24. Penghargaan
Setelah pembicaraan panjang di antara merema berdua, Alena akhirnya mau membuka dirinya. Perempuan itu akhirnya membongkar beberapa kardus besar berisi koleksi lukisannya yang teronggok begitu saja di dalam kardus.
Mata Bara sontak membeliak melihat begitu banyak lukisan indah hanya dibiarkan begitu saja. Untuk seorang yang melukis hanya sebagai hobi, tentu saja lukisan Alena sangat menakjubkan. Bara tak henti memuji.
"Semua ini luar biasa, Sayang," puji Bara.
Alena tersipu mendengar pujian suaminya. Baru kali ini ada orang yang memujinya bertubi-tubi dan terdengar begitu tulus.
Perhatian Bara beralih pada sebuah lukisan berwarna biru. Setangkai bunga dandelion di tengah hamparan rumput tertiup angin dan menerbangkan kuntum-kuntum kecilnya yang rapuh. Bagi Bara, lukisan itu bagaikan sosok Alena. Terlihat kuat dan ceria padahal sebetulnya rapuh.
"Aku suka lukisan ini, boleh aku minta?"
Mengetahui ada yang meminta lukisannya membuat Alena heran. Kehidupan Bara di mata Alena begitu sempurna, tetapi kenapa tertarik dengan lukisannya sederhananya.
"Kenapa?" tanya Bara bingung. "Apa lukisan ini ada kisah di belakangnya yang membuat kamu ingin menyimpannya?
Alena menggeleng. Namun, dia masih bingung dengan sikap Bara yang dari tadi memuji setiap lukisan yang dipegangnya.
"Itu bunga dandelion, aku melukisanya asal setelah melihatnya waktu jalan-jalan ke Puncak," ungkap Alena malu-malu. "Tapi itu jelek."
"Ini beneran bagus, Sayang. Aku suka." Bara meyakinkan Alena. "Boleh aku ambil, ya?"
Alena mengangguk. Senyum bahagia menghias bibir mungil merah mudanya. Baru kali ini dirinya dipuji dan merasa sangat dihargai.
Sebetulnya Alena tahu jika ada orang yang berprofesi sebagai pelukis. Dirinya juga sering datang menghadiri sebuah pameran lukisan. Menurutnya lukisan-lukisan yang dipamerkan sangat indah. Sedangkan lukisannya bukan apa-apa.
"Mau Mas Bara pasang di mana?" tanya Alena penasaran.
"Di ruanganku," jawab Bara sambil memilah-milah lukisan lainnya.
Alena terbelalak. Itu artinya lukisannya akan dilihat banyak orang. Segera perempuan itu mengambil lalu mendekap lukisannya.
"Kenapa?" Kening Bara mengernyit.
"Kalau Mas Bara mau ambil ini nggak apa-apa, tapi jangan dipasang di ruangan Mas Bara," protes Alena.
Bara meletakkan sebuah lukisan gadis kecil sedang bermain ayunan dengan latar langit senja. Melihat Alena kembali memegang erat lukisannya membuat Bara merasakan ada sesuatu.
"Kenapa, hem?" Bara merengkuh Alena ke dalam pelukannya dari belakang.
"Lukisanku jelek, aku malu," sahutnya lirih.
"Siapa bilang jelek?"
Bara menggandeng tangan Alena lalu mendudukkan perempuan itu di kursi yang terletak di sudut ruangan. Selanjutnya lelaki itu berlutut di hadapan istrinya. Wajahnya mendongak hingga mata mereka saling menatap.
"Kamu masih suka tidak percaya diri?" tanya Bara lembut.
Ya memang karena Alena merasa kalau dirinya tidak memiliki keahlian apapun. Dia bodoh dalam bidang akademis apapun. Bahkan hanya kuliah diploma di jurusan hospitality di sebuah sekolah perhotelan saja lulusnya telat. Sedangkan untuk melukis meski merupakan hobinya, hasilnya tak sebagus pelukis lainnya bahkan di pinggir jalan sekalipun. Semuanya tertanam kuat di otaknya.
"Bukan tidak percaya diri tetapi karena aku tidak bisa apa-apa," jawabnya sendu.
Dada Bara terasa sesak. Hanya ucapan saja bisa mengubah orang sebegitu besar. Alena kecil yang dia kenal dulu anak yang ceria dan sangat percaya diri. Dia masih ingat ketika dirinya menemani ibunya menghadiri acara perpisahan sekolah di taman kanak-kanak tempat Alena bersekolah. Gadis kecil itu tampil menari kemudian menyanyi dengan penuh percaya diri.
"Alena, setiap makhluk hidup itu selalu diciptakan memiliki kelebihan, kekurangan, dan pastinya manfaat buat lingkungannya." Bara menepuk lembut punggung tangan istrinya. "Bahkan nyamuk saja memiliki manfaat."
"Memangnya apa?" tanya dengan raut bingung.
"Buat makanan katak," ujar Bara sambil terkekeh.
"Mas Bara, ih!" Alena memukul lengan Bara pelan.
Mata mereka kembali saling menatap. Bara ingat benar ucapan ibunya setelah dirinya melamar perempuan yang duduk di hadapannya. Alena kehilangan banyak kepercayaan dirinya. Sepanjang pernikahan mereka, tak pernah sekalipun Alena mendebatnya. Dia selalu menuruti semua ucapannya.
"Nana, kamu tahu kalau setiap manusia memang tidak diciptakan sempurna. Tetapi tidak ada satu manusia pun yang tidak berguna di dunia ini."
Alena memang merasa dirinya tidak berguna. Sekeras apapun dirinya berjuang memenuhi ekspektasi ibunya, gadis itu selalu gagal. Terakhir, dirinya bagai dihempas ke dasar bumi oleh ibunya sendiri ketika tidak berhasil diterima di universitas yang diinginkan ibunya.
"Kamu cantik, kamu berbakat, kamu juga yang berhasil membuatku jatuh cinta."
Tangan Bara terulur untuk menyiah anak rambut yang menutupi kening istrinya. Senyum lelaki itu begitu lembut meneduhkan hati Alena.
Lelaki itu kemudian mengambil lukisan yang tadi diinginkannya. Lukisan setangkai dandelion.
"Kamu lihat bunga ini? Terlihat sendirian, rapuh, dan kecil. Tapi kalau kamu lihat bunga-bunga kecilnya yang terlepas lalu bertebaran tertiup angin itu menunjukkan kekuatannya.
Bara mengangkat tubuhnya. Kini dia bertumpu pada lutut hingga wajah mereka sejajar. Tangan lelaki itu menangkup kedua pipi Alena dan ibu jarinya mengusap pelan.
"Kamu itu istimewa, kamu hanya belum menemukan potensimu sendiri. Kamu membiarkan orang lain menekanmu hingga kamu sendiri tidak tahu bagaimana caranya bangkit."
Bara berpindah untuk mencium kening Alena, cukup lama dan sangat lembut. Gelenyar di hati Alena menyebar ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya bergetar.
"Ada aku di sini, aku akan selalu ada buat kamu, kita bangkit bersama."
Pandangan Alena sudah mengabur. Wajah Bara tertutup oleh air mata yang tanpa permisi menutupi matanya. Dia mengangguk sambil tersenyum, tetapi ada sebutir air mata yang menetes. Namun, itu air mata kebahagiaan yang kemudian dihapus oleh ibu jari Bara yang mengusapnya lembut.
"Besok kita jalan-jalan, yuk."
***
Hari masih pagi ketika Bara dan Alena keluar dari rumah mereka. Wajah Bara semringah. Sesekali lelaki itu mengecup jemari Alena yang tak pernah lepas dari genggamannya.
Setelah empat puluh lima menit berkendara, mereka sampai di sebuah danau yang sangat cantik. Situ yang sekarang dijadikan sebagai tempat pelestarian budaya Betawi itu sudah ditata menjadi tempat wisata.
"Cantik sekali," gumam Alena dengan mata berbinar.
Setelah memarkir mobilnya, mereka keluar dan berjalan bergandengan di sepanjang jalan menuju Danau.
"Kamu seneng?" tanya Bara.
"Hem."
"Setelah ini janji nggak pakai insecure lagi, ya." Bara mengusap puncak kepala Alena lalu mengacak rambutnya yang diikat pony tail.
Mereka berdua duduk di pinggir danau. Deretan pemancing ramai saling bertukar canda. Sedangkan di sekitarnya ada beberapa pedagang makanan dan minuman menjajakan dagangannya.
Bara meninggalkan Alena sendirian untuk membelikan minuman dan sedikit makanan. Alena duduk bertumpu tangannya di belakang dan meluruskan kakinya. Di kiri kanannya ramai keluarga yang sedang piknik dan sama-sama duduk di atas tikar yang disewakan penduduk sekitar. Alena tersenyum ramah ketika ada seorang ibu menatapnya sambil melepar senyumnya.
"Yang tadi suaminya ya, Neng?"
Alena mengangguk. Dia merasa wanita bertubuh berisi ini mengenal suaminya.
"Beruntung banget si Eneng mah," lanjut wanita itu sopan.
Alis Alena berkerut. Dia memang sangat beruntung, tentu saja semua orang tahu. Memiliki suami tampan, mapan, terkenal, dan baik kepadanya jelas keberuntungan terbesar. Namun, ucapan wanita itu jadi sedikit mengecilkan hatinya.
"Ngomong-ngomong, kalian pengantin baru?"
"Alena mengangguk. "Baru dua bulan, Bu."
"Oh pantesan, Ibu lihat suaminya kayak cinta banget sama Eneng. Beruntung banget pokokna, mah," ujar perempuan berjilbab merah muda itu. "Dari tadi Ibu lihat matanya nggak pernah lepas dari Eneng, lihatnya kayak penuh cinta, gitu."
Pipi Alena bersemu merah. Benarkah memang seperti itu dia tidak menyadarinya.
"Ibu kok tahu?" tanya Alena polos.
"Ibu juga pernah muda dan pernah jadi pengantin baru kali, Neng," papar ibu tersebut sambil terkekeh. "Dapat laki-laki yang cinta sama kita itu keberuntungan. Saya sampai punya cucu begini, suami masih perhatian terus. Itu dia lagi beliin minum buat Ibu."
Wanita itu melihat seorang lelaki kurus yang sekira seumuran dengan wanita di sebelahnya. Di tangannya menenteng plastik hitam seperti berisi botol. Beberapa anak kecil terlihat mengekor di belakangnya dengan membawa mainan masing-masing. Ternyata mereka berdua sedang jalan-jalan bersama cucu mereka. Sedangkan anak dan menantunya memilih memancing di tepi danau.
Alena tersenyum semringah. Melihat kebahagiaan keluarga yang baru ditemuinya seolah juga membawa kebahagiaan untuk dirinya. Senyumnya melebar menyambut Bara yang juga berjalan menuju tempatnya duduk sambil membawa beberapa botol minuman dan juga makanan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top