6. Keluarga Dewabrata

Lampu-lampu di rumah keluarga Dewabrata mulai diredupkan. Tersisa lampu dinding yang redup di ruang tamu dan lampu dapur saja yang masih menyala. Bara melangkahkan kakinya pelan, takut jika kedua orangtuanya sudah beristirahat. Hari ini dirinya pulang sedikit larut karena menghadiri peresmian kafe baru milik temannya di daerah Puncak tadi sore. Tadinya dia akan pulang ke apartemen tetapi maminya memaksa untuk pulang ke rumah orangtuanya.

"Pulang telah, hah!" Suara seorang wanita sedikit mengejutkannya. "Bara Dewabrata! Beraninya kamu pulang jam segini!"

Secara reflek Bara melirik ke arah jam dinding besar yang terpajang di belakang televisi, di ruang keluarga mereka. Jarum jam pas menunjuk pada angka sembilan. Kemudian Bara menoleh ke sisi kanannya dan baru melihat kakak perempuannya tersenyum lebar sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun.

"Hai, Brother. Came late, hah?"

Seorang lelaki berwajah mediteranian mendekat kemudian memeluknya. Bara membeku sejenak sebelum membalas pelukan kakak iparnya.

Bethari memindahkan putri cantiknya kepada sang suami. Tangannya bersedekap dan memandang sinis ke arah adiknya.

"Dari mana kamu?" tanya Bethari ketus. "Buat apa pulang malam kalau masih jomlo juga.:

Bara berdecak dan memutar bola matanya kesal. Kakak perempuannya itu memang senang sekali bersikap ketus kepadanya. Kedua orangtuanya sering bercerita kalau masa kecil mereka berdua bagaikan anjing dan kucing. Makanya Bara lebih suka bermain dengan Alena dibandingkan kakaknya sendiri.

Sedangkan sekarang, sikap dan cara bicaranya sudah persis seperti Miranti ibu mereka. Bethari lebih suka mengomel atau berkomentar ketus kepadanya. Bara dan Alex kakak iparnya hanya terkekeh mendengar omelan Bethari.

"Makanya Mami maksa suruh pulang ke rumah. Ternyata kalian kejutannya."

"Oh iya dong, harus. Kamu harus pulang ke sini. Masak sudah jauh-jauh datang dari Spanyol kena jet lag pula. Masih untung sekarang ga harus pakai dikarantina segala. Sudah kayak begitu terus kami juga yang harus mengunjungi apartemen kamu, itu tidak sopan ya, Bara Dewabrata." Bethari menggerakkan telunjukkan ke arah kanan dan kiri.

Mereka bertiga tertawa keras hingga Audy melihat dengan wajah keheranan.

"Ah keponakan Om Bara yang cantik, came to uncle, hah?" 

Bara merentangkan tangannya berniat menggendong Audy. Namun, balita bermata coklat itu hanya mengerjap pelan tanpa respon apapun atas tawaran Bara.

"Masih jet lag dia, Bar. Biasanya jam segini dia lagi ngemil sore. Di sini sudah waktunya tidur aja."

Bara tersenyum lalu mengelus puncak kepala keponakannya. Audy baru bisa tengkurap ketika dirinya mengunjungi balita cantik itu di Madrid. Sekarang Audy sudah bisa berjalan dan sangat cantik. Wajahnya merupakan campuran banyak ras di sana. Dua tahun dibekap pandemi membuat mereka melewatkan banyak perkembangan Audy karena tidak bisa saling berkunjung.

"Minum hangat dulu," Miranti keluar dari dapur dengan nampan berisi lima cangkir coklat panas yang masih mengepulkan asap serta sebotol susu untuk Audy.

Gerald mengekor di belakang istrinya. Rupanya mereka berempat sudah tahu kedatangan Bara dan sengaja mengejutkannya. Bara mengacungkan telunjuknya, menatap kesal kepada keluarganya yang disusul tawa keras mereka berlima.

Bara menyesap coklat hangat. Rasa manis bercampur sedikit pahit menyapa lidahnya disusul rasa hangat menjalar masuk menyusuri kerongkongannya dan mulai menghangatkan tubuhnya. Kandungan serotonin, theobromin, dan anandamine bekerja sama membuat suasana hatinya lebih baik. Dua hari ini perasaannya dibuat jungkir balik memikirkan Alena. Mau tidak mau kalimat-kalimat Wulan yang didengarnya tempo hari cukup mengganggunya. Kalimat yang lebih mirip cacian daripada obrolan antara ibu dan anak.

"Oh iya coba tebak aku bertemu dengan siapa?" Suara Bara mengalihkan perhatian semua anggota keluarga.

"Halah, Bara. Apa kami harus menebak semua orang yang kamu temui hari ini, bikin pusing aja." Bethari kesal dan melakukan protes kepada adiknya.

Bara berdecak dan menatap sinis ke arah kakaknya. "Sebentar, lah!"

"And the war will be started," seloroh Gerald yang membuat Bethari melirik tajam papinya.

"Aku bertemu tetangga sebelah rumah kita di Jogja dulu," ungkap Bara antusias.

Miranti segera meletakkan gelasnya dan mendekati putranya. Matanya memandang haru dan penuh harap kepada Bara.

"Kamu bertemu Wulan dan anak-anaknya? Di mana? Bagaimana mereka sekarang?"

"Lebih tepatnya bertemu Alena, Mam. Tetapi aku sempat ke rumah mereka dan bertemu Tante Wulan sebentar."

Mata Miranti berembun. Bethari segera mendekati maminya dan merangkul bahu wanita yang telah melahirkannya itu. Mereka semua tahu jika Miranti sangat menyayangi Alena.

Bara mengambil ponselnya. Dia mencari beberapa foto yang diambilnya secara khusus ketika bersama Alena beberapa minggu lalu di restoran ayam goreng favorit Alena.

"Ini, dia seperti ini sekarang." Bara menyodorkan ponselnya.

Miranti menatap haru wajah Alena dalam foto di ponsel putranya. Jarinya menatap pipi Alena yang tetap terlihat halus dan sedikit chuby. Tangan Miranti menutup mulutnya yang sedikit ternganga.

"Dia cantik sekali sekarang, Bar," puji Bethari. "Kalian ketemu di mana?"

"Di hotel," jawab Bara singkat.

Bethari dan Miranti kompak mengernyit. Meski tahu pekerjaam Bara di lingkungan hotelier tetapi bertemu seorang gadis di hotel sempat membuat mereka kaget.

"Hotel apa di restonya?" tanya Bethari penasaran.

"Di hotelnya lah, Alena di bagian front office, dia resepsionis."

Miranti dan Bethari kompak mengucap huruf O panjang. Keduanya juga menghela napas lega.

"Ajak ke sini, Bar. Mami ingin ketemu, Mami kangen." Miranti memohon kepada putranya, matanya mulai berkaca-kaca.

Bara mengangguk dan tersenyum. Dia tahu bagaimana Miranti sangat merindukan Alena. Rasa sayangnya bahkan melebihi ibu kandung gadis itu. Wanita itu bahkan sempat sakit selama beberapa minggu karena tak kuat menahan rindunya kepada Alena saat mereka baru pindah ke Sydney.

***

Suasana sore sedikit sibuk karena ada pergantian shift kerja karyawan di hotel. Mereka memang dilarang meninggalkan tempat sebelum rekannya di shift selanjutnya datang. Jadi seolah ada dua kali lebih banyak karyawan yang ada di lobi.

Bara mengedarkan pandangannya ke arah lobi dan mendapati Alena masih ada di meja kerjanya tampak sibuk bersiap untuk pulang.

"Hai," sapa Bara. "Sudah siap?"

Alena menoleh kemudian tersenyum ceria. "Bentar lagi, ya. Aku juga mau ganti baju dulu."

Dita mendekati mereka berdua kemudian mengerlingkan matanya menggoda ke arah Bara dan Alena.

"Tidak usah, begini nggak masalah."

"Nggak sopan, tau," protesnya.

"Aku antar ke tempat kos dulu. Di sini kurang privat."

Alena mencebik. Dia sudah membawa baju ganti dan semua perlengkapan serta oleh-oleh untuk Tante Mirantinya. Kemarin ketika Bara mengabarkan akan mengajak bertemu maminya, dia sangat antusias karena sejak kecil memang Miranti begitu menyayanginya.

Dita, rekan sesama resepsionis Alena menghampiri mereka berdua kemudian menyenggol bahu Alena. Mata gadis itu mengerling ke arah Alena dan Bara.

"Cie cie, Chef Bara sudah berani terang-terangan ngajak kencan, nih," goda Dita.

"Kami cuma teman, Dita," kilah Alena.

Namun, semburat kemerahan di pipi Alena tidak bisa menyembunyikan bahwa dia terpengaruh dengan seloroh Dita.

"Bara!" Dania berseru memanggil Bara.

Langkah Dania tergesa menuju meja resepsionis. Mata gadis dua puluh delapan tahun itu melirik sejenak ke arah Alena. Sikapnya congkak seperti biasanya. Bagi Dania, posisinya lebih bergengsi dibandingkan gadis-gadis penunggu meja resepsionis seperti Alena dan Dita.

"Aku pulang bareng ya, Bar," ujar Dania manja. "Mobil aku mogok jadi aku berangkat naik taksi tadi."

"Sorry, Dan aku tidak bisa. Aku ada janji dan tidak searah sama apartemen kamu." Bara menjelaskan.

Kening Dania berkerut. "Bukannya apartemen kita masih satu kompleks, ya?"

"Hem, tetapi aku mau ke arah sebaliknya dulu," jelas Bara. "Aku duluan, ya. Keburu maghrib nanti."

Bara mengerlingkan matanya ke arah Alena, memberikan kode untuk mengajaknya pergi. Alena hanya mengangguk kemudian mengikuti Bara, keluar dari meja resepsionis lalu menundukkan kepalanya ke arah Dania untuk berpamitan.

"Mau saya pesankan taksi online, Chef," tawar Dita sambil menahan tertawa.

Dania melirik semua orang di lobi yang memandangnya dengan berbagai ekspresi. Dia tidak suka banyak orang yang menatapnya begitu. Selama ini seluruh hotel tahu jika dirinya dekat dengan Bara. Namun, melihat Bara tak acuh dengannya dan pergi dengan seorang resepsionis membuatnya meradang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top