9. Sentuhan di Hati Bara
Alena mendesah pelan setelah menghempas pinggulnya di kursi di depan kamar rawat mamanya. Sudah tengah malam dan mamanya baru saja tertidur setelah perawat menyuntikkan antibiotik yang harus diberikan di tengah malam. Sudah dua hari sejak dirinya dan Bara memaksa mamanya dibawa ke instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit swasta.
"Kenapa tidak tidur?"
Suara berat seorang lelaki membuat Alena sedikit terhenyak. Matanya mengerjap cepat seolah ingin memastikan bahwa makhluk di depannya bukan halusinasi akibat badan dan mentalnya yang cukup lelah.
"Mas Bara," pekik Alena memastikan.
Bara mendekat kemudian duduk di samping Alena sembari memberikan segelas capucino yang masih menguarkan aroma harum.
"Sudah lama?"
"Hem, lumayan," jawab Bara.
"Kenapa nggak masuk aja?"
Lelaki berwajah tegas itu menggeleng lalu mengulas senyuman hangat. Dia tahu kalau Alena sangat lelah. Secara tak sengaja dia mendengar kalau gadis itu kembali dibentak dan diremehkan ibunya sendiri.
"Sudah makan?"
Belum juga Alena menjawab, ternyata suara nyaring perutnya cukup untuk menjawab pertanyaan Bara. Alena tersenyum malu-malu akibat aksi bar bar perutnya yang tidak mau diajak kompromi. Setidaknya tidak perlu terlalu jujur seperti itu di hadapan lelaki setampan Bara.
"Ke kafetaria, yuk," ajak Bara.
Tanpa menunggu persetujuan Alena, Bara sudah menggandeng tangan kurus gadis itu, menariknya lembut menuju kafetaria yang tak jauh dari bangsal VIP rumah sakit.
Alena memilih menurut. Berdebat pun percuma karena perutnya memang sudah meronta-ronta minta diisi.
Hanya beberapa langkah saja mereka sudah sampai di kafetaria yang sudah sepi. Hanya dua orang pengunjung yang sepertinya juga keluarga pasien sedang berjaga. Alena menuruti titah Bara yang memintanya duduk sembari lelaki itu memesan makanan untuk mereka.
Tanpa sadar Alena melamun, memikirkan semua yang terjadi beberapa hari belakangan. Hidupnya bagai roler coaster sebentar bahagia sebentar sedih. Gadis itu kemudian mendesah pelan.
Ternyata semangkok soto Betawi lengkap dengan jeruk hangat sudah terhidang di hadapan Alena. Aroma harum rempah dan gurih daging sapi kembali membuat perutnya bernyanyi.
"Makan dulu, habis ini istirahat," titah Bara yang kemudian diangguki oleh Alena.
Gadis berambut lurus itu segera menyantap soto Betawi dengan lahap. Bara hanya memandang senang. Bagaimana pun menjaga pasien di rumah sakit pasti sangat melelahkan. Apalagi Bara tahu sendiri bagaimana mama Alena memperlakukan putrinya.
"Kedua kakakmu sudah menjenguk Tante Wulan?"
Alena mengangkat bahunya tak acuh. Meski kegiatan makannya sempat terhenti sejenak karena terasa ada sekat tebal di tenggorokannya, gadis itu kembali menyantap makanannya.
"Mbak Aya setiap pagi nengok sebelum berangkat praktek dan nengok lagi sore sebelum pulang," papar Alena.
"Alisha?"
Bara merasa tidak sabar. Dirinya memang tidak tahu bagaimana interaksi ketiga kakak beradik itu. Namun, melihat cara Wulan memperlakukan Alena sudah cukup memberinya gambaran.
"Mbak Ica lagi di luar kota. Ada kasus besar yang harus ditangani jadi dia nggak bisa pulang."
Mata Bara menatap Alena yang kini sedang menyesap jeruk hangat seusai menghabiskan sotonya. Wajah Alena sama sekali tak terlihat mengguratkan kemarahan. Justru wajah sendu dan lelah yang tergambar di sana.
"Lalu pekerjaan kamu?"
Alena tersenyum lebar. Dia merasa sangat beruntung berada dalam lingkungan kerja yang nyaman. Semua temannya tak pernah membantu jika dirinya membutuhkan waktu libur lebih panjang karena mamanya sakit.
"Aku tukeran shift, nanti tinggal bayar gantinya kalau Mama sudah sembuh." Alena meringis memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.
Bertukar shift bagi para resepsionis di hotel tempatnya bekerja sudah menjadi hal biasa. Meski hotel tersebut merupakan hotel berbintang lima, tetapi menerapkan aturan yang memberikan rasa nyaman bagi para karyawannya. Namun, Alena harus membayarnya dengan kehilangan banyak waktu libur yang biasa dia dapatkan dua hari dalam satu minggu. Manajernya pun tidak mempermasalahkan hal itu.
"Len, kamu harus jaga kondisi. Apalagi setelah Tante Wulan pulang dari rumah sakit, pasti kamu harus mengganti shift-shift kerja yang sementara kamu tinggal, kan?" Bara mencerocos memberikan nasihat kepada Alena lalu meraih tangan gadis itu.
Mata Alena membelalak mendapatkan perlakuan dari Bara. Selama ini kontak fisik bagi mereka memang sudah biasa terjadi. Namun, kali ini dia merasa berbeda.
"Iya, Mas," jawab Alena dengan suara bergetar.
"Aku tadi dengar pembicaraan kamu dengan Tante Wulan _ maaf."
Kening Alena mengernyit. Tangan mereka masih saling bertaut dan Alena justru merapatkan genggamannya.
"Tante Wulan apa biasa berbicara seperti itu?" tanya Bara sendu. "Kamu juga putrinya, Len."
Alena menunduk beberapa saat lalu menghela napas dalam. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, ternyata sebuah senyuman yang terbit di bibirnya, bukan lelehan air mata yang mengalir di pipinya.
Iya dia putrinya, putri kandungnya yang sangat berbeda dengan putri-putri yang lain. Alena tahu persis hal itu. Bagi mamanya, kemampuan akademis adalah sebuah kebanggaan, dan Alena tak bisa memberikan hal itu.
"Alena memang tidak pernah bisa memenuhi semua keinginan Mama," ujarnya lirih.
Ada bagian di hati Bara yang tercubit. Sedikit perih di sana. Alena kecil dulu dikenalnya sebagai gadis yang sangat ceria, pintar, dan penuh percaya diri. Meski saat ini keceriaannya tak berkurang hingga saat ini. Namun, kepercayaan diri gadis itu justru luntur tak bersisa.
"Kamu tidak sakit hati diperlakukan seperti itu?" Bara bertanya penasaran.
Alena mengendikkan bahunya. Bohong kalau dirinya tak pernah sakit hati dengan segala ucapan mamanya. Wanita paruh baya itu bahkan tak segan mencacinya jika dirinya melakukan kesalahan. Namun, Alena memilih diam daripada membaginya bersama Bara.
Bara terus menatap Alena. Entah kenapa hatinya ikut merasakan sakit. Apalagi dia tahu betul bagaimana sikap Alena kepada mamanya.
Merasa canggung dengan tatapan Bara, Alena menarik tangannya lalu menangkupkan di kedua pipinya. Gadis itu meringis dan mengerjapkan matanya jenaka.
"Kalau Mas Bara lihatin aku terus kayak gitu, lama-lama bisa baper."
Wajah Alena memang jarang terlihat sedih. Sikapnya juga tetap ceria. Namun, Bara yakin gadis itu menyimpan kesedihan di dalam hatinya.
"Len," panggil Bara menggantung tetapi selanjutnya dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Alena mengangkat alisnya. Gadis itu masih menunggu Bara melanjutkan kalimatnya.
"Apa? Php lagi, nih." Bibir Alena mencebik.
Bara sendiri masih berusaha meredakan debaran jantungnya. Ingin sekali dirinya menjadi rumah bagi Alena. Melindungi dan memberikannya kebahagiaan yang mungkin selama ini tak banyak didapatkan gadis itu.
"Kamu sudah punya pacar?" Bara membuka pertanyaan mengenai status.
"Belum," jawab Alena enteng sambil mengaduk minumannya dengan sedotan.
Padahal gadis itu sedang sibuk mengendalikan jantung yang meronta-ronta, berdebar kencang tak beraturan. Beberapa hari lalu pertanyaan yang sama terucap dari mulut Bethari dan sukses membuat dirinya dan Bara canggung. Kali ini justru Bara sendiri yang bertanya.
"Tidak ada laki-laki yang sedang dekat, gitu?"
Mata Alena menyipit. Tatapannya ke arah Bara tajam dan menyelidik.
"Kenapa Mas Bara tanya seperti itu?"
Setelah melayangkan pertanyaan seperti itu, Alena kembali terdiam. Bara pun sama. Jika dada mereka berdua dibuka saat ini, pasti jantung mereka bisa melompat keluar.
Bara berusaha meraup oksigen di sekitarnya. Jantungnya yang bekerja lebih keras karena rasa gugup membuat paru-parunya membutuhkan lebih banyak oksigen.
"Len, kalau ...." Kalimat Bara kembali menggantung di udara.
Rasa penasaran semakin menguasai Alena. Sebenarnya dia bisa merasakan ke mana arah pembicaraan Bara. Namun, gadis itu tak mau salah sangka dan membuatnya sakit hati nantinya. Jadi, dia memilih untuk menunggu sambil menyesap jeruk hangatnya perlahan.
"Kalau aku melamarmu dan kita menikah apa kamu bersedia?"
Alena tersedak, terbatuk-batuk dan menyemburkan sedikit air jeruk hangat yang berada di mulutnya. Bara panik dan segera memberikannya tisu untuk membersihkan mulut gadis itu. Otaknya tiba-tiba berhenti bekerja dan memutar kembali kata demi kata yang baru saja terlontar dari mulut Bara. Di detik berikutnya, otaknya juga yang menyangkal.
"Mas Bara bercanda?" Alena bertanya singkat kemudian tertawa lebar untuk menutupi debaran di hatinya.
"Enggak."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top