Manusia Terakhir

Umat manusia telah menjadi sejarah. Bencana demi bencana telah menyapu nyaris semua kota dan peradaban yang ada, hingga musnah tak bersisa. Walaupun begitu, masih ada beberapa manusia yang selamat dan tinggal di beberapa kota. Nahru, salah satunya. Saat ini ia berada di kota yang dulunya bernama La Paz. Terletak di ketinggian 3.650 meter di atas permukaan laut dan berada di pegunungan Andez, La Paz berhasil lolos dari bencana alam yang berulangkali menghantam bumi. Gunung tersebut pernah memuntahkan lahar, tetapi masih ada beberapa manusia yang berhasil selamat dan membangun sistem komunikasi dengan kota-kota lainnya yang masih ada warga lokal yang selamat.

Nahru menatap dataran yang dulunya banyak dipenuhi gedung-gedung pencakar langit yang dihiasi cahaya lampu. Kini hanya ada reruntuhan, serta beberapa tenda yang dibangun oleh warga La Paz yang selamat. Lelaki itu menghela napas. Sampai kapan mereka akan bertahan? Makanan yang bisa diperoleh dari supermarket atau bahan-bahan sisa restoran sudah mulai menipis. Beberapa kali, Nahru harus melihat warga yang sudah tinggal segelintir itu bertengkar merebut makanan karena tidak ada persediaan. Mereka sudah berkeliling ke seluruh kota bahkan ke kota-kota sebelah untuk mengambil makanan dari reruntuhan supermarket, mall atau toko makanan, tetapi nihil. Sepertinya orang-orang yang tersisa dari bencana juga melakukan hal yang sama. Namun, sampai sekarang Nahru tidak pernah melihat manusia-manusia dari kota lain di sekitar La Paz.

Di tengah kota terdapat menara pemancar di mana Nahru dan warga lainnya bisa berkomunikasi dengan warga kota lain di dunia yang juga selamat seperti mereka. Setelah beberapa kali modifikasi, ada sebuah mesin yang memiliki lampu-lampu kecil berwarna merah di atasnya, setiap lampu bertuliskan nama kota di mana ada manusia penyintas seperti mereka. Sebelumnya ada tiga puluh lampu yang menyala, di mana kota tersebut masih bisa memancarkan sinyal komunikasi bahkan bisa saling berkontak dengan kota La Paz. Namun, setelah sebulan ini, lampu-lampu tersebut mati satu per satu, hingga hanya menyisakan tiga lampu saja.

Nahru menelan ludah, karena sudah berhari-hari ia membatasi minum. Pasokan air sudah tidak ada. Mata air pegunungan Andes juga sudah lama mengering. Bibirnya sudah kasar dan pecah-pecah tetapi sejauh ini ia bisa bertahan. Ia lebih suka menghabiskan waktu di menara pemancar, demi menghindari konflik dengan sisa warga yang putus asa mendapatkan makanan dan minuman. Sebelumnya sudah ada diskusi untuk pembagian jatah makanan yang tersisa, tetapi sepertinya tidak berguna sama sekali setelah pasokan makanan mereka habis. Tidak ada tanaman yang tersisa untuk diolah. Hewan ternak sudah lama habis dan hewan peliharaan harus dijadikan tumbal mengisi perut tuannya. Jangan bertanya mengenai jasad korban bencana. Nahru bergidik setiap kali mengingatnya.

Manusia memang makhluk serakah.

Sampai kapan mereka akan bertahan? Mata Nahru menatap nanar ke arah lampu mesin di hadapannya. Semenit yang lalu, salah satu lampu di sana mati. Nahru terkekeh karena sudah terlalu putus asa untuk berharap keajaiban. Mereka pasti lambat laun akan musnah. Entah oleh bencana, entah oleh keserakahan sesamanya. Nahru sempat mengintip ke arah tenda-tenda di mana warga selamat berada di sana, tetapi ia tidak melihat siapapun lagi. Lelaki itu mengernyit heran. Pagi ini, seharusnya ada lima orang warga yang ada di sana. Kemarin ada yang meninggal, dan lima orang tersebut memperebutkan jasadnya. Nahru mual dan memilih berlari ke menara pemancar.

Kepala lelaki itu mulai pusing, sementara pandangannya kabur. Mungkinkah kali ini ia akan menemui ajal? Tubuh Nahru tumbang dan terbaring di sebelah mesin yang kini hanya tersisa satu lampu menyala. Nahru menguatkan diri untuk bangkit dan melihat bahwa lampu yang menyala itu adalah kota La Paz. Lelaki itu menelan ludah dan mengempaskan tubuhnya ke lantai menara. Hari ini rupanya adalah hari penghabisan. Beginikah rasanya sekarat?

Tidak, lelaki itu memutuskan untuk tetap hidup. Ia memaksa tubuhnya berdiri dan kembali mengintip ke arah tenda. Empat orang telah bergelimangan di sana dengan kepala yang tergelatak di genangan penuh darah. Jika Nahru bisa menatap dengan saksama, ada banyak gigitan dan daging yang terkoyak di tangan dan kaki para korban. Nahru memejamkan mata dan kembali berlari ke menara. Jika memang prediksinya benar, hanya tinggal dirinya dan satu orang lagi manusia yang ada di bumi. Di menara, kelelahan mendera tubuhnya hingga ia jatuh terjerembap di dekat mesin lampu. Terdengar langkah kaki mendekat. Nahru memaksakan menoleh, dan mendapati seorang lelaki dengan mulut berlumuran darah membawa bongkahan batu di tangan kanannya.

"Silakan saja," bisiknya tanpa suara. Apa gunanya hidup jika mereka satu-satunya yang tersisa dari jutaan manusia? Nahru bahkan sudah lupa bagaimana rasanya punya keluarga dan orang yang berharga. Semuanya sudah musnah. Apalagi jika sampai di saat-saat terakhir hidupnya, ia harus memakan manusia keji di hadapannya ini. Manusia yang rela melakukan apapun demi bisa bertahan hidup.

Nahru memejamkan mata, bersiap menyambut ajal dengan senyuman. Tanpa ia ketahui bahwa gunung-gunung mulai beterbangan dan manusia terakhir di dunia melayang-layang. Sebelum semuanya saling bertabrakan, menara pemancar itu pun meledak dan mematikan lampu merah dengan label nama La Paz di sana. 

05 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top