DIA KEMBALI

Seminggu setelah pelantikan taruna saatnya staf batalyon mencari anggota baru. Dari pihak kampus dan staf batalyon taruna telah memilih calon-calonnya. Gadis bertubuh mungil, sital, dan padat memakai seragam PDH putih pas bodi berdiri di depan papan informasi. Dia menyusuri satu per satu tulisan yang tersusun menurun. Saat dia melihat namanya terpampang, dengan riang dia mengekspresikan kegembiraannya.

"Ly, kamu masuk," seru teman-teman setingkatnya.

"Iya. Aku masuk calon staf batalyon. Aku seneng banget," ucapnya girang memeluk temannya.

"Ehem!" deheman itu menghentikan jingkrakan Ily. "Jaga sikap kamu di dalam kampus," tegur senior satu tingkat di atasnya yang sepertinya dia adalah salah satu anggota staf batalyon.

Terlihat tali koor yang melingkar di bahu kanannya.

"Maaf Sen," ucap Ily menundukkan kepalanya hormat.

"Panggil saya Poltir. Saya polisi taruni," sentaknya menatap tajam Ily sok berkuasa.

"Iya. Siap Poltir!" ucap Ily tegas.

"Bagus. Dan sepertinya kamu yang sering jalan bersama Ndan Ali dan Ndanpol Al kan? Ada hubungan apa kalian?" tanya gadis itu sinis seperti ada perasaan iri.

"Maaf Poltir, itu masalah pribadi saya," jawab Ily tidak gentar dan tidak takut dengan tatapan sok polisi taruni itu.

"Kamu berani dengan saya?" tantangnya nyolot.

"Maaf Poltir jika itu urusan pribadi saya, Anda tidak berhak tahu dan tidak punya hak ikut campur. Maaf saya permisi." Ily berlalu meninggalkan seniornya itu.

Dari jarak jauh dua masang mata melihat kejadian itu.

"Ndanpol urus anak buah kamu. Jangan semenang-menang dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Aku bisa cabut sepihak jika dia melakukan hal itu lagi," peringatan Ali tegas kepada Al.

"Baik Ndan! Aku akan menegurnya nanti," sahut Al tegas terus mantap polisi taruni tadi.

"Urus dia di yontar sana!" perintah Ali tidak terbantahkan.

"Siap Ndan!" Al segera berlalu menghampiri Poltir itu.

"Poltir Linda!" panggil Al lantang saat Linda sedang berbincang bersama teman seangkatannya.

Dengan perasaan senang Linda menoleh dan menghadap komandannya. Dia sudah besar rasa karena tidak biasanya Al memanggil secara langsung.

"Siap Ndan!" Linda menghampiri dengan senyuman merekah di bibir merahnya.

"Bisa ikut saya ke yontar?" tanya Al datar dengan wajah mengeras.

"Bisa, Ndan!" jawab Linda girang.

Al berjalan lebih dulu, dibuntuti Linda dari belakang. Hingga mereka sampai di yontar ada Dion, Rista dan yang lainnya sedang mengerjakan sesuatu. Saat Al masuk di yontar dengan wajah yang serius mereka yang di dalam yontar sudah dapat menebak jika terjadi sesuatu.

"Duduk!" perintah Al sedikit meninggikan suara.

Senyum yang tadinya terukir di bibir Linda seketika buyar berubah menjadi tegang. Perasaannya tidak enak. Linda menundukan kepala, sedangkan wajah Al sudah mengeras.

"Apa yang kamu lakukan tadi kepada junior Ily membuat saya malu. Dikira nanti saya yang tidak mengajari kamu tata tertib dan melakukan hal semenang-menang dengan junior. Sudah tertera di tata tertib kampus dan batalyon taruna, jika kita sudah memasuki lingkungan kampus atau masih mengenakan PDH jangan sekali-kali mencampurkan urusah pribadi. Paham?!" sergah Al masih dapat menahan amarahnya.

"Siap Ndan! Saya mengerti," jawab Linda gemetar. Detak jantungnya berdebar kencang karena saat Al seperti ini dia terlihat galak dan tegas.

"Ini peringatan pertama dan terakhir buat kamu," tunjuk Al tajam pada Linda dengan jari telunjuknya. "Sekali lagi kamu ulangi lagi, saya akan menurunkan surat teguran tertulis. Jelas!" bentak Al dengan nada tinggi.

"Siap Ndan! Jelas!" Tubuh Linda bergetar karena takut.

"Silakan kamu keluar dari ruang ini dan lakukan hukumanmu," titah Al tanpa menyebut apa hukuman untuk Linda.

Sebagai staf batalyon taruna Linda sudah tahu hukuman apa yang harus dia kerjakan.

"Baik, Ndan! Siap laksanakan." Linda keluar dari yontar dan berjalan ke lapangan untuk melakukan hukumannya.

"Ndanki, tolong wasi dia," perintah Al pada Dion.

"Siap, Ndan!" Dion berdiri lalu menyusul Linda yang lebih dulu keluar ke lapangan.


Di kantin Ali sedang duduk di berbincang bersama Ily.

"Ndan, tujuan diklat staf batalyon apa sih?" tanya Ily seraya memakan baksonya.

Ali menelan makanannya lebih dulu sebelum menjawab. Dia menyedot es tehnya.

"Jadi diklat staf batalyon itu berguna untuk menguji mental dan juga fisik, tujuannya mendidik agar kita dapat bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban, berkepribadian luhur dan loyalitas terhadap suatu pekerjaan. Intinya menjadikan kita seorang pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Kan tujuan kita sekolah di sini bukan hanya ingin menjadi pelaut, tapi juga untuk menjadi pemimpin yang loyalitas," jelas Ali.

Dari ambang pintu kantin sepasang mata sedang memerhatikan mereka. Ada rasa tidak rela dalam hatinya jika Ily terlalu dekat dengan lelaki lain selain dirinya. Namun dengan cepat pikiran itu dia tepis dan dia buang jauh-jauh. Al menghampiri mereka yang sedang mengobrol.

"Sudah tugas kamu, Ndanpol?" tanya Ali melihat Al menarik kursi di sebelah Ily.

"Sudah, Ndan. Dia sedang menjalankan hukumannya," jawab Al menahan cemburu yang mengusik hatinya.

"Ndanpol mau makan apa?" tawar Ily penuh perhatian.

Al tidak menjawab namun dia justru menarik mangkuk bakso Ily ke depannya. Al mencicip kuah bakso itu, seketika Al menatap tajam ke arah Ily membuat Ali bingung. Sedangkan Ily menundukan kepalanya karena dia tahu kesalahannya.

"Kamu!" tunjuk Al dengan mengacungkan jari telunjuknya ke depan wajah Ily.

Matanya melotot siap ingin memarahinya.

"Dikit," jawab Ily sambil menjentikan kukunya.

Al dengan kasar menaruh sendok ke dalam mangkuk bakso sampai kuahnya menciprat di meja. Dia menghela napas kasar dan menyandarkan tubuhnya ke belakang.

"Ada apa sih, Ndanpol?" tanya Ali bingung melihat perubahan sikap sahabat sekaligus bawahannya itu.

"Coba kamu rasakan kuah baksonya, Ndan," pinta Al menggeser mangkuk bakso Ily ke depan Ali.

Ali mencicipinya dan menatap Ily. Dia menggelengkan kepala, Ali kecolongan.

"Ly, Ly! Bandel ya kamu?" lanjut Ali.

"Maaf. Habis kalau makan bakso nggak pedes itu rasanya kurang mantap," bela Ily pada dirinya sendiri.

"Tapi nggak begitu juga kan pedasnya? Semuanya punya takaran, kalau ini keterlaluan pedesnya. Kalau perut kamu sakit bagaimana?" ucap Al lembut menasihati Ily.

Jika sudah begini Ily tidak bisa berkutik. Kedua malaikat pelindungnya sudah turun tangan, itu berarti Ily harus siap menaikan bendera kekalahannya.

"Pesan lagi sana!" perintah Ali.

"Sekalian buat aku," timpal Al saat Ily sudah berdiri.

"Itu hukuman buat kamu karena sudah bandel," tambah Ali. Ily memutar bola matanya kesal.

Akhirnya Ily memesan dua mangkuk bakso untuknya sendiri dan malaikat pelindungnya, siapa lagi jika bukan Al.

***

Mereka sedang bersantai di kamar kos Ali. Selepas kegiatan kampus Ali dan Al bermain PS.

"Al, lo jadi ambil pelayaran ke Eropa itu?" tanya Ali di sela permainan mereka.

"Belum tahu, Li. Belum terpikirkan, belum juga kita lulus sudah mikir ke situ aja," jawab Al dengan tatapan masih fokus bermain PS.

"Tapi gue selalu kalah soal karir dan pendidikan dibanding lo. Lo selalu bisa di atas gue. Tapi gue akan selalu suport lo," ujar Ali tulus.

"Jangan merendahkan diri sendiri. Lo juga hebat bisa menjadi pemimpin tertinggi di batalyon kita." Al tidak mau Ali pesimis dan merasa kalah darinya.

"Oh ya, gue mau tanya sesuatu sama lo," ucap Ali sedikit terdengar serius menghentikan permainannya.

"Apa?" Al mem-pause permainan bola mereka.

"Lo cinta sama Ily?"

Deg!

Entah apa tujuan Ali menanyakan itu pada Al, namun hati Al seketika merasa tidak enak.

"Jawab jujur aja Bro, gue nggak apa-apa. Kalau lo cinta jangan disia-siakan sebelum semua terlambat," saran Ali menepuk-nepuk bahu Al.

"Eng...eng...gaklah! Gu...gu...gue cuma ... eeee ... cuma itu ... eee ... anggep dia adek! Iya adek gue!" elak Al gelagapan.

Ali terkekeh mendengar jawaban Al yang gelagapan dan terkesan membohongi dirinya.

"Al, jangan melakukan hal bodoh lagi. Lo calon nahkoda, jadi lo juga harus bisa mengambil keputusan yang tepat. Keputusan lo dulu salah Bro, merelakan wanita yang lo cintai untuk gue. Sedangkan lo nggak pernah menanyakan bagaimana persaan gue ke dia. Asal lo tahu Riana juga cinta sama lo. Dia bukan cinta sama gue, tapi cintanya sama lo!" jelas Ali meluruskan kesalahpahaman yang dulu pernah terjadi di antara mereka.

Riana adalah wanita yang sempat dicintai Al. Saat Al menyimpan rasa pada Riana, tanpa sepengetahuan Al ternyata cintanya terbalas. Namun cara Riana yang keliru saat mendekati Al, dia memilih melalui perantara Ali. Sehingga sepengetahuan Al, Riana mencintai Ali bukan dirinya. Maka dari itu Al merelakan Riana bersama Ali. Dia tidak ingin merusak persahabatannya yang selama ini terjalin baik bersama Ali. Namun kenyataannya berbanding terbalik, Ali tidak pernah mencintai Riana.

"Itu masa lalu, jangan diungkit-ungkit lagi. Gue juga udah nggak ada rasa apa pun sama dia," jujur Al tidak ingin mengingat masalah itu.

"Tapi gue minta lo jangan lagi membohongi perasaan lo sendiri. Jangan bertindak bodoh lagi. Kalau sudah begini kan kasihan tuh Riana. Nggak dapet lo dan juga nggak bisa dapetin gue. Gue memang saat ini sedang jatuh cinta sama seseorang. Tapi gue belum ada niat buat dekatin dia," cerita Ali mengejutkan Al.

"Siapa dia, Li?" tanya Al penasaran memegang kedua bahu Ali menatapnya penuh tanda tanya.

"Dia ada di sekitar kita," jawab Ali membuat Al semakin penasaran.

"Tapi bukan Ily kan, Bro?" tebak Al dengan nada curiga dan was-was.

"Tenang aja Bro, bukan dia. Gue juga tahu kali, nggak mungkin gue makan sahabat sendiri," terang Ali yang memang begitu kebenarannya. Terlihat raut kelegaan dari Al.

"Terus siapa yang lo maksud?" tanya Al belum juga menyerah untuk mencari tahu.

"Briana Recardo. Anak kepala yayasan," pengakuan Ali membuat Al membelalakan matanya sempurna.

"Gila lo, Li. Briana? Lo berani lawan Pak Teguh, Li? Dia kan kalau menyangkut soal anak seketika jadi macan," ujar Al.

"Daripada gue naksir Barbie mending Briana. Lo pilih gue jadi saingan lo atau gue jadi saingan orang lain?" canda Ali menggoda Al.

"Enak aja lo! Mending lo jadi saingan orang lain daripada lo ceraiin gue," seloroh Al mendorong bahu Ali.

Ali tertawa puas, dia mendapat jawaban atas pertanyaannya tadi. Dari kesimpulan sikap Al, Ali yakin dia mencintai Ily.

"Makanya lo harus dukung gue."

"Iya gue bakal selalu dukung lo jika itu memang baik dan bisa buat lo bahagia."

"Ihhhh senengnya punya pacar baik begini," puji Ali merangkul leher Al.

"Ah jangan begini! Geli gue." Al mendorong Ali dan menjauh darinya. Ali tertawa terbahak-bahak.

***

Pagi yang cerah langit bersih tanpa awan, seperti hari-hari biasa Al menjemput Ily ke kosannya. Kali ini Ali ikut bersama dia. Mereka menunggu Ily di depan pagar kos. Saat kedua lelaki tampan itu sedang mengobrol, tiba-tiba mobil sedan hitam berhenti di dekat Al berdiri. Gadis tinggi, putih, berbusana bebas namun rapi turun dari dalam mobil. Dia tersenyum manis ke arah Al dan Ali. Yang dilihat justru saling memandang dengan ekspresi terkejut dan perasaan yang tidak menentu. Gadis itu berjalan menghampiri mereka. Dari belakang Al dan Ali Ily menatap gadis itu penuh tanya. Tanpa izin gadis itu mencium pipi Al yang membuat hati Ily seketika memanas. Matanya berkaca-kaca hingga mengaburkan pandangannya. Al yang terkejut oleh serangan tak terduka itu hanya mematung shock.

"Apa kabar kamu, Al?" tanya gadis itu ramah.

"Baik," jawab Al datar dan terdengar ketus.

Tidak sengaja dia membuang muka ke belakang yang justru mendapati Ily berdiri dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Ily," ucap Al lirih namun masih bisa terdengar oleh Ali yang berada di sampingnya.

Ali menoleh ke belakang dengan sigap dia menghampiri Ily sedangkan Al masih bingung apa yang harus ia lakukan.

"Ly, kita berangkar yuk?" ajak Ali dan menggandeng tangan Ily menghampiri motornya.

Pandangan Ily tak beralih menatap Al dan gadis itu bergantian. Gadis itu juga melihat Ily yang ditarik Ali. Dia melempar senyum ramah dan menganggukan kepalanya kepada Ily.

"Dia pacar kamu, Li?" tanya gadis itu saat Ali sudah menaiki motornya yang terparkir tepat di belakang motor Al.

"Bukan urusan kamu," jawab Ali datar dan ketus.

Al tidak dapat berbuat apa-apa saat Ily membonceng di belakang motor Ali. Perasaannya tidak menentu. Rasa cemas, takut, senang, sedih, dan cemburu bercampur menjadi satu. Ali menatap tajam ke arah Al, seakan dari sorotan mata itu Ali berkata 'gue nggak suka dia datang'.

#######

Hayo kira-kira siapa ya dia?
Penasaran?

Terima kasih untuk vote dan komentarnya ya?

Love you all...
Muuuuaaacchhh
Cium jauh dari aku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top