23. Tertangkap Basah
Ruangan yang direncanakan Alena untuk tempat menyimpan perlengkapan melukis miliknya sudah rapi. Alena menata semua perlengkalannya ke dalam box tertutup dan berwarna gelap di antara perlengkapan memasak, stik golf, dan berbagai barang yang jarang dipakai.
Wajah Alena semringah. Sudah cukup lama perempuan itu tidak melukis. Sejak menikah dengan Bara dirinya hampir tidak pernah menyentuh peralatan melukisnya. Dengan semangat yang meluap-luap Alena meletakkan tasnya lalu mengangkat box tempat menyimpan semua perlengkapan melukisnya dan membawanya ke balkon kamar.
Melukis adalah separuh nyawa bagi Alena. Kegiatan itu menjadi candu baginya apapun kondisi hatinya. Kerinduannya tak bisa ditahan lagi. Segera dia mengganti bajunya, memasang celemek yang biasa digunakan lalu menata kanvas dan deretan cat di sebelahnya. Bara akan pulang malam jadi Alena bebas melakukan apa saja.
Alena menghirup udara sore. Semburat kekuningan mulai tampak di sisi barat. Perempuan itu menjentikkan jari mendapatkan ide. Melukis kota menjelang senja pasti menyenangkan. Apalagi dia tidak pernah melukis objek secara langsung di hadapannya.
Satu jam berlalu, Alena larut dalam setiap goresan warna di kanvas yang melukiskan pemandangan gedung-gedung tinggi yang mengelilingi kompleks perumahannya dengan latar belakang senja. Saking menikmatinya, Alena sampai tidak sadar jika Bara pulang dan mencari keberadaannya.
Tubuh Alena tersentak berdiri saat mendengar pintu kamar dibuka. Matanya membulat sempurna menatap lelaki yang juga berdiri kaku di depan pintu. Wajah mereka berdua sama terkejutnya.
Alena perlahan-lahan menggeser tubuhnya menutupi kanvas dan ceceran perlengkapan melukis yang belum sempat dibereskan. Kakinya menarik kuas-kuas yang tergeletak di lantai seraya menggigit bibir untuk meredakan hentakan jantung yang sangat cepat.
Terlintas rasa takut dan cemas jika Bara marah karena dia melukis. Tangan Alena kini memegang erat celana bermuda biru tua yang dikenakannya.
"Kamu kenapa?" Bara bertanya seraya melangkahkan kakinya.
Dengan gerakan pelan bagai adegan lambat sebuah tayangan televisi. Alena hanya bisa menatap suaminya mendekat tanpa bisa berbuat apapun. Matanya melirik panik ke belakang tubuhnya, tempat sebuah kanvas berada.
Bara mendorong bahu Alena lembut. Merasa tidak mungkin menyembunyikan lagi kebiasaannya, perempuan itu memilih menurut. Alena menggeser kakinya sedikit hingga kanvas yang sebelumnya tertutup jadi terbuka sebagian dan mata Bara membuka lebar.
Lukisan setengah jadi di depannya sangat menawan. Meski dirinya bukan penikmat karya seni lukisan, dia bisa merasakan bahwa lukisan itu sangat indah.
"Segera aku bereskan, aku mohon Mas Bara jangan marah." Alena cepat-cepat mengambil kanvas dan beberapa perlengkapan melukisnya.
Bagi Alena, melukis memang hal yang disukainya tetapi bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Bara memegang bahu Alena lembut, mencegah istrinya untuk membereskan lukisannya. Tubuh Alena seketika menegang. Terngiang kembali cacian ibunya ketika dia kedapatan menggambar. Dadanya tiba-tiba sesak.
"Tidak usah dibereskan, kamu lanjutkan saja aku tunggu di sini," ucap Bara lembut. "Itupun jika aku tidak mengganggumu."
Alena menghela napas dalam. Dia tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Kepalanya menggeleng pelan. Suara-suara di kepalanya mulai berisik mengingatkan bahwa melukis adalah hal yang memalukan dan Bara pasti tidak menyukainya.
"Sayang," panggil Bara sambil memegang bahu istrinya.
Kepala perempuan itu tertunduk. Dia memainkan jarinya, bingung bagaimana memberikan penjelasan. Wajahnya juga terpasang dalam mode sendu yang jarang ditemui oleh Bara.
"Hei, ada apa?" Bara berpindah ke sisi tubuh Alena.
"Segera kubereskan semuanya, Mas. Aku janji tidak akan melukis lagi setelah ini."
Bara merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan istrinya. Dia segera menarik bahu Alena dan membuat istrinya saling berhadapan dengan. Dipegangnya kedua bahu Alena.
"Ada apa? Aku salah ngomong?" Bara bertanya dengan suara lembut.
Alena menggeleng pelan. Bukan Bara yang salah tetapi dirinya karena membawa perlengkapan melukisnya dan melukis di rumah. Harusnya Alena tak pernah melakukannya karena mungkin saja Bara tak akan menyukainya.
Sudah lebih dari satu bulan Alena tidak melukis. Biasanya dia melukis untuk menenangkan pikiran dan menghilangkan tekanan dalam pikirannya. Hanya dengan melukis sebentar saja bisa memberikan dampak positif bagi perasannya.
Bara tersenyum lalu menjepit dagu perempuan itu dan mengangkat wajahnya dengan lembut tetapi Alena memilih bergeming. Terlihat wajah cemas di sana.
"Ada apa, hem?" Bara bertanya pelan.
Alena kembali menggeleng. Dia masih khawatir dengan reaksi suaminya setelah ini.
"Alena takut Mas Bara tidak suka."
"Tidak suka apa?" Suara Bara masih lembut.
Mata Alena dan Bara kembali memandangi lukisan yang ada di dekat mereka. Senyum Bara yang terlukis di bibir tipisnya membuat kening Alena berkerut.
"Aku menyukainya, Sayang." Bara memegang kedua bahu istrinya.
"Katanya Mas Bara tidak suka lukisan?" tanya Alena polos.
"Kapan aku pernah bilang begitu?" Bara terkekeh.
Memang benar dirinya bukan golongan penikmat lukisan, tetapi juga tidak membencinya. Kalau ada lukisan bagus pun dia suka.
"Tidak suka bukan berarti benci, kan." Bara mencubit ujung hidung Alena. "Lagipula, kalau benci nanti lama-lama jadi cinta."
Pipi Alena langsung merona merah. Perempuan itu merasakan hawa panas menerpa pipinya.
"Kamu suka melukis?" tanya Bara lembut.
Alena hanya mengangguk. Beberapa kali perempuan itu masih merutuki kecerobohannya melukis di balkon ketika Bara belum pulang. Sekarang dirinya pasrah jika Bara melarangnya melukis seperti ibunya dulu melarangnya.
"Kenapa tidak pernah ngomong kalau kamu suka melukis?"
"Alena takut Mas Bara tidak suka lalu melarang melukis lagi," ungkap Alena jujur.
Bara menghembuskan napasnya kasar. Dia tak habis pikir kenapa Alena bisa mempunyai pikiran seperti itu. Padahal dirinya tidak pernah melarang istrinya melakukan kegiatan yang disukainya asalkan bukan sesuatu yang salah.
"Len," panggil Bara lembut. "Boleh Mas Bara tanya sesuatu?"
Perempuan berambut lurus itu mengangguk. Matanya mengerjap pelan. Guratan kekhawatiran tergambar sangat jelas di wajah cantik itu.
"Kenapa kamu berpikir Mas Bara akan melarang kamu melukis?"
Mata Bara menatap lekat perempuan yang kini kembali menunduk. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban apapun dari mulut Alena. Sebenarnya Bara tidak sabar menanti jawaban dari istrinya. Meski sebenarnya dalam lubuk hatinya, dia bisa menebak siapa yang membuat Alena berpikiran seperti itu.
"Kamu bebas menceritakan apapun kepada suamimu ini. Rahasia aman bersamaku." Bara membuat gerakan seperti mengunci bibirnya kemudian membuang kunci tersebut.
"Mama tidak pernah suka Alena melukis. Katanya melukis adalah kegiatan tidak berguna dan menjijikkan. Alena harus sekolah yang pintar seperti Mbak Aya dan Mbak Ica."
Tanpa menunggu lama, Bara segera membawa istrinya ke dalam rengkuhannya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya perjuangan Alena untuk memenuhi ekspektasi ibunya yang sangat tinggi itu.
"Kamu sekarang bersamaku, kamu bebas boleh melakukan apapun yang kamu sukai asalkan itu hal yang benar."
Bara mengelus lembut punggung istrinya. Ada rasa nyaman mengalir di sepanjang tubuh Alena, merasuki seluruh rongga dadanya dan memberikan efek bahagia sesudahnya.
Alena mengurai pelukan Bara lalu mendorong pelan dada suaminya. Perempuan itu menatap mata Bara, mencoba menelisik ketulusan yang tergambar di sana.
"Kenapa Mas Bara memberi izin untuk melukis? Tidak takut lantai dan tembok terkena cat minyak?"
Bara tersenyum lembut. Lelaki itu menyiah anak rambut di dahi istrinya dengan lembut.
"Semua kotoran itu bisa dibersihkan. Tetapi jika imbalannya kamu merasa lebih bahagia, ya kenapa tidak?"
Kedua tangan Bara terentang kemudian mengangkat juga bahu lebarnya. Sedangkan mata Alena mengerjap pelan. Wajah Alena yang lucu dengan mata mengerjap cepat membuat Bara merasa gemas dan kembali merengkuh istrinya.
"Apa kamu tidak boleh melukis karena Ayah?" tanya Bara sambil tetap mendekap istrinya.
Alena menjauhkan tubuhnya. Matanya menatap suaminya dengan kening berkerut. Lalu kepalanya menggeleng pelan.
Hardian Laksono memang guru kesenian yang juga mahir melukis. Sepertinya Alena mewarisi bakat ayahnya. Namun, hubungan yang tak baik di antara kedua orangtuanya membuat ibunya melarang keras Alena untuk melukis. Bagi Wulan, sekolah formal dan karir mentereng adalah gambaran kesuksesan.
"Kata Mama pokoknya aku harus belajar karena nilai semua mata pelajaranku tidak pernah bagus. Melukis itu tidak ada manfaatnya, cuma bikin kotor."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top