4. Bara Dewabrata
Harum aroma daging bercampur keju dan saus bolognaise menguar dari arah dapur. Menjadi hal biasa jika Bara menginap di rumah orangtuanya adalah menguasai dapur di pagi hari. Selama ini Bara tinggal sendiri di apartemennya dan menginap di rumah orangtuanya setiap akhir minggu.
"Morning, Mam," sapa Bara ketika melihat ibunya berjalan menuju dapur.
"Hm smells good," puji Miranti sambil mengibaskan tangannya pada asap yang menguar dari masakan Bara.
"Thank you," balas Bara.
Miranti mengambil segelas air putih kemudian duduk di meja makan. Melihat putranya memasak bukan hal yang aneh bagi Miranti. Bukan karena profesi Bara sebagai seorang chef, tetapi para lelaki di keluarga mereka memang sudah biasa memasak hidangan untuk keluarga.
"Tidak ada rencana hari ini, Mam?"
Miranti mengangkat bahunya membuat Bara menatap dengan dahi berkerut.
"Ada apa? Mami kenapa?"
"Tante Melia ngajak ke acara sosialitanya tetapi Mami males. Kamu tahu kan kalau Mami berkumpul banyak orang dan tidak akrab bahkan tidak kenal, energi Mami terasa seperti tersedot habis."
Bara tersenyum. Maminya memang seorang introvert. Baginya bertemu banyak orang akan menguras seluruh energinya. Butuh teman sangat akrab yang bisa membuatnya banyak bicara.
"Kalau tidak suka tolak saja Meli, Mam." Gerald tiba-tiba datang dan ikut nimbrung dalam obrolan anak dan istrinya.
Meski anak-anaknya telah dewasa, keluarga Gerald Dewabrata tidak pernah mengubah kebiasaan mereka. Berkumpul di akhir minggu dan membicarakan banyak hal yang ditemui selama seminggu menjadi ritual wajib. Namun, sejak Bethari menikah dan memutuskan ikut suaminya yang merupakan warga negara Spanyol, kebiasaan ini hanya dilakukan bertiga saja.
Bara menghidangkan beef lasagna buatannya yang baru keluar dari oven. Gerald memejamkan mata menghirup aroma sedap yang menguar sambil tersenyum bagaikan sudah menikmati masakan lezat di hadapannya. Lelaki paruh baya itu memang menyukai semua makanan berbahan dasar pasta.
"Sepertinya kita perlu mempertimbangkan sarapan pakai nasi uduk deh, Bar." Miranti terkekeh.
Bara ikut tertawa kecil. Sejak pulang ke Indonesia beberapa bulan ini, kedua orangtuanya memang masih terbiasa dengan menu makanan ala western. Terutama papinya yang memang lebih suka hidangan barat daripada masakan Indonesia.
"Bara sering kok, Mam," sahut Bara. "Nasi uduk di barat komplek rumah ini lumayan juga."
Miranti menatap putranya dengan bibir mencebik. Sebagai wanita asli Indonesia, lidah Miranti memang lebih cocok dengan masakan Indonesia dibandingkan suaminya yang berdarah campuran Indonesia Australia itu.
"Kayaknya Mami perlu kamu belikan nasi uduk aja deh daripada makan lasagna." Miranti menghembuskan napasnya kasar.
Bara tersenyum sambil membawa sepiring nasi jeruk lengkap dengan ayam goreng lengkuas dan sambal hijau buatannya. Aroma daun jeruk purut yang menguar dari nasi hangat membuat perutnya mendadak kelaparan.
"Maaf, Mam tadinya mau Bara masakin nasi uduk tapi sayang Mami kehabisan santan, ya. Rempah sudah pada habis, Mam. Serai sama daun salam juga sudah pada kering."
Miranti menepuk jidatnya. "Iya Mami lupa, Bar. Sudah waktunya belanja memang."
"Makanya Bara ganti bikin nasi jeruk itu saja. Mami cobain, enak nggak? Bara pernah makan ini di dekat resto, ada yang jual tapi dimakan sama ayam goreng kremes dan sambal korek."
Gerald tertawa mendengar cerita putranya. "Kamu itu, Bara Bara. Kerjanya bikin makanan, jualan makanan juga tapi masih suka jajan di warung makan orang lain."
"Sekalian riset pasar lah, Pi."
"Good job, Son."
Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Meski Gerald bekerja di sebuah perusahaan media asal Australia, lelaki itu juga memiliki pasion bisnis yang besar. Bara pun mengikuti bakat sang ayah. Empat tahun kembali ke Indonesia dan berhasil menduduki posisi head chef di sebuah restoran di hotel berbintang, Bara juga merintis bisnis restorannya sendiri.
"Iya iya karirmu berkembang pesat, tapi kapan mau nikah?" sahut Miranti bernada julid.
Bara berdecak. Meski banyak pemikiran maminya yang modern, tetapi tak bisa dipungkiri kalau Miranti memang tipikal khas wanita Indonesia. Suka kepo.
Kebiasaan menanyakan urusan yang sangat pribadi tak bisa dihindari. Untungnya Miranti melakukan itu hanya kepadanya dan dulu kepada kakaknya, Bethari. Tidak kepada orang lain. Sifat introvert maminya seolah rem darurat untuk sikap keponya.
"Kenapa?" Nada bicara Miranti semakin ketus.
"Mami, please." Bara merajuk. "Suatu saat Bara pasti menikah ... kalau menemukan perempuan yang tepat."
Miranti menghembuskan napasnya kasar. Sering kali dirinya memasang mode tak acuh pada status putranya yang belum menikah di usia tiga puluh tahun. Apalagi pergaulan Bara dengan dunia entertainment karena menjadi seorang celebrity chef membuatnya kian khawatir.
"Tapi kapan, Bar?" Miranti mulai kesal. "Tahun ini usiamu sudah tiga puluh satu, lho. Masih menunggu Carissa?"
"Honey, sudahlah. Ulang tahub Bara masih akhir tahun nanti, lagi pula dia pasti punya rencana sendiri untuk hidupnya. Dia sudah dewasa." Gerald akhirnya memutuskan untuk mengintervensi istrinya.
Miranti menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Suaminya memang benar jika putranya udah cukup dewasa. Namun, kondisi Bara tak pernah memperkenalkan seorang gadis setelah hubungannya dengan Carissa kandas membuatnya khawatir. Apalagi kandasnya hubungan itu cukup menyakitkan.
Bara meraih telapak tangan maminya kemudian mengecup lembut punggung tangannya.
"Mami jangan khawatir, Bara hanya belum menemukan sosok perempuan yang pas saja. Tapi suatu saat pasti ketemu karena Bara juga mencarinya."
Senyum hangat tergambar di bibir lelaki itu. Di satu sisi dia memahami kekhawatiran maminya. Namun, di sisi lain dirinya juga belum yakin untuk memulai lembaran baru dengan wanita lain. Carissa meninggalkan jejak cukup dalam di hatinya.
***
Bara termenung di depan kolam ikan mungil di taman belakang rumah orangtuanya. Gerakan ikan koi dalam kolam yang anggun memberikan ketenangan baginya. Konon ikan yang berasal dari Jepang itu Niigata, salah satu prefektur di Jepang itu bisa memberikan kedamaian pada pemiliknya.
Maminya sudah pergi memenuhi ajakan Tante Melia. Sementara papinya sibuk di ruang kerjanya. Setiap usai membahas mengenai istri, Bara selalu diserang rasa tak nyaman.
Lelaki itu memainkan ponselnya. Entah kenapa sejak pembicaraannya dengan maminya tadi pagi, pikirannya malah tertuju kepada Alena. Beberapa kali dia membuka nomor gadis itu tetapi malah memandangi foto profil Alena tersenyum lebar sambil mengenakan seragam resepsionisnya.
"Melamun saja, Bar." Gerald tiba-tiba datang dan menepuk bahunya.
"Eh, Papi."
Gerald duduk di sisi putranya. Kedua lelaki berwajah campuran itu memandang ke arah depan.
"Omongan mamimu itu jangan terlalu dipikirkan. Tetapi jangan juga diabaikan." Gerald membuka pembicaraan.
Bara terkekeh. Selain pertanyaan mengenai kapan dirinya menikah, nasihat papinya itu juga sudah dihafalnya di luar kepala.
"Papi tahu menikah itu butuh persiapan mental. Tidak mudah menyatukan dua kepala yang berasal dari dua latar belakang berbeda. Namun, jika kamu tidak pernah mencoba menjalin hubungan lain, kamu tidak akan tahu."
Wejangan panjang lebar didengarkan Bara sambil manggut-manggut. Dia harus mengakui jika setiap yang dbicarakan papinya itu memang benar.
Bara mendongak, menghela napas dalam. Cahaya langit perlahan berubah menguning. Langit juga sudah dihiasi semburat keemasan di sisi barat tanda senja mulai menyapa.
Gerald menepuk bahu putranya, tersenyum hangat kemudian beranjak dari tempat duduknya. Tinggal Bara yang kembali hanya termenung memandangi riak air kolam karena gerakan ikan koi.
Bara kembali memandangi ponselnya. Profil Alena masih terbuka. Setelah yakin, akhirnya lelaki itu menekan tombol panggilan. Butuh dua nada tunggu sebelum Alena mengangkat panggilannya dengan nada suara terdengar sendu. Bara bisa menebak jika gadis itu baru saja menangis. Suaranya serak dan terputus-putus.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Bara khawatir.
"Iya baik kok," balas Alena dengan nada suara yang dipaksakan ceria seperti biasanya. "Tumben Mas Bara nelpon, ada apa?"
"Pengen aja," jawab Bara asal. "Ketemuan, yuk."
Cukup lama Bara menunggu tetapi tidak ada jawaban. Hanya suara hembusan napas berat yang terdengar kemudian.
"Alena lagi di rumah Mama," ungkap Alena kemudian.
"Ya bagus, dong. Sekalian mau ketemu Tante Wulan."
Alena kembali terdiam. Bara menunggu dalam hening selama beberapa detik. Lelaki itu merasa pasti ada yang tidak beres dengan Alena.
"Bagaimana, boleh?" tanya Bara lagi.
Alena tetap tidak memberikan jawaban. Di satu sisi dia butuh orang lain untuk membuat perasaannya sedikit lebih baik. Namun, dia juga tidak mau Bara melihat dirinya sedang dalam kondisi tak baik-baik saja. Akhirnya Alena menghela napas dalam kemudian menyetujui permintaan Bara.
"Ok, share location dong," pinta Bara. "Nanti sehabis maghrib aku ke sana."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top