BAB 12 🍒 Berita Kematian di Hari Anniversary
Happy reading....
.
.
.
.
Jika hari Minggu adalah hari libur bagi siswa lain, tidak bagiku. Aku bertekad menyelesaikan tugasku secepatnya. Pagi itu aku menunggu kedatangan Rafif yang akan datang ke rumahku untuk mengerjakan tugas dari Bu Nini. Kami sebenarnya sudah mengerjakannya sedikit demi sedikit di sekolah, sehingga hari itu kami tinggal melanjutkan sisanya saja.
Waktu menunjukkan pukul sembilan ketika motor Rafif kulihat memasuki pelataran rumahku. Aku masih berdiri di balkon kamar, menatapnya dari atas.
"Assalamualaikum, Tante," sapa Rafif setelah turun dari motor dan membuka helmnya. Dia menyapa Bunda yang sedang menyiram bunga-bunga kecil di dekat teras.
"Waalaikumsalam," jawab Bunda yang langsung menghentikan aktivitasnya, lantas mendekati Rafif. Rafif pun langsung menyalaminya.
"Ayra ada, Tante?" tanya Rafif langsung.
"Ada, kok," jawab Bunda. "Mau ngapain?"
"Mau buat tugas, Tante. Sore nanti saya harus nganterin Ibu, jadi bisanya cuma pagi ini," jelas Rafif.
"Kamu rajin, ya," puji Bunda seraya tersenyum. Rafif pun ikut tersenyum. "Tapi ... cuma berdua?" tanya Bunda kemudian.
"Ah, iya. Tugasnya berpasangan, Tante."
"Oh gitu...." Bunda manggut-manggut, tetapi aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya.
"Raf!" teriakku dari atas balkon. Kontan saja Rafif dan Bunda mendongak bersamaan. "Bentar, saya turun dulu."
Aku pun segera keluar dari kamarku, menuruni tangga dan langsung menuju teras rumah.
Pagi itu aku menggunakan kaus biru dengan gambar wajah Doraemon di tengahnya, celana panjang abu-abu, serta rambut hitam sebahuku yang kala itu diikat. Gaya yang biasa kupakai di rumah. "Masuk, Raf," ujarku mempersilakan.
"Iya, Ra," jawab Rafif menatapku. Kemudian kembali menatap Bunda dan berkata, "Permisi, Tante."
Bunda mengangguk. Saat itu aku bisa melihat ekspresinya; berbeda. Ah, pasti gara-gara cerita Aksa. Benar-benar menyebalkan! Semoga Bunda tidak berpikir macam-macam tentang Rafif.
Aku dan Rafif mulai mengerjakan tugas di ruang tamu. Aku hanya diam dan hanya akan bicara jika menyangkut tugas. Rafif pun seakan menyesuaikan diri dengan sikapku.
Rafif ada di rumah, ngerjain tugas Bu Nini. Dikit lagi selesai. Kalau kamu nggak percaya sama saya, datang aja ke rumah.
Pesan singkat itu aku kirimkan ke Aksa tepat setelah Rafif datang. Namun, sudah lebih dari satu jam Rafif di rumahku, Aksa tak kunjung membalas pesanku.
"Kalau khawatir telfon aja," sahut Rafif tiba-tiba, membuatku terlonjak.
Cowok ini kenapa selalu tahu isi pikiranku, sih?
"Kelihatan dari ekspresi dan tindakanmu, dari tadi ngelihatin hp mulu," lanjutnya dengan tatapan mata tak beralih dari buku.
Aku melongo menatap Rafif. Ah, lama-lama aku jadi takut pada si Eye Smile ini. Apa jangan-jangan dia punya ilmu membaca pikiran?
"Saya aja yang kerjain sisanya, ini dikit lagi kok ini. Kamu wudu gih!"
"Kok kamu suka banget sih nyuruh saya wudu?"
"Wudu itu bisa menenangkan hati dan pikiran," jawab Rafif santai tanpa menatapku. Lelaki beralis tebal itu masih fokus pada buku di depannya.
Aku terdiam. Kedua bola mataku menatap Rafif intens. Lelaki yang kini tengah sibuk menulis itu selalu saja membuatku terkesima. Dalam hal apa pun.
"Saya nyuruh kamu wudu, bukan lihatin saya," sahutnya. Aku langsung gelagapan, spontan berlari meninggalkan ruang tamu dengan debaran jantung yang tak menentu.
Beberapa menit kemudian, aku kembali. Sepertinya Rafif sudah menyelesaikan tugas kami karena sekarang dia sibuk membaca sebuah buku yang sama sekali tak ada hubungannya dengan Biologi.
"Lagi baca apa?" tanyaku iseng.
Rafif mendongak menatapku. "Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sambil berkata 'aku turut berbahagia untukmu'...."
Aku terdiam seketika. Mataku langsung melakukan kontak dengan matanya. Untuk sekian detik kami saling bertatapan; intens.
"Hey!" Rafif menjentikkan jarinya di depanku. Aku tersentak. "Kamu kenapa?"
"E-enggak, kok," jawabku gelagapan.
Rafif tertawa kecil melihatku. "Itu puisi Kahlil Gibran, kok. Nggak usah kaget gitu."
Aku tanpa sadar menggigit bibirku. Entah kenapa aku bisa kaget melihat kelakuannya tadi; berkata-kata manis sambil menatap mataku. Ah! Padahal itu cuma kutipan puisi.
Aku kembali duduk di salah satu sofa. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu suka baca puisi?"
"Hm...," Rafif seperti berpikir, "mungkin karena saya sudah jatuh cinta?"
"Hah?" responsku tak mengerti.
"Ya, kalau udah jatuh cinta, otomatis suka juga, kan?" ujar Rafif. Kemudian dia menghela napas, bersandar di sofa dan menatap langit-langit rumahku. "Sejak SMP saya udah jatuh cinta sama puisi, puisi itu indah dan penuh makna. Kalau udah cinta, kita akan merasa kosong jika berpisah dengannya, apalagi meninggalkannya. Makanya, saya sehari aja nggak baca puisi rasanya agak aneh gitu," lanjutnya menjelaskan.
"Kalau saya tanya, kenapa bisa jatuh cinta?"
Rafif kembali duduk tegap, kemudian menatapku. "Memangnya cinta butuh alasan, ya?" Rafif menjeda ucapannya beberapa detik. "Intinya, saya merasa nyaman dan tenang saat ada di dekat dia. Eee ... maksudnya, puisi."
Aku kembali terdiam dibuatnya. Hening sejenak.
"Kamu kenapa sih suka bengong kalau dengarin saya ngomong?" Pertanyaan Rafif membuatku kembali sadar dari segala pikiranku.
"Ya habisnya kata-katamu itu menyihir," jawabku asal. Rafif langsung tertawa mendengarnya.
"Oh ya, tadi ada SMS dari Aksa. Maaf, saya nggak sengaja buka. Beneran nggak sengaja," ujarnya.
"Oh!" Aku segera mengambil ponselku dan membuka pesan yang Rafif maksud.
Iya, saya percaya sama kamu sayang, saya juga percaya sama Rafif. Rafif sahabatku, dan saya tau kamu cuma sayang sama saya. Maaf kalau kemarin-kemarin saya kelewatan. Sore nanti saya ke rumah kamu ya.. See you sayang..
Aku terdiam setelah membaca pesan itu. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Entah apa penyebabnya. Rafif membaca pesan ini? Kenapa aku tiba-tiba merasa tidak enak hati padanya?
"Ra!" panggil Rafif.
Tatapan mataku beralih dari ponsel. "Iya?"
"Saya pulang, ya. Tugasnya juga udah selesai."
"Oh, iya."
Rafif pun berpamitan pulang. Aku mengantarnya sampai depan rumah. "Makasih, ya," ucapku.
"Buat apa?" tanya Rafif seraya memakai helm.
"Nggak apa-apa," jawabku canggung. Entah apa yang terjadi denganku. Rafif hanya menanggapiku dengan senyuman khasnya.
"Duluan, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Motor Rafif pun meninggalkan halaman rumahku. Perlahan, dia mulai menjauh. Terus menjauh sampai akhirnya hilang dari pandanganku.
Aku kembali membaca pesan Aksa. Sepertinya dia benar-benar sudah menyadari kesalahannya. Aku harus bertahan. Kamu itu sudah punya Aksa, Ayra! Sadarlah!
Setelah hari itu, aku benar-benar menjauhi Rafif. Aku berusaha menghindari kegiatan apa pun yang akan mempertemukanku dengan si Eye Smile itu. Sebab tidak baik jika kami terlalu sering bersama. Entahlah, mungkin hanya aku yang menganggap itu berbahaya. Bukan hanya karena Aksa akan marah, tapi lebih dari itu ... aku takut hatiku akan semakin berubah dan tak terkendali.
***
· Januari 2015
Aku sedang duduk di depan cermin rias, sembari menyisir rambut hitam sebahuku. Di hari Minggu, biasanya aku akan bangun siang dan malas mandi pagi. Namun, beda dengan hari itu. Sebelum sarapan, aku mandi dan bersolek. Ini hari spesial, pikirku.
Aku segera turun ke lantai satu untuk sarapan. Namun, begitu sampai di ujung tangga, langkahku terhenti.
"Happy anniversary, Sayang!" seru seorang lelaki yang kini sedang berdiri di ruang tengah.
Aku melongo beberapa detik. Aku sama sekali tak menyangka akan disambut oleh Aksa dengan cara seperti itu. Seluruh ruang tengah rumahku telah disulap seperti tempat acara ulang tahun. Balon-balon merah muda dan biru menghiasi ruangan dengan cat krem itu.
"Ini semua kamu yang buat?" tanyaku yang masih terkesima.
"Saya dibantuin sama Bunda, Afan, dan teman-teman. Tapi idenya ya dari saya," jawab Aksa bangga.
"Terus, mereka semua di mana?" tanyaku seraya berjalan mendekati Aksa.
"Pergi," jawab Aksa santai, "ini kan anniversary kita."
"Tapi kan ulang tahun kamu juga, masa mereka nggak diajak."
"Itu nanti beda lagi. Sekarang ini acara khusus kita berdua," jelas Aksa. Lelaki itu kemudian menarik tanganku dan menyuruhku untuk duduk. Kami pun duduk di sebuah sofa panjang di ruang tengah. Saling berhadapan, saling bertatapan.
"Ayra, makasih ya kamu udah bertahan sama saya selama setahun ini," ucap Aksa lembut, "makasih kamu udah mau sabar menghadapi sikapku."
Aku menanggapi ucapannya dengan senyuman, sebab aku tak tahu harus bilang apa.
"Saya sayang sama kamu, Ra." Aksa memegang kedua tanganku, lantas mencium keningku. Aku yang terkejut dengan perbuatan Aksa yang tiba-tiba itu hanya bisa terdiam. Kini detak jantungku lebih cepat dari sebelumnya.
"Oh, ya, saya punya hadiah buat kamu," ucap Aksa kemudian, seraya merogoh saku jaket hitamnya. Sebuah kotak kecil berwarna pink kini ada dalam genggamannya. Selanjutnya, Aksa membuka kotak itu di depan wajahku. "Tadaaa!"
"Wah!" seruku diikuti senyuman begitu melihat sebuah kalung di dalam kotak itu. Aksa langsung mengeluarkan kalung dengan liontin berbentuk hati itu dari kotaknya dan memakaikannya di leherku.
"Kamu cantik banget," puji Aksa setelah memakaikan kalung itu.
"Makasih," balasku tersipu malu. Wajahku pasti sudah memerah seperti tomat.
Lagi-lagi Aksa menggenggam kedua tanganku sembari tersenyum. Namun, tiba-tiba senyum di wajahnya menghilang, digantikan oleh kernyitan di dahi. Tatapan matanya mengarah ke tangan kiriku.
"Hm, saya baru kali ini lihat kamu pake cincin," komentar Aksa.
Aku langsung melirik jariku manisku. Di sana melingkar sebuah cincin dengan ukiran namaku. Aku lantas menjawab, "Oh, ini cincin dari Ayah. Selama ini saya simpan, soalnya takut hilang. Hari ini tiba-tiba kangen Ayah, jadi pengen pakai aja."
Aksa pun manggut-manggut. Namun, kernyitan di dahinya masih ada. "Kayak nggak asing," ucapnya pelan, nyaris berbisik, tapi masih bisa kudengar.
"Kenapa, Sa?" tanyaku.
"Enggak, saya hanya ngerasa pernah lihat cincin itu, tapi lupa di mana, di rumah Rafif atau di mana, ya," jawabnya seraya menggaruk kepala.
"Nggak mungkin," sergahku, "cincin ini didesain langsung sama Ayah, nggak ada duanya. Ini ada pasangannya, kalung, tapi udah hilang." Aku yakin, Aksa pasti salah lihat. Sebab Ayah memang membuatnya khusus untukku.
"Oh, ya? Hm, mungkin saya salah lihat," ujarnya manggut-manggut. "Oke, lupain aja."
"By the way, saya juga punya hadiah," ucapku kemudian. "Tunggu, ya."
Aku segera berlari kecil ke kamarku yang ada di lantai dua untuk mengambil kado yang akan kuberikan kepada Aksa. Setelah mengambilnya, aku kembali dengan tangan memegang sebuah kado berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna hitam putih. "Nih buat kamu," ujarku seraya memberikan kado tersebut pada Aksa.
Aksa mengangguk dan langsung membuka kado itu. Sebuah kotak kecil berwarna hitam terlihat saat kertas kado telah terbuka. Aksa tersenyum, sepertinya dia sudah bisa menebak isinya. Aku memberinya sebuah jam tangan. Lebih tepatnya, jam tangan couple berwarna cokelat. Aksa langsung menatapku dengan mata berbinar.
"Happy birthday, and happy anniversary," ucapku.
"Makasih, Sayang," balas Aksa seraya mengusap rambutku. "Hm, saya udah bisa bikin KTP nih!" candanya.
Aku tertawa kecil, kemudian berujar, "Iya, berarti udah tua."
"Baru tujuh belas tahun masa dibilang tua," protes Aksa, membuatku cekikikan.
"Panggil teman-teman sekarang, yuk!" serunya.
"Hah? Emang mereka di mana?" tanyaku bingung.
Alih-alih menjawab, Aksa malah bertepuk tangan. Tak lama kemudian, Bunda dan Afan, diikuti Tita, Ratih, Yumna, Arman, dan Rafif keluar dari kamar tamu yang ada di dekat ruang tengah. Aku langsung terlonjak dan bangkit dari dudukku.
"Tunggu, jadi ... sejak tadi kalian di dalam?" tanyaku, masih terheran-heran. Teman-temanku itu malah tertawa melihat ekspresi keterkejutan di wajahku.
"Nggak usah banyak nanya, ayo kita makan!" seru Arman, yang langsung mendapat jitakan dari Tita. Tawa kembali pecah memenuhi ruangan. Hari itu, semuanya hanyut dalam senda gurau.
Mereka benar-benar orang yang luar biasa. Bahkan hingga kini ... mereka tetap menjadi orang-orang terindah di dalam hatiku.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30 WITA ketika aku dan Tita selesai menonton film Remember When yang diperankan oleh Michelle Ziudith dan Maxime Bouttier. Sejak acara pagi tadi, Tita satu-satunya yang belum kembali ke rumah.
"Ah, filmnya keren," ujar Tita. "Saya jadi ngefans deh sama Maxime, lesung pipinya manis."
"Orang yang punya lesung pipi memang manis," balasku sambil nyengir. Tita langsung berdecak mendengarnya.
"Iya, mentang-mentang kamu punya lesung pipi," sahutnya dengan nada kesal yang dibuat-buat. Aku hanya terkekeh melihat tingkah gadis mungil itu. "Ya udah deh, Ra. Saya pulang, ya. Udah seharian saya di sini," pamit Tita seraya memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya.
"Nginep aja, Ta." Aku menawarkan.
"Nggak bisa, Ra. Malam ini papaku pulang. Udah kangen banget nih," jawab Tita dengan wajah berseri-seri. Ayah Tita adalah seorang pilot yang tentu saja sering bepergian, sehingga Tita hanya punya sedikit waktu bertemu ayahnya.
Aku pun manggut-manggut. Kami kemudian turun ke lantai satu. Tepat di bawah tangga, terlihat Bi Siti sedang kebingungan memegang sesuatu.
"Ngapain, Bi?" tanyaku.
"Ini, Non. Ada dompet ketinggalan. Mungkin punya Den Aksa," ujar Bi Siti seraya menyerahkan dompet berwarna hitam ke tanganku.
Aku memperhatikan dompet yang kini ada dalam genggamanku itu. "Oh, ini memang dompet Aksa. Makasih ya, Bi."
"Iya, Non. Sama-sama."
"Ayo, Ta. Saya anterin ke depan," ucapku, diikuti anggukan dari Tita.
"Aksa itu pelupa, ya?" tanya Tita.
"Lumayan, sebelas dua belas sama saya," jawabku seraya fokus pada dompet Aksa.
Aku kemudian iseng membuka dompet itu. Namun, langkahku terhenti ketika melihat sebuah foto yang ada di dalamnya.
"Kenapa, Ra?" tanya Tita, ikut menghentikan langkahnya. Aku bergeming, memperhatikan foto itu. Tita pun ikut melihat apa yang kulihat.
"Ha ha, itu kan foto kamu waktu masih SMP, Ra," ujar Tita, tertawa. Sementara aku masih melongo.
"Ta, kamu ingat foto ini, kan? Kamu ada di sana kan waktu foto ini diambil?" tanyaku masih dalam keadaan terheran-heran. Tita langsung diam, menghentikan tawanya. Gadis cerewet itu langsung memicingkan matanya menatap foto itu selama beberapa detik.
"Ah, iya, saya ingat!" seru Tita. "Ini foto yang diambil pake kamera Dimas."
Aku pun mengangguk menatap Tita.
"Bentar, foto ini kan hanya Dimas yang punya. Kenapa bisa ada di Aksa?" Tita mengernyit heran.
"Itu dia yang bikin saya heran, Ta," ucapku.
Tiba-tiba ponsel Tita bergetar, ada sebuah panggilan dari seseorang dengan nama 'Mother'.
"Ra, saya duluan, ya. Mama udah nelfon," pamit Tita. "Kamu telfon aja Aksa, tanya tuh foto dia dapat dari mana. Oke? Saya duluan ya, dadah."
"Hati-hati," ucapku.
Pandanganku kembali pada foto itu. Tanpa menunggu lagi, aku segera menghubungi Aksa.
***
"Ternyata di sini, saya pikir jatuh di jalan," ujar Aksa setelah menerima dompet itu. Dia langsung datang ke rumahku setelah aku menghubunginya.
"Sa, bisa kamu jelasin foto di dompet itu?" pintaku to the point.
"Foto?" Aksa membuka dompetnya. "Oh, ini. Maaf, Ra. Saya lupa cerita sama kamu."
"Cerita apa?" tanyaku penasaran.
"Kamu tahu Dimas, kan?" Aksa bertanya balik. Pertanyaan yang membuatku semakin heran. Apa Aksa mengenal Dimas?
"Iya, dia teman sekelasku waktu SMP. Dia juga yang ambil foto itu," jawabku tanpa basa-basi.
"Cuma teman sekelas?" tanya Aksa memastikan.
"Em ... iya. Dia suka sih sama saya, tapi saya enggak. Saya hanya anggap dia sahabat."
Aksa tersenyum tipis mendengar jawabanku. "Dimas sahabatku," ucapnya.
Mataku langsung terbelalak. "Sahabat?"
Aksa mengangguk. "Dia sahabatku sejak kecil. Pas masuk SMP kita pisah sekolah. Dia suka banget sama kamu, Ra. Saya sering dengar semua tentang kamu dari Dimas," jelas Aksa, sambil menatap wajahku. Aku mendengarkan ceritanya dengan saksama. "Sebenarnya, saya juga mulai tertarik sama cewek dengan nama Ayra sejak dengar cerita Dimas, tapi ... karena saya pikir itu cewek gebetan Dimas, jadi saya diam aja. Nggak nyangka saya malah ketemu kamu di SMA dan sekarang malah pacaran sama kamu," lanjutnya.
Aku masih kaget, tak menyangka jika pacarku sekarang adalah sahabat dari lelaki yang sangat menyukaiku ketika SMP.
"Terus, sekarang Dimas di mana? Saya nggak pernah dengar kabarnya lagi," tanyaku setelah keterkejutanku mulai mereda.
Aksa terlihat menelan saliva. Ekspresi wajahnya langsung berubah sendu. "Rencananya saya sama dia mau masuk SMA yang sama, tapi ... dia malah pergi."
"Pergi? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
Aksa menghela napas. Kemudian menjawab, "Kamu nggak tahu? Dimas udah meninggal, Ra."
Deg!!
Jantungku seperti terhenti beberapa detik mendengar kalimat yang keluar dari mulut Aksa. Aku terkesiap menatapnya. Dimas, teman sekelas yang sangat menyukai diriku, yang selalu ada untukku, tapi selalu kutolak perasaannya. Selama ini aku pikir Dimas pergi melanjutkan sekolah ke luar kota. Ternyata, dia sudah meninggal? Astaga, kenapa aku baru tahu sekarang?
"Di-dimas ... dia meninggal karena apa?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Sama seperti kematian Ayah kamu, Ra. Dia dibunuh sama sekelompok begal," lirih Aksa.
"Apa?" Aku sangat terkejut sampai mulutku menganga. Aku langsung menutup mulutku dengan telapak tangan yang mulai gemetar.
"Waktu itu ada yang mau nyuri motornya, tapi dia ngelawan, dan akhirnya dibunuh," jelas Aksa. "Saya mau cerita dari dulu, tapi lupa."
Aku terdiam. Mengendalikan detak jantung yang menggebu. Berita itu terlalu tiba-tiba untukku. Butuh waktu untuk meredakan keterkejutan.
"Bisa kamu bawa saya ke makam Dimas?" pintaku setelah hening beberapa saat.
"Iya. Nanti saya ajak kamu ke sana, ya," jawab Aksa, diikuti anggukan dariku.
Dimas. Ternyata nasibnya sama seperti ayahku; meninggal karena pembunuhan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Begal, preman, dan sejenisnya. Aku benar-benar benci! Aku bersumpah tidak akan berhubungan dengan siapa pun yang berkaitan dengan kelompok mengerikan itu.
"Saya balik ya, Sayang. Saya mau ke rumah Rafif dulu soalnya, udah janji," pamit Aksa. "Kamu istirahat aja, ya. Jangan terlalu dipikirin." Lagi-lagi aku hanya mengangguk menanggapinya. Aku sudah kehabisan kata-kata.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top