2. Kembali ke Masa Lalu
Mobil Bara melaju pelan. Alena bersenandung lirih mengikuti alunan suara Duncan James dan Le Ryan menyanyikan lagu berjudul Best In Me, single hits mereka di tahun 2001.
"Suka lagu ini juga?" tanya Bara.
"Hem," gumam Alena di sela senandung lirihnya.
Bara tersenyum gemas. Alena masih lucu seperti dulu, polos dan jujur. Tanpa sadar tangannya terulur mengusap puncak kepala Alena, bagai seorang kakak kepada adiknya.
"Mas Bara, Alena sudah gede, tau," protes Alena.
"Lho kenapa?" Bara terkekeh.
Wajah Alena mencebik. "Kalau Alena baper gara-gara diusap kepalanya gitu, gimana?"
Tawa Bara pecah. Setiap kalimat gadis itu terdengar lucu dan manis di telinganya. Namun, bibir Alena kian mengerucut dan matanya menyipit.
"Mas Bara apa tidak merasa bersalah gitu kalau sampai Alena baper beneran," protes Alena sengit. "Kalau ternyata Mas Bara sudah punya pacar lalu Alena patah hati, tidak juga merasa bersalah, gitu?"
Tanpa menjawab pertanyaan gadis di sampingnya, Bara mencubit pipi Alena. Tawanya masih lepas meski berusaha dia tahan mati-matian. Sikap Alena saat ini membuatnya teringat bertahun silam ketika mereka masih anak-anak.
"Mas Bara baik sama Nana, nanti kalau sudah gede Mas Bara menikah sama Nana, ya."
Ucapan itu sering kali terngiang di telinganya. Terdengar lucu dan polos. Terutama ketika Alena memanggil dirinya Nana. Bahkan ketika Bara beranjak remaja, mengalami puber, dan jatuh cinta pada teman sekolahnya, ucapan Alena soal pernikahan kala itu tidak pernah terlupa. Bagaikan sebuah mantra yang mengikatnya untuk kembali kepada Alena.
"Kamu tidak ingat pernah minta aku jadi suamimu?" tanya Bara terkekeh.
Mata Alena melebar. Tentu saja dirinya tak ingat. Kenangan mereka terhenti di usianya menginjak sembilan tahun. Ketika keluarga Bara pindah ke Australia dan membuatnya seolah harus berjuang sendiri menghadapi kerasnya kehidupan. Namun, pertanyaan Bara membuat pipinya bersemu merah.
"Tuh, kan Mas Bara beneran membuat Alena baper." Alena menangkup kedua pipinya yang terasa panas.
Untung saja dirinya bukan lelaki dingin dan kaku seperti kebanyakan tokoh utama pria dalam novel. Bara sangat mensyukuri hal itu. Sehingga dirinya bisa mengimbangi gaya bicara Alena yang ceplas ceplos.
"Memang Alena pernah ngomong gitu?" Alena bertanya penasaran.
Bara hanya tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. Alena berbinar melihat papan nama restoran ayam goreng legendaris yang berasal dari Jogja.
"Katanya minta ayam goreng, kan?" Bara mengedipkan mata kanannya.
Mata Alena memandang takjub pada papan nama besar yang ada di atas pintu masuk restoran. Cukup lama gadis itu berdiri, matanya mengerjap menatap papan nama dan logo bergambar ayam goreng.
Nama itu mengingatkannya pada masa kecilnya. Dia seperti diajak ke masa lalu, ketika keluarganya masih bahagia. Alena berusaha mengais sisa-sisa memori yang masih tersimpan. Memori ketika dirinya berada di usia antara dua hingga tujuh tahun. Saat kedua orangtuanya belum bercerai dan ibunya belum memberikan tekanan berat kepadanya. Rasanya hidup begitu indah kala itu.
Bara menjentikkan jarinya di depan mata Alena. Bibirnya tersenyum manis ketika Alena terkesiap dan menoleh kepadanya. Matanya yang tadi sedikit berembun cerah kembali melihat chef idolanya yang dulu hanya bisa dilihat dari jauh kini di depan matanya.
"Kita nostalgia dulu," ucap Bara sambil mengulurkan tangannya menawarkan sebuah genggaman tangan.
"Aku jadi kangen sama Tante Miranti," balas Alena sendu.
"Kapan-kapan kita ketemu Mami."
***
Alena memasuki rumah bergaya minimalis dengan halaman cukup luas yang dipenuhi beragam tanaman dalam pot yang tertata rapi. Beberapa orang berseragam hitam putih sedang membereskan sisa makanan di meja makan besar yang ada di ruang tamu. Alena menggigit bibir bawahnya, acara sudah selesai dan entah omelan seperti apa yang bakalan diterimanya ketika berhadapan dengan ibu suri rumah ini nanti.
Hari ini adalah perayaan selapan anak kedua Alya, kakak sulung Alena. Alya menelponnya tadi malam untuk mengabarkan sehingga dirinya tidak bisa meminta izin cuti. Acaranya jam sembilan pagi dan Alena baru datang pukul tiga sore. Itu pun karena Dita bersedia menggantikan sisa tiga jam shiftnya.
Selain beberapa pekerja katering yang sedang merapikan meja, dan beberapa petugas kebersihan membersihkan rumah, bisa dibilang suasana rumah cukup sepi. Sama sekali tak ada anggota keluarga terlihat di ruangan utama.
"Nana? Baru datang?" Suara Alisa mengalihkan perhatian Alena. Wajahnya kaku dan suaranya terdengar dingin, persis sang mama.
Gadis itu mengangguk kemudian bersalaman dan saling menempelkan pipi kiri dan kanan dengan kakaknya. Alisa lalu menangkup pipi adiknya, senyum tipis terlihat samar di bibirnya. Jika tak ada kontak di antara mereka jika bertemu, pasti semua orang mengira Alisha serupa robot yang tak bisa berinteraksi dengan orang lain secara santai.
"Baru pulang kerja?" Alisa melempar pertanyaan retoris.
Dia berganti melirik adiknya, sudah cukup menjawab pertanyaannya. Blazer warna marun khas seragam resepsionis sebuah hotel lengkap dengan rok selutut dan rambut yang masih disanggul ala french twist.
"Mama nanyain kamu tadi," lanjut Alisa.
Mereka berdua berjalan memasuki ruang keluarga. Sang mama sedang menonton tayangan gosip di televisi sambil bergumam melempar komentar tak penting. Meski geli, Alena memilih tak terlalu mempermasalahkan hobi baru ibunya selepas pensiun sebagai seorang dosen di Jogja.
"Ma," sapa Alena pelan lalu mencium tangan ibunya.
Wanita enampuluh tahun itu berdecak. Alena dan Alisa saling memandang. Kemudian mata Alisa memberi kode supaya adiknya meminta maaf dan berlutut di depan ibunya.
Alena menuruti saran kakaknya, berlutut di depan kaki ibunya. Sekarang dia sudah cukup pintar membaca kode dari sang kakak sebelum wejangan panjang keluar dari mulut ibu suri.
"Nana ndak bisa izin mendadak, maaf kalau Nana datang setelah acaranya selesai," ujar Alena meminta maaf sambil berlutut.
"Halah kerja jadi resepsionis wae kok bangga," cibir sang mama.
Wajah Alena meringis. Ada rasa perih dalam dadanya. Ucapan ibunya bagaikan sembilu yang menusuk tepat di hati Alena, menimbulkan bilur luka baru yang entah berada di mana. Kadang hatinya sampai kebas saking banyaknya rasa sakit di sana.
"Maaf, Ma." Alena memijat kaki ibundanya, suaranya dibuat semanja mungkin supaya tak ada ceramah panjang yang mengikuti.
"Nana, akhirnya kamu datang juga. Padahal tadi keponakan kamu nungguin buat dicukur rambutnya, lho." Alya menuruni tangga diikuti suaminya menggendong bayi tampan yang tertidur pulas.
Alena bangkit kemudian melangkah cepat mendekati kakaknya. Mereka saling berpelukan sebentar. Kemudian menghampiri bayi yang sedang pulas di gendongan ayahnya, mengelus pipinya sebentar sambil tersenyum bahagia.
"Terima kasih," bisik Alena sambil mengedipkan mata kanannya.
"Maaf ya, Mbak lupa buat ngabarin kamu. Acaranya mendadak sih, kan awalnya mau pesan nasi kotak terus dibagikan." Mata Alya mengerling ke arah ibunya. "Tapi Mama punya ide bikin acara adat."
"Halah adikmu itu memang ndak berguna, suka semaunya sendiri tidak mau memperhatikan perasaan orang lain," sahut Bu Wulan.
"Nana kan sudah minta maaf, Ma," ujar Alena manja. "Nanti dipijitin deh kakinya."
"Alena juga ingin bisa membuat Mama bangga, Ma," keluh Alena dalam hati.
Bagi Alena tak ada untungnya berdebat dengan ibunya. Justru akan berakhir dengan hal yang lebih tak mengenakkan lagi. Bertahun-tahun dirinya berjuang untuk berdamai dengan semua kalimat menyakitkan yang dilontarkan ibunya sendiri tanpa berakhir depresi.
Wajah Alena yang berubah sendu tak bisa disembunyikan lagi. Alya berjalan mendekati, merangkul adiknya dan memberikan beberapa kata dukungan untuk menguatkan sang adik. Tangannya mengusap punggung Alena lembut.
"Makan dulu." Alya merangkul pinggang adiknya dan mengajaknya ke ruang makan. "Aku pesan khusus ayam goreng kesukaan kamu."
Sebagai sulung, Alya paham betul apa yang harus dijalani adik bungsunya. Dia merasa prihatin, tetapi tak bisa melakukan banyak hal kecuali memberikan dukungan. Dirinya bersyukur Alena selalu terlihat ceria dan bersikap positif selama ini.
"Wah, beneran?" Mata Alena berbinar. "Beberapa hari lalu aku ditraktir makan ayam goreng di sana juga, sama Mas Bara. Mbak Aya masih ingat Mas Bara, kan? Tetangga kita di Jogja dulu, anaknya Tante Miranti yang kemudian pindah ke Australia."
Alya menangkap binar kebahagiaan di mata adiknya. Dia ingat Bara, teman sekelas Alisha. Anak laki-laki tampan yang selalu menghibur Alena ketika sedih akibat dimarahi mamanya. Alya mengangguk pelan sambil menyiah beberapa helai poni rambut Alena yang terurai menutupi darinya.
***
*Selapan : usia bayi 36 hari pertamanya atau ketika sampai di hari dan wetonnya ketika lahir. Biasanya diperingati dengan mengadakan syukuran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top