8. Alena Bukan Siapa-Siapa
Alena berceloteh riang menceritakan segala hal yang tadi dibahas bersama Miranti dan Bethari. Keluarga Dewabrata memang selalu memberikan kehangatan untuknya. Binar kebahagiaan tergambar jelas di wajahnya. Sesekali Bara menanggapi dengan senyuman sambil sesekali melirik ke arah Alena yang duduk setengah menghadapnya.
Posisi duduk gadis di sebelahnya sedikit mengganggu konsentrasinya. Meski fokus Bara tetap mengarah pada jalanan ibukota yang masih ramai meski waktu sudah beranjak larut. Namun, geletar yang tadi sempat merayapi hatinya sesekali muncul dan membuatnya sedikit salah tingkah. Terutama jika secara tak sengaja Alena memegang tangannya. Mati-matian Bara mengendalikan debaran jantungnya yang tak beraturan.
"Orang Jakarta itu senang banget keluar malam, ya?"
Kini Alena sudah mengubah posisi duduknya menghadap ke arah depan. Ekor mata Bara secara tak sengaja menangkap gerakan Alena memainkan ujung rambut dengan jari telunjuknya. Gerakan itu membuatnya menelan ludahnya kelat. Entah dari mana gelenyar aneh yang memenuhi seluruh ruang dalam hatinya.
"Mas Bara," panggil Alena dengan nada suara yang terdengar manja di telinga Bara membuat lelaki itu sedikit tersentak.
"Eh, apaan?" Bara terkekeh lalu mengusap tengkuknya merasa tertangkap basah entah karena apa.
Gadis bermata lebar itu mencebik. Bibirnya maju beberapa senti. Kini setengah badannya sudah menghadap ke arah Bara.
"Melamun, ya," protes Alena. "Berarti dari tadi nggak dengerin Alena ngomong?"
Bara tersenyum tipis. Ekspresi Alena kenapa sekarang begitu mempesona. Padahal lima belas tahun lalu dirinya bahkan memeluk dan menggendong gadis itu tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Sedangkan sekarang, tubuhnya seperti panas dingin dibuatnya.
"Dengar, kok." Bara kembali mengusap kepala Alena.
Namun, kali ini berbeda. Bara memelankan mobilnya. Geletar di hati Bara semakin merayap memasuki relung di hatinya hingga ke rongga terdalam. Hingga mereka sampai di lampu merah yang membuat Bara menghentikan laju mobilnya.
Alena merasakan sesuatu yang berbeda. Ketika mata mereka saling beradu yang membuatnya kian gugup. Beberapa detik berlalu mereka hanya saling pandang, udara hangat seperti berhembus ke sekeliling mereka. Hingga mata Alena mengerjap pelan ketika suara klakson melengking dari arah belakang mengakhiri adegan canggung di antara mereka berdua. Masing-masing kembali duduk menghadap ke depan.
Beberapa detik berlalu dalam hening. Kemudian Alena berdeham.
"Masakan Mami ternyata nggak pernah berubah, ya." Gadis bermata almond itu berusaha mencairkan suasana.
"Kamu masih ingat dengan cita rasa masakan Mami?" balas Bara.
Bagaimana bisa Alena melupakan cita rasa makanan yang dimasak dengan penuh cinta. Rasa makanan Miranti adalah yang pertama dikenalnya sejak mulai belajar makan. Bahkan wanita itulah yang pertama menyuapi dirinya, bukan mamanya.
"Aku selalu suka sop manten sama sop matahari buatan Mami."
"Mami sempat tidak mau memasak kedua makanan itu karena pasti teringat sama kamu." Bara mengulas senyuman hangat yang dibalas dengan senyuman sama oleh Alena.
Hawa canggung perlahan menghilang. Gadis itu memajukan tubuhnya. Wajahnya mendongak, menatap langit Jakarta yang terang oleh lampu-lampu jalanan dan gedung pencakar langit.
"Dulu kalau aku kangen kalian, aku lihat langit. Aku bicara pada bintang." Alena kembali tersenyum. "Karena kita pasti memandang langit yang sama, bukan?"
Alena menghela napasnya lalu menghembuskannya perlahan.
"Sering kangen sama aku?" tanya Bara.
"Iya, dong." Alena menjawab tegas lalu tertawa renyah. "Cuma Mas Bara kakak laki-laki yang pernah Alena punya."
Di masa kecilnya, Bara adalah teman yang selalu ada untuknya. Mereka sudah bagaikan saudara kerena dulu tak segan memeluknya dirinya ketika menangis. Bahkan di kejauhan pun dirinya mengalami kesulitan, Bara selalu hadir untuknya. Sebelum mereka semua pindah dan menetap di Australia.
"Len," panggil Bara pelan.
"Iya," sahut Alena cepat.
Bara kembali terdiam, berkonsentrasi di jalanan yang mendadak kembali padat. Alena hanya bisa memandangi Bara yang kembali tanpa kata. Menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya. Meski beberapa detik berlalu mulutnya tetap terkunci.
Tanpa sadar Alena menelisik setiap detail wajah Bara. Lelaki itu tampan, Alena tidak memungkirinya. Garis rahang yang tegas, kulit kecoklatan tetapi tanpa cela, rambut hitam tebal, dan mata cekung dengan iris berwarna abu-abu tua. Ternyata lelaki yang dianggap kakaknya setampan itu.
Sejenak Alena berandai-andai jika Bara belum memiliki tambatan hati mungkin dia masih memiliki kesempatan. Namun, untuk menggantungkan perasaan kepada Bara harus Alena pertimbangkan beribu kali. Bara merupakan sosok sempurna seorang manusia. Tampan, pintar, dan terkenal. Sedangkan dirinya?
Mungkin jika diibaratkan Bara adalah bintang di langit sedangkan dirinya seekor semut di dalam lembah. Dirinya kecil dan tak terlihat, sedangkan Bara bersinar dan terlihat dari segala penjuru.
Alena menghela napas pelan lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah jalanan ibukota yang memadat. Mungkin Bara memang tak berniat melanjutkan kalimatnya tadi. Padahal Bara sedang mengatur degub jantungnya yang tak beraturan.
"Orang Jakarta itu suka sekali hidup di jalanan, ya," celetuk Alena.
Celetukan Alena berhasil membuat jantungnya kembali normal. Meski setiap kata yang sejak tadi tersimpan menunggu untuk dikeluarkan tetapi tak terucap juga meski sudah berkali-kali helaan napas dalam dilakukannya.
Bara hampir mengatakan sesuatu yang sejak tadi tersimpan dalam benaknya ketika dering ponsel Alena terdengar nyaring. Kompak mereka berdua melirik ke arah sling bag berwarna biru tua milik Alena.
Beberapa detik berlalu setelah Alena mengangkat ponselnya. Wajah gadis itu berubah tegang dan meletakkan telunjuknya di bawah bibir, menekan kulitnya.
"Iya, Ma. Nana akan segera ke sana."
Hening lagi. Lalu Alena menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Iya, Ma. Nana ke sana sekarang."
Alena melihat jam yang melingkar di tangan kirinya lalu menghela napas dalam. Malam sudah beranjak larut, waktu sudah menunjuk pada angka sembilan. Memang Jakarta tak pernah mati, tetapi naik kendaraan umum di jam seperti ini tetap membuatnya takut.
Melihat perubahan wajah Alena, Bara turut merasa cemas. Menunggu Alena selesai berkomunikasi dengan mamanya membuatnya senewen.
"Ada apa?" tanya Bara tak sabar.
Alena terdiam dan menatap lurus jalanan di depannya.
"Mama sakit, dari tadi muntah-muntah terus _ sama demam."
Mata Bara melebar. "Sudah dibawa ke dokter? Atau sekarang di rumah sakit?"
Gadis bermata bulat itu menggeleng pelan. Mamanya hanya tinggal dengan pasangan asisten rumah tangganya. Namun, sama sekali tak pernah membiarkan orang lain membuat keputusan. Harus Alya atau Alisha yang memutuskan untuk membawanya ke dokter atau rumah sakit.
"Terus?"
Sebagai lelaki yang terbiasa membuat keputusan cepat, Bara sedikit gemas dengan sikap Alena yang hanya bisa terdiam. Gadis itu justru mengambil kembali ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang.
"Mbak Aya, Mama sakit. Aku harus gimana ini?"
Gerakan menggigit jari menarik perhatian Bara. Sambil memperhatikan jalanan di depannya, Bara juga fokus pada gadis di sebelahnya.
Alena menggangguk seolah lawan bicaranya di ponsel sedang berada di hadapannya. Terlihat sekali jika Alena seperti kerbau yang baru saja dicocok hidungnya. Reflek Bara mengusap kepala Alena meski dia sendiri tidak mengerti apa yang saat ini dirasakan gadis itu.
"Gimana?"
"Mbak Aya nggak bisa ke rumah Mama. Mbak Ica juga katanya lagi ke luar kota."
Sorot Alena seperti sedang meminta pertolongan. Dia seperti tak mempu membuat keputusan saat ini dan didera rasa bingung.
"Mas Bara turunin Alena di halte busway depan situ, ya. Nanti Alena lanjut ke rumah Mama pake busway aja."
Bara terkesiap. "Hei, aku bisa antar kamu."
"Nggak perlu, ngrepotin Mas Bara kan jauh rumahnya."
Tanpa menunggu persetujuan Alena, Bara memutar balik mobilnya begitu menemukan tempat untuk memutar balik mobilnya. Alena hanya menatap Bara sendu.
***
Waktu menunjuk pada angka sepuluh ketika Bara dan Alena sampai di rumah mamanya. Teh Astri asisten rumah tangganya tergopoh-gopoh menyambut dan mengajak Alena ke ranjang kecil yang terletak di ruang keluarga.
Bara bingung bagaimana harus bertindak. Lelaki itu akhirnya hanya duduk di kursi yang terletak di depan pintu penghubung antara ruang tamu dengan ruang keluarga.
"Kamu itu ke mana saja, dari tadi sore ditelpon tidak diangkat." Wulan segera melancarkan protes ketika Alena sudah ada di hadapannya.
Wajah wanita paruh baya itu memang nampak pucat dan lemas.
"Ibu muntah sejak tadi habis maghrib, Mbak," sela Teh Astri.
Wulan berdecak. "Halah! Kan tidak enak badannya sudah sejak sore."
Dia tidak suka orang lain menjelaskan yang yang seharusnya dia katakan.
"Sekarang Mama gimana kondisinya? Mau dibelikan obat? Atau Mama mau ke dokter?"
Perempuan yang rambutnya sudah didominasi uban itu menggeleng. Membawa mamanya ke dokter adalah sebuah tantangan berat bagi Alena. Berbeda jika kedua kakaknya yang menawarkan untuk membawa ke dokter.
"Mama sudah makan, Teh?"
"Sudah tapi muntah lagi, masakan Astri kan memang ndak pernah enak," sahut Wulan ketus.
Alena memandang sungkan ke arah Astri. Namun, wanita itu justru tersenyum dan mengedipkan mata kanannya. Majikannya memang sering bersikap ketus, tetapi dia memilih menahannya dan tidak memasukkan dalam hati. Wanita yang sudah tua memang sering kembali bersikap seperti anak kecil.
Mata Wulan tak sengaja melirik ke arah luar. Terlihat Bara sedang duduk menunggu di sana.
"Kamu sama Bara?" tanya Wulan tetap dengan nada ketus.
Alena mengangguk samar. Diliriknya Bara yang sedang duduk tenang di sana, khawatir jika mamanya tiba-tiba melontarkan kalimat yang tak enak didengar karena pasti akan langsung masuk ke telinga Bara.
"Pantesan ndak bisa dihubungi, ternyata pacaran, to?"
Mata Alena melebar. Secara reflek gadis itu menoleh dan matanya langsung saling bertatapan dengan Bara.
"Na Na, kamu itu ...." Wulan berdecak dan memilih tidak melanjutkan kalimatnya.
Sedangkan Bara memilih berdiri. Kehadirannya sudah diketahui jadi sebaiknya dia menyapa Wulan sebagai wujud sopan santunnya sebagai tamu.
"Tante." Bara mencium tangan Wulan. "Tadi pulang kerja Bara yang ajak Alena ke rumah karena Mami mau ketemu. Pulangnya Tante nelpon jadi sekalian Bara antar ke sini karena bahaya kalau naik kendaraan umum sendiri malam-malam begini."
Wulan tidak menjawab. Wajahnya terlihat tidak nyaman. Alena pun sama, hanya menatap Bara dengan ekspresi yang tidak bisa diterjemahkan.
"Tante mau kita antar ke rumah sakit?"
"Tante nunggu Alya saja. Katanya dia bisa antar besok pagi." Nada suara Wulan masih terdengar ketus.
Baru saja Wulan menjawab ketus tawaran Bara, wanita paruh baya itu kembali memuntahkan isi perutnya. Reflek Alena memijat tengkuk mamanya. Kemudian tanpa rasa jijik membersihkan bekas muntahan sang ibu yang mengotori mulut dan sedikit bajunya.
"Kalau Mama nggak segera ke rumah sakit takutnya dehidrasi. Lagian meski yang antar Mbak Aya, juga nggak bakalan ditangani Mbak Aya sendiri, kan. Masak pasien lansia ditangani dokter anak, sih."
Ucapan Alena membuat Teh Astri terkikik geli tanpa bisa ditahan. Tatapan tajam Wulan segera menghentika tawa wanita tiga puluh lima tahun itu.
"Tante, setidaknya malam ini dapat penanganan dulu." Bara mengintervensi.
"Kalau tidak salah tadi Mbak Alya bilang Ibu dibawa Mbak Alena saja dan besok Mbak Alya nyusul," sambung Teh Astri.
Alena menggigit bibirnya. Bahkan kakak perempuannya saja tak pernah sesulit ini membujuk anaknya untuk ke dokter.
"Tante, saya siapkan mobil sekarang, ya," tawar Bara lagi. "Tante mau dibawa ke rumah sakit mana? Len, kamu siapkan baju Tante. Kita bawa ke rumah sakit sekarang. Mau ya, Tante."
Ketiga wanita di ruangan itu melongo melihat sikap Bara. Alena sama sekali tidak mengira kalau Bara akan bersikap setegas ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top