5- Danau Ara


THEO DULU mengajari Serena untuk melampiaskan emosi dengan mengamuk.

Mengamuk yang beradab, katanya.

Maka di sinilah Serena sekarang. Di satu-satunya tempat ia bisa melampiaskan emosi sehabis-habisnya.

Danau Ara, yang saat ini sedang sepenuhnya kosong, selalu menjadi lokasi favorit Serena di Suaka. Permukaan airnya begitu biru dan jernih, sedangkan pegunungan tinggi di seberang danau begitu hijau dan rindang. Bagi Serena, kombinasi kedua hal tersebut memberikan kesan yang luar biasa magis; Suaka selalu terasa seperti negeri dongeng, tetapi Danau Ara adalah sesuatu yang lain. Keduanya seakan berada di bagian dunia yang berbeda.

Dan berada di dekat sumber air adalah hal terbaik yang bisa dirasakan seorang nymph.

Serena bergerak mendekati pinggir danau, sebelah tangan terangkat. Ia lambaikan jemarinya dan terbentuklah gelombang kecil di tengah danau. Awalnya hanya ada riak-riak mungil, perlahan demi perlahan meninggi, hingga akhirnya mewujud pusaran air raksasa. Gumpalan awan di angkasa pun ikut menggelap, mengarak melingkupi pusaran air. 

Serena merentangkan kedua tangan dan badai pun meledak.

Di balik bising gemuruh air, suara Theo menggaung dalam pikirannya.

"Pusatkan seluruh emosimu, amarahmu, ketakutanmu pada satu titik dan alirkan dengan serta merta. Jangan ada ragu-ragu, jangan ada hambatan."

Serena memikirkan satu pagi dua bulan lalu, pagi ketika Theo tidak kunjung datang untuk mengisi jadwalnya mengajar para murid pelatihan. Ia ingat mencari ke seluruh penjuru Suaka dan sekedar jejak kaki pun tidak ia temukan. Ia ingat membuat keributan, dan ia ingat Jenderal Noah bersama Tuwanggana Arvi memintanya untuk tidak panik berlebihan.

"Dia barangkali pergi ke hutan saat malam dan tersesat. Tidak lama lagi dia pasti pulang," begitu kata mereka.

Tapi Theo adalah pemuda 22 tahun, jelas cukup pintar untuk tahu bahwa jalan-jalan seorang diri di hutan pada malam hari adalah hal bodoh. Dan dia seorang Penghijau. Tidak seorang Penghijau pun bisa hilang di hutan yang mereka kenal. Dan terutama tidak Theo.

Serena ingat berminggu-minggu yang ia habiskan untuk mengajukan misi pencarian. Suaka memang nyaris tidak pernah mengadakan misi pencarian orang hilang. Terlalu berisiko, membutuhkan banyak waktu, dan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Tidak hanya sekali  Serena mendapat kabar mengenai seseorang yang ia kenal mendadak lenyap dan tidak tampak lagi. Tidak hanya sekali Serena menghadiri pemakaman tanpa tubuh, karena bulan-bulan telah berlalu dan mereka tidak pernah kembali.

Tapi ini Theo. Salah satu kader dan mentor terbaik yang pernah Suaka miliki. Mereka tidak boleh membiarkannya sendirian di luar sana, putus asa dan tanpa bantuan. Dia barangkali tersesat, atau diculik, atau kemungkinan lain yang tidak ingin Serena pikirkan.

Butuh dua bulan hingga pengajuan itu disetujui. Dengan satu syarat: Gurna harus ikut serta.

Padahal Serena sudah belasan kali mengikuti misi. Dia sama berpengalamannya dengan Gurna yang dua tahun lebih tua darinya. Dan semua orang tahu dia dan Gurna tidak pernah akur. Melibatkan mereka berdua dalam misi yang sama adalah satu bentuk penyiksaan.

Serena juga ingat ketakutan yang dipancarkan tatapan kedua orang pengawal di Bungker. Dua orang yang hidupnya dihabisi ujung belatinya. Juga si teleporter gila. Juga dua pengawal lain di hanggar. Sang pengawal Penyalin yang ia tinggalkan dalam keadaan sekarat. Dan Anjali dengan luka tembak di sekujur tubuh. Tujuh orang hantu baru bagi malam-malam buruknya. Malam-malam dimana Serena tidak memimpikan apapun selain kegelapan dan tangan berlumur darah dan wajah mereka yang telah ia bantai.

Lalu kata-kata Noah yang membakar habis harapannya.

"Pencarian Theo untuk sementara ditutup. Dan kau tidak boleh keluar dari Suaka, untuk alasan apapun termasuk menemui narasumbermu yang tidak bertanggung jawab itu, tanpa izin dari Dewan."

Air semakin meninggi dan jangkauan badai semakin melebar. Percik-percik sejuknya habis membasahi Serena, membuat helai rambut dan pakaiannya melekat ke kulit. Teriakan frustasi lepas dari bibirnya dan gelombang pun kini mencapai titik puncak.

Badai tidak lagi tampak tak beraturan. Gemuruhnya yang memekakkan tidak lagi menggedor pendengaran. Satu-satunya suara yang dapat didengar Serena kini hanyalah detak jantungnya seorang, dan ia jadikan itu panduan. Ia gerakkan kedua tangannya mengikuti irama tetap nadi, membentuk pola yang berurut dan teratur. Dan tubuhnya pun ikut bergerak.

Dengan mata terpejam, Serena membayangkan ia berada di tempat yang berbeda. Aula besar di mansion tua Harper, tempat ia lahir dan tumbuh besar. Ia membayangkan Mama berdiri tegak di sebelah meja kayu dengan sebuah metronome berdetak di atasnya. Serena membayangkan dirinya sendiri berbalut sinjang dan apok, menarikan jaipong dan memainkan sampur. Musik adalah musuh terbesar Dadda, maka hanya suara ketukan dari metronome lah yang bisa Mama gunakan sebagai pacuan dalam mengajar Serena menari.

Mengingat masa-masa sebelum Suaka, bagi Serena, adalah bagaikan menenggak obat yang meracun. Pelipur lara yang melebam biru.

Untuk kali ini, ia biarkan kenangan akan rumah yang tidak pernah hangat menghanyutkan benaknya pergi.

Serena kehilangan jejak waktu. Ia tidak bisa merasakan apapun selain kuasa atas air yang menari bersamanya. Amarahnya, frustasinya, lelahnya ikut hanyut bersama badai.

Andaikan keberadaannya juga dapat terseret dalam badai semudah itu. Andaikan kemampuannya hilang dari pandangan manusia dapat benar-benar menghilangkannya dari alam semesta. Barangkali segalanya akan lebih mudah.

Di akhir tariannya, Serena mengayunkan kedua tangan turun dengan begitu kuat sehingga gelombang yang sebelumnya berputar di udara jatuh secara serta merta, menciptakan tsunami kecil-kecilan di sekeliling danau. Ia memejamkan mata ketika air menerjang wajah dan tubuhnya yang sudah lebih dulu basah, menutupi jejak tangis di pipi pucatnya.

Di balik gemuruh air yang menyapu sekeliling, Serena dapat mendengar suara terkesiap dan gedebuk tubuh jatuh menghantam pasir. Serena berputar cepat menghadap sumber suara sembari mencabut belati dari sabuk senjata, sebuah gerakan yang muncul dari bertahun-tahun latihan.

Beberapa meter di hadapannya, di perbatasan antara hutan kecil Suaka dengan area danau, tersungkurlah Pavel dengan badan basah kuyup.

Ketegangan yang sebelumnya menghampiri Serena tersapu habis dan serta merta digantikan ngeri bercampur jengkel.

Sudah berapa lama pemuda sialan itu berada di sini?

"Aduh, aw," keluh Pavel sambil berusaha kembali duduk. "Sial, kukira aku akan mati dicaplok ombak."

Masih bodoh, ternyata.

Serena menyarungkan kembali belatinya dan berkacak pinggang. "Kenapa kau di sini?"

Pemuda bodoh itu pun mulai gelagapan.

"Kau membuntutiku?" tuntut Serena.

"Eh, tidak, tidak! Aku belum pernah ke danau, jadi aku kemari untuk lihat-lihat. Kebetulan kata Freya tempat ini di luar paket tur selamat datang-"

"Kalau mau bohong, bohong yang pintar."

"Kata siapa aku bo-"

Sebuah belati berganggang merah menancap di antara kedua kaki Pavel, membuatnya mencicit. Serena memandanginya dengan tatapan membunuh, satu belati lagi di genggaman.

"Sekali lagi aku tahu kau ikut campur urusanku, apapun itu, tanpa seizinku, yang selanjutnya kena belati adalah keningmu. Paham?"

Itu hanya gertakan kosong. Serena tidak akan pernah benar-benar melakukannya. Tetapi, melihat air muka Pavel, rasanya sepadan.

Serena melangkah melewati Pavel, yang berjengit sedikit ketika belati di genggaman Serena nyaris menggoresnya. Ia berhenti sebentar untuk menoleh ke belakang, menatap Pavel yang kini sedang berjuang untuk berdiri.

Saat Pavel mendongak untuk membalas tatapannya, Serena telah lenyap.


* * * * *


Lapangan Kremasi Kota Baru.

Begitulah nama resminya, walaupun sebagian besar penghuni Suaka hanya menyebutnya sebagai lapangan rumput. Ia terletak di ujung barat Kota Baru, bersebelahan dengan area peternakan, tempat dimana tanah bertemu dengan tebing tinggi yang melingkar hingga Danau Ara. Perbatasan teraman Suaka, biasa dijadikan tempat bermain sepak bola bagi anak-anak Kota Baru, sekaligus tempat dilangsungkannya upacara penghormatan terakhir bagi mereka yang telah berpulang.

Serena sekarang sedang bersandar pada pagar tinggi yang memisahkan peternakan dengan lapangan, kedua tangan terlipat di depan dada. Cukup jauh untuk tidak diperhatikan, namun tetap cukup dekat untuk bisa memperhatikan.

Lapangan kini penuh sesak. Ia dapat melihat kerumunan warga Suaka yang mengelilingi sarkofagus batu di tengah-tengah lapangan. Ruang kosong di perut sarkofagus tersebut telah diisi dengan tumpukan kayu bakar dan deretan bonggol kayu, dan di atas segalanya dibaringkanlah jasad Anjali. Tubuh kakunya diselimuti kafan putih dan kedua matanya ditutupi sebuah kain hitam. Matahari mulai terbenam ke balik tebing, bias cahayanya menciptakan suasana yang nyari magis.

Anjali lahir dan tumbuh besar di Suaka. Ini adalah satu-satunya rumah yang pernah ia miliki. Ia dikenal dan disenangi nyaris semua orang, menjelaskan keramaian yang ikut berduka dan mengantarkannya menuju peristirahatan terakhirnya.

Serena bertanya-tanya akan seperti apa kematiannya kelak. Akankah ada yang menangisinya, setulusnya terluka akan ketiadaannya?

Di antara kerumunan manusia, Serena menemukan Axel berdiri di sisi seorang pria tua yang Serena kenali sebagai ayah Anjali. Seperti Axel, laki-laki ringkih itu memakai setelan serba hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Dengan pedih, Serena teringat bahwa Anjali adalah seorang piatu. Kematian Anjali telah menjadikan ayahnya sebatang kara.

Serena memaksakan pandangannya beralih dan mencari sosok lain. Rambut biru Ava selalu menjadikannya mencolok di tengah keramaian, tapi Serena tidak melihat kehadirannya. Dimana dia? Apa Gurna masih belum siuman?

Alih-alih menemukan orang yang ia cari, Serena malah mendapati Pavel di lingkaran terluar kerumunan, rambut cokelatnya mengilap terkena cahaya pudar matahari. Ia berdiri bersebelahan dengan Freya dan sedang terlibat dalam percakapan yang begitu intens. Kepala keduanya condong ke arah satu sama lain.

Ingatan Serena kembali kepada siang tadi di Danau Ara. Belum genap dua hari Pavel mengenalnya, namun pemuda itu telah melihat Serena pada momen-momen paling pribadi.

Dasar kurang ajar.

Bersamaan dengan lenyapnya matahari, lampu-lampu jalan yang tersebar di seluruh kota pun mulai menyala, menonjolkan keindahan malam Suaka. Tidak ada penerangan elektrik di Lapangan Kremasi, maka karena itulah beberapa orang Pembakar mulai berjalan mengelilingi lapangan dan mengobarkan pucuk obor-obor kayu. Gradasi oranye menimpa wajah para pelayat berpakaian hitam, bayang-bayang tubuh mereka meliuk di tanah mengikuti gerakan nyala api, mengingatkan Serena pada lukisan-lukisan suram yang dulu gemar dikoleksi Dadda. Ia tidak suka melihat lukisan itu seakan tengah mewujud nyata.

Dari sudut matanya, Serena melihat tiga sosok menyeruak dari kerumunan dan bergerak untuk memposisikan diri di kedua sisi sarkofagus. Ia mengenali Noah, tampak berwibawa dalam pakaian berkabungnya. Di sisinya adalah Jenderal Tinggi Pembangunan dan Sumber Daya Suaka, Elvina, seorang wanita dengan raut wajah keras dan rambut yang telah sepenuhnya berubah abu. Tubuh gempalnya dibalut tunik dan legging hitam, yang entah bagaimana masih bisa membuatnya terlihat berbahaya. Elvina mengingatkan Serena pada seekor kuda nil yang pernah ia temui saat menjalani misi pertamanya. Bulat, ekspresif, dan mematikan.

Di antara ketiganya, kehadiran Tuwanggana Arvi tetap paling mencuri perhatian. Ia baru menginjak kepala tiga beberapa bulan lalu, amatlah muda, tetapi berhasil memenangkan hati para warga Suaka dalam pemilihan umum Tuwanggana dan Dewan dua tahun lalu. Malam ini ia tampil anggun dengan gaun hitam panjang dan rambut dalam sanggulan rapi. Dari tempatnya berdiri sekarang, Serena bisa melihat jalinan brokat sederhana yang menghiasi gaun tersebut, menjadikannya tampak seperti lukisan aliran sungai di tengah-tengah tanah mati.

Arvi mengangkat sebelah tangannya dan surutlah dengung suara manusia di lapangan.

"Malam ini, kita semua berkumpul di lapangan ini untuk berkabung atas kepergian ananda Anjali Pase, salah satu kader terbaik yang pernah Suaka miliki." Terlatih berbicara di depan orang banyak tanpa bantuan pengeras suara, suara Arvi terdengar hingga ke pendengaran Serena. "Malam ini, untuk menghargai jasa dan baktinya pada Suaka, kita berkumpul untuk bersama memberikan penghormatan sebelum ia menuju peristirahatan terakhirnya."

Arvi memberi isyarat pada Noah, selaku Jenderal Tinggi Pertahanan Suaka sekaligus komandan para kader, untuk bicara.

"Anjali adalah seorang kader teladan," suara serak Noah seakan menusuk pendengaran Serena. "Begitu muda, tetapi pengabdiannya begitu sepenuh hati. Ketidakhadirannya akan meninggalkan lubang yang tidak bisa ditambal, dan hanya dengan terus berjuanglah kita dapat tetap menghidupkan kenangan akan kehadirannya."

Kedua tangan Arvi mulai berterbangan di udara, dan bersamanya muncullah gambar-gambar bergerak yang menampilkan sosok Anjali semasa bernapas. Anjali kala masih menjadi seorang murid pelatihan, sedang berada di tengah-tengah duel mingguan dengan seorang Kulit Batu yang tidak Serena ingat namanya. Anjali saat upacara pelantikan kader, segera setelah ia dinyatakan lulus dari Perguruan. Anjali ketika pesta tahun baru, tertawa dengan sebelah tangan merangkul ayahnya. Anjali dengan senapan di genggaman, postur fokus membidik entah apa. Anjali yang hidup, nadinya berdetak, senyumnya tercetak.

Serena melihat banyak orang mulai terisak. Ia melihat wajah tersiksa Axel, ekspresi kosong ayah Anjali.

Inilah mengapa Serena membenci pemakaman di Suaka. Sesi ketika kehidupan sang jenazah diputar kembali di hadapan para pelayat oleh seorang ilusionis selalu membuatnya getir. Kelak, di hari pemakamannya, ia tidak mau ada basa-basi seperti ini.

Saat kilas balik selesai, dan Arvi telah kembali memposisikan kedua tangan menyatu di depan badan, Noah pun bergerak mendekati jenazah. Api membara dari kepal tangannya, menyambar isi sarkofagus batu. Segera saja kobarnya menyulut kafan dan kayu-kayu bakar, melalap seluruh bagian dalam hitungan detik.

"Sugeng tindak, Anjali Pase," salam Arvi.

Kerumunan sahut-menyahut menimpali kata-kata Arvi dengan ucapan selamat tinggal dalam berbagai bahasa.

Serena memandangi gumpalan asap yang membumbung dari kobaran api. Ia mendengar Jenderal Elvina mulai mengumumkan sesuatu mengenai perubahan regulasi dan entah apa, namun Serena tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari jasad yang perlahan kehilangan wujud.

Dalam bahasa yang pertama kali diajarkan kepadanya, Serena berbisik.

"May you rest in peace, Anjali Pase."

Tanpa sepatah kata lagi, ia membalik badan dan mulai melangkah menembus malam.


&&&&&


a/n

heiii semuaa maaf sekali aku selama sebulan lebih tidak ada update >.<

aku baru mulai kuliah lagi dan lumayan keteteran, jadi semoga saja aku bisa secepatnya konsisten  update rutin lagii.


oh, dan jangan lupa meninggalkan jejak! <3


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top