[Bit. 2] Marah

"Apa yang pertama kali kalian pikirkan saat mendengar kata pohon beringin?

Yup. Kuntilanak.

Di depan rumah nenekku, ada pohon beringin yang besar dan lebat. Saking besarnya, muncul rumor seperti pohon beringin itu rumahnya Kuntilanak.

Katanya, Kuntilanak itu adalah hantu paling cantik di dunia hantu.

Huh! Cantik-cantik kok manjat pohon. Bahkan tinggal di pohon!

Yah, setidaknya minimal bisa kali nyicil di rusun DP 0% daripada numpang di pohon depan rumah orang.

Waktu kecil, aku pernah nantangin Kuntilanak itu. Aku deketin pohon beringinnya, terus teriak, "Woy, Kunti! Kalau benar kamu paling cantik, cepat keluar! Kalau kamu tidak keluar sekarang, berarti aku lebih cantik!!"

Lalu, dia gak keluar. Tahu kan, artinya siapa yang paling cantik?"

Briona menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Bagaimana?" tanyanya.

"Hmm... Benar-benar khasmu," komentar Aldea.

"Tapi bagus apa tidak?"

"Lucu sih, tapi rasanya kurang nendang."

Briona mulai rebahan di atas rerumputan hijau dan berguling-guling. "Huuuh... Aku tidak punya ideeeee..."

"Audisinya masih 2 minggu lagi. Kamu masih bisa berlatih dan merevisi naskahmu. Aku senang saat membaca chat darimu bahwa kamu mau mencoba ikutan."

Briona berhenti berguling dan tiduran di atas rerumputan dengan membentangkan kedua tangannya. Ia merasakan sinar matahari hangat yang menyelimutinya. Ia jadi sedikit mengantuk.

Lamunannya terganggu karena ia merasakan ada serbuk rumput yang jatuh ke atas wajahnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan sahabatnya, Aldea, yang mencabuti ujung-ujung rumput lalu menaburnya di atas wajah Briona.

"Aldea!" seru Briona kesal. Ia bangkit dari rebahannya dan membersihkan wajahnya dari serbuk rumput. Aldea hanya cengengesan.

Briona kembali tiduran. "Taman ini kenapa cuma ada rumput dan pohon besar sih? Bahkan pohonnya tidak ada buah-buahannya. Semuanya hijau! Kayak lagi kampanye massal partai-partai Islam."

"Ini kan Taman Jade. Sudah pasti warnanya hijau semua," jawab Aldea santai. "Jade kan warna hijau."

"Tapi kalau hanya satu warna kan tidak menarik. Kalau warnanya beragam, pasti lebih cantik. Seperti mataku," Briona menunjuk kedua matanya yang warnanya berbeda satu sama lain.

"Kamu melakukan itu lagi."

"Biarin! Mataku kan unik. Warnanya cantik walau berbeda dari orang lain."

Aldea tidak membalas. Ia tahu Briona sering melakukan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa matanya indah, bukan aneh seperti yang dikatakan orang-orang.

Tapi ia juga setuju dengan Briona, bahwa kedua mata Briona itu cantik. Terkadang ia juga ingin punya mata seunik itu.

Briona kembali berguling-guling. Bajunya penuh dengan serpihan rumput, tapi ia tidak peduli. Ia berhenti saat ada seorang anak kecil dan ibunya melewati tempat mereka duduk.

"Ma! Lihat deh! Cewek itu matanya aneh! Masa' yang satu warnanya biru dan yang satu warnanya hijau," celetuk anak itu.

"Hush! Jangan bicara begitu!" tegur ibunya.

Setelah itu, mereka berdua pergi berlalu. Briona melihat mereka berdua menjauh dengan tatapan sedih.

"Jangan dengarkan dia. Cuma anak kecil yang tidak tahu keindahan," ucap Aldea.

Briona hanya diam. Ekspresinya terlihat sangat sedih. Walaupun hanya anak kecil yang mengatakan itu, tentu saja hati Briona terluka.

Aldea tidak suka melihat Briona sedih seperti itu. Tapi, tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghibur sahabatnya.

Mereka berdua sama sekali tidak ada yang mengeluarkan suara. Briona kembali memejamkan kedua matanya-menyembunyikan warna matanya, sedangkan Aldea hanya diam memperhatikan Briona.

"Mungkin lebih baik aku membatalkan niatku untuk ikutan kompetisi itu," gumam Briona.

"Hah?! Kenapa?! Padahal kamu kan jago!" Aldea terkejut. "Aku senang akhirnya kamu mau maju, tapi kenapa malah mau mundur lagi?"

"Awalnya, aku memutuskan ikut kompetisi ini agar aku bisa menambah prestasiku di CV. Tapi setelah mendengar komentarmu soal naskahku, aku jadi tidak yakin."

"Brio..."

"Selain itu, kurasa menjadi komika bukanlah prestasi yang bisa dibanggakan. Mana ada perusahaan yang menganggap komika itu sebagai prestasi. Bahkan orang biasa pun memandang rendah komika."

"Briona, aku tidak setuju dengan ucapanmu. Perusahaan tidak menganggap komika sebagai prestasi? Buktinya, perusahaan ayahku mengadakan kompetisi ini. Ini bukti bahwa komika tidak dipandang rendah!"

Briona membuka sebelah matanya dan melirik sahabatnya. Aldea melanjutkan kata-katanya.

"Mana mungkin perusahaan ayahku membuat acaranya yang ratingnya bakal rendah di masyarakat! Ini bukti bahwa komika dan stand-up comedy masih disukai masyarakat dan tidak dipandang rendah sama sekali!"

Briona kembali bangkit dari rebahannya dan menatap Aldea.

"Ya tapi kan cuma perusahaanmu saja. Hanya ada satu! Itu bukan bukti kuat!" bentak Briona dengan suara keras.

"Bukan cuma perusahaan ayahku kok! Ada 2 lagi perusahaan yang mengadakan kompetisi itu!" balas Aldea dengan suara yang tak kalah keras.

"Tapi 2 perusahaan itu tidak lagi mengadakan kompetisi stand-up itu lagi kan di beberapa tahun belakangan ini!! Kenapa? Karena masyarakat tidak minat lagi! Setelah beberapa lama, perusahaanmu mengambil kesempatan ini untuk memonopoli hiburan yang dulu dikagumi masyarakat!"

Mendengar ucapan Briona, Aldea terhenyak kaget. Memang, ucapan Briona tidak sepenuhnya salah.

"Lalu, apa yang terjadi pada semua peserta yang pernah ikutan kompetisi-kompetisi itu? Paling hanya ikut main film karena mereka punya koneksi dengan pelawak-pelawak ternama atau orang-orang terkenal lainnya!" sambung Briona. Briona mengepalkan tangannya dan meninju rerumputan. "Huh!! Koneksi! Koneksi lagi!! Kenapa koneksi menentukan keberhasilan orang lain?!"

Aldea berusaha menenangkan sahabatnya. Briona kadang agak kasar kalau sudah marah. Untung saja taman itu sangat sepi sekarang. Kalau tidak, mereka pasti sudah jadi tontonan.

"Briona, kamu sudah keluar konteks. Kenapa kamu malah membahas koneksi?" tanya Aldea pelan.

"Habisnya! Kalaupun aku berhasil, aku tidak mungkin punya koneksi!"

"Tidak ada yang tidak mungkin, Brio! Kamu bisa mendapat koneksi sebanyak yang kamu mau! Aku bahkan bisa membantumu! Lagipula belum tentu karena koneksi. Bisa saja karena kemampuannya!"

"Tidak mungkin!! Semua orang kebanyakan akan menjauhiku karena warna mataku yang berbeda ini!! Kalaupun aku berhasil, aku tidak akan dilirik siapapun karena aku aneh! Selama ini aku ditolak terus pasti karena mata sialan ini! Aku ... Aku-!!!"

Kruyuuukk...

Ucapan Briona terpotong dengan suara perut keroncongan Briona dan Aldea. Mereka berdua terdiam sebentar sebelum tertawa terbahak-bahak.

"AHAHAHAHAHAHAHAH!!! Sudah waktunya makan siang, ya?" seru Aldea sambil memegangi perutnya.

"Iya. Sudah jam 1 siang," jawab Briona.

"Bagaimana kalau kita makan? "Rambut Gadis"?"

"Kemarin baru saja makan mie. Nanti bakalan usus buntu."

"Tidak akan bisa kena usus buntu kalau tidak punya usus buntu!" ucap Aldea sambil mengacungkan jempolnya.

"Ya kamu sudah tidak punya usus buntu! Karena tidak punya, malah harusnya tidak banyak makan begituan!" ucap Briona sambil menjitak kepala sahabatnya.

"Hahahaha!! Sudahlah, kita makan saja di sana! Tidak ada makanan terbaik selain mie!"

Briona hanya menatap sahabatnya dengan tatapan malas, walau sebenarnya hatinya menyetujui perkataannya.

☆☆☆

Pukul 18.00, Briona melangkah gontai masuk ke dalam rumahnya sambil memegangi perutnya yang kekenyangan. Ia baru saja kembali setelah makan beberapa porsi mie di "Rambut Gadis" bersama Aldea.

Awalnya Briona hanya mau makan satu porsi saja. Tetapi, karena bisikan setan-eh, maksudnya Aldea-mereka pun pesta mie dengan memesan beberapa porsi lagi. Begitu habis, pesan lagi. Habis, pesan lagi! Terus begitu.

Untung saja pemilik "Rambut Gadis sudah mengenal mereka berdua dan sudah terbiasa dengan kegilaan mereka.

"Dasar Aldea pembawa pengaruh buruk! Membuatku kekenyangan! Aku cuma bayar 2 porsi, sisanya dia yang bayar. Enaknya jadi orang kaya, tidak perlu memikirkan jumlah uang yang dikeluarkan," gerutu Briona. "Bagaimana nanti kalo aku kena usus buntu?"

Karena kekenyangan, terpaksa Briona menolak makan malam saat ditanya ibunya apakah mau makan malam atau tidak.

Sebenarnya Briona tidak enak menolak makan malam, apalagi ibunya sudah membuatnya susah payah, tetapi perutnya benar-benar tidak bisa menampung satu pun butir nasi.

Briona langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia rebahan di atas tempat tidurnya.

Sambil mengelus perutnya yang membuncit akibat kebanyakan makan, ia menatap atap kamarnya yang dihiasi bintang-bintang fluorescent yang bisa menyala kalau kamarnya gelap.

Tiba-tiba ingatannya melambung ke kejadian saat di taman tadi siang. Ia marah-marah dan sempat bertengkar dengan Aldea hanya karena pikiran buruknya. Briona menutup wajahnya dan merasa menyesal.

"Uuuh... Sepertinya aku sangat keterlaluan tadi siang. Aku marah-marah gak jelas bahkan sampai berteriak begitu pada Aldea. Aku harus minta maaf padanya," gumam Briona.

Briona lalu melirik ke arah Ruchi. Ferret kesayangannya itu sedang tidur di sebelahnya. Ruchi menggulung badannya sehingga terlihat seperti gumpalan bola bulu. Briona tersenyum dan mengelus kepala Ruchi.

Tiba-tiba ponsel Briona berdering. Briona melihat ke layar ponselnya dan mengetahui bahwa Aldea meneleponnya.

"Ngapain ni anak nelpon?" tanyanya pada diri sendiri.

Setelah mengangkat teleponnya, terdengar suara ceria Aldea dari speaker ponselnya.

"Alooooo, Brio! Sudah sampai rumah?"

"Sudah. Aku baru saja selesai mandi. Sekarang lagi rebahan aja sama Ruchi," balas Briona.

"Ruchi ada?!"

"Ada di sebelahku tapi lagi bobo."

"Yah, gak bisa ganggu dong. Padahal mau denger suaranya."

Briona berhenti sebentar sebelum kembali membalas.

"Um, Aldea."

"Ya, Bri?"

"Soal tadi siang ... Aku minta maaf. Berteriak padamu seperti itu ... "

Selama beberapa detik, tidak terdengar jawaban. Briona malah jadi berpikir kalau Aldea marah padanya.

"A-Aldea?" Briona mencoba memanggil Aldea.

"Oh! Brio!" Terdengar suara ceria Aldea lagi. "Tidak apa-apa, kok! Aku sudah terbiasa dengan sikapmu itu. Lagipula, aku juga sering begitu di hadapanmu. Jadi sama-sama impas!"

"Terima kasih, Aldea," Briona tersenyum mendengar balasan Aldea. "Kukira kamu marah karena tadi sempat diam."

"Oh, bukan kok! Aku tadi mematikan keran air panas. Soalnya air bath tub-ku sudah cukup panas."

"Kamu lagi mandi?"

"Yup! Sekarang aku lagi berendam di air panas. Enak banget kalo saat capek terus berendam di air panas. Rasa pegal-pegal hilang!"

"Enak ya."

"Mau lihat?"

"Aku tidak mau melihatmu mandi."

"Ah, sayang sekali. Aku mau menunjukkan kamar mandiku."

"Iya, iya. Kamar mandimu luas dan besar. Mewah sekali. Dasar orkay!"

"Hahahahahaha! Kalau kamu mau mandi di sini, kamu bebas melakukannya!"

"Akan kupikirkan nanti."

Setelah itu, tidak ada yang berbicara. Dari ponsel Briona hanya terdengar bunyi gemericik air dan sesekali bunyi bebek karet yang sudah pasti dipencet Aldea di kamar mandinya.

Briona tidak menutup teleponnya. Biar saja Aldea yang menutup teleponnya. Toh, yang pulsanya berkurang bukan pulsanya, tapi Aldea.

"Briona," tiba-tiba Aldea memanggil namanya.

Briona pun membalas, "Ya?"

"Kamu tahu kenapa aku menyarankanmu untuk ikut kompetisi itu?"

"Uh... Entahlah."

"Karena aku ingin kamu melakukan apa yang membuatmu paling bahagia. Aku suka melihatmu perform stand-up comedy. Kamu terlihat bebas, ekspresif, dan bahagia. Aku tahu, kamu ingin kerja di perusahaan gedung-gedung tinggi. Tetapi, apakah kamu bakal bahagia? Bagaimana kalau kamu malah sedih terus karena kamu berbeda dari orang lain seperti tadi?"

Briona hanya diam mendengar ucapan Aldea.

Aldea melanjutkan kata-katanya, "Kamu pasti merasakannya. Tidak ada yang memperhatikan matamu saat kamu perform stand-up comedy. Semua memperhatikan yang kamu ucapkan dan terbawa suasana hingga tertawa karena materi yang kamu bawakan. Itu yang membuatmu menyukai bidang ini kan?"

Dalam hati, Briona mengiyakan semua ucapan Aldea.

"Itu sebabnya aku yakin kamu lebih bahagia kalau meniti karir menjadi komika. Tenang saja, aku akan selalu mendukungmu. Aku pasti akan membantumu setiap kali kamu butuh bantuan! Aku yakin kamu bisa! Kamu tidak akan mengecewakan siapapun!"

Air mata menetes dari kedua mata Briona. Dada terasa sesak karena haru mendengar perkataan sahabatnya.

Selama ini kegagalan selalu menyelubungi kehidupannya dan membuat ia merasa sendiri memikul rasa sakit akibat kegagalan tersebut. Tetapi, setelah mendengar ucapan sahabatnya, Briona sadar kalau ia tidak sendiri.

"Kamu berpikir kalau komika bukan pekerjaan sungguhan kan? Kalau kamu ikut kompetisi, pasti kamu akan tahu kalau pemikiranmu itu salah! Lihat saja!" lanjut Aldea.

Briona menarik kembali ingusnya yang mengalir di hidungnya. Tangannya juga sibuk mengelap air mata yang tidak mau berhenti menetes.

Briona merasa beruntung memiliki sahabat sebaik Aldea. Aldea percaya pada dirinya walaupun dirinya sudah tidak memiliki kepercayaan diri. Rasanya awan hitam yang menyelubungi pikirannya, yang menutupi kepercayaan dirinya, mulai menghilang.

"Iya... Terima kasih, Aldea!" balas Briona dengan suara sesenggukan.

●●●

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top