MISCONCEPTION

Ali POV

Entah mengapa perasaanku menjadi tidak tenang. Setiap sepuluh bulan sekali kapal singgah di Indonesia. Saat sandar di Jakarta aku dan Al selalu menemui Ily. Seperti saat ini kami sedang berada di salah satu tempat makan favorit kami. Rengekan manja dari Ily menjadi salah satu kerinduanku. Aku tersenyum simpul saat dia merengek memintaku untuk membelikannya es krim.

"Ayo Bang, belikan sekarang," rengekannya sambil mengguncangkan lenganku yang berada di atas meja.

Aku menatap ke depan, kulihat Al hanya terdiam tidak berbuat apa-apa. Dia sibuk memandangi gelas yang ada di depannya. Sesekali dia menarik napas berat dan menghembuskannya kasar, seperti menahan sesuatu. Apa dia cemburu denganku karena Ily lebih manja padaku daripada dengannya? Entahlah! Tapi itu yang aku lihat dan rasakan.

"Gue ke toilet dulu," pamitnya tanpa menapku dan Ily.

Dia begitu saja berlalu meninggalkan kami. Aku melihat punggung Al yang semakin menjauh dari tempat dudukku. Aku turuti permintaan Ily sembari menunggu Al kembali.

Tapi sudah 10 menit kami menunggu dia tidak kunjung kembali, hingga ada satu pesan darinya masuk di ponselku.

Gue cape. Lo antar Ily pulang. Sorry gue duluan ke kapal. Salam buat dia.

Pesan singkat yang Al kirim mengiris perih hatiku. Tidak seperti biasanya dia begitu. Aku melirik ke arah Ily yang sudah menghabiskan es krimnya.

"Bie, kita pulang yuk!" ajakku lembut menarik pelan tangannya.

"Tapi Al belum datang," tolaknya menahan tanganku.

"Al sudah duluan pulang ke kapal, katanya kecapean," ujarku yang seketika membuat Ily terdiam.

Aku melihat matanya berkaca-kaca, sepertinya dia ingin menangis. Sebelum dia menangis di tempat umum segera aku mengajaknya keluar dari tempat itu. Aku melajukan mobilnya ke arah kosa. Di setiap perjalanan dia hanya terdiam dan sepertinya menangis. Apa ada sesuatu yang terjadi di antara Al dan Ily? Entahlah aku juga tidak tahu.

"Bie, sudah sampai," ujarku menyadarkan saat kami sudah sampai di depan kosnya.

"Iya Bang, terima kasih. Ayo Bang, masuk dulu," ajakannya sambil menyeka air mata.

"Tidak usah Bie, aku langsung balik ke pelabuhan saja. Kamu istirahatlah biar aku naik taksi ke sananya," tolakku lembut agar tidak menyinggung perasaannya.

Toh ini juga sudah larut malam, aku tidak ingin mengganggu jam istirahatnya.

"Baiklah kalau begitu, kapan kapal tolak?" tanya dia tersirat rasa yang aku juga tidak tahu pasti.

Apa rasa kecewa, sedih, bahagia, atau apa? Hanya Ily yang tahu perasaannya sendiri. Wanita itu memang lebih pandai menyembunyikan perasaannya. Mereka pembohong ulung jika menyangkut hal begitu.

"Besok siang," jawabku jujur seketika membuat wajahnya berubah sendu.

Lantas dia tersenyum dan mengangguk. Aku serahkan kunci mobil padanya.

"Sudah malam, masuklah," perintahku mengelus rambut sebahunya.

"Iya, Bang. Makasih," ucapnya parau menahan tangis.

Dia melangkah mendekati kamarnya, setelah aku pastikan dia sudah masuk ke dalam kamar segera aku mencari taksi untuk mengantarku pulang ke pelabuhan.

Selama perjalanan perasaanku gelisah, pikiranku kalut berprasangka yang tidak-tidak pada Al. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Kenapa tiba-tiba begitu?

Setelah sampai di kapal, orang pertama yang aku cari adalah Al. Aku berjalan tergesa menuju lift yang dapat mengantarku ke geladak kabin kamar kru dan awak kapal. Setelah aku sampai di lorong kamar, dengan langkah lebar menuju ke kamar Al. Kebetulan di kapal ini kamar Nahkoda dan KKM berhadapan. Sebelum aku masuk ke dalam kamarku, aku mencoba mengetuk pintu kamarnya. Tapi tidak ada jawaban dan akhirnya aku pun masuk ke dalam kamarku sendiri.

Al POV

Semenjak kedatanganku dan Ali di Indonesia, terlihat Ily lebih manja padanya. Jujur saja di dalam hatiku sakit dan ada rasa tidak rela. Tapi apa hakku jika melarangnya untuk tidak melakukan hal seperti itu kepada Ali. Pacar bukan! Entahlah hubungan macam apa yang sudah aku jalani dengannya.

Ketika mendengar dia merengek meminta es krim pada Ali, hatiku bergemuruh panas dan berdesir nyeri. Lebih baik aku pergi daripada harus melihat itu semua.

"Gue ke toilet dulu," alasanku untuk meninggalkan mereka berdua.

Tanpa menunggu jawaban dari mereka aku segera pergi dan tanpa berpamitan Ily. Aku pergi dari hadapan mereka membawa sesak dalam dada. Mengapa hatiku terasa sangat sakit melihat Ily tersenyum manis untuk Ali? Senyum yang biasanya hanya untukku. Sesakit inikah mencintaimu, Ly?

Sebenarnya aku sangat merindukannya. Aku ingin memeluknya, mencium bibir ranumnya, dan memanjakannya. Tapi, setelah aku melihatnya tadi, pertinya dia tidak lagi membutuhkanku. Dia lebih membutuhkan Ali.

Setelah aku keluar dari tempat makan, lalu aku mencari taksi. Sebelumnya aku mengirim pesan singkat untuk Ali agar tidak menungguku.

Gue cape. Lo antar Ily pulang. Sorry gue duluan ke kapal. Salam buat dia.

Isi pesanku untuk Ali. Setelah pesan terkirim untuknya lantas aku juga mengirim pesan untuk Ily.

Kamu pulang sama Ali. Jaga diri baik-baik.

Hanya itu yang mampu aku tulis untuknya, itu pun aku tulis dengan perasaan sakit. Setelah beberapa menit akhirnya dia membalas pesanku.

Kenapa pulang duluan? Kita belum ngobrol berdua. Apa kamu nggak kangen sama aku, King? Aku kangen sama kamu.

Setelah aku baca pesan singkat darinya, aku tersenyum miris untuk diriku sendiri. Apa katanya? Kangen? Cih! Siapa yang dia rindukan aku atau Ali? Apa yang akan mereka lakukan setelah aku tinggalkan. Apakah Ali akan melepas rindu dengannya seperti yang aku lakukan dengan dia? Dengan cepat aku menampik pikiran negatif itu dari otakku. Kecemburuan butaku ini sangat mengancam persahabatanku dengan Ali yang sudah kita jalin bertahun-tahun.

Setelah sampai di kamar mewah apungku, segera aku membersihkan diri lalu berbaring di ranjang yang lebar dan empuk. Aku tidur memiringkan badan dan memeluk guling. Aku mencoba memejamkan mata, tapi justru bayang-bayang Ily yang muncul. Aku ubah posisi tidurku terlentang, masih saja wajah Ily yang muncul. Aku duduk dan mengusap wajahku kasar, ngacak rambutku frustrasi. Aku sedang mencoba menenangkan diri, ketika aku sedang melamun terdengar ketukan pintu kamarku. Sepertinya suara Ali dari balik pintu. Sengaja aku tidak menjawab, biar dia mengira aku sudah tertidur.

Ily POV

Aku bahagia sekali bisa bertemu lagi dengan Al dan Ali double AL. Sahabat yang aneh bagiku, nama mereka yang mirip, ketampanan yang sebanding, pesona yang tidak dapat ditolak, tapi memiliki sifat melindungi yang berbeda. Kalau Al lebih posesif tapi kalau Bang Ali biasa saja walau kadang lebih cerewet daripada Al. Kalau Al itu bayak tindakannya, melakukan sesuatu hal diem tanpa banyakan bicara. Tapi kalau Bang Ali, banyak menyuruh, mengancam dan bawel. Tapi, aku suka mereka menjagaku.

Memiliki dua malaikat pelindung yang tampan, siapa yang menolak? Walaupun seperti itu kedudukan mereka di hatiku berbeda. Aku hanya memiliki rasa kagum pada Bang Ali, sedangkan dengan Al sejak dari dulu sebelum aku mengenal Bang Ali, sudah menyimpan rasa sayang dan cinta. Karena perjanjian konyolnya dengan Bang Ali saja yang membuat kami terhalang bersatu. Tapi aku akan tetap menunggunya, sampai waktu yang tepat.

Rasa rinduku ini seperti mendapat air di padang gersang. Aku akan menagih janji Bang Ali yang dulu pernah dia katakan jika dia sudah bisa bekerja di tempat yang ia inginkan, dia akan membelikanku es krim yang aku suka. Semahal apa pun dia akan menurutinya. Aku merengek manja padanya, karena sejak dari tadi aku memintanya tapi dia tidak beranjak juga dari tempat duduk. Aku sudah mirip seperti anak kecil, memaksa ibunya untuk membelikannya es krim. Sampai aku dengar Al meminta ijin ke toilet.

"Gue ke toilet dulu," katanya dan berlalu begitu saja.

Aku dan Bang Ali hanya mengangguk, tapi dia sudah berlalu pergi begitu saja. Ada apa sih dengannya? Semenjak tadi bertemu hanya diam tidak seperti biasanya. Kalau biasanya dia perhatian banget sama aku, kali ini dia tak acuh. Mungkin saja dia kelelahan, wajarlah karena dia seorang nahkoda kapal besar pekerjaannya sudah pasti menguras konsentrasi dan pikirannya. Walau tidak terlalu berat dengan pekerjaan fisik, namun otaknya selalu bekerja untuk keselamatan para penumpangnya.

Aku dan Bang Ali memesan es krim. Setelah menunggu lama kenapa Al ke toilet saja lama sekali? Apa yang dia keluarkan hingga selama begitu? Hingga es krim datang dan aku habiskan, Al tak kunjung datang. Tiba-tiba Bang Ali mengajakku pulang.

"Bie, kita pulang yuk!" katanya sambil memasukan ponselnya ke dalam jaket lalu menarik tanganku.

"Tapi Al belum datang," tolakku.

"Al sudah pulang ke kapal duluan, katanya kecapean dia," ucapan Bang Ali membuat hatiku merasa nyeri dan sakit.

Kenapa dia tidak berpamitan langsung denganku? Seketika mataku terasa panas dan pandanganku kabur. Bang Ali memapahku keluar dari tempat makan dan langsung mengajakku masuk ke dalam mobilku. Saat di perjalanan, aku ingin memberi pesan singkat pada Al, tapi sepertinya ada pesan. Aku menbuka pesan itu dan membacanya.

Kamu pulang sama Ali. Jaga diri baik-baik.

Pesan singkat dari Al membuat hatiku pedih dan sesak. Air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Lalu aku mengirim balasan untuknya.

Kenapa pulang duluan? Kita belum ngobrol berdua. Apa kamu nggak kangen sama aku, King? Aku kangen sama kamu.

Aku tulis balasan untuknya. Beberapa detik aku menunggu balasan tapi dia tidak membalas pesanku. Air mataku berlomba-lomba keluar begitu saja tanpa bisa aku tahan dan hentikan. Dia berubah dan sangat berbeda dengan Al yang aku kenal dulu. Dia tidak pernah tak mengacuhkanku seperti ini. Apa dia sudah memiliki wanita lain?

"Bie, sudah sampai," suara Bang Ali mengejutkanku.

Aku tersadar dari lamunanku, lalu menyeka air mataku.

"Iya Bang, terima kasih," ucapku turun dari mobil diikuti Bang Ali. "Ayo Bang, masuk dulu," tawarku basa-basi.

"Tidak usah Bie, aku langsung balik ke pelabuhan saja. Kamu istirahatlah biar aku naik taksi saja ke sananya," tolak Bang Ali. Mungkin dia sungkan karena ini juga sudah larut malam.

"Baiklah kalau begitu, kapan kapal tolak?" tanyaku menahan tangis, siapa tahu aku masih ada waktu untuk bertemu Al.

"Besok siang," jawabnya.

Sudah aku tebak, pasti aku tidak dapat menemuinya, karena aku pagi harus kuliah. Aku tidak mungkin membolos hanya karena ingin menemuinya. Aku harus memberi contoh yang baik untuk taruni di kampus. Karena aku sekarang menjabat sebagai polisi taruni. Sejak reorganisasi anggota batalyon taruna yang baru setelah kelulusan angkatan Bang Ali dan Al, pengurus batalyon ketarunaan pun digantikan. Aku mengikuti diklat ketarunaan sebelum menjabat Poltir (polisi taruni).

"Sudah malam, masuklah," perintah Bang Ali.

"Iya, Bang. Makasih," ucapku parau menahan tangis.

Segera aku masuk ke kamar tanpa menunggu Bang Ali lebih dulu pergi. Aku sudah tidak bisa menahan sesak di dadaku ini. Setelah sampai di dalam kamar, aku hempaskan tubuhku di ranjang empuk dan menumpahkan amarah serta tangisanku di tempat itu. Aku memukul bantal sekeras-kerasnya menumpahkan emosi.

"Kenapa kamu berubah Al? Apa kamu sudah mendapat penggantiku? Apa aku kurang setia menunggumu selama ini? Apa kamu kurang yakin dengan perasaan yang kita punya? Kenapa Al?" teriakanku tak berguna walaupun sampai urat nadiku putus dan sekali pun pita suaraku lepas tidak akan mendapatkan jawaban.

"Apa kamu tidak merindukanku, Al?" lirihku pelan dalam isakanku.

Hatiku terasa sakit dan dadaku sesak, sepertinya oksigen di dalam kamarku semakin menipis. Aku menangis sesenggukan, sepuasnya aku tambahkan rasa kepalaku sambil menekan-nekan dadaku yang terasa sesak.

"Sesakit inikah mencintaimu, Al?"

Akhirnya aku terlelap ketika kurasa sudah lelah menangis.

##########

Konflik mulai.

Terima kasih vote dan komentarnya.
Love you all
Muuuuuaaaaahhhhh
Cium jauh dari aku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top