10. Makan Malam Mewah

Dua minggu berlalu sejak pembicaraan Bara dan Alena di rumaha sakit. Wulan juga sudah kembali ke rumah setelah lima hari dirawat di rumah sakit karena infeksi saluran pencernaan. Alena disibukkan dengan pekerjaannya mengganti shift-shift pekerjaan yang sempat dia tinggalkan untuk menunggui mamanya.

Selama dua minggu itu pula hubungan keduanya merenggang. Sesekali Bara menghubungi tetapi hanya dibalas Alena singkat setelah beberapa waktu dibiarkam begitu saja pesan itu masuk dalam kotak pesannya.

"Len, Chef Bara kok nggak pernah nongol di sini lagi, ya? Lo apain?" Dita bertanya dengan nada menyelidik.

"Idih, suka-suka dia lah kenapa harus aku yang disalahin," kilah Alena.

Secara kebetulan Bara lewat di depan mereka, berjalan bersama Dania yang menggelayut manja di lengan lelaki itu. Mata Dita dan juga Alena menatap tanpa berkedip hingga seorang cleaning service menjentikkan jari di depan mereka.

"Giliran cowok bening aja lihatnya sampai nggak berkedip gitu. Ini nih Dimas tiap hari mondar mandir di sini malah nggak pernah kalian perhatikan." Dimas berseloroh sambil mengangkat kerah bajunya.

Dita berdecak. Ganggu aja sih!"

Gadis itu merasa terganggu oleh tingkah Dimas yang menutupi pandangannya. Sedangkan Alena menatap sendu hingga Bara dan Dania tak terlihat lagi.

"Chef Bara sama Chef Dania itu pasangan yang serasi, bahasa kerennya mos wanted kopel," ujar Dimas dengan logat Jawa Timuran yang medok. "Kalian jangan mimpi bisa jadi pacarnya Chef Bara."

Dita berdecak lagi.

"Siapa juga yang mau jadi pacarnya Chef Bara, Dimas," tukas Dita kesal.

"Lha itu, kalau ada bening dikit aja langsung lihatnya tanpa kedip. Padahal di sini juga ada yang bening." Dimas tetap berseloroh.

"Ye, kalau Chef Bara tuh bening dari orok. Kalau kamu yang bening ya lantai yang kamu pel. Kamunya mah tetep butek."

Dimas mencebik dan meninggalkan mereka berdua. Mulut Dita memang sering kali pedas. Namun, gadis itu sangat baik kepada semua temannya. Makanya banyak yang menyukainya.

Alena sudah tak tertarik dengan perdebatan mereka berdua. Otaknya kembali memutar pernyataan Bara mengenai pernikahan. Namun, sore ini dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Bara berjalan mesra bersama Dania.

"Hello mereka cuma jalan berdua, mereka juga teman sejak lama jadi wajar kalau jalan berdua mesra begitu."

"Kamu sih tidak langsung menjawab lamaran Bara waktu itu, malah menjaga jaraknya dengannya. Nyesel kan sekarang."

Kepala Alena mendadak riuh dengan suara-suara saling berdebat. Alena memukul pelan kepalanya berharap semua suara itu bisa hilang begitu saja.

Gadis itu mendesah pelan. Bodoh sekali dia sempat percaya waktu itu. Alena merasa sangat malu bersikap seolah jual mahal. Padahal Bara memang tak terlalu berharap padanya. Hal itu terbukti dari interaksinya bersama Dania tadi. Bara bahkan tak mampir ke mejanya untuk sekedar menyapa seperti yang biasa dilakukannya selama ini.

"Hei, ngelamun aja sih," sergah Dita.

Gadis berpotongan rambut bob sebahu itu mengambil tempat duduk di sisi Alena. Siapa yang tak tertarik dengan lelaki sesempurna Bara. Apalagi Dita tahu sendiri beberapa kali interaksi Alena bersama Bara yang terbilang manis. Dita bisa merasakan sendunya hati Alena saat ini.

"Kenapa lihatin aku kayak gitu sih, Dit?" tanya Alena sedikit gusar. "Jangan bilang aku terlihat menyedihkan hanya karena sekarang Chef Bara jalan mesra sama Chef Dania?"

Dita menggeleng. Meski wajah Alena terlihat biasa saja. Namun, dia menebak hati gadis itu tak seceria wajahnya sekarang.

Mata Alena melirik ke arah jam besar di lobi. Beberapa menit menuju pukul lima sore yang artinya menjelang jam kerjanya berakhir. Alena merapikan meja resepsionisnya, memeriksa pekerjaannya hari ini beres melalui layar komputer di depannya.  Tidak lupa juga dia mengecek barang titipan tamu yang belum diambil dan memastikan catatannya benar.

Alena baru beranjak dari tempat duduknya ketika ponselnya berbunyi. Nama Bethari terpampang jelas di sana membuatnya menggigit bibirnya. Kenapa pada saat seperti ini justru Bethari menghubunginya.

"Lena, jam kerja kamu sudah selesai?" tanya Bethari segera setelah Alena menerima panggilan darinya.

"Sudah, kenapa?"

Alena melongo ketika sudah melihat Bethari melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum lebar. Sedangkan tangan kirinya masih memegang ponsel yang menempel di telinganya.

"Mbak Tari?"

"Kaget, ya?"

Bethari tertawa kecil kemudian memeluk dan mencium pipi kanan kiri Alena bagaikan seorang kakak bertemu adiknya.

"Mbak Tari ada apa ke sini?"

Perempuan setinggi seratus tujuh puluh sentimeter itu memegang kedua bahu Alena.

"Aku mau ajak kamu makan malam di luar," tutur Bethari tulus.

Mata Alena melebar. Alena ingin protes tetapi Bethari segera menjelaskan kalau mereka makan malam bersama Miranti, Gerald, dan juga Alex suami Bethari.

"Kenapa mendadak, Mbak? Aku belum siap-siap." Alena melirik penampilannya yang masih dibalut seragam resepsionis dan wajah kuyu.

"Itu gampang, nanti kita mampir di butik teman Mbak," kilah Bethari.

Wanita itu tampak sangat bersemangat. Tanpa mengindahkan wajah bingung Alena, segera Bethari menggandeng lembut tangan Alena.

***

"Mbak, kita mau makan di mana sih?" tanya Alena ketika mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan menuju tempatnya makan malam.

Sekarang Alena sudah terbalut midi dres berbahan lace berwarna peach. Wajahnya juga sudah dipoles riasan natural dan rambutnya yang panjang melewati bahu dibiarkan tergerai hanya dihiasi jepit mutiara di sisi kiri kepalanya.

Alena tak banyak protes juga tak menolak dress yang dipilihkan khusus oleh Bethari.

"Tempatnya lumayan resmi sih, Len. Jadi nggak masalah kan kalau kamu juga ikut dandan begini?"

Sebenarnya dia sudah biasa berdandan untuk sebuah acara resmi mengingat pekerjaannya memang di sebuah hotel. Namun, berdandan resmi demi makan malam bersama keluarga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengannya membuat dirinya canggung.

"Yuk," ajak Bethari.

Mereka telah sampai di sebuah restoran Jawa yang terbilang mewah membuat mulutnya menganga. Dirinya bertanya-tanya kenapa diajak makan malam di restoran semahal ini. Sampai usianya dua puluh empat tahun, belum sekalipun dirinya makan di tempat yang harga paket menunya bisa membuatnya menghabiskan setengah gajinya.

"Mami sama Papi sudah nunggu di dalam," jelas Bethari tanpa diminta.

"Trus yang lain?"

"Bara, maksud kamu?" tebak Bethari.

Pipi Alena terasa panas karena tebakan Bethari yang tepat. Sebenarnya pertanyaan Alena memang merujuk kepada Bara. Namun, dia malu jika mengakuinya secara langsung.

Bethari tersenyum melihat Alena bersikap malu-malu. Sejak awal memang dirinya sudah menangkap ada perasaan spesial antara adiknya dengan Alena.

"Katanya Bara nanti nyusul. Dia masih ada urusan."

Wajah Alena berubah sendu. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Melihat sore tadi Bara berjalan mesra bersama Dania membuatnya menduga kalau malam ini mungkin saja acara lamaran Bara kepada Dania.

Alena melangkah gontai mengikuti Bethari. Dia yang tadi merasa bingung dan salah tingkah berubah merana. Bagaikan gadis yang patah hati. Padahal dirinya lah yang menggantung lamaran Bara dua minggu yang lalu. Bahkan menjaga jarak dengan lelaki itu.

"Anak Mami sudah datang," sambut Miranti semringah. "Cantik sekali."

Berbeda dengannya dan Bethari yang berdandan maksimal, Miranti hanya mengenakan maxi dres berwarna dark brown dan riasan tipis di wajahnya. Gerald dan Alex pun hanya mengenakan celana panjang dipadu kemeja dan vest berbahan rajut.

Ketika mereka semua sudah duduk di tempatnya masing-masing, beberapa pramusaji datang membawakan makanan untuk mereka. Semangkuk sup timlo Solo. Aroma kaldu ayam kampung bercampur rempah membuat Alex menelan ludahnya.

Suasana makan malam keluarga Gerald memang tidak pernah dilewatkan tanpa kehangatan. Namun, Alena seperti kehilangan seluruh selera makannya. Beberapa kali gadis itu melirik ke arah jalan masuk ruang private yang dipesan khusus. Bisa saja beberapa menit selanjutnya Bara datang membawa kejutan untuk semua orang.

"Kamu tidak suka makannya, Sayang?" tanya Miranti.

"Eh suka kok suka, Mami."

"Mami memilih khusus restoran ini karena tahu kamu seneng banget makanan Jawa lho, Len," sahut Bethari.

Rasa makanannya memang lezat. Tetapi perasaannya hatinya yang naik turun membuatnya tak bisa menikmati hidangan dengan nyaman.

Ketika mereka sudah menyelesaikan menyantap apetizer, beberapa pramusaji kembali masuk. Beberapa membereskan peralatan makan sebelumya, sedangkan lainnya menghidangkan nasi liwet lengkap dengan sayur labu siam, telur pindang, dan ayam areh.

Namun, ada yang berbeda dengan penampilan ayam arehnya yang merupakan ayam utuh. Aroma yang menguar membuat semua yang ada di ruangan tak sabar untuk segera menyantapnya.

"Sayang, tolong tarik potongan bambunya itu dong," pinta Miranti. "Mami tidak bisa menjangkau dari sini."

Ketika Alena menarik potongan bambu yang tertancap di ayam areh, sebuah kertas panjang terbungkus plastik ikut tertarik keluar. Kertas itu bertuliskan will you marry me.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top