3- Yang Dikorbankan




BARAK KESEHATAN lengang. Hanya ada Serena, Ava, dan Gurna yang terkapar di salah satu ranjang. Sebenarnya ada satu lagi sosok yang terbaring beberapa ranjang dari Gurna, namun Serena tidak kuasa memandang ke sana. Tidak tanpa rasa bersalah yang mengoyak dada.

Sehari yang lalu, Serena dibangunkan Ava saat mereka telah sampai di titik temu. Serena pingsan karena kelelahan dan Ava harus mengerahkan sedikit kemampuannya untuk membangunkan Serena. Dengan badan masih ngilu-ngilu, mereka berjalan menembus hutan. Jip hitam yang mereka curi ditinggalkan di pinggir jalan raya. Gurna masih tidak sadarkan diri dan Pavel menggotongnya. Pemuda itu tidak tampak kelelahan barang sedikit. Mereka akhirnya tiba di pinggir sebuah sungai besar, arusnya deras menderu. Mustahil melewatinya tanpa terseret arus.

"Di sini?" Pavel angkat suara. "Titik temunya?"

Serena mengabaikan pertanyaan bodoh Pavel dan mengulurkan tangan ke arah sungai. Ia mulai mengayunkan jemari dan air mengikuti kehendaknya. Aliran air mulai melambat dan perlahan membelah, membentuk celah yang dapat mereka lalui.

Suara takjub Pavel memberikan sengatan rasa puas pada diri Serena, tapi itu tidak bertahan lama. Ia merasakan kendalinya goyah dan sungai kembali menerjang. Ia ternyata masih kelelahan dan membutuhkan tenaga lebih untuk membelah sebuah sungai. Sembari menghela napas, ia mengulurkan tangan kepada Ava.

"Boleh minta sedikit bantuan?"

Ava menyambut tangan Serena dengan senyum kecil. "Senang kau masih bisa minta tolong."

Aliran tenaga merambati pembuluh darah Serena begitu Ava menggenggamnya, menyalurkan penyembuhan. Ia bisa merasakan keletihannya berkurang beserta kembalinya fokus. Kali ini, sungai tidak menolak.

Serena melepaskan genggaman Ava dan memberi isyarat agar gadis itu berjalan lebih dulu. Pavel mengikuti dibelakangnya, baru Serena ikut melangkah. Deru sungai serta-merta kembali begitu kaki Serena menapak tanah kering di sebrang. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak bicara. Matahari mulai terbenam dan cahaya mulai menghilang, menyelubungi hutan dalam keremangan.

"Eh, apa kita masih jauh?" Pavel terdengar gugup. Serena hanya bisa melihat punggung pemuda itu, namun ia menyadari ketegangan yang tiba-tiba terbit pada postur tubuhnya.

"Sedikit lagi," jawab Ava.

Beberapa meter selanjutnya dihabiskan dalam hening.

"Kalau-kalau kalian belum sadar, aku belum tahu nama kalian," ujar Pavel lagi. "Aku Pavel, omong-omong. Walaupun si galak di belakang sudah tahu."

Serena menghela napas jengkel. Pemuda satu ini benar-benar tidak tahu caranya berdiam diri. Mulutnya berbunyi terus seperti anak ayam.

Tapi Ava memang selalu lebih ramah kepada orang asing dibanding Serena. "Namaku Ava. Ava Andrea. Yang kau gendong itu Gurna, dan yang kau sebut si galak itu-"

"Kita sudah sampai," potong Serena.

Mereka tiba di sebuah bukaan kecil di tengah hutan. Sebuah mobil pikap terparkir di sana, sama sekali tidak tertutup ilusi. Serena dapat melihat Axel dan seorang lagi berbicara di dekat mobil. Ia melesat mendahului Pavel dan Ava, langsung menghampiri Axel dengan langkah-langkah panjang.

"Oh, Tuhan, aku takut sekali kau kenapa-napa," Serena memegangi sisi wajah Axel, memeriksa kalau-kalau ada yang terluka. "Syukurlah, Tuhan, syukurlah."

Axel menepis tangan Serena dengan lembut. "Terakhir kali kau memperlakukanku seperti itu, aku kena demam. Aku trauma, tahu."

Namun, kelegaan pada air muka Pavel mengungkapkan yang sebaliknya. Saat Axel menengok ke balik badan Serena, ekspresi itu pupus.

"Kau luka-luka," Axel memelototi Ava. "Luka bakar. Bagaimana bisa?"

"Ini tidak fatal. Bisa diobati nanti di Suaka," kata Ava, berusaha sebaik mungkin tidak membuat Axel panik.

Tapi Axel malah bertambah panik saat menyadari keberadaan Pavel. Terlebih dengan Gurna yang tidak sadarkan diri.

"Siapa kau? Kau apakan Gurna?" tanyanya garang.

Pavel, si bodoh bawel itu, ikut-ikutan panik. "Eh, ah, aku-"

"Gurna baik-baik saja. Hanya  pingsan. Kalau dia, dia salah satu yang selamat dari Bungker dan dengan sukarela ingin bergabung dengan kita. Iya kan, Pavel?" Serena menatap Pavel. Pemuda itu anehnya malah makin salah tingkah.

"Eh, iya-"

Ava memotong ucapan Pavel. "Mana Anjali?"

Baru setelah itulah Serena menyadari bahwa lawan bicara Axel tadi bukanlah Anjali, melainkan salah seorang murid pelatihan Suaka yang tidak Serena ingat namanya. Mendengar pertanyaan Ava, mendung menyelubungi wajah Axel.

Sekarang, Serena juga ikut panik.

"Axel? Anjali dimana?" sebisa mungkin Serena menjaga kestabilan suaranya. Kedua tangannya mengepal di sisi badan.

Pemuda itu tidak menjawab. Alih-alih, ia bergerak menuju bagian belakang pikap. Tampak sesuatu yang tertutupi selimut putih berbercak merah. Firasat buruk Serena terbukti ketika Axel menyingkap selimut dan menampakkan wujud sesosok tubuh.

Anjali sekilas terlihat seperti sedang tertidur. Serena benar-benar berharap pemuda itu sungguhan tertidur. Tetapi pakaiannya berlubang dan bernoda, menunjukkan luka tembak di area-area fatal. Seluruhnya berdarah-darah.

Sisa hari itu berjalan dengan kabur dalam pandangan Serena. Ava mulai tersedu, Axel diam membisu, sedangkan Pavel semakin salah tingkah karena tidak tahu harus bereaksi apa. Ia bahkan belum sempat  bertemu Anjali saat masih bernyawa. Pada akhirnya mereka berkendara pulang ke Suaka, dikemudikan oleh si murid pelatihan, dan tiba saat malam telah larut.

Anjali mati karena misi yang Serena usung. Anjali mati demi membantunya menemukan Theo

Sepanjang perjalanan pulang, yang ada dalam pikiran Serena adalah pembalasan dendam. Yang menggelegak dalam pembuluh darahnya adalah amarah dan kebencian. Yang berkobar dalam benaknya adalah rencana dan rencana dan rencana. Pada siapapun yang telah merenggut nyawa Anjali, pada siapapun yang telah merenggut Theo darinya.

Suara alat monitor jantung yang diletakkan di sisi ranjang Gurna mengembalikan Serena ke masa kini. Ia pun mendapati dirinya memandang ke arah ranjang yang diisi jasad Anjali. Tubuh itu telah dibalut kain kafan dan ditutupi selimut putih. Mereka tiba terlalu larut semalam, sedangkan pemakaman di Suaka hanya diadakan pada malam hari. Maka karena itulah proses pemakaman baru akan diselenggarakan malam ini.

"Bukan salahmu."

Serena menoleh. Ava duduk di pinggir ranjang Gurna, tangannya menggenggam erat sebelah tangan pemuda itu. Rambutnya yang dicat biru tua tergerai berantakan. Gadis itu telah mengganti pakaiannya dengan celana jeans dan kaus polos sederhana, itupun setelah dipaksa Axel karena Ava tidak ingin meninggalkan sisi Gurna barang sejenak. Dia sekarang sedang memandang lurus ke arah Serena.

"Apa?"

Ava menghela napas berat. "Kau memerhatikan Anjali dari tadi dengan ekspresi begitu. Aku tahu kamu menyalahkan diri sendiri, dan kamu harus tahu ini sama sekali bukan salahmu."

Serena serta merta mengatur raut wajahnya agar tetap tenang dan datar, melarang gestur sekecil apapun mengungkapkan isi hatinya. Ia benci merasa terekspos. Bahkan sekalipun itu Ava.

"Kau mengarang. Aku tidak memikirkan apa-apa," kilahnya. "Apa masih lama sampai dia sadar?"

Ava sudah sangat mengenal Serena untuk tahu bahwa bila ia mengalihkan pembicaraan, tidak ada apapun yang dapat membuatnya membahas apa yang ingin Ava bahas. Dengan raut jengkel yang sangat ketara, Ava mengalihkan pandang pada Gurna, wajah pemuda itu lelap dalam tidur.

"Organ-organ vitalnya berfungsi dengan normal. Dia akan siuman tidak lama lagi, seharusnya," genggaman Ava pada tangan Gurna menguat.

Serena selalu takjub dengan cara hubungan Ava dan Gurna bekerja. Pertama kali Serena tiba di Suaka, 6 tahun yang lalu, Ava takut setengah mati pada Gurna. Pemuda itu memang sudah barbar sedari masih bocah. Lalu tiba-tiba saja, setelah ulang tahun Ava yang ke 17 beberapa bulan lalu, mereka menjalin hubungan. Ava menjadi lebih percaya diri, sedangkan Gurna menjadi lebih terkendali. Semenyebalkan apapun Gurna, Serena harus mengakui bahwa berada di dekat pemuda itu membuat Ava terlihat lebih bercahaya.

Dan sekarang, ketika Gurna terbaring tak sadarkan diri, cahaya itu seakan kehilangan separuh bahan bakarnya.

"Memangnya kau tidak bisa, apa ya, membangunkan dia seperti kau membangunkanku kemarin?" tanya Serena akhirnya, berusaha memecahkan keheningan yang tidak nyaman.

"Cara kerjanya beda," jawab Ava. "Kau kemarin pingsan murni karena tubuhmu kehabisan tenaga. Kalau Gurna, aku yang memaksanya pingsan. Jika sistem tubuh dihentikan sementara secara paksa, harus tubuh itu sendiri yang memulihkannya. Penyembuh tidak boleh ikut campur atau hasilnya bakal kacau."

"Tapi itu tidak masuk akal."

"Tidak ada satu pun hal di hidup kita yang masuk akal, Se."

"Oke, itu tidak salah," Serena menyandarkan diri pada dinding di sisi ranjang Gurna. "Untung aku bukan Penyembuh. Terlalu banyak aturan, terlalu sedikit senang-senang. Mana bisa aku mengingat semua aturan kalian."

Seulas senyum tipis terbit pada bibir Ava. "Kau itu sibuk latihan fisik terus. Makanya bodoh di pelajaran dasar."

"Kelas biasa bikin kepalaku pusing," Serena mengedikkan bahu.

"Dasar pemalas."

"Siapa yang pemalas?" sahut suara lain.

Mereka berdua sontak menoleh ke arah pintu masuk barak. Di ambang pintu, tampak Axel berdiri menyandar.

Serena mendecak. "Aku benci kalau kau muncul sok dramatis begitu."

"Kau pada dasarnya benci semua hal, Se," komentar Axel. Ia bergerak dari pintu dan berhenti di samping Serena. Pandangannya menancap pada tangan Ava yang mengait jemari Gurna. "Dia baik?"

"Sudah stabil," jawab Ava. "Bagaimana dengan Noah?"

Tadi pagi Axel dipanggil oleh Noah, pimpinan anggota kader Suaka, untuk melaporkan misi pencarian Theo yang berakhir kurang menyenangkan. Serena tidak pernah menyukai Noah, bahkan sebelum laki-laki itu menjabat sebagai Jenderal.

"Dia agak tidak senang dengan hasil misi kali ini," ujar Axel. Serena tahu pemuda itu berusaha keras agar nada suaranya tetap netral, tapi lirikan singkat yang Axel lemparkan pada jasad Anjali di sisi lain barak membuatnya sia-sia.

Dan itu membuat hati Serena tambah sakit.

"Noah memang tidak pernah senang," gerutu Serena. "Apa kalian pernah lihat dia tertawa, atau setidaknya senyum? Tidak pernah! Dasar psikopat."

"Dia jenderal kita, Se, kalau-kalau kau lupa," sudut mulut Axel berkedut. "Dan aku pernah sekali memergoki dia tersenyum pada kerumunan anak ayam saat ada panggilan ke Peternakan Sentral, tapi bukan itu intinya."

"Yah, setidaknya dia punya ketertarikan khusus pada anak ayam," komentar Ava.

Tawa kecil mereka menggaung di langit-langit barak.

"Aku punya kabar burukmu buatmu omong-omong." Axel memutar badan menghadap Serena. "Noah memanggilmu untuk gantian melapor."

Serena merasakan ketenangannya tersedot keluar. "Apa? Kapan?"

"Sekarang juga. Dia di kantornya," sebelah tangan Axel memegangi bahu Serena. "Dengar, kau harus tenang, oke? Jangan membuat masalah."

"Kapan juga aku jadi penyebab masalah? Aku kan si juru selamat," kilah Serena. Dia menepis tangan Axel. "Apa aku sudah pernah bilang aku benci diperlakukan seperti anak-anak?"

"Apa aku sudah pernah bilang pada dasarnya kau benci semuanya?" Axel menyengir. "Seingatku kau yang semalam memperlakukanku seperti anak-anak."

Serena mengabaikan celetukan Axel dan bergerak keluar dari barak. Ia bisa mendengar Axel berbicara pada Ava mengenai kejadian kemarin. Axel sudah menceritakan segalanya pada Serena saat mereka tiba di Suaka semalam, sedangkan Ava langsung menuju barak kesehatan bersama Pavel yang menggotong Gurna.

Ah, benar. Pavel. Seingat Serena pemuda itu sudah diantarkan ke salah satu kamar kosong di asrama sesudah Gurna diambil alih, dan seharusnya pagi ini dia akan diantar berkeliling Suaka oleh entah siapa. Serena masih ingat saat ia sendiri pertama tiba ke Suaka. Dirinya tidak bisa keluar dari kamar selama satu minggu penuh karena ketakutan.

Ia memimpikan letusan senjata api, teriakan Mama, pelarian di hutan. Setiap ia memejamkan mata, yang ia lihat adalah genangan darah dan kawanan serigala.

Theo lah yang akhirnya mampu membuat Serena berhenti berteriak memberontak kala menyentuhkan kaki di luar ruangan. Ava lah orang pertama yang merangkulnya dan memberikannya dukungan moral tanpa takut serangan panik Serena tiba-tiba kumat. Axel lah yang pertama mengajaknya mengelilingi tiap inci Suaka, dari Danau Ara, tempat pelatihan, pertokoan, hingga kawasan huni warga, sembari mengajaknya bergurau tanpa menyinggung perasaannya.

Mereka bertiga adalah zona aman Serena, dan ia telah kehilangan salah satunya.

Serena berjalan cepat melintasi lapangan pelatihan. Ia bisa melihat beberapa murid pelatihan tengah melatih kemampuan mereka. Ada telky yang sedang sibuk mengelupas sepotong kayu, lapisan-lapisannya berterbangan di udara. Ada seorang Pembakar muda yang sedang berlatih menembakkan api pada target bergerak. Dan ada juga seorang Nymph yang berkali-kali gagal menjaga panah esnya mengambang di udara. Dulu Serena hanya butuh waktu satu minggu untuk menguasai teknik mencipta senjata. Ia hanya perlu melihat bagaimana bentuk utuh sebuah senjata tertentu, tidak perlu repot-repot terlebih dahulu belajar menggunakan senjata tersebut sebagaimana Nymph pada umumnya. Setelah sebulan, belati esnya mampu menyabet lengan seorang Pembakar tanpa meleleh terkena panasnya api.

Mereka menyebut Serena sebagai Si Gadis Emas. Karena ia gesit dan cepat belajar. Karena ia mampu mengalahkan seluruh mentornya dalam duel mingguan hanya setelah enam bulan menjadi murid pelatihan. Karena ia seorang mutan ganda.

"Kamu pasti si gadis emas. Dia tahu banyak tentang kamu, tahu."

"Ia di luar jangkauan kalian. Kau tidak akan bertemu kesayanganmu itu sebelum kamu mengizinkan."

Kenangan akan sang pengawal mutan yang ia temui kemarin menyeruak. Serena harus menekan rasa frustasinya dalam-dalam karena ia telah tiba di depan kantor sang jenderal.

Gedung 'pemerintah', atau simpelnya saja adalah bangunan yang berisikan kantor-kantor para petinggi Suaka, terletak bersisian dengan kompleks pelatihan. Gedung itu tampak seperti rumah tiga tingkat dengan desain sederhana, bercat putih bersih dengan pilar-pilar artistik. Isinya pun tidak super megah ataupun mentereng. Satu-satunya yang menandakan tempat ini adalah tempat berjalannya nyaris seluruh kegiatan formal Suaka adalah kerumunan ramai manusia yang bergerak mondar-mandir, sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Serena bergerak menembus kerumunan dan menaiki tangga melingkar menuju lantai dua. Sesekali ia mengangguk membalas sapaan beberapa orang yang mengenalinya. Ia berhenti di depan salah satu pintu kayu polos di ujung lorong, identik dengan semua pintu lainnya di gedung itu. Sebuah papan nama putih menjadi satu-satunya penanda Serena telah tiba di tempat tujuannya.

Jenderal Tinggi Noah Singgih

Serena mendorong pintu hingga terbuka tanpa mengetuk dan bergerak masuk.

Noah sedang duduk di kursi kayu kesayangannya, membelakangi sebuah jendela besar. Setiap kali pria itu berpindah ruang kantor, kursi itu akan selalu mengikuti. Perhatian si bapak jenderal sedang terfokus pada entah kertas laporan apa. Sebelah tangannya yang kosong mengetuk-ngetuk meja di hadapannya yang dipenuhi berkas-berkas.

Pria itu barangkali sudah berusia setengah abad, menilik dari helaian putih yang mulai menghiasi rambut cepaknya. Atau mungkin itu hanya akibat dari tanggung jawab yang harus dia pikul. Selain dari uban-uban itu, Noah tampak persis sama seperti ketika pertama kali Serena bertemu dengannya 8 tahun lalu. Badan kekar menjulang, janggut lebat, mata cokelat terang menyala. Sungguh antagonis.

"Masih tidak punya sopan santun, Harper?" kata Noah datar. Si pria tua bahkan tidak mengangkat pandang dari lembaran kertasnya.

Serena benci dipanggil dengan nama keluarganya.

Ia mengencangkan rahang, mati-matian menahan makian yang mendesak untuk keluar. Alih-alih, ia malah bertanya. "Butuh apa kau dariku?"

Noah melipat kertas dalam genggamannya dan meletakkan kertas itu di atas meja, mendorongnya ke arah Serena.

"Baca."

Serena meraih kertas dari atas meja dan membuka lipatannya. Saat itulah ia tersadar bahwa itu bukanlah kertas laporan, melainkan potongan surat kabar.

Judul besar yang tercetak sudah memberikan Serena gambaran tentang apa isi berita tersebut, tetapi Serena masih merasa seakan sebuah beban ditimpakan secara perlahan pada dirinya selagi ia membaca paragraf demi paragraf.

...seluruh peserta karantina beserta seluruh petugas pelaksana karantina ditemukan tewas...

...fasilitas hancur total...

...diduga merupakan aksi pemberontakan teroris mutan...

Tulisan-tulisan berputar dalam pandangannya. Serena bisa mendengar suara-suara yang meneriakinya dari semalam kembali lagi, lebih parah daripada sebelumnya.

Ini semua salahmu. Ini misimu. Mereka semua mati. Anjali mati. Theo tidak kembali. Apapun yang kau lakukan akan berujung hancur. Kau pembawa sial. Sial. Sial.

Serena ingin sekali balas meneriaki suara-suara itu agar diam.

"Peserta karantina?" Serena takjub ia masih bisa membentuk kalimat. "Lebih seperti tawanan perang, menurutku."

"Kau bahkan tidak tahu perang yang sebenarnya seperti apa," Noah terdengar lelah. Sebelah tangannya kini menopang dagu, matanya meneliti wajah Serena, mencari celah dari celetukan tidak peduli yang ia lontarkan.

Bertahun-tahun latihan mengontrol ekspresi tidak boleh semudah itu dipatahkan, maka Serena balas menatap Noah. Ia sambut tantangannya.

Setelah semenit penuh saling adu pandang, yang terasa seperti selamanya, Noah menyerah duluan. Pria itu menghembuskan napas kasar selagi membuang pandang.

"Ini misimu Serena. Satu korban jiwa dari pihak kita, anakku tidak sadarkan diri, dan kalian tidak membawa pulang apa-apa selain seorang pemuda tanggung yang tidak jelas potensinya," ringkas Noah. Serena bahkan nyaris lupa kalau pemuda menyebalkan yang sedang pingsan di barak kesehatan adalah anak tunggal sang jenderal. "Misi ini gagal total."

Ini misimu. Ini misimu. Ini misimu.

Dan mereka mati.

"Kita memang hanya dapat seorang, tapi tetap lebih baik dari tidak sama sekali."

Ketika Noah membuka mulut untuk membalas, Serena kembali menyambar. "Dan kita bukannya tidak dapat informasi apapun. Aku bertemu seorang mutan yang bekerja sebagai pengawal, dan dia perempuan! Dia tahu sesuatu tentang lokasi Theo. Ini satu petunjuk lagi. Tidak mungkin itu tidak berarti apa-apa."

Tatapan Noah menggelap dengan begitu cepat.

"Apa?"

"Seorang mutan dewasa, tapi juga pengawal. Dugaanku sepertinya pemerintah mulai mempekerjakan mutan-mutan yang mereka latih sendiri-"

"Tidak ada informasi itu di laporan Axel," potong Noah.

Reaksi Noah memberikan semangat baru dalam diri Serena. "Aku belum cerita ke siapa-siapa, jadi Axel memang belum tahu. Bukannya ini kabar bagus? Kita semakin dekat menuju Theo-"

Noah bangkit dari kursinya. Ia mulai berjalan mondar-mandir di dekat jendela besar, kedua tangannya bergerak gelisah. "Buruk, sama sekali buruk."

Semangat itu pun padam secepat ia datang.

"Apanya yang buruk?"

Pria tua itu mengetuk-ngetukkan jarinya pada sisi jendela. "Kabar darimu. Ini bukan tindakan pemerintah, ini ulah Kawanan."

"Apa? Aku tidak paham. Siapa Kawanan?" ujar Serena kebingungan. Ia mulai mengepalkan kedua tangannya di sisi badan, kuku-kuku tajamnya menggores telapak tangan.

Noah tampaknya tidak mendengarkan pertanyaan Serena. "Axel bilang Batu Redhem tiba-tiba saja tenggelam kembali ke dalam dinding. Itu tidak ada dalam sistem Bungker, mustahil dapat dilakukan dari ruang kendali. Ini pasti perbuatan mutan yang kekuatannya begitu besar hingga mampu melampaui Redhem. Barangkali telky; atau mungkin kekuatan yang belum pernah kita temui. Apalagi dengan keberadaan mutan yang menyamar sebagai pengawal, mereka pasti memanfaatkan momen demi menimpakan kesalahan pada kita-" ia berhenti, menggeleng-gelengkan kepala. "Harus mulai susun rencana. Sisir hutan di sekitar Bungker Catur, barangkali bawa pulang mayat yang tertinggal untuk autopsi. Firman mungkin bisa-"

"Kau tidak menjawabku! Siapa itu Kawanan?" seru Serena keras. Ia tidak pernah melihat Noah menyerocos seperti itu, seakan-akan kehilangan kendali. Sudah cukup sekali ia menyaksikan hilangnya kontrol seorang Pembakar. Ia tidak butuh lagi.

Noah tersentak dan menolehkan pandang ke arah Serena, seakan-akan baru tersadar bahwa gadis itu masih di sana. Pria itu memperbaiki postur tubuhnya dan tampak jelas sekali berusaha mengembalikan wibawanya.

"Aku akan membicarakan masalah ini dengan Dewan dan Tuwanggana. Kau kembali kerjakan apa yang sedang kau kerjakan, masalah ini sudah di luar jangkauanmu," ucap Noah tegas. Ekspresinya tidak memberikan celah bagi kompromi.

Serena sama sekali tidak terima. "Apa-apaan? Tidak bisa begitu! Kau sendiri yang bilang, ini misiku! Apapun maksud ucapanmu dan siapapun itu Kawanan, mencari Theo tetap tugas utamaku!"

"Pencarian Theo untuk sementara ditutup. Dan kau," telunjuk Noah terangkat ke depan wajah Serena. "Kau tidak boleh keluar dari Suaka, untuk alasan apapun termasuk menemui narasumbermu yang tidak bertanggung jawab, tanpa izin dari Dewan. Aku pastikan seluruh anggota kader tahu informasi itu."

Pernyataan tersebut menghantam dengan sangat menyakitkan. Seakan seseorang telah memutuskan satu-satunya tali yang menghubungkan Serena dengan Theo. Bila sebelumnya ia merasa mendapatkan perpanjangan tali dengan adanya informasi baru mengenai siapa yang mungkin menculik Theo, kini tali itu musnah seluruhnya.

Serena baru akan membuka mulut untuk melawan ketika tangan Noah terangkat, memberikannya gestur untuk tutup mulut. "Tidak ada kata tidak. Sekarang, keluar dari kantorku."

Amarah yang sedari kemarin menumpuk dalam diri Serena kini mengombak, mengancam membentuk tsunami. Dengan langkah-langkah panjang yang menghentak, Serena menerjang keluar ruangan dan membanting pintu di belakangnya keras-keras.

Ia butuh pelampiasan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top