8- Lolongan Siang Hari
CUACA SEDANG ramah beberapa hari terakhir, dan Ava tidak bisa tidak memikirkan betapa kontrasnya hal tersebut dengan badai yang telah menghantam hatinya selama dua hari berturut-turut.
Semilir sepoi menyelinap masuk melalui jendela-jendela barak yang terbuka, mengibarkan helai rambut biru Ava di sekeliling wajahnya. Angin menemukan jalan menuju Gurna, walaupun tidak banyak yang bisa mereka ganggu selain selimut tipis yang membalut tubuh kekarnya. Ava menghela napas. Apa pula guna otot jika musuh yang harus Gurna lawan adalah benaknya seorang?
Dua hari telah berlalu semenjak mereka membobol masuk ke Bungker Catur dan pulang dengan tangan kosong. Ava tidak akan menghitung pemuda yang mereka bawa pulang ke Suaka itu sebagai sebuah pencapaian. Dia memang lumayan berguna, memberikan mereka jalan menuju transportasi dan membantu menggotong badan Gurna, tapi dia bukan Theo. Di dalam misi pencarian, satu-satunya hal yang penting adalah mendapatkan apa yang kamu cari. Hal lain yang muncul di tengah-tengah hanya bisa dikategorikan sebagai bonus atau sebagai beban.
Ava tidak tahu harus mengelompokkan Pavel sebagai apa.
Ia memosisikan kepala di antara dua lutut, kedua tangan menahan rambutnya dari berterbangan. Ia fokuskan pandangannya pada lantai keramik, perlahan demi perlahan mengatur kembali ritme napasnya.
Dua hari.
Dua hari dan Gurna masih belum menunjukkan pertanda akan segera siuman. Ava bahkan terpaksa melewatkan pemakaman Anjali semalam karena ia tidak kuasa beranjak pergi dari posisinya sekarang, khawatir Gurna akan terbangun dan mendapati tiada seorang pun menanti kembalinya.
Bahkan Jenderal Noah, ayah kandung Gurna, tidak sekali pun datang menjenguk.
Ava sendiri tidak paham kenapa ia bisa menjadi seprotektif ini, setakut ini. Padahal, satu tahun yang lalu, sekadar berada di sekitaran Gurna saja sudah akan membuat bulu kuduknya berdiri.
Semenjak ia dan Axel diselamatkan dari perjalanan ke Bungker dan dibawa ke Suaka, bertahun-tahun lalu, Ava sudah tahu bahwa Gurna adalah seseorang yang harus dihindari jika ingin hidup tenang. Bahkan ketika ia masih seorang bocah 14 tahun, pemuda itu sudah menunjukkan banyak tanda bahaya. Kebutralan di setiap duel mingguan, ketidakmampuan menerima kekalahan, kebiasaan menggertak mereka yang lebih lemah, kecenderungan menganggap dirinya adalah pusat dunia.
Bukan orang yang pantas ada di lingkunganmu, Va. Begitu kata Axel.
Setidaknya, Ava bertahan teguh pada pendirian ini hingga satu hari beberapa bulan lalu. Hari itu, Gurna terlibat dalam duel mingguan dengan salah satu murid pelatihannya, seorang telky. Ava nyaris tidak percaya anak itu berhasil menghajar Gurna habis-habisan dan meninggalkan luka yang lumayan buat kagum. Ava merupakan satu-satunya warga Suaka dengan keanggotaan di dua divisi, seorang kader sekaligus medis, mengingat ia merupakan pemanah terbaik yang mereka punya dan kebetulan Suaka tidak punya banyak suplai Penyembuh. Kebetulan pula hari itu Ava sedang menjaga sif pagi di barak kesehatan.
Ava tidak tahu apakah itu karena caranya merawat luka Gurna, atau karena rambutnya yang hari itu sedang dikepang cantik dan disampirkan ke satu bahu, atau karena sikapnya yang jelas-jelas menghindari kontak dengan sang pemuda selain untuk mengurus cederanya. Yang ia tahu hanyalah semenjak hari itu, Gurna terang-terangan menunjukkan ketertarikan kepada Ava.
Ia akan mengajak Ava bicara ketika mereka sedang melatih para murid pelatihan atau berlatih dengan sesama kader lainnya. Ia akan membawakan hadiah-hadiah kecil untuk Ava ketika gadis itu sedang menjaga sif di barak kesehatan. Kadang sebatang cokelat, kadang sepotong kue, kadang pula setangkai bunga. Ia bahkan akan mengetuk pintu kamar Ava di asrama dan mengajaknya jalan-jalan keliling Kota Baru, menunjukkan tempat-tempat yang tidak pernah Ava beri perhatian lebih sebelumnya.
Awalnya Ava mengiyakan semuanya karena ia terlalu takut untuk menolak. Tapi lama kelamaan ia mendapati dirinya menanti sapaan Gurna di pagi hari atau genggaman tangannya di kala malam menghampiri. Lama kelamaan, takut Ava berubah menjadi hal lain, sesuatu yang sama sekali bertolak belakang.
"Kamu tahu tidak dulu aku takut padamu?" tanya Ava pada satu sore ketika mereka sedang berjalan tanpa arah di Hutan Kota.
Gurna membalasnya dengan seringai sombong, "Semua orang takut padaku, Ava." Kemudian ia terbahak ketika Ava memukul pundaknya dengan ekspresi kesal. "Tapi memang benar kan? 'Gurna si Tidak Tahu Ampun', 'Gurna si Bengis', 'Gurna si Psikopat'. Aku tahu semua bisik-bisik, Ava. Aku hidup untuk membangun lebih banyak rumor."
"Apa untungnya buatmu? Hidup dengan reputasi buruk begitu?"
"Kamu tahu, tidak, ciri-ciri jodoh?"
Perubahan topik itu betul-betul mendadak sampai Ava nyaris tergagap.
"Jodoh itu saling melengkapi, Va," Gurna melanjutkan setelah jelas bahwa Ava tidak akan menjawab. "Seperti bara dengan api, atau sepatu dengan kaus kaki. Aku ini buruk dan kekuranganku tidak terhitung. Karena itu aku kemungkinan besar berjodoh denganmu, yang baik, cantik, dan punya kelebihan tidak terhitung."
Gombalan murah, suara Serena bergema di dalam pikiran Ava.
Tapi ia tidak bisa menghentikan kepakan sayap kupu-kupu yang merajalela di perutnya, atau rona merah yang menjalar dari kuping hingga leher. Terutama tidak ketika Gurna memberikan Ava senyuman paling menawan dan meraih sebelah tangan Ava, mengecup buku-buku jarinya.
Pada hari ulang tahunnya yang ke-17, 4 bulan yang lalu, Gurna memberikan Ava kejutan makan malam di rooftop salah satu restoran ternama Kota Baru. Dilatarbelakangi gemerlap bintang dan bulan yang nyaris purnama, mereka meresmikan hubungan mereka dan Gurna mencuri ciuman dari bibir Ava.
Ava dengan sepenuh hati menyatakan hari itu sebagai hari paling bahagia dalam hidupnya. Hari ulang tahun, malam yang indah, ciuman pertama.
Segera setelah kabar tersebar, Serena menjadi orang pertama yang mendeklarasikan ketidaksetujuannya.
Kau sudah gila ya?! Gurna?! merupakan kata-kata pertama Serena ketika ia menghambur masuk ke kamar Ava keesokan harinya. Ava sendiri sedang duduk di hadapan meja rias, sebelah tangan sibuk menyisir rambut; kala itu, helai-helainya masih hitam legam.
"Ada ratusan laki-laki yang bisa dan mau kau pilih, Va. Ratusan!" kedua tangan Serena berterbangan di udara. "Gurna?!"
"Kamu sudah menyebut namanya lima kali dalam 10 menit terakhir, Se."
Serena menghempaskan badan ke kasur Ava, kedua lengan menutupi wajahnya. "Aku kira kau pintar, Va, astaga." Kemudian ia terduduk kembali. "Kau benar-benar sudah gila, ya?"
Ava mengedikkan bahu. "Kemungkinan besar."
Reaksi Serena sudah Ava antisipasi. Gadis itu memang tidak pernah akur dengan Gurna, dan sepertinya akan terus begitu hingga di kehidupan selanjutnya. Yang Ava tidak siap justru adalah respon Axel.
Ia mengekspektasikan histeria seperti yang Serena berikan, tapi ia tidak mendapatkan apa pun. Axel menghindarinya selama seminggu penuh. Pemuda itu bahkan menukar jadwal mentoringnya dengan kader lain agar ia tidak harus mengajar bersama Ava.
Seumur hidupnya, dari saat pertama ia bisa mengingat, Axel sudah ada di kehidupan Ava. Pada piknik keluarga di pantai, pada banyak sore bermain bola di lapangan kompleks, pada kali pertama Ava terjatuh saat belajar bersepeda. Bahkan ketika ia ditarik keluar dari pintu rumah untuk dijebloskan ke entah Bungker mana, Axel ada di sana. Hilangnya kehadiran sang pemuda dari ruang lingkup Ava menjadikan gadis itu luar biasa risau.
Dan karena itulah malam itu ia menyusuri koridor asrama menuju kamar Axel. Setelah gedoran ketiga, pintu akhirnya terbuka.
"Kenapa?"
Ava mengamati Axel dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya yang biasa dimodel cepak sudah mulai memanjang, beberapa helai jatuh menutupi dahi. Axel mengenakan kaus merah polos dan celana piyama, dan Ava bisa mendengar serak di suaranya, seakan telah lama tidak digunakan.
"Kamu yang kenapa?" Axel tersentak mendengar nada suaranya.
Tanpa diundang, Ava melangkah masuk melewati Axel dan memosisikan diri di kursi meja belajar. Setelah beberapa saat, akhirnya pemuda itu menghela napas berat dan menutup pintu, tapi tidak bergerak mendekat. Ia bersandar di pintu kamar, menjaga jarak sejauh mungkin dari Ava di kamar mungil ini.
Ava benar-benar dibuat kesal.
"Kamu kenapa?" ulang Ava.
Axel hanya mengedikkan bahu. Tatapannya terfokus pada jendela di sisi lain kamar. "Lagi tidak enak badan."
Ava bangkit dan bergerak mendekati Axel, postur tubuh pemuda itu serta merta kaku. Ia letakkan satu tangan di dahi Axel, satu lagi tepat di atas jantung. Ava memejamkan mata dan memonitor kondisi fisik Axel, membiarkan bakatnya bekerja. Suhu badan normal, keringat dingin, detak jantung memburu. Jelas sekali berbohong.
Ia melepaskan kedua tangannya dari Axel dan mengambil beberapa langkah mundur. Axel masih berdiri tegang, tapi setidaknya sekarang dia menatap Ava tepat di mata.
"Aku cuma tidak suka kamu dekat dengan orang lain dan tidak bilang-bilang," Axel bicara terlalu cepat, seakan kata-katanya merupakan aliran air dalam bendungan yang menjebol retak. "Kita tidak main rahasia-rahasiaan, Va. Kamu harusnya memberi tahu aku dulu sebelumnya."
Lagi-lagi bohong. Ava tahu Axel tahu mengenai kedekatannya dengan Gurna beberapa bulan terakhir. Ava juga tahu Axel sempat menarik Gurna keluar dari lapangan untuk bicara berdua, pembahasan mereka penuh ancaman dan sesuatu tentang 'jaga jarak'. Selalu begitu. Setiap ada laki-laki yang menunjukkan ketertarikan pada Ava, bahkan jauh sebelum mereka hidup di Suaka, Axel selalu akan pasang badan agar mereka menjauh. Ava sudah lama berhenti menghitung berapa banyak pemuda yang mendekatinya dan tidak muncul lagi keesokan harinya.
Hanya Gurna yang berani, dan berhasil, melewati halangan itu.
Ava menghela napas kasar. "Aku bukan anak kecil lagi, Xel. Coba sekali-kali biarkan aku membuat keputusan sendiri."
"Memangnya aku pernah melarangmu?" Rasa sakit melintas di kedua matanya. "Aku hanya ingin kamu aman, Va. Fisik dan mental. Cowok-cowok di usia kita ini hanya bakal lebih banyak menyakitimu daripada membuatmu bahagia. Terutama laki-laki seperti Gurna. Aku kira kamu lebih pintar daripada ini."
Aku kira kamu lebih pintar daripada ini.
Ketika Serena yang mengucapkan hal itu, Ava tidak sedikit pun menganggapnya serius. Tapi sekarang, mendengar kalimat itu keluar dari mulut Axel, Ava mendapati wajahnya memerah marah.
"Maaf ya aku tidak sepintar yang kamu mau," ia mengalihkan pandang ke lantai kamar, menolak menatap wajah Axel selagi bicara. "Maaf juga aku terlanjur terjebak dengan laki-laki yang tidak sesuai kemauanmu. Kamu mungkin lupa, Xel, tapi kamu juga 'cowok-cowok di usia kita'. Aku jadian dengan Gurna dan kamu mengabaikanku seminggu penuh. Kamu kira itu buat aku bahagia?"
Ava mendengar Axel menarik napas tajam.
"Kamu bukan kakakku, Xel. Bukan darah dagingku. Kamu tidak punya kewajiban untuk melindungiku, jadi berhenti sok peduli dan tinggalkan aku sendiri."
Segera setelah semuanya keluar, Ava menyesali kata-katanya.
Axel tidak menjawab. Mereka melewatkan beberapa menit selanjutnya dalam diam, dan ketika akhirnya Axel buka suara, Ava tahu dia tidak akan pernah melupakan dingin yang menghiasi suaranya.
"Iya, aku memang bukan siapa-siapamu. Jadi mulai sekarang aku akan berhenti mengurusi hidupmu, sesuai kemauanmu. Aku harap pacar barumu itu sepadan."
Ia membukakan pintu kamar. Ava berderap keluar tanpa sepatah kata lagi.
Gurna bergumam pelan dan Ava ditarik keluar dari lamunan. Ia segera saja bangkit dari kursi dan duduk di ujung kasur, dengan hati-hati menggenggam tangan Gurna yang baru saja menunjukkan pergerakan. Itu bisa berarti ia akan segera bangun, atau bisa saja tidak berarti apapun. Gurna sudah berkali-kali bicara di dalam tidurnya selama dua hari terakhir.
Masih dengan sebelah tangan Gurna terjalin erat dengan tangannya sendiri, Ava memerhatikan wajah pemuda itu. Ia tidak pernah melihat Gurna tidur sebelumnya, tidak sebelum dua hari lalu. Fitur wajah Gurna yang keras tampak serta merta melembut, seakan seluruh beban tidak kasat mata yang selama ini ia bawa menguap seketika saat ia tertidur. Ava mengingat kembali pertengkaran terakhirnya dengan Axel, dan ia membatin. Apa Gurna sepadan?
Ava memperoleh kebahagiaan baru dan kehilangan sosok berharga karenanya. Ia dan Axel tidak pernah lagi membahas adu mulut malam itu, tapi Ava bisa melihat jurang lebar yang tercipta di antara mereka sejelas ia bisa melihat target dari balik busur panah. Mereka hanya berinteraksi saat perlu, atau saat Serena ada di sekitaran. Tidak ada lagi candaan dan obrolan berjam-jam di balik pintu kamar, atau latihan menembak bersama di Lapangan Kremasi. Separuh hidup Ava menghilang dan ia tidak tahu bagaimana cara meraihnya kembali.
Dan sekarang, sembari meneliti wajah Gurna, ia kembali bertanya.
Apa kamu sepadan?
Saat itulah ia mendengar suara lolongan membelah udara. Ava serta merta berubah kaku. Ia nyaris mencengkram telapak tangan Gurna ketika lolongan lain muncul, sahut menyahut. Lalu kemudian lonceng peringatan berdentang dan Ava meraih kembali kesadarannya.
Ia tidak ingin meninggalkan Gurna sendirian, tapi ia tahu Gurna akan memaafkannya untuk ini. Ava dengan cepat mengikat tinggi rambutnya, kemudian menyambar busur dan tas quiver-nya yang penuh terisi anak panah. Setelah mengecup singkat kening Gurna, ia berlari keluar barak dan menuju medan perang.
* * * * *
Sedari malam pertama ia menginjakkan kaki di Suaka, Serena butuh berbulan-bulan hingga mimpi mengenai gigi-gigi runcing dan lolongan sengit itu minggat. Terkadang, pada malam-malam buruk ketika para hantu mendatanginya, ia merasa bisa melihat kilasan mata kuning di kegelapan.
Satu-satunya cara menghadapi rasa takut adalah dengan memahaminya. Maka Serena menenggelamkan diri ke balik halaman buku dan ensiklopedia. Ia selalu jadi yang terbaik di materi flora dan fauna. Ia tahu kalau serigala merupakan hewan yang hidup dalam kelompok, berhierarki, dan nokturnal. Ia tahu bahwa mereka tidak beroperasi di kala matahari masih berdiri dan tidak seharusnya bermukim di Asia Tenggara. Berkat pengetahuan itulah Serena tahu bahwa kelompok serigala yang memburunya selama dua hari berturut-turut kala itu merupakan milik sekelompok animos. Serena masih tidak tahu karena apa mereka mengejarnya. Sebagai calon sekutu, atau sebagai trofi?
Saat ini Serena yakin dengan sepenuh hati bahwa lolongan barusan berasal dari kelompok serigala yang sama dengan yang telah menghantui mimpinya selama enam tahun terakhir. Mimpi buruk yang mewujud nyata.
Sesaat setelah lonceng dibunyikan, Serena bisa melihat sekelilingnya membatu, seakan butuh waktu untuk memproses apa yang baru saja mereka dengar. Satu saat kemudian semua orang berlarian meraih senjata masing-masing.
Serena sendiri telah menyiagakan sebuah belati es di tangan kanannya. Ia bahkan tidak ingat kapan ia bergerak melepaskan tutup kantong air yang terikat ke sabuk senjatanya.
"Se, bawa anak ini ke barak kesehatan. Para medis akan segera berkumpul di sana," seru Axel dari balik rusuh. Serena baru saja akan memarahi Axel karena dengan seenak jidat menyuruh-nyuruhnya ketika ia teringat bahwa Axel adalah Kapten Kader, tepat dua posisi dibawah Jenderal Noah. Singkatnya, dia atasan Serena. Artinya, untuk sekarang, ia bebas mendikte Serena.
Pemuda itu berbalik menghadap kader lain yang tersebar di kompleks pelatihan, menyerukan perintah dan arahan. Ia mengirimkan sepertiga anggota kader untuk menjaga dua perbatasan lain Suaka, mengantisipasi kalau-kalau ada serangan dari arah tebing. Sepertiga lain bertugas menjaga Kota Baru, memastikan para warga telah kembali ke rumah masing-masing dan tidak keluyuran di jalan. Yang lain telah bergegas menuju batas hutan, derap kaki mereka memekakkan.
Pavel, si bodoh itu, masih belum bergerak dari posisinya jatuh beberapa saat lalu. Serena menarik lengannya dan dia bangkit berdiri, mengekor di belakang Serena selagi mereka berjalan menuju barak kesehatan.
"Aku mau dibawa kemana?"
Ketika ia mendelik ke arah Pavel, Serena tersadar ia masih mencengkram lengan si pemuda. Segera saja ia tarik kembali tangannya. "Kau diam di barak kesehatan. Jauh-jauh dari batas hutan."
"Kenapa? Aku bisa bertarung."
Serena nyaris tersedak tawanya sendiri. "Kau bahkan tidak bisa mempertahankan kuda-kuda dasar. Jangan banyak gaya, Pak. Banyak orang kehilangan nyawa karena percaya diri berlebihan."
Ia sudah kehilangan hitungan saking banyaknya.
Pintu ganda barak kesehatan terbuka lebar. Serena bisa melihat kerumunan kecil telah terbentuk di dalam, dan ia melihat Firman berjalan mondar-mandir di balik meja besar tempat seorang medis biasa menjaga sif. Pria itu tanpa sadar menggigiti ujung-ujung kukunya, gestur yang anehnya familiar bagi Serena. Ketika mereka tiba di ambang pintu, ia menemukan kursi di sisi kasur Gurna, yang masih berbaring tak sadarkan diri, tak berpenghuni. Ava sudah turun ke lapangan.
"Kau diam di sini," ucapnya pada Pavel. Serena baru akan memanggil medis terdekat ketika seorang perempuan menghampiri mereka.
"Pavel?"
Serena berusaha mengingat siapa gadis di hadapannya ini. Ia tidak pernah jago menghafal nama orang yang jarang berinteraksi langsung dengannya.
Rambut pendek sebahu, kelopak mata monolid, pipi bulat yang kontras dengan badan mungilnya. Anak ini bahkan lebih kecil daripada Ava. Serena merasa seperti raksasa berdiri di dekatnya.
"Freya?" Pavel tampak seakan ingin kabur dari tempat ini sekarang juga.
Barulah setelah itu Serena ingat. Gadis ini adalah seorang murid pelatihan divisi kesehatan, calon anggota medis, menjelaskan mengapa ia ada di sini sekarang. Ia juga gadis yang sama dengan yang berdiri bersama Pavel di pemakaman Anjali pada malam sebelumnya.
"Kalian saling kenal?" sebelum mereka sempat menjawab, Serena melanjutkan, "Bagus. Kau jaga dia di sini. Jangan sampai dia melakukan hal bodoh atau coba-coba turun ke daerah serangan. Rantai dia ke kursi kalau perlu."
Tanpa menunggu balasan, Serena sudah berlari keluar. Langkah-langkahnya ringan, ekor rambutnya yang diikat tinggi berayun seiring tiap gerakan.
Setengah jalan menuju batas hutan, ia berhenti. Seorang laki-laki, barangkali seusia Firman, menghadang jalan. Rambutnya berantakan, wajahnya berlumur darah, pakaian yang melekat di tubuhnya berwarna merah terang. Serena bisa melihat beberapa titik dimana merah itu tampak lebih gelap dan ia butuh sesaat untuk menyadari bahwa itu adalah bercak darah.
Darah siapa? Darahnya, atau darah kawan-kawanku?
Pria itu menyeringai lebar, deretan giginya terlalu cemerlang. Kemudian, ia membara.
Pembakar.
Bakat Serena meraih ke dalam kantong air sekaligus kepada kelembapan udara di sekelilingnya. Ketika si Pembakar maju menyerang, Serena melemparkan belati es di genggamannya dan menghindar ke kiri. Senjata es miliknya selalu dapat menembus bahkan api paling panas, dan Serena merasakan percikan rasa puas merekah ketika mendengar teriakan kala belati itu mencapai sasaran. Rasa puas itu dengan cepat padam ketika sebuah bola api nyaris sekali mengenai sisi kanan wajah Serena, meninggalkan kulit di area itu melepuh perih. Dengan sebelah tangan memegangi perut yang terluka, pria itu berbalik menghadap Serena, bara api telah sepenuhnya padam dari tubuhnya. Dengan sebelah tangan yang kosong, ia mengeluarkan sebuah pistol pendek dan membidik.
Serena menghilang.
Ia mendengar pria itu menyumpah frustasi, melihat matanya jelalatan mencari. Dengan langkah pelan dan hati-hati, Serena memutari sang pria dan memosisikan diri di belakang punggungnya.
"Keluar!" suara pria itu serak basah, seperti gesekan kerikil di kala badai.
Serena melompat kecil karenanya. Mendengar Serena, pria itu dengan cepat membalikkan badan. Ketika ia menembak, Serena bereaksi terlalu lambat. Peluru itu menembus lengan kirinya. Menahan jerit kesakitan, ia menggabungkan titik-titik air yang telah ia kumpulkan sebelumnya dan membentuk sebuah gumpalan yang mengambang beberapa sentimeter di atas kepala sang pria.
Ia kembali kasat mata.
"Kau si gadis emas." Pernyataan, bukan pertanyaan. "Hari ini kau akan ikut kami pulang."
Menahan rasa sakit yang menderu di lengannya yang terluka, Serena memfokuskan seluruh perhatiannya kepada gumpalan air di udara. "Kalau jadi kau, aku tidak akan terlalu percaya diri."
Ia hempaskan kedua tangannya ke bawah, membungkus gumpalan air itu di sekeliling kepala sang pria. Serena tidak bisa mendengar teriakannya dari balik bola air yang ia ciptakan, tapi ia bisa melihat mulut pria itu terbuka lebar dan matanya melotot, penuh dengan horor. Kedua tangan pria itu mencakar-cakar lehernya sendiri, kakinya mengejang.
Dia bahkan tidak berusaha menahan napas. Percaya diri dan bodoh.
Ketika pria itu terjatuh ke tanah, Serena tidak melepaskan kontrolnya atas air. Ia perintahkan air yang berada di sekeliling leher sang pria untuk memadat menjadi es, mencekik dan tanpa ampun.
Serena tidak tahu berapa menit telah berlalu hingga tubuh pria itu berhenti berontak, cengkraman tangannya di leher melemas dan akhirnya terlepas. Tidak mungkin lebih dari tiga menit. Serena menunggu sampai lima tarikan napas sebelum akhirnya membebaskan bola air itu dari sang pria. Ia mengembalikan sebagian air ke dalam kantong air, sebagian kecil membungkus kulit melepuh di kanan wajah dan luka di lengan kiri, sedangkan sisanya ia jadikan panah terbang yang tersebar di sekelilingnya. Dengan satu pandangan terakhir ke arah pria yang telah menjadi mayat, Serena kembali berlari.
Ketika ia tiba di perbatasan hutan, situasi sudah kacau balau. Serena bisa melihat kader-kader lain tengah terlibat pertarungan dengan orang-orang berpakaian merah. Ia bahkan melihat Noah sedang melawan sesama Pembakar. Teman-teman si pria. Mereka datang untuk membawa Serena pergi.
Tidak. Mereka tidak akan. Tidak hari ini.
Jasad manusia bertebaran. Beberapa tergeletak di atas tanah, beberapa tersungkur ke dalam semak-semak, beberapa lagi tersemat ke batang pohon. Serena tidak sempat berhenti untuk menghitung berapa banyak di antara tubuh-tubuh itu yang mengenakan seragam hitam Perguruan. Serena bahkan tidak sempat bertanya-tanya mengapa tidak ada satu pun serigala sejauh mata memandang. Tatapannya sudah terlanjur mengembara, mencari keberadaan Axel dan Ava.
Ia menemukan kedua temannya dan, meskipun di sekitaran mereka kekacauan tengah merajalela, Serena nyaris saja menyemburkan tawa. Dua orang itu telah bertengger di atas dahan besar salah satu pohon, membidik dan menembak. Ava dengan busur dan anak panah, Axel dengan senapan dan sesekali tombak pendek andalannya. Seorang kader Penghijau, yang tidak Serena ingat namanya, berdiri sigap di bawah mereka, mengklaim kendali atas pohon itu agar para Penghijau dari pihak musuh tidak bisa menjadikannya senjata makan tuan.
Pemandangan itu tampak begitu lucu sampai-sampai Serena kehilangan rasa awasnya untuk sesaat. Hanya sesaat, dan seorang Kulit Batu berseragam merah telah menerjang ke arahnya. Ia menendang tulang kering Serena dan gadis itu terjatuh dengan keras. Kulit Batu itu kemudian menggenggam kedua pergelangan kaki Serena dan menyeretnya menuju hutan. Kepala Serena menghantam tanah, luka di lengannya berdenyut perih. Ia kehilangan kendali atas panah-panah es yang segera saja berjatuhan dalam wujud cair.
Kepalanya berputar. Selama beberapa saat yang mengerikan, Serena mengira ia akan jatuh pingsan.
Tapi tidak, tidak boleh. Mereka tidak boleh membawanya pergi.
Genggaman si perempuan Kulit Batu di pergelangan kakinya terlalu kencang, langkah-langkahnya saat menarik tubuh Serena terlalu cepat. Permukaan kulit perempuan ini sama dengan milik semua Kulit Batu pada umumnya, kasar dan bersisik. Peluru yang ditembakkan Axel semata-mata memantul ketika mengenainya. Bahkan belati es kesayangan Serena tidak akan mampu menembus pertahanan itu.
Tapi itu bukan berarti ia tidak dapat disentuh.
Serena harus bersusah payah mengontrol pergerakannya selagi diseret seperti karung agar bisa membuka tutup kantong airnya. Dengan sisa-sisa tenaga, ia menarik keluar air. Dengan konsentrasi yang terganggu rasa sakit, Serena mengarahkan aliran air untuk memasuki lubang telinga dan hidung sang perempuan. Mencekiknya dari dalam.
Sang Kulit Batu serta merta melepaskan cengkramannya dari Serena dan kedua tangannya bergerak untuk melindungi wajah, walaupun jelas sudah terlambat. Merangkak mundur, Serena mengeratkan cengkraman air di tenggorokan dan menenggelamkan paru-parunya. Perempuan itu tidak seberisik si Pembakar. Kurang dari dua menit, ia telah bergabung dengan banyak mayat lain di medan pertarungan. Sudut mulutnya meneteskan air bercampur darah.
Mati-matian, Serena bangkit dari tanah. Seluruh tubuhnya menjerit kesakitan, tapi mulutnya berhasil tidak mengeluarkan suara. Ketika ia menggerakkan tangan untuk mengecek bagian belakang pakaiannya, Serena menyadari bahwa bebatuan di tanah telah mengoyak jaket yang ia kenakan di atas seragamnya.
"Sialan."
Ini jaket kulit favoritnya.
Serena memutuskan untuk berkabung soal itu di lain waktu. Ia mengedarkan pandang untuk mengantisipasi serangan lainnya, dan mata Serena menangkap seseorang berdiri di jalan masuk menuju kompleks pelatihan.
Waktu berhenti berdetak.
Ia tidak memindahkan tatapannya dari sosok itu, tidak berkedip. Ia tidak berani. Ia takut ini hanyalah ilusi yang dimainkan pikirannya sendiri. ia takut ini hanyalah sesi halusinasi lainnya.
Theo.
Pemuda itu tidak mengenakan pakaian merah musuh, tapi juga bukan seragam hitam Perguruan. Ia hanya menggunakan celana kargo cokelat dan kaus lengan pendek. Rambutnya terpotong rapi, lebih pendek dibanding biasanya. Jelas telah kehilangan banyak berat badan, membuat tulang pipinya lebih menonjol dan garis rahangnya lebih tajam. Sejauh ini, Serena tidak bisa melihat cokelat matanya dengan begitu jelas, tapi ia tahu ia tidak salah.
Theo. Theo. Theo.
Serena terlalu terpana untuk bisa bersuara.
Ketika ia akhirnya bergerak mendekat, Theo berlari memasuki Suaka. Tanpa pikir panjang, Serena mengikuti. Luka dan perih dan penderitaan di tubuhnya seakan menguap. Tungkai-tungkainya berayun ringan, tatapannya tidak berpindah. Panggilan Ava nyaris tidak ia dengar. Dunia seakan melebur menjadi hanya Serena dan deru napasnya.
Theo terus berlari. Serena terus mengejar. Mereka melewati asrama, melewati kompleks pelatihan, terus masuk lebih dalam. Serena seakan tidak lagi kenal dengan yang namanya letih. Mereka tiba di kompleks Dewan, yang luar biasa kosong, dan terus menuju Hutan Kota. Serena baru sadar kemana Theo berniat membawanya ketika sol sepatunya bertemu dengan pasir, alih-alih tanah.
Mereka di Danau Ara.
Theo berhenti beberapa langkah dari air. Napasnya memburu.
Ini benar dia. Ini bukan tipuan.
Tapi, entah kenapa, Serena tidak ingin menutup jarak di antara mereka. Ia tidak ingin mendekat.
Kepalanya dipenuhi pertanyaan. Terlalu banyak pertanyaan.
Kemana saja kamu? Kenapa pergi mendadak? Ada apa? Kenapa kembali sekarang? Siapa orang-orang berseragam merah itu? Apa yang mereka mau dariku? Apa yang mereka mau darimu?
Pada akhirnya, Serena hanya mampu memanggil namanya.
"Tey."
Sebagai respon, Theo menarik napas gemetar.
Ragu-ragu, Serena mengambil satu langkah. Dua. Tiga.
Dan kemudian, dari arah belakang, ia mendengar gemerisik daun dan langkah kaki. Banyak langkah kaki. Serena membalikkan badan.
Di hadapannya, di ruang dimana tanah bertemu pasir, muncullah empat sosok baru, semuanya dalam balutan merah. Di belakang mereka enam ekor serigala menggeram. Berdiri paling depan, tanpa penutup wajah dan dengan seringai lebar, adalah pengawal mutan yang ia temui di Bungker Catur.
Walaupun Serena hanya pernah melihat mata wanita itu, ia tidak mungkin salah membaca postur badan dan cara berjalannya. Serena tidak pernah melupakan bahasa tubuh lawan tarungnya.
Wanita itu seharusnya sudah sudah mati. Serena percaya ia sudah mati.
Serena mengambil seribu langkah mundur. Mendekati air. Mendekati Theo.
Ketika ia memberanikan diri untuk mencuri pandang ke arah Theo, wajah pemuda itu telah digantikan dengan wajah yang sama sekali berbeda. Seorang laki-laki, tidak mungkin lebih dari 15 tahun, kini berdiri di tempat seseorang yang Serena kira Theo berada beberapa menit sebelumnya.
Ilusionis. Jebakan.
Tenggorokan Serena mendadak terasa kering.
"Halo, gadis emas," si pengawal mutan memecahkan keheningan. Kedua matanya berkilau geli. "Senang akhirnya kita dipertemukan kembali."/
&&&&&
a/n
jangan lupa meninggalkan jejak <3
love,
Regina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top