4- Selamat Datang di Suaka
"DAN YANG di sebelah kirimu itu adalah deretan ruko yang menjual makanan," jelas Freya, pemandu tur keliling Pavel pagi ini. Rambut pendek perempuan itu tertiup hembusan angin sehingga ujung-ujungnya yang sedikit menyentuh bahu berterbangan menutupi wajah.
Sejak pertama kali Pavel mendengar kabar burung mengenai Suaka, ia sudah berkali-kali membayangkan seperti apa rupanya. Bayangan akan lorong-lorong gelap bawah tanah pernah beberapa kali menghampiri. Atau gua-gua di puncak gunung yang tak terjamah manusia. Atau kumpulan gubuk di tengah gurun gersang antah berantah. Ia sama sekali tidak siap menerima fakta bahwa Suaka tampak seakan berada di dunia yang berbeda. Dunia yang bangkit dari dongeng-dongeng tua.
Saat mereka tiba di Suaka semalam, beberapa orang telah menunggu dan langsung mengerumuni kendaraan yang mereka naiki. Pavel yang menggotong Gurna serta-merta ditarik oleh si gadis pendek bernama Ava ke tempat yang mereka sebut sebagai barak kesehatan. Setelah ia membaringkan Gurna di ranjang rawat, ia kembali ditarik oleh seseorang lain dan diantar ke gedung asrama Suaka.
Gedung asrama itu tampak seperti tipikal mansion orang kaya di Bukit Tangkuban, hanya saja ukurannya barangkali dua kali lebih besar. Dinding luarnya dicat warna merah bata dengan pilar-pilar tinggi menopang fondasi. Dan, ternyata oh ternyata, penampakan luarnya masih kalah saing dibandingkan dengan apa yang Pavel temui begitu melewati pintu masuk.
Lobi utamanya tampak begitu mentereng sehingga Pavel merasa seakan ia telah tersedot masuk ke dalam salah satu buku cerita yang sering dibacakan Ibu kala ia masih anak-anak. Dua tangga besar menyambut mereka, ujung-ujungnya menyatu di lantai atas dengan lengkungan yang elegan, persis sekali seperti ilustrasi di dalam buku dongeng. Pavel pasti terlihat sangat takjub dan sangat bodoh sampai-sampai laki-laki yang mengantarnya tertawa terbahak-bahak.
"Tahu tidak, mukaku persis sama sepertimu waktu pertama kali dibawa kemari,"
Pavel terlalu malu untuk menanggapi sehingga dia hanya menggaruk-garuk kepala.
Laki-laki yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Hadi itu pun menjelaskan bahwa kedua lorong yang ada di bawah tangga masing-masing menuju ruangan bersama yang berbeda.
"Lorong kanan mengarah ke dapur dan aula makan, juga ruang seni, kalau-kalau kau mungkin punya jiwa seniman. Di lorong kiri ada perpustakaan asrama, ruang duduk, dan ruang rapat pengurus asrama. Perpustakaannya tidak sebesar Perpustakaan Sentral, tapi sudah lumayan lengkap."
Ide mengenai perpustakaan besar dengan tumpukan buku-buku menyenangkan Pavel dengan teramat sangat sehingga ia nyaris tidak menyadari ketika mereka telah tiba di depan pintu salah satu kamar di lantai dua.
"Mulai sekarang, ini kamarmu. Kuharap tadi kau memerhatikan jalan karena gampang sekali tersesat di dalam asrama. Jangan sampai kau salah masuk kamar. Sering ada pemandangan yang bisa bikin trauma," kata Hadi sebelum akhirnya ia meninggalkan Pavel sendirian.
Kamar itu terhitung luas untuk kamar yang diperuntukkan untuk satu orang. Barangkali seukuran dengan sel Bungker yang ia bagi bersama tiga orang lainnya, dan jelas lebih besar daripada kamar miliknya di rumah. Perabotannya sederhana tapi lengkap. Sebuah ranjang kayu berukuran sedang, meja belajar, rak-rak kosong, dan lemari kayu; berisikan tumpukan pakaian yang entah bagaimana pas sekali dengan ukuran tubuh Pavel. Ada pula sebuah pintu lain di sebelah lemari dan saat Pavel membukanya, ia mendapati kamar mandi pribadi yang lengkap dan bersih.
Tumbuh besar sebagai anak seorang petani miskin, bermimpi untuk memiliki kemewahan seperti ini pun ia tidak pernah.
Setelah bersih-bersih diri dan berganti pakaian, Pavel berbaring di kasurnya dan memandangi langit-langit kamar. Ia memikirkan Ayah dan Ibu, pasar yang penuh sesak, serta gubuk persembunyiannya yang terpencil di perkebunan terbengkalai; tempat ia melarikan diri bila sedang malas bekerja di kebun kopi ayahnya. Kehidupan yang dulu Pavel benci, dan sekarang mati-matian ia inginkan kembali. Ia juga memikirkan waktu penahanannya di Bungker. Bulan-bulan tersiksa di balik jeruji sel, menanti-nanti jatah seminggu sekali untuk keluar ke lapangan walau nyaris selalu ada yang berujung mati. Masa itu kini terasa seperti mimpi buruk yang tak nyata. Seakan-akan yang terjadi hari itu hanyalah imajinasinya belaka.
Lalu, entah mengapa, ia memikirkan mata biru cerah; mata yang mustahil dimiliki warga berdarah lokal. Mata itu mengingatkan Pavel akan biru langit di saat matahari baru sepenuhnya terbit.
Bahkan dalam keremangan sel Bungker, warna itu bersinar dan tak mungkin salah dikenali.
Mata itu juga yang membuat Pavel dengan impulsif membuntuti dan bersumpah demi nyawanya bahwa ia percaya Suaka itu ada.
Untung saja Suaka memang sungguhan ada. Kebetulan ia hanya punya satu nyawa.
Saat Pavel menoleh kepada gadis di sisinya, hendak bicara, yang menyambutnya malah iris berwarna cokelat gelap.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" Freya tersenyum ke arahnya.
Kesadaran Pavel kembali. Dia menggeleng. "Tidak, tidak ada."
Mereka kini berada di tempat yang Freya sebut sebagai kawasan huni warga, atau yang umumnya dipanggil Kota Baru.
"Tidak semua orang yang datang ke Suaka ingin mengabdikan diri untuk bertarung atau terlibat dalam kegiatan politik. Mereka kemudian membangun Kota Baru. Di sini, kau bisa menemukan nyaris segalanya, dan bisa hidup senormal orang-orang di luar Suaka," Freya menjelaskan. "Kita semua memiliki kebebasan untuk memilih posisi. Entah itu memegang senjata ataupun berdagang nasi campur."
Pavel suka ide itu. Mungkin di sini dia bisa menjadi pedagang nasi campur yang sukses.
Suaka jelas lebih luas daripada yang ada dibayangan Pavel. Tempat ini nyaris seperti miniatur sebuah negara. Ia bersyukur ada tur keliling pribadi ini. Karena kalau disuruh berkeliling sendiri, besar sekali kemungkinan Pavel malah mati tersasar.
Tur diawali pagi tadi. Hadi datang ke kamar Pavel bersama Freya, dan gadis itu mengambil alih tugas Hadi dikarenakan pemuda itu diperlukan dalam keadaan darurat yang tidak Pavel ketahui apa. Asrama merupakan bangunan terdekat dari batas hutan, termasuk ke dalam area kompleks pelatihan. Mereka berjalan mengitari lapangan pelatihan, baik yang di dalam ruangan maupun yang luar ruangan, barak kesehatan, serta gedung sekolah.
"Setiap mutan baru di Suaka wajib mengikuti pembelajaran di Perguruan, begitu pula anak-anak yang lahir di Kota Baru. Kau juga nanti akan. Di sana kita belajar pelajaran dasar selayaknya di sekolah biasa, dengan tambahan pelajaran bertarung; bela diri dasar, penguasaan senjata, pemahaman tentang kekuatan para mutan beserta cara menghadapinya," terang Freya selagi mereka melewati kumpulan murid pelatihan berseragam hitam. Salah seorang dari mereka melambai ke arah Freya, yang dibalas dengan senyum manis. "Jangka waktu pembelajaran bervariasi, tergantung umur kita saat mulai. Berapa umurmu?"
"18," saat mengucapkannya, Pavel baru tersadar sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir ia mengenyam pendidikan formal. Ia putus sekolah, dan tidak yakin apakah keharusan untuk belajar kembali membuatnya senang.
"Kalau kau cepat belajar, setidaknya dalam dua tahun juga kau sudah bisa diluluskan," simpul Freya.
Baiklah kalau begitu. Aku sudah pasti tidak akan lulus dalam dua tahun, pikir Pavel
Mereka melanjutkan perjalanan ke kompleks Dewan. Kata Freya, kompleks ini merupakan tempat tinggal para petinggi Suaka beserta keluarga mereka, juga sekaligus pusat 'pemerintahan' di Suaka. Titik sentral kompleks ini adalah sebuah gedung tiga tingkat dengan kerumunan ramai orang berlalu-lalang.
"Rumah Utama," beritahu Freya.
Gedung itu bahkan tampak lebih mentereng dibandingkan gedung asrama, kalau itu bahkan mungkin.
Freya kembali memberikan informasi yang Pavel tidak yakin ia butuhkan, tapi sepertinya penting. "Kekuasaan tertinggi di Suaka dipegang oleh Dewan dan Tuwanggana. Sistemnya mirip-mirip dengan sistem pemerintahan negara kita yang demokrasi. Dewan merupakan kumpulan para Jenderal Tinggi, seperti sistem kementerian. Sedangkan Tuwanggana setara dengan jabatan presiden. Pemilihan umum bagi pemegang posisi dilaksanakan setiap lima tahun sekali, dan siapapun berhak menjadi kandidat selama ia memiliki rekam prestasi yang baik di bidang masing-masing."
Pavel sama sekali tidak paham politik, tetapi ia spontan bertanya. "Lalu apa bedanya pemerintahan Suaka dengan pemerintahan negara kita? Siapapun bisa berbuat curang."
"Untuk jabatan sepenting itu, kecurangan yang ketahuan, sekecil apapun, tanpa alasan yang bisa dibenarkan, hukuman mati konsekuensinya. Aku yakin itu tidak ada pada hukum negara kita," jawab Freya. Lagi-lagi seseorang menyapa gadis itu. Kali ini seorang pria dewasa berpakaian formal. "Lagipula, sebagai golongan yang terbuang, tidak ada untungnya berkhianat."
Pernyataan itu tidak cukup meyakinkan Pavel, tapi ia mengangguk saja.
Saat ia dan Freya akan meninggalkan kompleks Dewan menuju Kota Baru, kerumunan manusia di depan Rumah Utama tersibak secara mendadak, seakan ada kecoak terbang yang tiba-tiba unjuk diri. Kemudian, munculah gadis yang menghantui mimpi Pavel semalaman.
Gadis itu mengenakan pakaian serba hitam pas badan kali ini, membentuk tubuh tinggi kurusnya dengan sempurna. Rambut hitam yang diselingi warna pink cerah itu diikat tinggi, berayun-ayun seiring langkahnya yang cepat. Dan, mengesampingkan segala keindahan yang baru saja dijabarkan di atas, gadis itu tampak marah.
Bukan, bukan marah. Ia tampak murka.
Freya serta-merta menarik Pavel menjauh dari lintasan si gadis galak. Ia bahkan sepertinya tidak menyadari keberadaan Pavel dan melewatinya begitu saja.
"Jaga jarak. Bisa kacau kalau kau dekat-dekat Serena saat emosinya sedang tidak bagus," tangan Freya masih erat di lengan Pavel, matanya mengikuti kepergian sang topan berjalan.
Se. Serena. Rena.
"Jadi namanya Serena?"
Freya menoleh mendengar pertanyaan itu. "Loh, kukira kau sudah tahu?" ia melepaskan cengkramannya. "Tidak heran sih. Serena bukan tipe yang senang basa-basi."
Serena melangkah menjauhi kompleks Dewan, tetapi bukan menuju kompleks pelatihan, dan bukan pula menuju arah yang akan dituju Pavel dan Freya. Gadis itu berjalan menuju daerah Suaka yang belum dilewati Pavel lalu menghilang ke balik rindang pepohonan.
"Itu kemana?" tanya Pavel lagi. Seharian ini dia tampaknya sudah ratusan kali menggunakan tanda tanya di akhir kalimat.
Freya menjawab pertanyaan Pavel sambil kembali bergerak. Pavel menyusul di belakangnya. "Jalan itu menuju Danau Ara. Sebaiknya kau jangan ke sana dulu selama Serena masih di sana."
"Kenapa?"
Yap. Tanda tanya lagi, kawan-kawan.
"Serena sering agak kurang, eh, toleran, saat sedang marah."
Pavel menoleh ke balik bahunya lagi, memetakan jalan menuju danau dalam benaknya. "Dia memang seperti itu? Sering marah-marah, maksudku."
Pavel bisa mendengar Freya menghela napas. "Tidak sesering itu, sebenarnya. Baru akhir-akhir ini saja. Semenjak Theo hilang, Serena jadi seperti orang kalap."
Nama itu lagi. Sejak pertama bertemu dengan para juru kebebasannya di Bungker, entah sudah berapa kali Pavel mendengar nama itu disebutkan. Ia ingin menanyakan mengenai siapa itu Theo kepada Freya, tapi ia memilih untuk membungkam mulut.
Kini, setelah selesai mengelilingi Kota Baru, mereka mengarah kembali ke kompleks pelatihan. Freya mengantar Pavel ke sebuah bangunan kecil di dekat barak kesehatan. Bangunan itu tampak membaur dengan sekelilingnya dengan sangat baik sampai-sampai Pavel tidak menyadari keberadaannya sebelumnya.
Freya membuka pintu depan dan Pavel membuntuti di belakangnya. Ruangan yang menyambut mereka minim pencahayaan. Satu-satunya sumber penerangan berasal dari dua jendela kecil yang buram di sisi pintu masuk. Bahkan dalam keadaan yang temaram itu, Pavel bisa melihat bahwa bagian dalam bangunan kecil ini kosong melompong.
"Ini tempat apa?"
Alih-alih langsung menjawab seperti sebelum-sebelumnya, Freya malah berjongkok di depan bagian lantai yang bergambar lingkaran. Ada hiasan berupa patung jerapah di kedua sisi lingkaran, keduanya saling berhadapan. Freya menarik patung-patung itu ke atas dengan satu tarikan kuat.
"Eh, nanti copot-"
Patungnya tidak copot. Yang copot lantainya.
Pavel nyaris melompat begitu melihat keberadaan tangga menurun di lubang tempat lantai tadi berada. Wujudnya melingkar, dan menghilang ke dalam kegelapan setelah anak tangga ketiga. Gambaran mengenai ruang bawah tanah penuh mayat menyeruak dalam pikiran Pavel.
Biasanya sih, di dalam buku fiksi misteri yang senang ia baca waktu kecil, habis ini si korban akan didorong masuk ke bawah oleh sang psikopat bertampang polos dan tidak akan didengar lagi keberadaannya.
Pavel melirik dengan takut-takut ke arah Freya, yang kini terbahak melihat reaksinya.
"Mukamu, astaga mukamu," gadis itu seperti akan kehabisan napas karena tawa. Pavel merasa seakan harga dirinya yang memang tinggal sedikit semakin terkuras habis. "Kamu seperti baru melihat mayat, tahu tidak?"
Barangkali sebentar lagi aku yang bakal jadi mayat sungguhan.
Masih dengan sisa tawa, Freya mulai melangkah menuruni tangga. Begitu kakinya menyentuh anak tangga pertama, secara perlahan muncullah titik-titik cahaya redup di dinding gelap, menerangi perjalanan ke bawah. "Ayo, cepat. Biar segera selesai."
Semoga yang cepat selesai itu bukan jatah hidupku.
Pavel mengikuti di belakang gadis itu, masih agak was-was. Semakin jauh mereka bergerak turun, semakin terang pula pencahayaan yang menemani mereka.
"Kau diminta bertemu dengan Firman, kepala medis dan penelitian Suaka. Dan beliau memang agak eksentrik, kalau kau bingung kenapa lab penelitiannya harus di bawah tanah," jelas Freya. Dinding tangga menggaungkan kembali kata-katanya.
Tangga itu berakhir di sebuah ruangan putih berlantai marmer. Di ujung ruangan, tampaklah sepasang pintu ganda yang tertutup rapat. Pemandangan itu mengingatkan Pavel dengan serta merta pada Bungker Catur. Kenangan itu membuat tubuh Pavel merinding secara sangat tidak nyaman. Untungnya, ketika Freya mendorong pintu itu hingga terbuka, ia tidak mendapati keberadaan jeruji-jeruji besi.
Ruangan baru ini cukup luas. Pavel dapat melihat banyak sekali meja besi yang memenuhi ruangan, masing-masingnya dipenuhi peralatan yang tidak Pavel pahami apa. Kelihatannya sih, ada cukup banyak cairan warna-warni, gunting besi, wadah kaca, perempuan yang muncul dari ketiadaan-
Pavel mengerjap. Kemudian, dengan sangat tidak gagah, ia menjerit.
Kalau tidak ditahan Freya, barangkali tubuh Pavel kini sudah berakhir di lantai.
"Jangan menakut-nakutinya, Ai," ucap sebuah suara serak dari balik salah satu meja.
Ketika Pavel menoleh, ia mendapati kehadiran seorang pria dewasa berjas putih yang sedang menghadap tumpukan kertas. Kacamata yang dikenakannya nyaris terjatuh dari, ehem, hidung-kurang-tingginya.
Perempuan yang dipanggil Ai itu mendengus geli. "Kukira pita suara laki-laki tidak bisa membuat bunyi begitu," Ia menghilang dari hadapan Pavel dan muncul kembali di samping si bapak berkacamata. "Senang mempelajari hal baru setiap harinya."
Pavel nyaris saja melontarkan balasan bodoh jika saja Freya tidak lebih dulu bersuara. "Pavel, beliau adalah Dokter Firman," Freya melambaikan sebelah tangan kepada pria berjas itu. "Kalau yang di sebelahnya itu asisten pribadinya, Aira."
"Panggil saja Ai. Simpel, anti ribet," perempuan itu tersenyum, tapi Pavel bisa melihat ejekan yang tertuju padanya sejelas ia melihat noda hitam di kertas putih.
Pavel masih bisa merasakan debar jantungnya menggedor tulang rusuk. "Dia tadi, eh, tadi dia tiba-tiba muncul-"
Alis Ai terangkat. "Kau belum pernah bertemu teleporter?"
Oh.
"Teleporter. Ya. Tentu saja."
Terdengar suara kursi digeser dan pria yang diperkenalkan sebagai Dokter Firman itupun bangkit dari duduknya. Kacamatanya lagi-lagi merosot. "Terima kasih sudah mengantarnya, Freya. Sekarang kau boleh pergi."
Tanpa banyak basa-basi, Freya undur diri. Ia melemparkan satu senyum terakhir pada Pavel sebelum menghilang ke balik pintu.
Perhatian Dokter Firman kembali kepada Pavel. "Kudengar, kamu ini satu-satunya yang selamat dari kejadian kemarin?" ia bergerak mendekat.
"Eh," Pavel mendadak gugup. "Maksud dokter?"
"Aku lebih senang dipanggil tanpa embel-embe dokter, omong-omong," pria itu berhenti dua langkah dari Pavel. Terlalu dekat. "Yang kumaksud adalah kerusuhan kemarin di Bungker Catur. Kamu belum tahu kalau hanya kamu yang sekarang masih hidup?"
Tatapannya menganalisa Pavel dengan ketajaman yang merisaukan. Bahkan untuk menelan ludah pun Pavel merasa kesusahan.
"Jadi maksudnya, yang lain sudah-"
"Mati, hilang nyawa, jadi mayat," sambung Ai.
Sungguh detail.
"Maafkan keterus terangan Aira. Dia memang kurang suka berlama-lama," Firman melirik Ai dengan tatapan memperingatkan. "Aku yakin keselamatanmu ada kaitannya dengan kemampuan yang kau emban."
Sebelum Pavel sempat kembali menanyakan apa maksudnya, Firman bergerak dengan kecepatan yang tidak mampu diikuti mata Pavel. Tiba-tiba saja, Pavel sudah merasakan perih luar biasa pada lengan kanannya. Firman mengambil langkah panjang ke belakang dan Pavel baru bisa melihat sebuah silet tajam yang kini telah berlumur darah. Darahnya.
"Apa-apaan?!"
Namun pandangan Firman terfokus pada luka sayat lebar pada lengan Pavel. Seperti yang selalu terjadi, rasa sakit pada lukanya menjadi-jadi dalam sesaat lalu menghilang sepenuhnya sesaat kemudian. Luka itu pun menyembuh dengan sendirinya, menghilang tanpa bekas dalam hitungan menit. Pavel bisa melihat senyum lebar kini tercetak pada wajah dokter sinting di hadapannya.
"Benar. Memang hanya itu penjelasan masuk akalnya." Firman mengoceh sendiri. Pria itu bergerak kembali ke mejanya dan mulai menuliskan entah apa ke buku catatannya.
Ia sepertinya tidak menyadari darah Pavel menciprati lengan jas putihnya. Barangkali ia benar-benar melupakan keberadaan Pavel sepenuhnya.
Pavel memindahkan perhatiannya kepada Ai yang kini sedang memperhatikan tempat di mana luka Pavel sebelumnya berada. Ekspresi perempuan itu takjub bercampur ngeri. "Apa atasanmu memang biasa asal sabet orang?"
* * * * *
Pavel berjalan menyusuri jalan setapak. Selagi berusaha fokus agar tidak salah melangkah, benak Pavel melayang kembali ke laboratorium bawah tanah Dokter Firman.
Sesudah mengabaikan Pavel selama setengah jam penuh karena sibuk menulis, kesadaran pria itu kembali ketika Pavel sudah menemukan posisi nyaman di lantai dan nyaris ketiduran. Ia mengguncang-guncang pundak Pavel dan mulai menyerocos.
"Kau ini keajaiban, tahu tidak? Yang sepertimu ini satu dari seribu!"
"Iya, makasih. Aku memang lain dari yang lain. Stok terbatas," dari sudut matanya, Pavel bisa melihat Ai membuat ekspresi seakan mau muntah.
"Sepanjang sejarah kita, Penyembuh dan Peredam adalah dua mutan yang paling langka. Setidaknya begitulah menurut arsip data di Suaka. Mengenai apa penyebabnya, belum ada informasi pasti," tatapan Firman dipenuhi dengan kilau semangat. Atau barangkali ia memang sudah gila. "Tetapi, dalam pendefinisiannya, Penyembuh terbagi lagi menjadi dua. Penyembuh Luar dan Penyembuh Dalam. Keduanya sama-sama memiliki kemampuan untuk memanipulasi sistem tubuh manusia serta mempercepat regenerasi. Yang menjadi pembedanya adalah pada siapa dan bagaimana kemampuan mereka bekerja."
Firman bangkit dari hadapan Pavel dan memberi isyarat kepada Ai untuk melanjutkan, sementara dia sendiri berjalan menuju salah satu kursi terdekat dan menghempaskan tubuhnya.
"Kemampuan Penyembuh Luar bekerja bagi siapapun kecuali diri mereka sendiri. Sedangkan Penyembuh Dalam hanya bisa menggunakan kemampuan mereka pada diri mereka masing-masing, tidak untuk orang lain. Tidak ada Penyembuh yang bisa melakukan keduanya sekaligus," terang Ai. Penjelasan itu membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk bisa dicerna benak Pavel.
Lalu ia menyadari ada yang salah.
"Apa? Tapi-"
Ai tidak membiarkan Pavel menyela. "Di antara keduanya, Penyembuh Dalam lebih jarang ditemui. Mereka sama langkanya dengan mutan ganda. Kau sama langkanya dengan mutan ganda."
Pertanyaan yang tadi sudah akan Pavel utarakan seketika tergantikan tanda tanya baru. "Mutan ganda? Apalagi itu?"
"Kau sudah pernah bertemu Serena, kan? Yang rambutnya pink?" Ai balik bertanya.
Pavel mengangguk. "Lebih dominan hitamnya, sih."
"Padahal sudah kubilang padanya dan Ava kalau cat rambut itu hanya akan merusak kesehatan rambut. Mereka tidak pernah mendengarkanku," sahut Firman dari kursinya.
"Serena adalah seorang mutan ganda," Ai tidak menanggapi keluhan atasannya. "Dia seorang nymph sekaligus ilusionis. Karena itulah kemampuan bertarungnya di atas rata-rata."
"Tetapi mutan ganda tidak bisa dengan sempurna menguasai kedua elemen kekuatannya. Akan ada satu kemampuan yang lebih mendominasi sedangkan yang satu lagi cacat. Dalam kasus Serena, nymph nya lebih kuat, melampaui kekuatan nymph pada umumnya. Sebagai gantinya, kemampuan ilusi Serena hanya sebatas membuat seseorang atau sesuatu tak kasat mata. Dia tidak mampu membuat gambaran yang sepenuhnya baru selayaknya ilusionis biasa."
"Gambaran yang sepenuhnya baru? Seperti apa?"
Ai menoleh ke arah Firman. Dokter itu menangkap tatapan Ai dan mulai menggerakkan jemarinya.
Awalnya tidak terjadi apapun. Kemudian, dari udara kosong, muncullah sesuatu yang tampak seperti gumpalan benang berwarna biru. Gumpalan itu pun mulai terurai dan terajut kembali menjadi bentuk kerangka tubuh manusia.
"Ini adalah gambaran paling sederhana dari apa yang bisa dilakukan seorang ilusionis," giliran Firman yang bicara. Ia menggerakkan telunjuknya, dan kerangka biru buatannya pun berputar mengikuti. "Tergantung dengan seberapa terlatih seorang ilusionis, ada beberapa dari kami yang bisa memanipulasi suara."
Firman menjetikkan jari dan kerangka itupun buyar.
"Jadi, karena Serena mutan ganda, dia tidak bisa melakukan yang tadi kau praktekkan?" tanya Pavel.
"Jelas tidak bisa," jawab Firman. "Tubuh dan pikiran manusia tidak akan sanggup menahan kekuatan yang sedemikian besar. Karena itulah hanya ada mutan ganda, hanya dua kemampuan. Melebihi itu, untuk sekedar terlahir pun tidak akan bisa."
Selanjutnya Firman mulai meracau tentang evolusi dan keajaiban alam dan hal-hal yang tidak lagi mampu dicerna otak Pavel. Atau mungkin bisa, hanya saja dia sedang tidak mau. Setelah entah berapa belas menit yang terasa seperti berabad, Firman membolehkannya pergi. Karena menurutnya Pavel adalah kasus istimewa, pria itu berjanji akan meminta kepada Dewan agar pembelajaran Pavel, di luar pelajaran bertarung, akan langsung dimentori olehnya.
Pavel tidak tahu kenapa Firman merasa harus berjanji. Kabar itu lebih mirip mimpi buruk bagi Pavel sendiri.
Sekarang, jalan setapak yang Pavel lalui malah menjadi semakin padat dengan pepohonan. Ia mulai takut telah salah mengambil jalan. Kebetulan, Freya tadi belum membawanya melewati jalan ini.
Pavel, berbekal ingatan yang tidak relevan, sedang menuju Danau Ara.
Dia tidak tahu apa motivasinya.
Aku belum pernah lihat danau. Tidak ada danau di Bukit Tangkuban. Tentu saja aku mau menambah pengetahuan, pikirnya.
Tapi sepertinya dia salah jalan.
Tepat ketika ia sudah berniat untuk putar balik, tanah padat yang ia injak beralih menjadi pasir. Beberapa langkah kemudian, pepohonan menyusut. Lalu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat danau.
Danau Ara persis seperti yang ia bayangkan. Genangan air maha luas berlatarkan pegunungan asri.
Hanya saja, Pavel tidak membayangkan langit yang mendung dan gelombang tinggi air yang bergejolak. Di tengah-tengah badai, berdirilah Serena, kedua tangan terentang mencipta kacau./
* * * * *
a/n
jangan lupa meninggalkan jejak <3
love,
re.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top