5. Alena yang Sebenarnya
Bara memandang rumah bergaya minimalis berlantai dua di depan mobilnya. Dia kembali memeriksa ponselnya, memastikan sudah berada di tempat yang tepat. Setelah memastikan semuanya, Bara mengambil bingkisan berupa cheese cake yang dibelinya sambil berangkat tadi.
Rumah dominan berwarna putih itu tampak sepi. Bahkan lampu ruang tamunya juga hanya sebuah lampu dinding redup yang menyala. Bara menyapukan pandangan pada seluruh bagian teras yang dipenuhi tanaman hias.
Tangan Bara terangkat akan mengetuk pintu ketika mendengar suara bentakan dari dalam rumah. Tak lama kemudian sebuah cacian mengikuti. Suara itu jelas sekali berasal dari satu orang dan bukan suara Alena. Bara kembali menyapukan pandangannya ke seluruh sudut teras dan halaman. Dia yakin berada di rumah yang benar, tetapi kenapa ada suara seperti itu dari dalam rumah.
Melihat sebuah jendela terbuka dan lebih terang, Bara mengintip ke baliknya. Betapa terkejutnya ketika dia melihat sosok Alena di dalam sedang berdiri membeku sedangkan suara cacian terus memberondongnya.
Bara segera mengetuk pintu rumah itu. Lelaki itu berharap bisa menghentikan apapun yang terjadi di dalam sana sekaligus mengetahuinya.
Mata Alena yang sembap melebar ketika melihat sosok lelaki yang berdiri di depan rumahnya. Senyum Bara melebar, berusaha bersikap seperti tak pernah mendengar apapun.
"Mas Bara." Alena menoleh ke belakang lalu kembali kepada Bara sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
Terlihat sekali Alena menunjukkan rasa gugupnya.
"Boleh masuk?" Bara menaikkan alisnya.
Alena meringis. Terlihat sekali jika gadis itu sedang bingung.
"Tante Wulan ada di rumah?" tanya Bara berusaha bersikap senormal mungkin.
"Siapa, Na?" Wulan tak sabar menghampiri karena Alena tak kunjung masuk.
"Tante Wulan, masih ingat saya?" Bara melebarkan senyumnya. "Saya Bara, anaknya Ibu Miranti dan Pak Gerald. Tetangga sebelah di Jogja dulu."
Kening Wulan mengernyit. Wanita paruh baya itu berusaha mengingat tiga nama yang baru saja disebut lelaki yang bertamu di rumahnya itu.
"Di Puri Kencana Mas," lanjut Bara.
"Ah iya, saya ingat," ujar Wulan kemudian. "Kalian yang pindah ke Australia, bukan? Sudah dewasa ya sekarang."
Bara tersenyum. Kepalanya mengangguk membenarkan pertanyaan Wulan.
"Ini, Tante ada sedikit oleh-oleh." Bara memberikan box kue yang dibawanya.
"Wah, repot-repot saja." Wulan tersenyum ramah sembari memberikan box kue dari Bara kepada Alena.
Mata masih berusaha meneliti wajah Bara ketika mempersilahkan lelaki itu masuk ke dalam rumahnya. Dia seperti sangat mengenal lelaki itu tetapi lupa di mana.
"Silahkan duduk." Wulan mengulurkan tangannya mempersilahkan Bara duduk kemudian dirinya juga duduk di depan Bara.
Alena masih berdiri sambil memegang box kue di samping ibunya. Wulan yang tadi marah dan mencacinya sekarang berubah menjadi lembut dan ramah. Namun, Alena bingung bagaimana harus mengambil sikap.
"Nana, sudah sana masuk buatkan minuman sama bawakan kudapan buat Nak Bara!" Perintah Wulan kepada Alena lebih terdengar seperti sebuah hardikan.
Bara mengernyitkan dahinya. Matanya menatap Alena yang terlihat sendu. Lelaki itu merasakan Alena sangat berbeda dengan yang selama ini bertemu dengannya.
"Tante Wulan kesibukannya apa sekarang?" tanya Bara berusaha mencairkan suasana.
"Ya begini di rumah saja nonton televisi, makan, tidur. Alya dan Alisha khusus membayar dua pembantu untuk mengurus rumah dan memasak jadi Tante ini di rumah menganggur. Paling ya mengurus tanaman-tanaman di teras itu saja." Disusul suara tawa renyah Wulan.
Bara tersenyum canggung. Apalagi Wulan banyak menceritakan Alya dan Alisha yang sukses di karir masing-masing.
"Oh iya, bagaimana bisa tahu kalau Tante tinggal di sini?" tanya Wulan.
"Dari Alena, Tante. Kita satu tempat kerja." Bara memberikan penjelasan.
Wajah Wulah berubah sedikit sinis. Senyumnya berubah miring begitu mendengar Bara bekerja di tempat yang sama dengan putrinya.
"Di hotel?" Wulan memastikan pendengarannya.
Bara merasakan perubahan sikap lawan bicaranya. Dia kembali tersenyum canggung dan mengangguk.
"Saya di restorannya, kalau Alena kan di bagian front office," papar Bara.
"Oh tukang masak," ujar Wulan sinis. "Saya ndak nyangka anaknya Gerald Dewabrata milih jadi tukang masak. Padahal papimu itu punya pekerjaan yang bergengsi, lho."
Ada sudut hati Bara tercubit. Mungkin jika dirinya dibesarkan di Indonesia, kalimat seperti itu tertangkap bagai sebuah hinaan. Namun, kehidupan liat negeri yang lebih bebas berpendapat membuatnya bisa menyaring apa saja yang menurutnya harus disimpan dalam hati dan mana yang harus segera dibuang.
Perhatiannya beralih kepada Alena yang datang sambil membawa dua cangkir teh dan sepiring cheese cake yang tadi dibawa oleh Bara serta setoples keripik jamur kesukaan mamanya.
"Mas Bara ini head chef, Ma. Dia kepala chef di restoran di hotel tempat Nana kerja. Jadi kerjaannya sudah bukan tukang masak lagi. Mas Bara juga kan juri kompetisi masak di televisi yang tayang tiap weekend itu." Alena mencoba memberikan penjelasan kepada ibunya.
Wulan tersenyum. Dia sering menonton acara itu. Pantas saja sejak tadi dirinya merasa seperti tidak asing dengan Bara. Ternyata lelaki itu adalah Bara Dewabrata, seorang celebrity chef yang cukup terkenal.
"Oh pantas sejak tadi seperti kenal wajahnya. Tetapi beda ya di televisi sama aslinya."
"Iya, Tante kalau di televisi ada efek make up dan cahaya lampu," jelas Bara.
"Tapi kalau aslinya malah lebih ganteng kok, Mas," puji Alena tulus dan Bara sama sekali tidak melihat sorot mata jenaka seperti ketika Alena bercanda dengannya.
***
Wulan sudah masuk ke dalam rumah setelah berbasa basi sebentar dan tak lupa mengkritik rasa teh buatan Alena yang terlalu manis. Suasana berubah sunyi dan canggung ketika mereka tinggal berdua saja di ruang tamu. Bara berdeham karena mendadak mati gaya di depan Alena. Gadis itu tiba-tiba berubah di matanya. Terlihat kalem dan mempesona.
"Kamu selalu ke rumah mamamu setiap akhir pekan?" tanya Bara memecah keheningan.
"Hem," gumam Alena.
Jika biasanya Alena selalu ramai dengan cerita tentang dirinya, teman, sampai bertemu penjual cilok sebelum berangkat kerja pun mungkin akan dia ceritakan. Namun, malam ini dia terlihat sangat berbeda. Sorot matanya terlihat sendu.
Alena menghela napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Bara merasa seperti ada rasa sesak dalam dada gadis itu yang berusaha diusirnya. Ingin sekali Bara bertanya tentang perasaan gadis itu saat ini. Namun, urung dilakukan karena melihat ekspresi berbeda dari Alena.
"Mas Bara tumben main ke sini, nggak sibuk?"
Bara tersenyum lebar. "Kamu tidak sedang baper karena aku main ke sini, kan?"
Mata Alena melotot mendengar pertanyaan Bara. Lelaki itu langsung tertawa melihat ekspresi Alena yang menurutnya lucu.
"Kenapa ketawa?" Wajah Alena mencebik.
Alih-alih meminta maaf karena menggoda Alena, Bara malah tertawa semakin keras.
"Len, kamu ada masalah?"
"Hah? Gimana?" tanya Alena terkejut.
Bara melirik sebentar ke arah ruang keluarga yang hanya dibatasi sebuah partisi bergambar angsa. Tubuh lelaki itu sedikit maju seperti akan membisikkan sesuatu. Alena pun melakukan hal yang sama, seolah mereka sedang merencanakan sebuah konspirasi untuk menggulingkan kekuasaan ibu suri.
"Mas Bara sempat mendengar sesuatu?" tanya Alena sambil berbisik.
Bara yang tadinya memang akan menyampaikan masalah itu langsung terkejut. Isi pikirannya seolah terbaca oleh Alena. Matanya mengerjap melihat wajah Alena yang tampak mempesona dari jarak sedekat ini.
"Iya, maaf aku tidak sengaja," bisik Bara.
Alena menggigit bibirnya kemudian kembali memundurkan tubuhnya. Gadis itu menghembuskan napas kasar hingga bibir bawahnya tampak maju.
"Jadi Mas Bara sudah tahu Alena yang sebenarnya." Gadis itu mengangkat bahunyan lalu terkekeh.
Bara memandangi gestur Alena seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Jari-jari Alena yang terus bergerak juga tak luput dari pandangan Bara.
"Hem sepertinya kamu butuh teman healing." Bara menepuk bahunya ibarat sebuah undangan untuk Alena untuk bersandar di sana.
"Idih, healing itu jalan-jalan, Mas Bara. Bukan nemplok di bahu ala-ala sinetron drama begitu." Alena menyipitkan matanya dan kedua alisnya saling bertaut. "Eh, apa Mas Bara mau cari kesempatan dalam kesempitan, ya."
Mereka berdua tertawa lepas. Suasana sudah sepenuhnya mencair. Sikap Alena sudah kembali ceria seperti biasanya. Meski sorot mata sendu itu belum sepenuhnya hilang.
Setiap ucapan Wulan tadi terus menggema dalam kepala Bara. Lelaki itu terus bertanya-tanya apakah selama ini Alena mendapatkan perlakuan menyakitkan dari ibunya sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top