1. Bertemu Teman Masa Kecil
Harum aroma tanah basah akibat hujan yang betah mengguyur sejak siang masih menguar meski tinggal menyisakan rintik halus yang tak kunjung habis. Suasana sendu dan rintik hujan di luar tak menghalangi kesibukan saat pergantian shift para pegawai di dalam hotel. Semua mengerjakan tugas masing-masing.
Bara memelankan langkahnya ketika menuruni tiga anak tangga menuju lobi tempatnya bekerja sebagai head chef di sebuah hotel berbintang di kawasan Jakarta Barat. Matanya menyapu ruangan luas di depannya. Atensinya tertuju pada sosok gadis yang berada di balik meja resepsionis. Entah kenapa dirinya seperti sangat familiar dengan wajah dan senyumannya.
Saat Bara asyik memandangi, gadis yang rambutnya disanggul rapi model french twist itu menoleh ke arahnya membuat pandangan mereka bersirobok. Bara sedikit terkesiap, sedang sang gadis segera menundukkan pandangannya malu-malu.
Dengan langkah pasti, Bara berjalan menuju meja resepsionis. Gadis itu sudah bekerja selama beberapa bulan. Dia selalu melihatnya ketika melewati lobi, tetapi tak pernah saling bertegur sapa.
"Katanya ada titipan buat saya?" Bara bertanya sopan. Seorang helper di bagian dapur memberinya pesan jika ada kiriman paket untuknya yang dititipkan di bagian resepsionis.
Mata Alena mengerjap pelan. Tubuhnya membeku sesaat karena melihat chef idolanya yang selama ini hanya bisa dipandangi melalui layar televisi atau ketika melintas di depan mejanya saja, sekarang mendadak sudah ada di depan matanya.
Dita rekannya sesama resepsionis yang baru datang menyikut lengan Alena hingga membawa kembali ke alam nyata.
"Apa?" tanya Alena polos.
"Chef Bara nanyain titipan paketnya, tuh," bisik Dita, "ada di mana?"
"Eh anu iya." Alena salah tingkah sendiri.
Bara sempat melihat pipi gadis itu merona sebelum kemudian merunduk untuk mengambilkan paket milik Bara.
"Ini, Chef." Suara Alena bergetar karena gugup.
Bara mengambil amplop coklat berukuran besar yang disodorkan Alena. Kini perhatiannya tertuju pada amplop yang berisi sebuah dokumen yang sudah dijilid rapi dan dimasukkan ke dalam map berwarna merah tua. Bara membolak balik halaman dalam dokumen itu kemudian mengalihkan pandangannya kepada Alena yang masih memandanginya.
"Sedang ganti shift, ya? Bara bertanya menebak.
Satu meja resepsionis biasanya dihuni empat orang. Sedangkan saat ini ada enam orang berada di sana. Suasana ini sudah biasa ketika terjadi pergantian shift. Apalagi di luar masih diguyur gerimis kecil tetapi cukup lebat sehingga beberapa pegawai dari shift sebelumnya belum meninggalkan hotel.
Alena mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Bara.
"Chef Bara," ucap Alena ragu, "apa Chef pernah tinggal di Jogja?" Alena menjeda pertanyaannya, matanya mengerjap pelan menunggu reaksi lawan bicaranya. "Di Puri Kencana Mas ... Sleman?"
Bara spontan mengalihkan perhatiannya pada gadis di depannya. Mata gadis itu mengerjap kemudian meringis menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Pandangan Bara beralih pada name tag yang menempel di dada kanan gadis itu. Nama Alena Zia persis seperti yang tertulis pada name tag bergaung berkali-kali dalam kepalanya. Nama itu sangat familiar tetapi Bara belum berhasil memanggil kembali memorinya.
"Kamu dari Jogja juga? Pernah tinggal di kompleks perumahan yang sama?" Bara menyerah karena tak juga menemukan jawaban di otaknya, ingatannya seolah hilang tertimpa beragam kenangan yang berdesakan selama limabelas tahun terakhir pasca meninggalkan Jogja.
"Masih ingat Alena?" Mata Alena berkedip jenaka.
Bara mengumpat dalam hati. Tentu saja dia tak ingat. Namun, gadis di hadapannya malah menanyakan hal tersebut.
"Alena kecil, adiknya Mbak Aya dan Mbak Ica." Alena lanjut menjelaskan. "Mbak Ica teman sekelas Chef Bara di SD."
Ingatan Bara dibawa kembali ke sebuah sekolah dasar di daerah Kalasan Sleman, dekat dengan komplek Candi Kalasan yang indah. Tempat yang selama ini selalu dirindukan Bara di mana pun dia berada.
Bara menjentikkan jarinya. Akhirnya dia ingat tetangga sebelah rumahnya di Jogja dulu. Keluarga dengan tiga anak perempuan cantik yang menjadi teman mainnya sehari-hari. Masa kecil yang sangat indah baginya. Apalagi rumah eyangnya yang berada di Cangkringan yang berlatar gunung Merapi adalah tempat terindah untuknya.
Mata Alena melebar ketika Bara mencubit pipinya. Dita yang ada di sebelah Alena pun tak kalah kagetnya. Meski dikenal ramah, Bara selama ini tak terlalu akrab dengan para karyawan
"Kamu Alena kecil?" Bara bertanya semringah, "sekarang kamu sudah besar, ya."
Bara terus mencubit pipi Alena sambil tertawa lebar. Ketika Bara melepaskan tangannya, terlihat bekas merah di pipi halus Alena membuat gadis itu meringis kesakitan. Bibir gadis itu mengerucut kesal sambil mengusap pipinya yang memerah.
Dita masih memandangi mereka berdua tanpa berkedip. Matanya bergantian menatap Alena dan Bara yang tampak sangat akrab. Padahal selama ini mereka bagaikan dua orang yang tak saling mengenal satu sama lain.
"Kita ternyata teman dari kecil." Bara menunjuk dirinya sendiri dan Alena bergantian seolah tahu isi kepala Dita.
Tatapan Dita yang memohon penjelasan tertuju pada Alena. Namun, gadis itu hanya tersenyum simpul kemudian matanya berkedip-kedip jenaka. Tanpa menjelaskan apapun.
"Mau pulang bareng?" tanya Bara tanpa beban.
Di luar, gerimis kian reda bersamaan menyisakan rintik halus. Alena melirik jam dinding besar yang terpasang di lobi. Sudah tigapuluh menit terlewat dari pukul lima, yang artinya sudah tigapuluh menit juga jam kerjanya habis.
"Sudah ganti shift kan?" tanya Bara lagi kali ini sambil memandangi Alena dan Dita bergantian.
"Iya, Chef jam kerja Alena sudah selesai," jawab Dita kemudian melirik gadis di sebelahnya.
"Len, lumayan tuh ada tumpangan," lanjut Dita sembari menyikut pinggang Alena. "Chef terkenal lagi yang ngasih tumpangan."
Alena meringis. Sedangkan wajah Bara terlihat biasa saja. Sebenarnya dia merasa sungkan jika nebeng Bara karena mereka bekerja di tempat yang sama.
Dita berdecak kesal. "Kalau aku jadi kamu, nggak akan melewatkan kesempatan emas ini. Iya kan, Chef?"
Bara hanya menjawab pertanyaan Dita dengan senyuman.
"Daripada kehujanan," lanjut Dita.
"Tawaran masih berlaku kan, Chef?" tanya Alena segera.
Secara bersamaan terdengar tawa Bara dan Dita. Sementara Alena hanya berkedip tak paham.
"Takut kehujanan dia, Chef," seloroh Dita. "Takut warna kulitnya luntur ntar jadi putih."
"Asem," umpat Alena.
Bara melirik jam tangannya ketika mereka berdua mulai berjalan beriringan menuju basement. Hal itu membuat Alena sedikit sungkan, khawatir jika tawaran Bara tadi hanya basa basi saja.
"Ada janji, ya?" tanya Alena cepat.
"Sudah makan?" Alih-alih menjawab, Bara malah menanyakan hal lain.
Mata Alena mengerjap pelan. Wajahnya menyiratkan keheranan sehingga membuat Bara terkekeh. Wajah Alena tak banyak berubah di mata Bara kecuali terlihat jauh lebih dewasa. Perangai dan mimik wajah yang ditampilkannya ketika mereka berinteraksi masih seperti dulu. Alena kecil yang ceria dan manis di mata Bara.
"Tante Wulan tidak marah kan kalau anak kesayangannya pulang telat?"
Alena tak menjawab. Pertanyaan Bara sebenarnya membuat sisi hatinya sedikit tersentil. Setelah beberapa detik berlalu, Alena hanya tersenyum sembari memperlihatkan gigi depannya.
"Alena ngekos kok, Chef," ungkap Alena pelan.
Bara memelankan langkahnya kemudian menoleh ke arah Alena. "Tante Wulan masih tinggal di Jogja?"
Alena menggeleng pelan. Mereka semua memang telah pindah ke Jakarta ketika Alisha menyusul Alya juga diterima di salah satu universitas negeri yang menyandang nama Indonesia.
"Enggak sih, kami semua di Jakarta sekarang. Tapi Alena ngekos biar dekat aja sama hotel."
Bara mengangguk. Dia tahu betul jika pekerjaan Alena mengharuskannya bekerja dengan sistem shift. Tak jarang Alena harus berangkat atau pulang kerja dini hari jika dirinya mendapat shift kerja siang atau malam hari.
"Kalian sejak kapan pindah?" tanya Bara lagi. Pertemuan dengan Alena seperti sebuah nostalgia yang membuatnya senang menanyakan banyak hal.
"Mbak Aya sama Mbak Ica kuliah di UI jadi kami semua pindah ke Jakarta setelah Mama mengajukan pensiun dini dari kampus," jelas Alena.
Terlihat senyuman bangga tergambar di bibir Bara. Alena sudah biasa seperti itu. Ketika menceritakan kedua kakaknya yang sama-sama pintar.
"Mereka memang tidak diragukan lagi kepandaiannya, ya," puji Bara.
Alena menunduk kemudian menjawab lirih pujian Bara kepada kedua kakaknya. Ada sedikit perih di hatinya. Namun, dia sudah biasa. Kedua kakaknya pintar dan dirinya tidak memang sudah menjadi fakta tak terbantahkan. Selama duapuluh empat tahun kehidupannya, kenyataan itu tersaji dan akan selalu diingatkan oleh ibunya.
Bara memperhatikan ekspresi wajah Alena yang berubah mendung. Namun, untuk menanyakan penyebabnya dia sungkan. Meski teman masa kecil, mereka baru saling mengetahui satu sama lain dalam hitungan menit.
"Kalau sudah di luar jam kerja jangan panggil Chef lagi." Bara mengacak rambut Alena untuk mencairkan suasana.
"Jadi boleh panggil Mas lagi kayak dulu?" Mata Alena berbinar ceria.
Mereka berdua tertawa lepas sambil berjalan menuju mobil SUV milik Bara diparkir.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top