Sesum, 1 Mei 2018


Tema : Seks yang tertunda
Genre : Romance, Humor
Keywords : Panci bolong, Nafas sesak, Kebelet boker, Anak itik main Gorila.
(revisi)
Pernikahan itu akhirnya terselenggara juga. Peristiwa yang dinanti Pendil akhirnya terlaksana. Dia menikah dengan Agus pujaan hatinya. Padahal Pendil agak ragu tidak ada yang akan menikahinya. Bagai anak itik main gorila, menikah adalah sesuatu yang tidak mungkin baginya. Vonis tidak mempunyai keturunan sudah didapatnya saat rahimnya diangkat karena miom yang sudah berukuran 12 cm.

Untung saja, ada Agus. Pemuda bertampang menawan dan kaya raya dari hasilnya berbisnis bakso. Cinta mereka seperti pepatah jawa witing 'tresno jalaran seko kulino'. Pendil yang menjadi pembeli tetap Agus,  akhirnya jatuh cinta. Agus pun demikian. Akhirnya Agus memberanikan diri melamar Pendil.

Kamar pengantin mereka biasa saja. Pendil lebih memilih tinggal bersama kedua orang tuanya. Ia beralasan ingin merawat kedua orang tuanya yang sudah tua. Anton, Kakak Pendil tidak bisa diharapkan.

Kasur lama Pendil yang tertutup seprai baru dari kado pernikahan tampak memenuhi kamar sempit itu. Sebuah lemari plastik---yang juga kado pernikahan--- mengisi pojok kanan kamar.

"Aku mandi dulu ya, Mas," ujar Pendil kepada Agus.

Agus hanya menganggukkan kepalanya. Karena nafas sesak dan kebelet boker yang ia rasakan, ia tidak bisa membalas ucapan Pendil dengan kata-kata.

Sambil menunggu Pendil selesai mandi, Agus membayangkan apa yang telah mereka berdua lalui. Agus harus selalu membesarkan hati Pendil. Bukan hanya itu, Agus juga harus selalu meyakinkan Pendil bahwa ia sangan mencintai Pendil. Pendil selalu merasa tidak pantas untuk Agus karena keadaan rahimnya. Ibu mertuanya bahkan sudah setuju untuk menjadi surrogate mother (Ibu Pengganti) untuk mereka.

"Mas, ndak mandi?" tanya Pendil membuyarkan lamunan Agus.

Agus menengok ke arah Pendil dan langsung memalingkan muka. Tubuh istrinya saat ini sangatlah menggoda imannya. Buah dada yang menonjol di atas simpulan handuk membuat kerongkongannya kering. Ia baru kali ini melihat bagian tubuh Pendil selain muka dan telapak tangan. Ternyata di balik baju gombrang yang dipakai Pendil terdapat aset berharga seperti harta karun.

"Mas? Disuruh mandi kok, melamun?!" ujar Pendil sambil melepaskan simpul handuk.

Mata Agus terbelalak. Gunung kembar Pendil sangatlah indah. Kedua puncak yang berwarna kecoklatan mengingatkan Agus pada es krim. Ia penasaran jangan jangan rasanya juga sama dengan es krim. Tak terasa air liurnya menetes. Pandangannya ia turunkan. Ah ... pusar itu, entah kenapa membuatnya bergirah. Saat pandangannya akan turun, tiba-tiba handuk merah menutupi hutan rambut yang sekilas ia lihat. Matanya bergulir ke wajah Pendil. Wajah itu bersemu dan mata cokelat itu memandangi lantai di bawah kakinya.

Ah ... Agus junior menegang. Melihat ekspresi malu-malu istrinya membuat kapiler darah dalam pedangnya melebar. Tidak bisa lagi menahan nafsunya, Agus meraih tangan Pendil dan menariknya.

"Ah!" Pendil memekik.

Pekikan Pendil semakin membuat jantung Agus berdebar. Dipandanginya wajah bulat menggemaskan itu. Diamatinya bagian bagian wajah Pendil satu persatu. Mulai dari dahi proporsional yang tak luput dari bekas jerawat hingga luka yang ada di alis sebelah kiri. Pandangannya menetap lama pada bibir Pendil. Meski lipstik merahnya tadi sudah dihapus, warna alami bibir Pendil semakin membuatnya tergoda.

Wajah Agus mendekat. Cup ...  Kecupan lembut ia bubuhkan pada bibir itu. Gelenyar aneh dalam dadanya membuat ia mengulangi perbuatannya itu dengan tambahan gerakan. Ia memagut, melumat bahkan mencoba memasukkan lidahnya ke dalam rongga mulut Pendil.

Agus membaringkan Pendil ke kasur secara perlahan. Tangan Agus tidak tinggal diam, Ia mulai meraba gunung Pendil yang sebelah kanan. Gunung itu pas di genggamannya. Desahan Pendil membuatnya resah. Digesekkannya Agus Junior yang masih terkungkung dalam celana ke selangkangan Pendil. Mulutnya telah menjamah bagian leher yang masih menguarkan wangi sabun.

"Ahn ... Engh...." Pendil mendesah-desah.

Agus mulai memberikan gigitan kecil pada leher jenjang Pendil.  Tidak tahan terhadap ketatnya celana, Agus kemudian melepas celana pendek yang ia kenakan.  Agus Junior terpampang di udara. Terbebas dari ketatnya sangkar kain. Agus menciumi gunung kembar Pendil, kemudian dijilatnya ujung cokelat pada gunung itu. Ia mempersiapkan mulutnya untuk meng....

"Glondang...." Suara panci bolong yang terjatuh menghentikan kegiatan mereka berdua. Agus menengok ke arah suara yang ternyata tepat di depan puntu kamar mereka yang tidak di kunci.

"Ha ... Ha ... Ha ... Itu mu cuma segitu?" Anto, kakak Pendil mengejek. "Itu titit apa cacing?  Ha ... Ha ... Ha...." Tawa Anto menggema.

Agus malu. Ia ingin cacing-cacing di perut Hulk menelannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: