6- Tali Bidai
MALAM HARI di Kota Baru pada umumnya selalu tampak sehidup siang. Kerumunan orang memenuhi kedai kopi di tengah kota hingga pagi buta. Seorang anak kecil berlari menghampiri toko permen hanya untuk mendapati Ibu teleporternya muncul menghalangi pintu masuk. Obrolan dan tawa yang menggema dari para pejalan kaki. Maraknya aroma kue dan roti yang menguar dari bakery langganan Axel.
Akan tetapi, malam ini, kota tampak mati.
Pintu pertokoan dan rumah warga di sepenjuru kota tertutup rapat. Barangkali para pelayat kini tengah berada di rumah Anjali untuk menyampaikan belasungkawa, melewatkan malam berkumpul bersama. Serena harap Axel akan ada di sana untuk menemani ayah Anjali yang malang.
Sembari melangkah menyusuri jalanan kosong, Serena dapat melihat bendera kuning terpasang di hampir setiap jendela dan pintu bangunan yang ia lewati. Hanya lembaran kain kecil, tidak lebih besar dari telapak tangan pria dewasa. Angin malam yang bertiup kencang menjadikannya berkibar ramai.
Bendera kuning melambangkan duka cita. Seluruh kota tengah berduka.
Serena merasakan matanya memanas dan ia mengepalkan kedua tangan erat-erat di dalam saku jaket hitamnya. Begitu erat, hingga ujung-ujung kukunya menancap pada telapak tangan. Rasa sakit, untuk kali ini, berhasil menjernihkan pikiran dan memfokuskan perhatian.
Kota berakhir di sebuah pertigaan. Satu jalan mengarah ke Kompleks Dewan, sedangkan jalan yang lain mengarah menuju lokasi dimana Danau Ara bertemu dengan tebing tinggi. Serena mengambil jalan kedua.
Tidak banyak orang yang biasa melewati rute ini sehari-harinya, menjelaskan mengapa setapaknya berlubang dan ditumbuhi semak liar. Karena itu pula lah jalan ini nihil lampu jalan. Semakin jauh ia melangkah, semakin menipis pula penerangan yang dapat membantu Serena berjalan. Ia nyaris saja jatuh tersungkur akibat tersandung batu besar yang entah bagaimana bisa tergeletak di tengah jalan setapak. Mengumpat dalam hati, Serena memindahkan batu itu ke sisi jalan dan melanjutkan langkahnya.
Ketika cahaya dari lampu kota telah sepenuhnya menghilang, aspal jalan setapak mulai berganti menjadi tanah dan rumput dan bebatuan kerikil. Serena telah tiba di penghujung jalan. Di hadapannya, terhampar pepohonan rimbun dan semak-semak hijau.
Hutan Siam sebutannya. Satu dari tiga hutan yang berada di dalam ruang lingkup Suaka, kalau kita ikut menghitung hutan di perbatasan utama. Beberapa tahun lalu, tempat ini masih merupakan area berlatih para Penghijau. Serena pernah satu kali menemani Theo mengajar murid pelatihan di hutan ini, kenangan yang menusuk hati bila diingat kembali. Ketika ruang kosong di antara Danau Ara dan Komplek Dewan telah disulap menjadi Hutan Kota, lokasi pelatihan pun berpindah dan tempat ini ditelantarkan.
Tidak sepenuhnya, sebenarnya.
Lebatnya dedaunan dan minimnya pencahayaan menjadikan hutan seakan bersisian dengan kehampaan. Bayang-bayang gelap yang menghalangi Serena untuk melihat lebih dari lima meter seakan menjangkau ketiadaan. Serena mengeluarkan senter dari saku jaket dan penerangan baru itu membantunya kembali berjalan lurus menembus hutan. Ia tahu pasti kemana harus melangkah.
Lagi-lagi, ia tersandung sebuah akar yang timbul ke permukaan tanah. Kali ini umpatannya disuarakan dengan sepenuh jiwa.
Setelah puas memaki-maki, Serena menyorotkan senter ke satu titik dan menemukan apa yang ia cari. Sebuah biji pohon pinus yang tersemat di batang pohon besar, jelas-jelas bukan pohon pinus, di area dimana hutan berakhir dan tebing tinggi menjulang. Pada area kosong di atas biji pinus itu, Serena mengetukkan kode yang sudah ia hafal diluar kepala. 3 ketuk cepat, 3 ketuk lambat, 2 ketuk cepat, 3 ketuk cepat. 3-3-2-3.
Serena merasa nyaris bisa mendengar detak jantungnya sendiri selagi ia menunggu jawaban. Tiap degup baru lebih memburu dibanding sebelumnya.
Semoga dia di rumah. Semoga dia di rumah. Semoga-
Ilusi yang mengelilingi batang pohon di hadapan Serena menghilang dalam satu kedipan mata, menampakkan sebuah pintu kayu yang menempel pada sisi tebing, alih-alih pohon besar sebelumnya, dan tampaklah sosok mungil di ambang pintu yang kini setengah terbuka.
Hembusan napas lega yang keluar dari bibir Serena terasa nyaris menyesakkan.
"Ah, Serena sayang," suara seraknya menusuk gendang telinga. "Selalu mengejutkan, seperti biasa."
"Hai Nanda. Aku harap kamu sedang tidak sibuk?"
Serena berusaha sebaik mungkin agar tidak tampak terlalu menunduk saat harus memandang sosok di hadapannya. Saat ia bilang mungil, yang ia maksud adalah benar-benar mungil. Serena selalu tergolong sebagai gadis yang tinggi jika dibandingkan dengan perempuan lain di sekitarannya, dan pucuk kepala Nanda bahkan hampir tidak meraih pundak Serena.
Rambut panjang Nanda kini tengah dikepang dua. Menandakan satu hal: hari ini dia perempuan.
"Tidak, tidak. Aku tidak sibuk," ia menggeleng cepat. "Mari masuk."
Ia bergeser sedikit demi memberikan ruang untuk Serena lewat.
Berada di dalam ruang 4x4 yang Nanda sebut tempat tinggal, Serena merasa seperti seorang raksasa yang tengah menyusup ke dalam rumah liliput. Semua furnitur yang memenuhi ruangan telah disesuaikan dengan ukuran tubuh Nanda. Bahkan tiga deret panci yang menggantung di salah satu dinding berukuran mungil, seakan menegaskan kebutuhan kalori sehari-hari milik sang pemilik yang sama mungilnya.
Selain permasalahan ukuran perabotan, banyaknya barang-barang acak yang memadati tiap sudut dan menggantung di tiap dinding pun menjadikan Serena merasa sulit bernapas. Nanda selalu menyebut dirinya sendiri sebagai seorang 'kolektor profesional'. Berdasarkan opini pribadi Serena, yang amat sangat subjektif, ia lebih cocok dilabeli sebagai 'penimbun profesional'.
"Aku senang kamu masih bisa menyempatkan waktu di tengah keadaan berduka ini untuk mengunjungiku," Nanda menutup pintu di belakangnya dan tersenyum pada Serena. Senyum itu tidak meraih kedua matanya. "Silakan duduk, biar aku buatkan teh manis."
Kepang rambutnya berayun selagi ia bergerak menuju sudut yang berfungsi sebagai dapur. Alih-alih duduk seperti yang diminta Nanda, Serena bersandar pada dinding kosong yang dilapisi sebuah kain bermotif batik, dua tangan terlipat di depan dada.
"Jadi," ucap Nanda sembari menyalakan kompor. "Kamu butuh apa?"
Selalu langsung ke poin. 'Pebisnis profesional' juga sesuai nampaknya.
Serena memperhatikan selagi Nanda menyiapkan dua pasang cangkir keramik beserta piring kecil. Ketika ia sedang menjadi perempuan, gerak-geriknya selalu begitu rapi dan tertata.
"Kenapa informanmu berbohong?"
Tangan Nanda berhenti menyendokkan gula. Tanpa menoleh ke arah Serena, ia balik bertanya. "Bohong bagaimana?"
Tangan Serena mulai gemetaran dan ia melipat keduanya di balik badan.
"Menurut laporannya, Theo ada di Bungker Catur sejak 10 Februari, satu bulan sejak ia menghilang. Kami menyusup ke sana kemarin siang, 17 Maret, dan nihil," Serena berusaha mengubur emosi yang mulai kembali mencari jalan ke permukaan. Sebelah tangannya kembali mengepal, kuku-kukunya menancap di telapak tangan. "Semua orang juga tahu bahwa setiap mutan yang masuk ke satu bungker tidak akan pernah dimutasi ke bungker lain, apalagi dibebaskan. Mereka semua akan membusuk di sana hingga akhir hayat dan tidak akan ada yang peduli. Tidak akan ada yang merasa itu bukan nasib yang pantas."
"Tapi kami tidak menemukan Theo. Sekedar jejaknya pun tidak ada," napasnya mulai memburu, matanya mulai panas. "Jadi aku tanya sekali lagi, kenapa informanmu bohong?"
Dua tahun mengenal dan bekerja sama dengan Nanda, Serena sudah hafal di luar kepala dengan prosedur kerja yang ia tawarkan. Konsumen akan datang menemui Nanda dan menyampaikan apa yang mereka inginkan. Barang, informasi, bahkan terkadang nyawa. Nanda menyanggupi segalanya. Setelah uang telah berpindah tangan, ia akan menghubungi rekan-rekannya di luar Suaka untuk mendapatkan apapun itu yang diminta para konsumen. Baru setelah itulah produk atau jasa yang mereka minta disampaikan kepada mereka melalui perantara Nanda.
Dengan kata lain, untuk informasi, apa yang disampaikan informan bisa saja berbeda dengan apa yang disampaikan Nanda kepada Serena.
Entah mengapa, hal itu belum pernah terpikirkan sebelumnya.
"Atau... jangan bilang kamu yang mengalter informasinya?"
Mendengar tuduhan itu, Nanda akhirnya membalikkan punggung dan menghadap Serena, tetapi pandangannya terpaku pada lukisan sawah antik di sisi lain dinding.
"Tugasku di sini hanya sebagai perantara antara kamu dan informan yang sesuai dengan kebutuhanmu. Di luar itu bukan tanggung jawab-"
"Anjali mati!"
Nanda tutup mulut. Kali ini, matanya beralih dari lukisan dan akhirnya menatap lurus ke arah Serena.
"Anjali mati," ulang Serena. Ia bisa merasakan wajahnya memanas, kepalan tangannya mengerat, kuku-kukunya menekan semakin dalam. Bahkan setelah menghadiri pemakaman beberapa menit sebelumnya, fakta itu seakan baru menjelma kenyataan setelah terucap dari mulutnya. "Ia mati, Theo tidak pulang, misi pencarian dibatalkan, dan aku dilarang meninggalkan Suaka. Aku tidak peduli ini masuk area tanggung jawabmu atau tidak, tapi yang pasti informasi yang diberikan orangmu salah dan aku tidak bisa diam saja."
"Jadi kamu mau apa?" kata-kata itu dimuntahkan dengan tajam. "Kamu mau aku refund uangmu? Karena kebetulan saja aku tidak bisa menyusup ke alam baka dan membawa pulang Anjali kalau itu yang kamu mau."
Serena tersentak, "Bisa-bisanya? Kita bicara soal nyawa manusia!"
"Ada orang yang lahir dan mati setiap hari, jadi aku tidak peduli kalau kebetulan Anjali jatuh tempo kemarin. Aku di sini untuk bisnis, bukan ceramah moral," balas Nanda dengan intonasi yang luar biasa datar.
Serena menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pening yang sekonyong-konyong mampir. Sejujurnya, ia tidak tahu mengapa dia datang ke tempat ini dan menumpahkan frustasinya kepada Nanda. Apa pula yang dia harapkan?
"Tapi tetap saja ada kesalahan. Theo tidak ada di Bungker Catur-"
"Kata siapa Theo di sana pasti sebagai seorang tahanan?" potong Nanda. "Aku sudah lama dengar bisik-bisik mengenai kelompok mutan lain di luar sana yang sudah berhasil menginfiltrasi fasilitas pemerintah. Kenapa Theo tidak bisa?"
Gerakan Serena sontak terhenti. Ia teringat pengawal wanita yang ia temui di hanggar Bungker. Ia ingat wanita itu menyinggung keberadaan Theo.
Apa mungkin?
Teko di atas kompor bersiul riuh, memecahkan ketegangan yang telah mengkontaminasi atmosfer. Mengangkat bahu, Nanda membalikkan badan dan kembali berkutat dengan cangkir dan kantong teh dan air panas.
"Berhubung kamu sudah menyempatkan waktu kemari, ada baiknya kamu tidak keluar dari pintu dengan tangan kosong," nada suara Nanda telah kembali ke mode ramah. "Jadi, bisa kita kembali ke urusan bisnis?"
Menghela napas panjang, Serena akhirnya memisahkan diri dari dinding dan menghempaskan badan ke salah satu sofa mungil di tengah-tengah ruangan. Berhubung sofa itu telah disesuaikan dengan ukuran tubuh Nanda, Serena bisa merasakan bagian atas tubuhnya terhimpit lengan sofa dan kedua kakinya menggantung dalam posisi yang tidak nyaman.
Semenit kemudian, Nanda meletakkan satu cangkir teh di atas meja kopi di hadapan Serena, lalu mengambil posisi di sofa yang berhadapan dengannya. Ia menyeruput teh dari cangkirnya sendiri sembari memperhatikan Serena melalui sudut mata.
Pandangan Serena terpaku pada uap panas yang menguar dari teko aluminium yang masih tergeletak di atas kompor, sebelum ia akhirnya kembali buka suara.
"Nama," ia beralih menatap Nanda. "Aku butuh nama."
"Bisa lebih spesifik?"
Serena mengangkat cangkir teh miliknya. "Nama informan yang kamu hubungi untuk laporan soal Theo. Dan domisilinya sekalian kalau bisa," ia mengambil satu tegukan. Keningnya sontak mengerut. Terlalu banyak gula. "Lebih lengkap, lebih baik."
Nanda tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Ya sudah. Dia tidak pernah minta kerahasiaan, jadi permintaanmu bisa kupenuhi."
Ia bangkit dari duduknya dan bergerak menuju sebuah lemari kecil di sisi ranjang. Ketika ia kembali ke tempat duduknya, sebuah buku catatan tebal telah bertengger di sebelah tangan.
"Hm, sebentar," gumam Nanda selagi jari-jari mungilnya bergerak menelusuri tiap halaman. "Ah ini dia."
Menegakkan posisi duduknya, Serena merenggut sebuah pulpen dari atas meja kopi ketika Nanda mulai membacakan isi halaman keras-keras.
"Agung Mulyono. Pria. Kelahiran 86 EB. Domisili Bukit Tangkuban, Jawa Barat."
Serena mencatat seluruhnya di lengan kiri bagian dalam. Ketika ia selesai, pening yang sebelumnya menggerogoti kepalanya telah menghilang dan ia mendapati dirinya sendiri menatap tulisan di lengannya dengan penuh harap.
Ini dia seseorang yang memegang jawaban yang ia butuhkan. Tali bidai yang akan menuntunnya kepada Theo, di mana pun pemuda itu mungkin berada sekarang.
Terlepas dari fakta bahwa ia bukan penggemar berat minuman manis, Serena kembali meraih cangkir teh yang sudah tidak lagi mengepulkan uap panas.
Barangkali sedikit kombinasi kafein dan fruktosa akan cukup membantunya menumpulkan harapan yang kembali membara./
&&&&&
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top