dari mana sehingga aku tiba-tiba mengatakan itu.

"Kamu belain dia?" respons Aksa kesal.

"Kamu tuh kalau lagi emosi dikontrol dong, Sa. Saya nggak suka kamu kasar kayak gitu. Ternyata kayak gini sifat kamu yang asli?" Aku menggerutu, alih-alih menjawab pertanyaan Aksa.

Aksa hanya menghela napas. Matanya kemudian menatap Rafif yang juga sedang menatapnya sambil membersihkan hidung.

"Ayo pulang, Ra!" ajak Aksa, langsung menarik tanganku tanpa menunggu persetujuan dariku.

Belum terlalu jauh kami melangkah, Rafif berteriak. "Nambah masalah aja kamu, Sa. Hidungku jadi sakit nih! Ntar saya berobat di rumah sakit mamamu!"

Mendengar teriakannya, Aksa hanya diam saja. Sementara aku bingung harus berekspresi bagaimana. Antara iba dan merasa lucu dengan tingkah Rafif yang seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

***

Motor Aksa melaju kencang menyusuri jalanan Kota Palu yang ramai lancar. Aku duduk dengan sedikit memberi jarak, juga tentunya tak berpegangan pada Aksa. Diam, hening. Hanya terdengar deru kendaraan, suara angin, dan hiruk pikuk jalanan.

Begitu sampai di depan gerbang rumahku, Aksa menghentikan motornya. Biasanya Aksa akan masuk dan mengantarku sampai di depan rumah, tapi tidak hari itu. Aku turun dan membuka helm. "Makasih," ucapku singkat, memberikan helm pada Aksa dengan kepala menunduk.

Aksa terdiam beberapa saat sambil menatapku. Bukannya mengambil helm, tangan kanan Aksa malah memegang pucuk kepalaku dan langsung mengelus rambutku dengan lembut. Aku mendongak, mataku bertemu dengan mata Aksa yang kini memandangku dengan hangat. Beda sekali dengan tatapannya ketika marah. Setelah itu, Aksa langsung berlalu. Tanpa berkata apa pun, hanya menunjukkan sedikit senyum.

Huh, sifat kamu itu nyebelin banget, Sa. Sumpah!

Aku langsung masuk ke dalam kamar, lantas mengambil ponsel dari dalam tas dan langsung menghubungi Yumna. Untung saja nomornya sudah aktif. Tak butuh waktu lama, Yumna mengangkat telepon.

"Yum, kamu di mana, sih? Kenapa nggak datang?" Aku langsung menghajar Yumna dengan pertanyaan, bahkan tak mengucap salam. Bukannya menjawab, Yumna malah terisak di sana. "Yum, kamu kenapa?" tanyaku, suaraku lebih lembut dari pertanyaan pertama.

[Maaf, Ra. Saya tadi udah di jalan menuju taman, tapi malah dijambret.] Yumna menjawab disertai isakan.

"A-apa? Dijambret? Astaga, terus kamu gimana?" tanyaku khawatir.

[Saya ditolong sama orang di sekitar sana, Ra. Semua tas dan isinya diambil, untung hapeku ada di saku. Sekarang saya udah di rumah.]

Mendengar penjelasan Yumna, aku menghela napas lega. "Alhamdulillah, untung aja kamu nggak apa-apa."

[Maaf ya, Ra.]

"Nggak usah minta maaf. Sekarang kamu istirahat aja, ya. Kamu pasti masih syok," saranku. Yumna mengiakan dari seberang sana.

Nanti aja deh kalau Yumna udah tenang, saya akan suruh dia jelasin ke Aksa kalau dia memang nyuruh saya dan Rafif ke taman, gumamku.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top