7. Geletar Hati

Rumah keluarga Gerald Dewabrata terletak di sebuah cluster perumahan bertema modern american. Rumah-rumah bergaya negeri Paman Sam berjejer rapi didominasi warna putih. Bara memelankan laju mobilnya kemudian berbelok ke sebuah rumah mungil dengan hamparan rumput hijau menutup hampir seluruh halaman.

Mata Alena hampir tak berkedip, memandang takjub pemandangan di depannya. Barisan tanaman yang tertata rapi itu mengingatkannya pada rumah Bara di Jogja dulu juga. Rumah yang sama asrinya dengan rumah ini. Ada barisan rak berisi pot tanaman aglonema dan jajaran tanaman gantung di sisi kanan teras. Dia juga ingat ketika mamanya banyak menghabiskan waktu bersama Tante Miranti untuk membahas soal tanaman.

Bara membukakan pintu mobil untuk Alena. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk membantu Alena keluar. Namun, gadis itu bergeming dan justru mengedarkan pandangan tanpa mengindahkannya.

"Tante Miranti masih suka tanaman, ya," ujar Alena ketika matanya bersirobok dengan mata Bara.

Kondisi mereka berdua yang hanya berjarak beberapa sentimeter saja membuat keduanya canggung. Bara tetap menatap Alena sedangkan yang sedang ditatap pun membeku di tempatnya.

Bara berdeham. "Kita masuk, yuk. Sudah ditunggu sama Mami."

Kemudian lelaki itu meraih tangan Alena dan menggandengnya lembut sambil mencoba bersikap biasa meski di dadanya ada debaran kencang yang tak biasa. Sedangkan Alena merasa pipinya memanas. Bohong jika dirinya tidak terpengaruh dengan sikap yang baru ditunjukkan oleh Bara.

Mereka sama-sama menaiki dua tangga. Tangan keduanya pun masih tetap bergandengan. Bara kembali berdeham ketika menyadari kalau masih menggenggam tangan Alena. Hatinya mendadak diserang rasa gugup ketika matanya dan mata Alena secara bersamaan melirik pada tangan yang saling bertaut. Hingga saling menepis adalah satu hal yang bisa dilakukan.

Ketika Bara akan membuka pintu, Miranti sudah membukanya dan terdiam ketika melihat kedatangan Bara bersama Alena. Tubuhnya seperti membeku untuk beberapa saat.

"Mam, ini Alena," ujar Bara sembari menetralkan kembali napasnya yang mendadak lebih cepat.

"Tante Miranti," sapa Alena sopan sambil mengulurkan tangannya untuk mencium wanita paruh baya itu.

Miranti masih bergeming di tempatnya. Dunianya seolah berhenti sesaat, menikmati wajah gadis kecil yang dulu sangat disayanginya kini sudah berubah menjadi wanita dewasa.

"Tante," panggil Alena, tangan gadis itu masih melayang di udara.

"Mami." Bara menjentikkan jarinya sehingga membuat Miranti tersadar.

Miranti segera menutup mulutnya yang ternganga dengan tangannya. Wanita itu segera memeluk Alena dengan erat. Mengabaikan tangan Alena yang hendak menciumnya. Seluruh kerinduannya selama lima belas tahun terobati sudah. Tidak terasa Miranti meneteskan air matanya haru.

Sedangkan Alena justru membeku di tempatnya. Meski tak dipungkiri ada kehangatan berjalan mengisi relung-relung dalam hatinya.

"Mami kangen, Nak," ucap Miranti lirih.

"Alena juga kangen, Tante," balas Alena.

Miranti segera mengurai pelukannya. Matanya menyipit dan keningnya berkerut.

"Kok Tante, sih," protes Miranti.

Mata almond Alena melebar. Dulu memang dirinya memanggil Miranti dengan sebutan Mami. Wanita itulah yang mengasuhnya sepanjang hari ketika ditinggal mamanya kerja. Namun, setelah lima belas tahun berlalu dia bingung bagaimana harus memanggil wanita yang seperti tak banyak berubah. Alena masih menyimpan wajah cantik penuh kelembutan Miranti di memorinya.

"Alena masih belum terbiasa, Mam. Kita kan sudah lama sekali terpisah dengan Alena." Bara membela Alena.

Miranti mengusap pipi chuby Alena kemudian menyiah poni gadis itu yang terurai di atas dahinya.

"Maaf, ya. Tetapi dulu kamu memanggil saya Mami." Miranti masih menatap haru gadis yang sudah dianggap putrinya sendiri.

Alena mengangguk. Bertemu Miranti seolah memberikan kehangatan seorang ibu yang selama ini dicarinya. Perlahan es-es di dalam hatinya mencair kemudian meluapkan sensasi bahagia dari dalam sana.

"Mami," panggil Alena lirih, "ih sebel, sukses bikin Nana terharu deh." Alena mengerjapkan matanya yang mulai berembun.

Miranti tertawa kecil mendengar suara manja gadis itu. Wanita itu masih tak percaya kalau bisa bertemu lagi dengan Alena.

"Mam, Tari juga pengen peluk adiknya kecilnya Tari, lho." Bethari mengintervensi maminya.

"Mbak Ayi." Alena merentangkan tangannya menyambut pelukan yang ditawarkan Bethari.

"Mbak kangen, Dek." Bethari mengusap lembut punggung Alena.

Bagi Bethari, Alena adalah adik yang paling disayanginya. Dulu Bara sering berseloroh bahwa dirinya kemungkinan hanya anak adopsi di keluarga itu. Sedangkan Alena adalah anak kandung Dewabrata yang dititipkan pada tetangga sebelah.

"Permisi, anak pungut mau lewat," seloroh Bara.

"Dasar, Bara!" Bethari menepuk punggung Bara, cukup keras sampai pemiliknya mengaduh.

Sebenarnya Bethari kesal karena acara temu kangennya dengan Alena telah diganggu Bara. Tubuhnya yang cukup besar menyenggol Alena dan Bethari yang berpostur lebih mungil sehingga mereka terhuyung.

Di dalam rumah Alena disuguhi kembali dengan pemandangan yang membuatnya takjub. Memang tak ada pajangan mewah di dalam rumah itu. Namun, semua tertata rapi di tempatnya masing-masing.

Seorang lelaki berwajah khas mediterania dengan alis tebal dan wajah kecoklatan menggendong seorang balita dua tahun menghampirinya. Alena kira wajah Gerald sudah cukup bule.

"Hai, I'm Alex. Saya suaminya Bethari." Alex memperkenalkan dirinya dengan bahasa Indonesia yang masih kaku.

Alena tidak menjawab. Matanya mengerjap pelan pada lelaki tinggi di depannya.

"Sorry ya, Dek. Mbak nikah tidak mengundang kamu. Coba kita tidak lost contact pasti kamu jadi bridesmaid Mbak dulu." Bethari menghampiri untuk menetralkan rasa terkejut Alena.

Mata Alena mengerjap pelan. Dengan polos dia memandang Bethari dan Alex bergantian kemudian beralih pada Audy yang anteng duduk sendiri sambil makan chocochip cookies dari toplesnya langsung.

"Katanya Mbak Ayi sekarang di Spanyol, ya?" tanya Alena.

"Hem," jawab Bethari menggumam. "Tepatnya di Madrid."

Mata Alena melebar.

"Keren," ucapnya takjub. "Pasti suka ketemu pemain bola yang ganteng-ganteng itu, dong? Di Spanyol cowoknya ganteng-ganteng ya, Mbak? Bisa bawain satu?"

Bethari menarik kepalanya ke belakang, matanya sedikit menyipit. Kemudian mengarahkan matanya ke atas dan ke bawah sambil berkerut dahi, seperti sedang memeriksa setiap jengkal tubuh gadis di hadapannya.

"Tuh, ada contoh satu," ujar Bethari sambil mengerlingkan matanya ke arah Alex yang sedang menemani putri mereka. "Ya sebelas dua belas lah bentuknya kayak itu."

Alena terbahak mendengar penjelasan Bethari. Lima belas tahun tidak bertemu ternyata Bethari tak banyak berubah. Gadis tomboi dan suka sembarangan berucap itu masih saja sama meski sudah punya anak.

"By the way kamu juga jomlo?" Mata Bethari melebar jenaka. "Sama dong kayak adikku. Jomlo karatan."

Bara berdecak mendengar ejekan kakaknya.

"Lho Mas Bara belum punya pacar?"

"Belum," sahut Miranti yang baru keluar dari dapur sambil membawa sepiring besar gudeg lengkap yang sudah tertata rapi.

"Mulai, deh." Bara kembali berdecak kesal.

Kesialan yang harus diterima Bara adalah ejekan mengenai statusnya yang masih jomlo. Dia tidak mengerti kenapa mami dan kakaknya seperti alergi sekali dengan statusnya yang masih sendiri.

Alena berjalan pelan menuju tempat Bara duduk. Gadis itu kemudian menepuk pelan bahu Bara sambil tersenyum bersimpati tetapi malah terkesan centil di mata Bara. Perasaannya tak enak, merasa akan ada satu lagi makhluk yang mengejeknya.

Bara melengos ketika Alena duduk di sebelahnya. Mata gadis itu menatapnya, lalu mengerjap beberapa kali membuat Bara merasa gemas dan mencubit pipi Alena yang sedikit berisi.

"Yang sabar, Bapak." Alena kembali menepuk pundak Bara.

Ternyata benar perasaan tak enaknya. Wanita tetaplah wanita dan Alena salah satu dari kaum itu. Pastilah sekarang gadis itu lebih memilih berkongsi dengan dua wanita julid lainnya.

Mereka duduk berdua dalam diam. Baik Alena maupun Bara merasakan geletar aneh yang mendadak merayapi hatinya. Sebelumnya tak begini, interaksi mereka sama sekali tak menimbulkan percikan rasa yang aneh. Namun, sekarang berbeda.

Mata mereka berdua bersirobok ketika Alena dan Bara kompak menoleh. Mereka saling pandang selama beberapa detik. Waktu seolah berhenti, menjadi dunia milik mereka berdua saja. Namun, kemudian Alena membuang mukanya. Jantung gadis itu sudah berdegub sangat kencang. Dia berani bertaruh jika Bara bisa mendengar suara detak jantungnya saat ini.

"Kamu ...."

"Mas Bara ...."

Bara dan Alena berbicara bersamaan. Kedua juga sama-sama mengurungkan niatnya. Bara sangat benci berada di situasi ala novel romance yang sering dibaca Bethari. Suasana itu membuatnya canggung dan kehilangan kata.

"Anak-anak kita makan dulu," ajak Miranti yang sudah selesai memindahkan mangkok besar terakhir yang ternyata berisi kuah sop.

Alena dan Bara menghela napas lega. Keduanya merasa terselamatkan dari situasi canggung di antara keduanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top