Tawanan
Seharusnya pagi ini seperti biasa, Mama membangunkan Naya, menyuruh gadis itu bersiap ke sekolah. Namun, hari ini terasa berbeda. Naya membuka mata, lalu merasa aneh karena langit-langit kamarnya berubah menjadi semen keras berwarna abu-abu. Aroma pesing dan tengik segera terhidu, membuat gadis itu mengernyit. Perut gadis itu bergolak, kemudian ia bangkit dan memuntahkan isi perutnya begitu saja di lantai. Barulah ia tersadar bahwa saat ini ia sedang berada di tempat lain, bukan di kamarnya. Lalu ... tangannya. Naya melotot ke arah jari-jarinya. Bagaimana bisa kulitnya berubah putih begini? Ia berkulit kuning langsat khas Indonesia, bukan putih pucat ala orang Eropa.
"Yang Mulia." Sebuah suara mengagetkan Naya. Gadis itu menoleh, dan mendapati seorang pemuda berambut oranye seperti wortel dan berkulit pucat sedang berada di depan jeruji besi. Naya mengerjap. Pemuda itu berbahasa Inggris. "Saya ... izinkan saya mengucapkan selamat tinggal."
Naya menelan ludah. Bahasa Inggrisnya termasuk jeblok di sekolah, jadi ia merasa kikuk. Namun, ia bisa memahami ucapan pemuda itu. "Tu-tunggu!" Gadis itu membelalak. Mulutnya juga mengeluarkan bahasa Inggris! "I-ini di mana?"
Pemuda itu mengernyit. "Yang Mulia, Anda ... tidak ingat? Ini hari eksekusi Anda."
"Ek-eksekusi? Aku? Memangnya aku sia ... maksudku, apa kesalahanku?"
"Yang Mulia?" Lelaki itu mengatupkan bibir. "Apakah Anda sudah menjadi pikun?"
"Ini pasti kesalahan," sangkal Naya cepat. Bagaimana bisa ia berada di penjara ini ... dan akan dihukum? Hukuman apa yang akan dijatuhkan untuknya? Naya meneliti pakaiannya dan merasakan gatal di kulitnya. Kain apa yang dipakainya sekarang? Kasar seperti karung.
"Anne!" Pemuda itu mendesis. "Tenanglah sebentar."
Nama yang diucapkan pemuda itu menyentakkan kesadaran Naya. "Anne? Anne?" Pikirannya segera memutar nama-nama yang ada di buku sejarah yang bisa ia ingat. Sepertinya ini di Eropa, pikir Naya. Kulitnya pucat seperti para bule yang berada di pantai Kuta. Meskipun rambutnya hitam legam, Naya yakin saat ini tubuhnya adalah perempuan bangsawan Eropa, karena pemuda itu menyebutnya Yang Mulia.
"Anne Boleyn! Sadarkan dirimu. Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Algojo akan datang beberapa jam lagi." Pemuda itu kembali mendesis setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka.
Naya terkesiap. Ia tahu bahwa Anne Boleyn sepertinya tokoh penting, tetapi ia tidak ingat apa-apa. Seharusnya aku lebih mempelajari sejarah, batinnya. "Siapapun kamu, tolong. Bisa katakan apa yang terjadi? Kepalaku pusing, dan aku ... tidak bisa mengingat apapun yang terjadi."
Helaan napas terdengar dari dada pemuda itu. "Kau itu sungguh ... maaf, Yang Mulia. Aku terlalu lancang. Tetapi, Anda di sini karena Raja Henry memutuskan akan memenggal Anda siang ini, atas tuduhan perselingkuhan, perzinahan, juga menyihir Yang Mulia Raja."
Seakan ada badai tornado yang menghantam kepala Naya saat mendengar penuturan pemuda di hadapannya. "Perselingkuhan, perzinahan, menyihir?" pekik Naya dengan nada panik. Tangannya bergerak meraba leher, merasa takut dengan nasib yang menimpanya saat ini. Semalam lalu, ia keasyikan bermain game dan tidur larut malam. Ia tak menyangka bahwa itu malam terakhirnya berada di kamar tidurnya yang nyaman dan aman. Sekarang ajal sudah di depan matanya.
"Maaf, tapi itu memang tuduhan yang dijatuhkan kepada Anda."
"Tapi ... memangnya aku melakukan semua itu? Apakah itu memang kejahatanku?" tanya Naya berlinang air mata. "Sekeji itukah perbuatan perempuan ini?"
Tatapan pemuda itu tampak iba. "Seharusnya Anda tidak perlu sekeras itu menentang Cromwell. Ia menguasai parlemen dan UU Hukum Miskin yang akan Anda sahkan mengancam existensinya."
Kali ini Naya kembali bingung. Berarti ia tidak melakukan apa yang dituduhkan, melainkan karena ada orang lain yang tidak suka dengan pekerjaannya begitu? Gadis itu mengusap dahi, berusaha mencerna apa yang terjadi. "Memangnya Raja tidak peduli dengan keselamatanku? Raja ... Raja harusnya mencintaiku, kan? Harusnya Yang Mulia tidak bisa begitu saja percaya dengan ... dengan fitnahan Cromwell itu!"
"Astaga, Anne. Kalau aku tidak ingat dirimu yang bersinar cemerlang dengan kecerdasan ketika pulang dari Perancis, aku ingin mengatakan bahwa saat ini kau sedang dirasuki setan naif." Pemuda itu berdecak kesal. "Jika Raja mencintaimu, tentu kau tidak akan berada di sini. Sekarang sudah pasti Yang Mulia bersenang-senang dengan gundiknya."
Kedua tangan Naya bersarang di kepala, sementara ia terduduk di lantai semen yang keras dan dingin. Mengerikan sekali nasib perempuan ini. Naya kira, menikah dengan raja akan membawa kebahagiaan selama-lamanya seperti dalam dongeng. Namun, lihatlah ia sekarang, menjadi tawanan.
"Tidak bisakah kau membawaku kabur dari sini? Dari ceritamu, aku tidak berzina dan berselingkuh, dan aku juga tidak bisa menyihir. Kumohon, biarkan aku menemui Raja dan memohon ampun!"
"Anne, aku akan berdoa untukmu setelah ini dan hidup dalam penyesalan seumur hidupku. Namun, sungguh tidak ada yang bisa kita lakukan. Raja sudah keburu ingin menikahi Jane Seymour, perempuan yang kaujambak setelah memergoki mereka bercumbu di kamarnya. Raja percaya, Jane akan memberinya keturunan lelaki. Sesuatu yang tidak bisa kauberikan."
Pupus sudah harapannya. Naya tergugu, karena sudah tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Beberapa jam saat algojo datang dan menyeretnya ke tempat hukuman, gadis itu pasrah. Ia mendaraskan doa untuk mama dan papanya, juga kepada teman-teman dan gurunya di sekolah. Ia tidak menyangka bahwa ini adalah saat terakhirnya. Saat sang algojo mengayunkan kapaknya, kegelapan memeluknya dan membawanya pergi.
Anehnya, gadis itu tidak merasakan sakit. Hanya sebuah sensasi aneh di lehernya, yang membuatnya terjaga. Saat matanya mengenali ruangan yang familiar, dengan suara mama yang berteriak dari dapur, Naya menangis tersedu-sedu. Beruntunglah dirinya tidak tinggal di zaman kerajaan, seperti Anne Boleyn.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top