7- Pelajaran Pertama




SEDARI IA bangkit dari tidur, Pavel merasa seakan tengah kesadarannya mengambang di atas tubuh fisiknya selagi ia berjalan mondar-mandir di sekitar kamar, mata masih setengah terpejam.

Kedengaran dramatis? Oh memang.

Bersih-bersih diri di kamar mandi, mengganti pakaian, membuka jendela kamar agar udara segar masuk dan mengusir apek, semuanya terjadi tanpa ia benar-benar memikirkan apa yang sedang ia lakukan. Padahal kalau mengikuti keinginan terdalamnya, Pavel ingin kembali merayap ke dalam dekapan selimut dan tidur hingga hari berganti.

Tapi ini adalah hari pertamanya mengikuti pengajaran di Perguruan, dan ia takut akan mendapat masalah kalau lebih memilih untuk bolos.

Diusir dari Suaka, misalnya.

Ketika ia merasa sudah siap meninggalkan kamar, Pavel menangkap bayangannya menatap balik dari cermin yang menempel di pintu lemari. Setelah menimbang sedetik, ia beranjak mendekat dan menginspeksi penampilannya.

Ujung-ujung rambut ikalnya kini telah mencapai tengkuk. Berbulan-bulan terjebak di dalam Bungker Jahannam tanpa fasilitas pangkas rambut tentu saja memberikan rambutnya kebebasan untuk tumbuh liar dan tak terkendali.
           
Kalau dilihat-lihat lagi, sebenarnya ia kelihatan oke juga.
           
Beralih dari rambut, Pavel memindahkan perhatian ke hidungnya yang bulat dan rahangnya yang telah tercukur bersih. Kemudian berpindah lagi ke seragam Perguruan yang ia temukan di lemari, nyaman dan pas badan.
           
Alih-alih seragam putih-biru seperti yang ia pakai terakhir kali mengenyam pendidikan formal, seragam Perguruan terdiri atas satu set celana panjang dan atasan berwarna hitam beserta sepasang sepatu lari, juga hitam. Di sabuk senjata yang melingkari pinggangnya, terselip belati berganggang merah oleh-oleh dari Danau Ara.
           
Suram, tapi berkelas. Dua hal yang tidak pernah Pavel pikir bisa bersatu padu dengan dirinya.
           
Dengan satu tolehan terakhir ke cermin, Pavel melangkah keluar dan menutup pintu kamar. Ketika ia membalikkan badan, seseorang lain keluar dari kamar diseberangnya dan tatapan mereka bertabrakan.
           
Pavel nyaris saja melompat kembali ke dalam kamar, tetapi akal sehat menahannya agar tidak mempermalukan diri (lagi). Ia bisa merasakan detak jantungnya mulai memburu, mengancam akan meloncat keluar dari dalam tulang rusuk.
           
Berbalut seragam Perguruan dan jaket kulit cokelat, berdirilah Serena, bahkan tampak lebih terguncang dibandingkan Pavel.
           
Ekspresi yang sama seperti yang ia tunjukkan di Bungker Catur dua hari lalu. Juga kemarin, ketika Pavel memergoki dia basah kuyup di pinggir Danau Ara.
           
Ah, senang mengetahui mereka sekarang punya rutinitas bersama. Kejutan.
           
Setelah keheningan yang tidak nyaman, Serena pulih terlebih dahulu. Berkacak pinggang, ia segera saja menodong Pavel dengan tatapan menuduh. "Kau ini benar-benar membuntutiku, ya?"
           
Meraih kembali kendali atas dirinya, Pavel meniru gestur tubuh Serena dan membalas. "Pede sekali, nyonya."
           
Mendengar jawaban Pavel, ekspresi Serena dengan cepat berubah dari curiga menjadi sangat, sangat kesal.
           
"Kemarin kau mengikutiku ke tempat pribadiku, lalu sekarang kebetulan kamu bertetangga denganku? Oke, Pak Penguntit, logikanya dapat sekali."
           
Pavel melempar kedua tangannya ke atas. "Aku tidak menguntitmu! Sumpah! Aku langsung di antar ke kamar ini saat baru sampai, mana aku tahu kamarmu pas di depan sana! Dan sejak kapan Danau Ara jadi tempat pribadimu?"
           
Serena memelototinya, tetapi tidak kunjung mencetuskan balasan. Cahaya dari lampu di sepanjang langit-langit lorong terpantul di mata bundarnya.
           
Terlepas dari ketegangan di udara, Pavel mendapati dirinya terpesona.
           
Dia tidak pintar merangkai kata, satu lagi bakat Ayah yang tidak menurun kepadanya, tetapi mendadak Pavel ingin menuliskan berlembar-lembar puisi untuk menceritakan mata biru cerah itu. Kepalanya dipenuhi kata dan frasa.
           
Binar. Gemerlap. Dua tetes embun fajar. Langit pagi dikala matahari telah sepenuhnya menanjak.
           
"Siapa yang mengantarmu ke kamar ini?"
           
Buyar sudah rancangan puisinya.
           
Pavel berhenti untuk mengingat. "Eh, Hafi- bukan. Hadi?"
           
"Hadi," Serena menyebutkan nama itu dengan kebulatan tekad. "Aku butuh bicara dengan dia sekarang."
           
Bahkan sebelum menyelesaikan kalimatnya, Serena telah melangkah cepat menyusuri koridor yang berlawanan arah dengan yang akan dituju Pavel. Sebelum     Pavel bisa berkomentar apa pun, Serena telah menaiki tangga di ujung lorong dan menghilang dari pandangan.
           
Berusaha menetralkan detak jantung yang masih menderu, Pavel menyandarkan tubuh ke dinding lorong. Sebuah pemahaman telah berhasil ia cerna, dan Pavel mendapati dirinya sendiri menyeringai pada langit-langit asrama.
           
Gadis yang berhasil mencuri perhatiannya sejak momen pertama ternyata tinggal tepat di seberang koridor. Gadis yang, tidak diragukan lagi, tidak menyukai keberadaannya. Kemungkinan besar menganggapnya idiot.
           
Hidup memang tidak pernah membosankan.
           
Astaga, dia kedengaran seperti orang sinting.
           
Dan barangkali kelihatan seperti orang sinting pula. Pavel mengedarkan pandang ke sekeliling koridor asrama, memastikan tidak ada seorang pun yang menyaksikan ia senyum-senyum sendiri, sebelum akhirnya beranjak meninggalkan asrama dan menuju Perguruan.
           
Mengingat kembali rute yang ditunjukkan Freya di tur kemarin, Pavel berhasil mencapai kompleks pelatihan dan segera saja menemukan dirinya berdiri di depan gedung utama Perguruan. Sebelumnya, ia tidak memberikan gedung 'sekolah' ini perhatian lebih. Baru saat inilah Pavel menyadari bahwa bangunan di hadapannya ini sangat, sangat megah. Memang eksteriornya tidak sementereng gedung asrama ataupun Rumah Utama, tapi jelas jauh lebih mewah dibandingkan sekolah negeri mana pun yang bisa Pavel temukan di Bukit Tangkuban.
           
Pilar-pilar tinggi, cat merah bata yang mulus dan tidak retak-retak, lantai marmer mengkilap. Bangunan-bangunan di Suaka benar-benar bukan main. Pavel mulai berspekulasi kalau jangan-jangan orang yang pertama kali membangun Suaka diam-diam adalah seorang bangsawan dengan kekayaan tak terbatas dan-
           
"Pavel!"
           
Imajinasinya terputus. Pavel membalikkan badan, mencari sumber suara. Ia menemukan Freya tengah berlari kecil melintasi lapangan pelatihan, rambut pendeknya kini diikat tinggi.
           
"Syukurlah kamu tepat waktu. Jujur saja aku takut kamu tidak bisa bangun sepagi ini," ujarnya begitu ia sampai di sisi Pavel. Kedua tangannya dengan otomatis bergerak mengencangkan ikat rambutnya.
           
"Senang mengetahui aku melebihi ekspektasimu," Pavel mengedipkan sebelah mata.
          
Freya memperhatikannya dalam diam dengan begitu lama sampai-sampai Pavel mendadak salah tingkah. Saat ia baru akan menanyakan apakah ada yang salah, Freya meledak dalam tawa.
           
"Oh, sudah berani genit ya?" Binar-binar geli menari pada kedua bola matanya.
           
Merasakan ketegangan perlahan memudar dari postur tubuhnya, Pavel membalas celetukan Freya dengan senyum miring andalannya. Setidaknya, kata Ibu, pesona Pavel bergantung pada satu senyuman itu.
           
Masih dengan sisa-sisa tawa, Freya memandu Pavel menaiki tangga kecil di depan gedung Perguruan. Mereka bergerak melewati pintu depan, yang barangkali tingginya setara dengan dua kali badan Pavel, kemudian terus melalui lobi utama. Mereka melewati lorong-lorong yang diselingi beberapa anak berpakaian serupa dengan Pavel, dan dia sedikit terkejut melihat keberagaman usia yang ada. Mulai dari anak sekecil 7 atau 8 tahun hingga remaja seusia Pavel, semua tampak membaur dan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
           
Tampaknya Freya cukup dikenal, melihat nyaris setiap orang yang berpapasan dengan mereka menyapa gadis itu, entah dengan senyuman ramah atau dengan pekikan riang.
           
"Jadi, bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?"
           
Perhatian Pavel yang semula tertuju pada ukiran batu di langit-langit lorong pun kembali kepada Freya.
           
"Tidak pernah senyenyak semalam," dan itu bukan jawaban asal. Setelah berbulan-bulan, akhirnya Pavel bisa kembali merasakan nikmatnya tidur tanpa dihantui mimpi-mimpi tidak masuk akal. Malahan, untuk pertama kali seumur hidupnya, Pavel tidak memimpikan apa-apa.
           
"Baguslah," Freya tersenyum kecil. Setelah beberapa langkah, ia bertanya. "Kamu rindu rumah lamamu tidak sih?"
           
Pavel tidak siap dengan pertanyaan acak itu.
          
Melihat perubahan ekspresi Pavel, Freya cepat-cepat menambahkan, "Aku tidak punya banyak teman yang besar di luar Suaka, jadi yah, aku penasaran," ia buru-buru menambahkan. "Aku tidak bermaksud lancang."
           
Ia bisa melihat rona merah mulai menyebar di wajah Freya. Gadis itu tampak agak menyesali pertanyaan asal ceplosnya.
           
Setelah berpikir sejenak, Pavel menjawab, "Kalau harus jujur sih, aku kangen sekali," dia mengangkat bahunya. "Tapi aku sudah terbiasa, jadi tidak apa-apa."
           
Freya tidak membalas lagi, dan karena itu Pavel balik bertanya.
           
"Kamu sendiri? Besar disini?"
           
Gadis itu mengangguk, dan ekor rambutnya ikut berayun seiring pergerakannya. "Lahir dan besar disini. Percaya tidak percaya, aku belum pernah keluar dari Suaka sekali pun."
           
"Sama sekali? Seumur hidup?"
           
"Seumur hidup," Freya mengangguk.
           
Pavel baru akan berkomentar mengenai betapa menyedihkannya hal itu sebelum ia teringat bahwa sebelum kejadian di pasar yang mengantarkannya ke Bungker Catur, ia juga belum pernah menginjakkan kaki di luar Bukit Tangkuban. Aneh juga memikirkan kejadian naas itu ternyata merupakan tiketnya melihat dunia luar.
           
Setelah sedikit basa-basi lanjutan, Freya kembali ke mode pemandu wisata.
           
"Seperti yang sudah aku jelaskan kemarin, lama pembelajaran masing-masing individu di Perguruan bervariasi. Rata-rata murid Perguruan merupakan anak yang memang lahir dan tumbuh besar di Suaka, sepertiku, dan kami memulai pembelajaran di usia 7 tahun. Kami menjalani sistem 12 tahun pendidikan, seperti di sekolah lain pada umumnya. Nah, anak-anak sepertimu itu jarang. Kami kedatangan anak 'Baru'," Freya membuat isyarat tanda kutip di udara. "hanya sekali atau dua kali dalam beberapa tahun. Tahun ini, kamu yang pertama."
           
Pavel menepukkan kedua tangannya sekali dan menyorakkan, "Yey."
           
Menahan tawa, Freya melanjutkan, "Pada 2 tahun terakhir masa pendidikan, setiap murid akan berganti julukan menjadi 'murid pelatihan' dan akan diharuskan memilih Penjurusan. Jurusan-jurusan ini akan berpengaruh pada divisi mana nantinya kamu direkrut setelah lulus dari Perguruan. Kamu seharusnya sudah bisa memilih jurusan beberapa minggu dari sekarang, secara usiamu sudah lebih dari cukup."
           
Sama seperti kemarin, kepala Pavel terasa berputar akibat banyaknya informasi asing yang masuk dalam jangka waktu singkat.
           
Murid pelatihan? Penjurusan? Perekrutan divisi? Ujian hidup macam apa lagi ini, Tuhan?
           
Mereka berhenti di depan salah satu pintu di lantai ketiga. Pada bagian atas pintu, tertempel sebuah papan yang menunjukkan angka 318. Ketika Freya membukanya lebar, Pavel bisa melihat bahwa ini adalah ruang kelas. Lagi-lagi, jauh lebih mewah dibandingkan ruang kelasnya dulu di SMPN 18 Bukit Tangkuban (maaf, Pavel tidak tahan untuk tidak sebut merek), dengan kursi dan meja individu dan dinding krem mulus tanpa coretan dan jendela-jendela besar tak bertirai dan proyektor LCD yang menggantung dari langit-langit. Terdapat sebuah panggung kecil di bagian depan kelas, dimana sebuah meja kayu besar bersanding dengan kursi empuk beroda, sebuah papan tulis besar terpampang di dinding beberapa langkah dari meja. Kemudian, tampak lebih tinggi dibandingkan hari sebelumnya berkat bantuan panggung kecil itu, berdirilah Dokter Firman.
           
Selain urusan tinggi badan, pria itu tampak tiada beda dari yang terakhir Pavel ingat. Rambut beruban, jas putih selutut, kacamata tipis. Kali ini, Ai tidak bersamanya. Ia tengah sibuk memenuhi papan tulis dengan coretan dan tulisan, dan Pavel tidak bisa menangkap satu kata pun.
           
Memang benar kata orang. Mereka yang terlalu pintar dikutuk dengan tulisan tangan kacau balau.
           
"Terima kasih lagi, Freya, karena sudah mengantar teman baru kita kemari dengan selamat untuk kedua kalinya. Kamu boleh pergi," ujar Firman bahkan tanpa membalikkan badan.
           
Alih-alih langsung pergi seperti kemarin, Ava malah menahan lengan Pavel dan mendekatkan wajahnya. Pavel terlalu kaget untuk bisa bereaksi.
           
"Nanti di jam makan siang, mau ikut aku ke restoran di Kota Baru? Sate kacangnya favoritku," bisik Freya.
           
Freya tidak melepaskan genggamannya di lengan Pavel sampai akhirnya pemuda itu mengangguk. Dengan senyum lebar, si gadis membalikkan badan dan mengucapkan, "Sampai nanti!" sebelum menutup pintu di belakangnya.
           
Atas nama semua bintang, Pavel tidak mau menjadi bagian dari golongan remaja kepedean dan berpikiran kalau Freya baru saja mengajaknya kencan, tapi memangnya apa lagi kalau bukan kencan?

Atau mungkin gadis itu mengundangku makan siang bersama demi mendiskusikan strategi perang melawan musuh imajiner atau kapan kira-kira para alien di luar sana berencana akan menginvasi bumi dan apa yang harus mereka lakukan kemudian untuk bertahan hidup?
           
"Silakan duduk, Nak. Atau kamu lebih senang belajar sambil nongkrong di ambang pintu?" suara Firman menarik Pavel kembali dari lamunan ngawurnya.
           
"Siap, Pak."
           
Pavel memilih kursi di barisan paling depan karena apa pula gunanya dia duduk di barisan belakang kalau dia satu-satunya murid di kelas?
           
Setelah menggarisbawahi sebuah kalimat di tengah-tengah papan tulis, Firman akhirnya membalikkan punggung membelakangi papan dan memandang langsung ke arah Pavel.
           
"Oke, sebelumnya, saya mau mengkonfirmasi beberapa hal dulu," pria itu mengambil selembar kertas dari tumpukan di atas meja. "Nama lengkapmu Pavel Rama Radhia, jenis kelamin pria, kelahiran 5 Agustus 139 EB. Domisili awal di Bukit Tangkuban, ijazah terakhir diterbitkan oleh SDN 4 Bukit Tinggi dengan rata-rata nilai akhir 13, dan anak tunggal dari Batara Radhia dan Mega Ayundira. Ada yang perlu dikoreksi?"
           
Pavel kehilangan kemampuan bicara selama beberapa menit sebelum akhirnya mencicit, "Apa-apaan?!"
           
"Ada yang kurang akurat?"
           
"Darimana kau tahu semua itu?"
           
Firman tampak tidak memedulikan kengerian yang terpampang jelas di wajah Pavel. "Saya ulang lagi, ada yang kurang akurat atau tidak?"
           
Belum genap dua hari ia menginjakkan kaki di tanah Suaka dan sejarah hidupnya sudah digali hingga ke akar-akar. Pavel mencoba membayangkan seseorang membongkar dokumen-dokumen di entah kantor pendataan mana dan membawa pulang kertas-kertas miliknya. Ia membayangkan mereka mendatangi kebun kopi Ayah. Ia membayangkan mereka memata-matai orang tuanya.
           
Bayangan itu membuatnya sakit perut.
           
Ya Tuhan, apakah privasi masih eksis di dunia yang kejam ini?

Pavel membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering, dan dengan usaha luar biasa keras, ia menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang salah." setelah berpikir sejenak, ia menanmbahkan. "Kecuali soal nilai akhirku. Seingatku tidak sejelek itu."
           
Si Dokter Gila mengabaikan pernyataan kedua Pavel dan meletakkan kertas di genggamannya kembali ke atas meja.

           
"Karena ini kelas pertama kita, jadi saya akan mulai dengan materi paling dasar: 'Sejarah Kemunculan Mutan'. Saya percaya kamu tidak pernah mendapatkan pelajaran ini dimana pun sebelumnya, mengingat negara kita menolak mengajarkan materi ini di sekolah-sekolah umum."
           
Menilik intonasi dan ekspresi wajah Firman, Pavel bisa melihat ketidaksenangannya akan fakta tersebut.
           
"Sebelum kita mulai, ada yang ingin ditanyakan?"
           
Sebelah tangan Pavel dengan cepat teracung ke atas.
           
"Dokter dapat data-dataku darimana?"

            Firman menghela napas dramatis. "Ada pertanyaan yang lebih berbobot, Mas Pavel?"
           
"Aku butuh tahu bagaimana kalian mengorek-ngorek hidupku. Itu saja."
           
"Kami hanya butuh nama, umur, dan dari Bungker mana kamu datang. Kalau kamu tidak tahu, penahanan Bungker ini bersistem zonasi, jadi bisa dipastikan tempat tinggalmu tidak akan jauh-jauh dari Bungker tempatmu ditahan. Begitu kami dapat domisilimu, sisanya mudah."
           
Sialan, seram sekali.
           
"Ada lagi yang ingin ditanyakan?"
           
Baru saat itulah Pavel teringat akan satu hal yang telah mengganggu benaknya semenjak pertemuan pertamanya dengan Dokter Firman. Setelah menimbang sejenak, ia pun bertanya. "Apa maksud dokter kemarin? Soal aku sebagai Penyembuh Dalam adalah satu-satunya alasan yang masuk akal aku bisa selamat?"
           
"Nah, itu baru pertanyaan yang berbobot." Firman membersihkan lensa kacamatanya dengan lengan kemeja, lalu memakainya kembali. Pavel berjuang keras untuk memasang muka datar selagi ia menyaksikan kacamat itu melorot dari hidung sang empunya. "Kamu tahu Batu Redhem terbuat dari apa?"
           
"Tidak."
           
"Redhem merupakan entitas yang terbentuk dari bekuan darah seorang Pembungkam. Batu itu merupakan salah satu hasil penemuan ilmuwan luar negeri yang diimpor oleh negara kita, memanfaatkan bakat mutan sebagai senjata makan tuan."
          
Pavel mengingat batu-batu yang terpasang di sepanjang lorong Bungker ketika ia digiring menuju selnya. Penampakannya yang nyaris transparan dan merah pucat kini masuk akal, dan Pavel harus memaksa dirinya menahan mual yang mendadak mekar.
           
"Bakat seorang Pembungkam adalah membungkam bakat di diri mutan lain yang berada di dalam radiusnya. Mereka juga mampu membungkam sistem kerja tubuh. Melambatkan denyut nadi, menyumbat saluran napas, menghentikan kerja jantung. Kemampuan yang itu mirip dengan milik Penyembuh, hanya saja mereka tidak bisa membalikkan efek dari tindakan mereka," Firman kini duduk di kursi beroda di belakang meja. "Redhem, sebagai produk turunan seorang Pembungkam, hanya mampu membungkam bakat, tidak sistem biologis. Dan jika seorang mutan telah terpapar pengaruh Redhem, ia tidak bisa secara mendadak diberhentikan dari paparan itu begitu saja. Harus secara bertahap dan perlahan sebelum ia bisa bebas sepenuhnya dari tekanan Redhem."
           
"Kejadian kemarin itu adalah sesuatu yang tidak biasa. Redhem yang menghilang begitu saja ke balik dinding, itu bukan kasus yang bisa kita temukan setiap hari. Jadi bisa dipastikan setiap mutan yang sudah berada dibawah pengaruh Redhem selama lebih dari 48 jam, dan dengan mendadak dilepaskan dari pengaruh itu, akan kehilangan kendali akan fisik dan pikirannya."
           
Pavel terkejut ketika ia mendapati dirinya sendiri dapat dengan mudah memahami konsep itu. Ia menyaksikan sendiri tiga orang teman selnya meledak, harfiah maupun kiasan. Seorang Pembakar, seorang Animos, dan seorang Kulit Batu. Pavel terpaksa menempel ke dinding ketika sang Pembakar, Reno, membara. Kobaran apinya menyambar ranjang susun, ember kecil tempat mereka buang air, dan Angga, sang Animos. Jeritan kesakitannya tertutup kebisingan di luar bilik itu, dan segera saja sang Kulit Batu, Kevin, menjebol jeruji sel mereka.
           
Kalau bukan karena tas pundaknya yang tertinggal di dalam sel, Pavel sudah akan tiba di lapangan.
           
Kalau bukan karena ia kembali ke sel, ia tidak akan bertemu Serena dan terseret ke dalam tempat yang ia kira hanyalah legenda belaka.
           
Kalau bukan karena bertemu Serena, ia mungkin telah kehilangan nyawa di tangan entah seorang pengawal Bungker atau sesama narapidana.
           
Tapi, apa dia bisa mati?
           
"Jadi kemampuan Penyembuh tidak bisa diredam Redhem?"
           
"Penyembuh Luar bukan pengecualian, tapi kamu adalah Penyembuh Dalam pertama yang saya temui, dan sepertinya bakatmu tidak bisa dibungkam bahkan oleh senjata andalan Garda Garuda."
           
Ia tidak tahu apa atau siapa itu Garda Garuda. Pavel bahkan tidak tahu apa itu Redhem sebelum ia menginjakkan kaki di tempat sialan itu beberapa bulan lalu.     Tapi ia tahu Firman salah tentang satu hal, dan sebuah suara di dalam benaknya melarang Pavel untuk mengoreksi sang dokter.
           
Kenyataannya, Pavel bukan hanya seorang Penyembuh Dalam.

* * * * *

Kepala Pavel dijejeli begitu banyak nama, tanggal, dan istilah selama dua jam terakhir sehingga ia nyaris tidak percaya ia berhasil keluar dari ruang kelas tanpa kehilangan kewarasan.
           
Sekarang ia tengah menuruni anak tangga Perguruan dan menuju lapangan pelatihan. Kelas keduanya hari ini adalah bela diri dasar, dan Pavel nyaris melompat-lompat kegirangan pada setiap langkahnya.
           
Berbulan-bulan telah berlalu semenjak ia benar-benar berkegiatan fisik. Jatah keluar ruangan yang ia dapatkan seminggu sekali di Bungker tidak pernah membiarkannya melakukan lebih dari berdiri tegap dan menghirup udara segar. Ia merindukan lapangan rumput kecil di dekat rumah, tempat ia biasa bermain sepak bola seorang diri atau bersama Ayah. Pavel memilih untuk tidak bergabung dengan anak-anak lain di Gor Saparua karena ia tidak bisa menjamin ia tidak akan melukai diri tanpa sengaja dan membiarkan puluhan pasang mata menyaksikan lukanya dengan ajaib terjahit sendiri.
           
Mengabaikan silau matahari yang membutakan mata, Pavel mengedarkan pandang ke sekeliling lapangan, mencari sesosok mentor yang disebut Freya akan mengajarnya kali ini. Gadis itu tidak memberikan nama, hanya deskripsi fisik; pemuda seusianya, sedikit lebih tinggi dan jauh lebih kurus, dengan rambut hitam dimodel cepak. Semilir angin berhembus di sekitarnya, menetralisir panas matahari dan menerbangkan helai-helai ikal Pavel di sekeliling wajah. Pavel sedang mempertimbangkan untuk mulai mengenakan ikat rambut ketika sudut matanya menangkap sebuah tombak pendek tengah berdesing ke arahnya.
           
Pavel melompat mundur tepat sebelum ujung tombak bisa menggores tulang hidungnya. Tombak itu terbang kembali ke arah datangnya dan Pavel melihat senjata itu melesat menuju genggaman seorang pemuda. Ia tengah duduk di beton yang memagari sisi selatan lapangan, kaki-kaki jenjangnya mengetukkan irama tetap pada pagar beton. Pemuda itu kini memperhatikan Pavel dengan tatapan ingin tahu bercampur jengkel, dan Pavel merasakan intesitas detak jantungnya meningkat begitu ia menyadari gadis yang duduk di sebelah pemuda itu adalah Serena. Pemuda itu mengisyaratkan agar Pavel mendatangi mereka.
           
Setelah ragu sejenak, Pavel bergerak mendekat.
           
"Refleksmu bagus juga. Aku harus mengakui aku terkejut," komentar si pemuda ketika Pavel telah memasuki jangkauan pendengaran.
           
"Atau mungkin bakat telkymu sudah karatan dan kecepatan lemparanmu berkurang, Axel," sahut Serena.
           
"Apa-apaan itu tadi?!" seru Pavel. Dua hari terakhir ini nampaknya orang-orang sedang bersemangat membuatnya berdarah.
           
"Tes. Refleksmu terbukti cepat, berarti seharusnya kamu nanti tidak akan kesulitan beradaptasi dengan ritme pertarungan."
           
Dari jarak sedekat ini, Pavel bisa melihat bahwa pemuda yang Serena panggil Axel ini memenuhi deskripsi fisik Freya. Kurang lebih sebaya dengannya, jauh lebih kurus, rambut hitam cepak. Ia juga mendadak ingat kalau pemuda ini jugalah yang menunggu mereka di hutan sesudah pelarian dari Bungker Catur.
           
Setelah memelototi Serena, Axel meloncat turun dari duduknya dan memosisikan diri di depan Pavel, sebelah tangan terulur. "Axel," Pavel menjabat tangan itu. "Aku ditugaskan untuk jadi mentormu di bela diri dasar, dan cewek rese di belakangku ini namanya Serena. Dia asistenku hari ini."
           
"Dia tahu namaku. Dan sekali lagi kau panggil aku asisten, Xel, kutenggelamkan kau di Danau Ara."
           
Sebelah alis Axel terangkat. "Oh, iya ya, aku lupa. Kau kan malaikat penyelamatnya, Se."
           
Serena menghela napas jengkel.
           
"Oke, jadi berdasarkan berkas yang diberikan Firman, namamu Pavel."
           
"18 tahun," sambung Serena.
           
"Penyembuh Dalam."
           
"Domisili awal Bukit Tangkuban," Serena memperhatikan Pavel lekat-lekat saat mengucapkan ini, seakan tengah mempertimbangkan sesuatu.
           
Kali ini, Pavel tidak lagi peduli kalau informasi mengenai asal-usulnya telah tersebar ke penjuru Suaka dan kalau mereka akan menggosipkan nilai akhir sekolah dasarnya yang luar biasa memalukan. Tatapannya terfokus pada Serena yang masih bersila di atas pagar beton. Dengan seringai miring, ia mengucap, "Jadi sekarang siapa yang menguntit siapa?"
           
Ia hanya mendapatkan pelototan tajam sebagai jawaban, tapi itu sudah lebih dari cukup.
           
Axel meneliti interaksi singkat Pavel dan Serena dengan tatapan ingin tahu itu lagi, sebelum akhirnya mengedikkan bahu dan mengembalikan perhatian sepenuhnya pada Pavel.
           
"Aku tidak tahu ada urusan apa di antara kalian berdua, tapi sekarang kita mulai sesi pelajarannya. Kau sudah pernah belajar bela diri sebelumnya?"
           
Pavel menggeleng. 
           
Axel membawanya ke tengah-tengah lapangan. Tidak ada banyak orang di sekeliling mereka, tapi entah kenapa Pavel merasa seakan ia tengah diperhatikan dari seluruh penjuru.
           
"Kita mulai dari kuda-kuda dasar," Axel turun ke posisi, mencontohkan langsung. "Tekuk satu kaki di depan. Kiri atau kanan terserah, senyamanmu saja. Kaki belakang luruskan, telapak kaki belakang menghadap luar. Ke luar Pavel, luar dimana? Nah, bagus. Sekarang, tumpukan berat badanmu ke kaki depan. Iya, begitu. Badan yang tegap."
           
Belum apa-apa, paha Pavel sudah memprotes. Bulan-bulan tanpa latihan fisik benar-benar melemahkan tubuhnya. Ketika ia sedang berusaha memberikan perhatian penuh pada intruksi selanjutnya dari Axel, ia merasakan sesuatu menghantam bagian dalam pergelangan kaki yang ia posisikan di depan dan Pavel terjungkal maju. Tubrukan antara wajahnya dengan tanah sama sekali tidak terasa mulus.
           
Ia menoleh dan melihat Serena berdiri di belakangnya, kedua tangan terlipat di depan dada.
           
"Tumpuan kakimu kurang kokoh. Kalau kuda-kudamu benar, kamu seharusnya bisa mempertahankan posisi tubuhmu saat diserang."
           
Pavel baru saja akan protes ketika sebuah bunyi memotong udara, jelas dan memekakkan bahkan di tengah-tengah riuhnya hari. Seluruh suara dan aktivitas di sekeliling mereka mendadak berhenti. Pavel baru saja mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar ketika bunyi kedua menyusul, dan selanjutnya, dan selanjutnya.
           
Bahkan di bawah cahaya matahari, Pavel bisa melihat wajah Serena memucat, seluruh rona yang sebelumnya ada menguap habis.
           
Bunyi yang ia dengar berikutnya adalah denting lonceng. Bertalu-talu. Mendesak.
           
Di kala matahari masih meraja tinggi di langit, kawanan serigala telah melolong. Suaka tengah diserang./

&&&&&

a/n

Haiiiiii. Akhirnya, setelah lebih dari satu bulan, aku update lagi. Maaf ya aku sering telat update cerita ini🙇🏻‍♀️ Aku bener-bener susah nge-balance antara dunia perkuliahan sama dunia penulisan. Mohon dimaklumin, hehe.

Jangan lupa meninggalkan jejak! <3

Love,

Regina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top