UJUNG PENANTIAN
Tasya Pov
Aku sangat terkejut dengan kehadiran keluarga Hito ke rumahku untuk melamarku. Ini memang yang aku inginkan, tapi? Kenapa yang datang orangtua Raihan. Ada apa sebenarnya semua ini? Siapa Hito sebenarnya? Memang selama aku dekat dengan dia, Hito tak pernah menyebutkan nama orangtua dan saudaranya. Dia hanya menceritakan pekerjaan orangtuanya saja. Tapi, malam ini tubuhku kaku, bibirku kelu tak mampu aku berkutik. Oh Tuhan, ada apa ini? Mengapa seperti ini.
"Baiklah Pak Azka, kalau begitu kita sepakati waktu yang sudah kita bicarakan tadi. Bulan depan Hito dan Tasya akan menikah." Kepalaku sangat pusing dan pandanganku semakin buram lama-lama aku tak sadarkan diri.
Telingaku masih mendengar keributan, namun sulit untuk dibuka mata ini. Ya Allah, aku bingung dengan semua ini. Tunjukan sesuatu yang aku tak tahu ya Allah. Setelah hidungku menghirup aroma minyak angin, baru sedikit demi sedikit mataku dapat terbuka. Pandanganku masih berkunang-kunang. Saat pandanganku sudah sempurna, aku melihat Tante Mora duduk di tepi ranjang. Hanya ada aku dan Tante Mora di kamar ini, di mana yang lain?
"Jangan bangun dulu Sayang, ini diminum dulu," pinta Tante Mora membimbingku untuk meminum teh hangat.
Perlahan aku meminumnya dengan perasaan bingung dan selalu memandang raut wajahnya. Dibalik kecantikannya, aku tak merasakan aura kebahagiaan seperti dulu, aku melihat matanya sayu, seolah dia menyimpan kesedihan.
"Makasih," ucapku kembali membaringkan tubuhku.
Tante Mora tersenyum sangat manis, sambil membenarkan selimutku sebatas perut.
"Maaf Tante, acaranya jadi berantakan," ucapku tak enak mengawali obrolan kami.
Tante Mora mengelus pipiku lembut dan aku merasakan rindu pada belaiannya. Kemana saja dia selama ini? Mengapa dia hadir disaat aku menemukan pria lain, selain putranya?
"Tidak apa-apa Sayang, yang penting keputusan sudah di tetapkan. Kalian akan menikah bulan depan. Selama masa pingit, kamu jangan pergi jauh-jauh ya? Cukup pergi bekerja dan langsung pulang," katanya lembut menenangkan hatiku.
Aku menunduk dan menggenggam tangan Tante Mora. Aku mengarahkan telapak tangannya agar menyentuh pipiku, nyaman, lembut dan aku sangat merindukan sentuhan yang hampir sama dengan milik Rey ini.
"Di mana Raihan, Tante?" tanyaku menatap Tante Mora penuh rindu kepada anaknya itu.
Dia hanya tersenyum dan membelai kepalaku dengan tangannya yang bebas. Dia mengecup keningku, menghangatkan perasaanku.
"Jangan pikirkan Rey, di manapun dia saat ini, yakinlah, dia turut bahagia karena Hito akan mendampingi kamu, Sayang," ucapnya tak mampu kutahan air mataku.
"Tante, aku sangat merindukan Rey," isakku yang langsung mendapat pelukan hangat dari Tante Mora.
Aku sedih, kenapa dia tak ikut datang bersama keluarganya? Apa dia masih kecewa padaku? Apakah kakak angkat yang sering Hito ceritakan itu adalah Rey, Tante Mora dan Om Tius adalah orangtua angkat dia? Jika memang itu benar, berarti aku akan menikah dengan adiknya Rey dan aku akan menjadi adik iparnya. Tuhan, mengapa ini bisa terjadi? Rey, apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku?
"Tante aku ingin bertemu Rey," pintaku yang tak dapat lagi membendung keinginan yang sudah lama aku tahan ini, dalam pelukannya.
Tante Mora masih memelukku, dan aku merasakan tubuhnya bergetar. Apa dia juga sedang menangis sepertiku?
"Entahlah di mana Rey sekarang, Tante juga tidak tahu. Tante bahagia, karena kamu menemukan pria yang baik seperti Hito," katanya sambil merenggangkan pelukan kami.
Dia menghapus air matanya, jika Tante Mora tak tahu keberadaan Rey, berarti memang Rey menghilang. Mengapa dia lakukan itu? Apakah keputusanku waktu itu membuat hatinya sangat hancur? Jika memang begitu, aku sangat menyesalinya Rey.
"Tante, apakah Rey nanti akan datang di pernikahanku dengan Hito? Tante, maafin aku, bukan maksud aku melupakan dan menghianati Rey. Tapi, ini terjadi begitu saja, aku-" Tante Mora menempelkan jari telunjuknya di depan bibirku.
Dia selalu berusaha tersenyum, namun sorot matanya tak dapat berdusta, dia seperti menahan sesuatu, tapi apa itu? Aku juga tak tahu apa yang disembunyikan Tante Mora dariku.
"Jangan katakan itu Nak, apapun yang sudah menjadi kehendak Tuhan, tidak ada satu manusia manapun yang dapat menghindar dan menolaknya. Ini sudah takdirmu, takdirNya menunjukan, jika kamu berjodoh dengan Hito bukan dengan Rey. Meskipun keduanya anak Tante, tapi tidak ada perlakuan spesial diantara keduanya. Semua sama rata dan keduanya juga anak baik bagi Tante," ujarnya dengan linangan air mata.
Iya, memang kedua anak Tante sangat baik. Aku yang sudah terlalu bodoh melepaskan yang baik itu.
"Maafkan aku Tante." Aku langsung kembali memeluknya, meluapkan rasa yang bercampur aduk di dalam hatiku.
Entah, bagaimana aku nanti harus menghadapi Raihan. Apakah dia mau memaafkanku?
***
Raihan menatap ke luar jendela, embun pagi yang membasahi kaca jendela dengan udara sejuk, dia hanya dapat mampu mengucap syukur karena hari ini Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk menghirupnya. Hati ingin sekali keluar dari ruangan yang beraroma obar dan berbagai alat menancap di tubuhnya. Namun apa daya, tubuh tak mendukung keinginan hati. Rey, memejamkan matanya sejenak mengingat masa indahnya saat dia merasakan manisnya cinta.
"Rey," panggilan lembut sang mama menenangkan jiwa dan raga Rey saat ini.
Harus kah dia bersedih atau kah dia bahagia hari ini? Entahlah, Rey bingung harus memilih perasaan yang mana. Yang jelas, cintanya kepada Tasya tak sedikitpun pudar dari hatinya.
"Mama cantik banget," puji Rey mengelus pipi Mora yang sudah berlapis make up.
"Makasih Sayang," ucap Mora menahan air matanya agar tak terjatuh di depan Rey.
"Apa Hito sudah siap Ma?" tanya Rey menggenggam tangan Mora, yang seakan dia tak ingin melepaskannya.
Sangat erat genggaman tangan Rey, membuat perasaan Mora semakin berkecamuk. Bagaimana Mora harus bersikap? Dia tahu bahkan dia sangat mengetahui saat ini, jika kedua putranya mencintai wanita yang sama. Namun, hanya satu diantara mereka yang dapat memiliki wanita itu, dan putra yang beruntung itu adalah Hito.
"Hito sudah siap, sebentar lagi rombongan akan menuju ke Masjid Al Huda. Setelah ijab kabul, nanti langsung akan diadakan resepsi di ballroom Hotel Wahid," jelas Mora yang sebenarnya tak tega jika harus melihat Rey yang berpura-pura tersenyum dan mengorbankan perasaannya demi sang adik.
Rey menepuk tangan Mora, seakan dari hal itu dia ingin mengatakan 'Aku baik-baik saja Ma. Jangan mengkhawatirkanku'. Namun sepertinya Rey memilih untuk menyembunyikan kepedihan hatinya dengan seulas senyum yang menghiasi wajah pucatnya.
"Sudah sana, Mama temani Hito saja dulu. Biar kan Rey menunggu di sini, sebentar lagi pasti Beril dan temen-temen yang lain datang. Salam buat keluarga Tasya ya Ma," ujar Rey hanya dibalas anggukan kepala oleh Mora.
"Yakin mereka akan segera datang?" tanya Mora meyakinkan dulu sebelum dia meninggalkan Rey sementara sendiri di ruangan itu.
"Iya Ma, Rey yakin. Katanya, Beril sudah OTW kok tadi. Mungkin sebentar lagi sampai," balas Rey meyakinkan Mora agar dia segera pergi menemani Hito yang akan melaksanakan ijab kabul hari ini.
"Iya, tapi tunggu Papa dulu ya? Baru nanti Mama berangkat," ujar Mora, lantas mengecup kening Rey cukup lama, menyalurkan kekuatan dan ketenangan hati untuk Rey.
Pintu terbuka sebelum Mora melepas kecupan di keningnya. Tius datang membawakan Rey bunga yang tadi dia minta. Sebuket mawar putih dengan mawar merah yang berbentuk love mengelilingi mawar putihnya.
"Rey, seperti ini yang kamu minta, Nak?" tanya Tius memperlihatkan bunga pesanan Rey.
Rey tersenyum dan menganggukkan kepala. "Pa, boleh minta tolong ambilkan kertas dan pulpen?" pinta Rey mengubah berbaringnya menjadi setengah duduk.
Mora membimbing Rey dan menyanggah punggung Rey menggunakan bantal. Tius memberikan Rey pulpen dan secarik kertas berwarna biru laut. Rey menulis sesuatu, lantas menyelipkan kertas itu di sela-sela bunga.
"Pa, berikan bunga ini setelah semua acara selesai ya?" mohon Rey yang hanya mampu Tius jawab dengan anggukan kepala. "Ya sudah, Mama sama Papa sekarang berangkat saja, Rey nggak papa nunggu Beril sendiri. Sebentar lagi juga datang. Kasihan Hito jika harus menunggu."
Di saat keadaannya semakin melemah seperti ini saja, Rey masih memikirkan perasaan orang lain. Namun, apakah masih ada yang memperdulikan perasaannya? Entahlah, hanya itu yang dapat Rey lakukan saat ini.
"Iya suadah, kalau begitu Papa sama Mama berangkat dulu ya? Maaf," ucap Tius mengecup kening Rey.
Kata maaf dari Tius mengandung banyak makna. Entah apa yang dia maksud, namun Tius tahu, jika apa yang mereka lakukan saat ini sudah menyakiti hati putranya. Rey hanya tersenyum dan melihat kepergian kedua orangtuanya. Selepas Kepergian Tius dan Mora, Rey meloloskan air mata yang tak lagi mampu untuk dia tahan. Sakit? Iya! Bukan hanya raganya yang saat ini sakit, hatinya pun lebih sakit dan semakin terluka dalam.
"Maafkan aku Tasya, andai aku mampu menepati semua janji yang pernah aku ucap, mungkin saat ini yang akan menyebut namamu di ijab kabul, aku. Tapi apa dayaku? Aku sekarang tak mampu melakukan apa-apa sendiri, aku tidak menyalahkan siapapun, karena memang ini yang sudah digariskan dalam takdirNya untuk kita." Rey mengucap semua isi hatinya sembari menangis sekuat tenaganya agar dadanya yang terasa sesak dapat sedikit lega.
Hanya Rey yang berada di ruangan itu, namun Tius dan Mora masih dapat mendengarkan apa yang dia ucapkan tadi, karena mereka belum benar-benar pergi dari tempat itu. Mereka masih menunggu Beril di depan pintu, Tius akan menunggunya, sampai Beril di hadapan mereka. Tius memeluk Mora yang sudah menumpahkan air matanya, begitupun dirinya yang selalu mendongakkan wajahnya, agar air mata yang dia tahan tak terjatuh.
"Tante, Om," sapa Beril yang sudah berdiri di hadapan mereka.
Mora melepas pelukannya, lantas menyeka air matanya. "Beril, tolong jagain Rey, sementara Tante sama Om mau nemenin Hito dulu ya?" pinta Mora tulus sambil memegang bahu Beril.
"Siap Tan, Om. Pasti akan Beril jaga. Maaf yang lain ikut hadir di acara Hito dan Tasya, jadi hari ini Beril sendiri yang akan menjaga Rey," jelas Beril.
"Iya nggak papa, sekarang kamu masuk dan jangan bilang sama Rey, kalau kita bertemu di sini. Karena setahu Rey, kami sudah berangkat," pinta Tius menepuk bahu Beril.
"Oke Om, ya sudah, Beril masuk sekarang ya Om. Salam buat Hito." Tius dan Mora mengangguk mengerti. Lantas mereka melenggang pergi, sedangkan Beril masuk ke ruang rawat Rey.
"Hai Bro," sapa Beril sambil menutup pintunya pelan.
Rey menghapus air matanya sebelum Beril memergokinya yang baru saja menangis. Rey memasang senyum palsunya, Beril tahu jika itu bukanlah senyum ketulusan. Beril juga melihat sisa air mata di area mata Rey, namun dia akan berpura-pura menghiraukannya.
"Gimana perasaan lo? Semakin membaik?" basa-basi Beril duduk di samping brankar yang Rey tempat.
Rey hanya mengangguk dan tersenyum. Mereka banyak mengobrol, hari ini Rey banyak berbicara, semua yang ada di hatinya dia curahkan kepada Beril. Beril pun menjadi pendengar setia Rey.
***
Suasana pesta yang meriah tergelar di ballroom salah satu hotel ternama di kota itu. Senyum bahagia tak lepas dari bibir Hito dan Tasya, meski di sudut hati mereka ada sesuatu yang mengganjal. Tius dan Mora pun berusaha tegar dan memasang senyuman bahagia, meski hatinya resah memikirkan keadaan Rey yang berada di rumah sakit, demi menjamu tamu, mereka rela tersenyum menutupi perasaan yang sesungguhnya. Hingga acara selesai, mereka berkumpul di salah satu meja makan.
"Tasya selamat ya Sayang, akhirnya jadi menantu Mama juga," ucap Mora tersenyum manis mengelus lengan Tasya yang berada di atas meja.
"Iya Ma, makasih untuk semuanya." Tasya memeluk Mora dan entah mengapa perasaannya tak bisa los, lepas untuk bahagia. Ada sesuatu yang mengganjal, tapi apa? Apakah dia masih belum dapat melupakan Rey? Mungkin saja, karena di sudut hati kecilnya, masih tersimpan rapi cintanya pada Rey.
"Tasya, ini buat kamu." Tius memberikan sebuket bunga titipan Rey kepada Tasya.
Hito memperhatikan bunga itu, dia sudah dapat menebak, itu pasti dari Rey. Hito harus dapat mengontrol perasaannya saat ini, cemburu bukanlah perasaan yang tepat untuk sekarang.
"Waaaah, bagus banget Pa. Makasih ya Pa, sudah repot-repot ngasih spesial begini. Papa kok tahu sih, aku suka banget sama bunga mawar," puji Tasya mencium aroma bunga tersebut dan tersenyum sembari memejamkan matanya, berharap jika dia membuka mata, Rey sudah berdiri di depannya.
Memang itu yang Tasya tunggu sedari tadi, melihat Rey di antara mereka. Namun, Tasya tak menemukan Rey sedari tadi. Melihat batang hidungnya saja tidak. Kemana Rey sebenarnya? Pikir Tasya.
"Kamu suka dengan bunga itu?" tanya Tius memastikan jika menantunya menyukai bunga yang dia bawa.
"Sangat Pa, aku sangat menyukainya, karena ini dulu sering banget Rey-" ucapan Tasya tertahan dan wajahnya seketika berubah suram. "Maaf," lanjutnya menatap Hito.
Hito hanya tersenyum dan mengangguk, memahami keadaan yang sulit baginya. Namun ini adalah pilihannya dan dia harus menerima apapun keadaan yang akan terjadi.
"Eh, itu ada kertas apa?" tanya Hito memecahkan suasana yang semakin terasa sungkan dan tegang.
Tasya mengambilnya, dan di sana tertulis sesuatu yang sangat Tasya kenali pemilik tulisan itu. Dia membaca dengan perasaan rindu berselimut kecewa.
Kaulah yang pertama menjadi cinta
Tinggalah kenangan
Berakhir lewat bunga
Seluruh cintaku untuknya...
Bunga terakhir...
Kupersembahkan kepada yang terindah
Sebagai satu tanda cinta untuknya
Bunga terakhir...
Menjadi satu kenangan yang tersimpan
Takkan pernah hilang tuk selamanya
Betapa cinta ini sungguh berarti
Tetaplah terjaga
Selamat tinggal kasih
Ku telah pergi selamanya...
Lirik Lagu Bunga Terakhir - Romeo
Tasya membekap mulutnya menahan tangisan yang menyesakkan dadanya. Hito yang duduk di sampingnya lantas memeluknya dan mengusap punggung Tasya agar istrinya itu tenang.
"Aku mau ketemu Raihan, tolong pertemukan aku dengannya," pinta Tasya yang sudah tak mampu membendung perasaannya lagi.
Hito menatap kepada orangtuanya dan mertuanya, dari tatapan itu, Hito meminta persetujuan. Azka menatap Tius dan mengangguk, lantas Tius menganggukkan kepala kepada Hito.
"Tapi, kamu harus janji sama aku dulu," kata Hito masih memeluk Tasya yang sudah menangis sesenggukan.
"Ya, aku mau berjanji apapun itu, asal kalian mempertemukan aku sama Rey," sahut Tasya di dalam tangisnya.
Hito menghela napas dalam, meski ini berat untuknya, namun dia harus memberikan kesempatan kepada Rey dan Tasya untuk menyelesaikan kisah cinta mereka yang belum tuntas. Hito tak ingin rumah tangganya nanti terbayangi oleh kehadiran Raihan di dalam benak Tasya.
"Jika nanti kamu bertemu Rey, kamu harus kuat, jaga perasaan kamu dan aku memberikanmu waktu untuk menyelesaikan urusanmu dengan Rey," tukas Hito yang langsung ditanggapi anggukan mantap Tasya.
Sebelum membuka pintu, Hito menggenggam tangan Tasya erat dan menarik napasnya dalam. Setelah berganti baju yang lebih nyaman, mereka semua pergi menemui Rey ke rumah sakit dini hari, karena Tasya sudah tak mampu lagi menunggu hingga pagi tiba. Tius menepuk bahu Hito, agar membuka pintunya sekarang. Hito memantapkan hatinya dan perlahan membuka pintu ruang rawat Rey. Terlihat Rey sedang berbincang bersama Beril, saat pintu terbuka, Rey dan Beril menoleh bersamaan. Tatapan mata Tasya dan Rey terkunci, pandangan mereka sama-sama mengabur karena terhalang air mata. Tasya terkejut dengan keadaan Rey saat ini, sedangkan Rey terkejut tak percaya, bahwa keluarganya akan mebawa Tasya menemuinya. Memang bertemu dengan Tasya adalah keinginan yang kuat bagi Rey, namun jika hal itu akan membuat Rey melihat Tasya rapuh di depannya, lebih baik tidak terjadi. Tasya melepaskan genggaman tangan Hito dan menangis histeris menghampiri Hito.
"Jahat! Kamu jahat sama aku Rey!" isakan memilukan Tasya sambil memukul lengan Rey.
Tanpa berucap Rey menarik tangan Tasya, tubuh Tasya jatuh ke dalam pelukan Rey. Tasya menangis sejadinya dalam pelukan Rey, Hito memalingkan wajahnya menghindari pemandangan di depan matanya. Mora yang melihat hal itu lantas menggenggam tangan Hito erat, memberikan kekuatan untuknya agar dia kuat menahan perasaan apapun itu. Hito tersenyum dan mengangguk kepada Mora.
"I love you," ucap Mora menenangkan hati Hito dengan gerakan bibir tanpa ada suara.
"I love you to, Ma," balas Hito langsung memeluk Mora dan mengajaknya keluar dari kamar rawat Rey diikuti yang lainnya.
Mereka hanya ingin memberikan waktu agar Tasya dan Rey mengobrol banyak dan menyelesaikan semuanya. Walaupun Mora tahu ada satu hati putranya yang terluka, setidaknya dia pernah mengajarkan akan ada yang terluka saat kebahagian mulai tercipta. Begitupun hati Hito yang sesunggungnya terluka melihat Tasya dan Rey.
"Kenapa kamu lakukan ini sama aku, Rey? kenapa? aku sayang sama kamu, sampai kapanpun aku sayang, Rey." Tasya menghentikan pukulan kecilnya di dada Rey.
Rey tak sanggup berkata apa-apa, ia hanya bisa memeluknya semakin erat, erat dan erat. Rasa rindu yang luar biasa perlahan menguap karena kehadiran Tasya. Ini adalah harapan terakhirnya untuk bisa bertemu Tasya, walupun ia tak pernah mengucapkannya secara langsung pada Mora ataupun Tius.
Suasana lenggang, hanya isak tangis Tasya dan mesin-mesin yang biasa menopang hidup Rey. Rey mengangkat tubuh Tasya untuk bisa menatapnya. Menatap mata indah yang selama ini selalu dirindukannya, bibir yang sudah menjadi candu baginya, wajah yang selalu memenuhi pikirannya dan nama yang tak pernah hilang dari hatinya. Pandangan Rey mengabur seiring rasa bahagia telah dipertemukan dengan bidadari hatinya.
"Berbaringlah di sini, Tasya. Aku ingin bisa memelukmu untuk terakhir kalinya." Rey menggeser sedikit tubuhnya, memberi ruang pada Tasya untuk bisa berbaring di sisinya.
Tasya sedikit ragu karena mau tidak mau, suka tidak suka, Tasya sudah resmi menjadi istri Hito, apapun yang terjadi itulah takdir yang ada. Tapi Rey memohon padanya. Akhirnya Tasya menuruti kemauan Rey.
Mereka saling berhadapan satu sama lain, kedua mata indah itu saling menyatu dan mengikat. Terlihat jelas bahwa cinta itu masih ada di sana.
"Maaf, aku sudah meninggalkanmu tanpa pesan. Maaf, aku juga sudah membuatmu selalu menangis. Maaf --" Tasya menutup bibir Rey dengan telunjuknya.
"Maafmu aku terima Rey." Tasya menyusupkan kepalanya di dada bidang Rey. Tasya merasakan ada yang berbeda pada tubuh Rey. Dekapannya yang dulu nyaman terasa sedikit ragu.
'Tuhan, maaf aku sudah langcang memeluk istri adikku, aku hanya ingin menyapanya sebelum aku pulang ke rumahMu. Jaga selalu keluargaku ini, maka aku akan dengan ikhlas pulang menemuiMu.'
Mora, Tius, Hito dan yang lain kembali masuk ke ruangan Rey. Mereka sudah terlalu lama meninggalkan Rey dan Tasya berdua. Hati Hito memanas melihat pemandangan di depan mata, tapi ia hanya bisa mengepalkan tangannya dan tetap diam berdiri di sisi Mora.
"Tasya, Rey," panggil Mora yang membuat Tasya dan Rey menoleh. Ada rasa tak enak di hati Tasya saat Mora memergokinya sedang seperti itu.
"Mama, Hito." Tasya menurunkan kakinya, namun Rey mencegah tangannya agar tak pergi.
"Tetaplah di sini, kali ini saja. Aku mohon, temani aku," pinta Rey dengan pandangannya yang mulai sayup-sayup.
Tasya menatap Hito, Rey mengetahui maksud tatapan itu. "To, sini!" pinta Rey, lantas Hito mendekat dan duduk di sebelah Rey. "Terima kasih ya adik kecil," ucap Rey mengacak rambut Hito dengan senyuman manis. "Tolong jaga dia baik-baik. Gue percaya lo bisa buat dia bahagia," sambungnya menyatukan tangan Tasya dan Hito di atas perutnya.
Meski rasa cemburu menghampirinya saat ini, namun dia menghempaskan jauh-jauh perasaan itu. Hito menatap Rey yang tersenyum meski di dalam hatinya merasa sakit.
"Aku minta sama kalian, setelah ini, jangan pernah lagi mengungkit masa laluku dengan Tasya. Jangan biarkan masa lalu membebani perjalanan rumah tangga kalian. Aku sudah bahagia sekarang," dusta Rey menatap Hito dan Tasya bergantian.
"Hito anak yang baik, makasih ya Sya, sudah menerima adik aku. Cintailah dia dengan caramu, jangan jadikan aku bayangan dan beban. Lupakan semua yang pernah terjadi diantara kita. Mulailah cerita baru bersama Hito dan rancanglah masa depan kalian bersama," petuah Rey tulus membuat Hito menangis tak tertahankan. Apalagi Tasya, dia sudah tak mampu berbuat apa-apa kecuali menangis dan menatap wajah sayu Rey.
"Rey," lirih Hito yang tak mampu lagi untuk mengucapkan kata kepada kakaknya itu.
Hito menangis memeluk tubuh Rey erat. Rey menepuk bahu Hito dengan senyuman terbaiknya.
"Sudah, jangan begini, dada gue sesek," kata Rey terbata mengangkat tubuh Hito menjauh darinya.
Rey menghela napas dalam, dadanya semakin sesak, padahal selang oksigen masih terpasang di hidungnya.
"Maaf Rey," ucap Hito menghapus air matanya. Rey hanya tersenyum dan tangannya memegangi dadanya yang semakin sakit.
"Ma," panggil Rey menoleh kepada Mora, seakan dia meminta bantuan kepada sang mama agar dadanya tak sesakit itu.
"Iya sayang." Dengan cepat Mora mendekat, bertukar tempat dengan Hito.
"Mamaku yang cantik, maafin Rey sering buat Mama sedih, tapi jauh di lubuk hati Rey, Rey sayang banget sama Mama. Sampai kapanpun, malaikat tak bersayap Rey ya Mama." Mora tak bisa membendung lagi airmatanya, rasanya sungguh sesak saat Rey mengatakan itu.
Mora ketakutan, sangat ketakutan saat ini. Dia takut jika akan terjadi sesuatu dengan Rey. Tius mendekat bersama teman-teman Rey. Febri sudah menangis di dalam pelukan Ranggaz. Heldy, Gibran, Beril dan Andika, semua mengelilingi brankar Rey.
"Papa," panggil Rey. Tius mendekat dan menggenggam tangannya erat. "Papa, maafin Rey. Rey lelah, Rey menyerah," sambungnya membuat bibir Tius kelu tak sanggup berucap dan air matanya jatuh tak tertahankan.
"Sayang, jangan bicara begitu. Biarpun kamu suka nakal, tapi kamu tetap anak Mama. Kamu harus sembuh ya, Nak. Lihat Papa, adik, dan teman-temanmu di sini. Kami semua rindu Rey yang ceria," ucap Mora dengan sedih yang sudah tak terbendung lagi.
Rey hanya bisa mengulum senyumnya, matanya yang sayu terlihat menyedihkan. Tapi, Rey selalu bersikap bahwa dia baik-baik saja.
"Guys, terima kasih buat kalian semua. Jangan pernah merindukan gue, karena gue meninggalkan banyak kenangan untuk kalian. Om, thanks buat semua ilmu DJ-nya," ucap Rey tulus. "Febri, makasih ya udah jagain Tasya selama ini," sambung Rey membuat Tasya semakin terisak begitupun Febri dan Mora.
"Gue nggak mau lagi jagain dia, kan udah ada Hito! Kalau gue sibuk jagain Tasya, terus kapan gue akan gantian dijagain," seloroh Febri yang sudah merasakan jika akan terjadi sesuatu dengan Rey.
Rey hanya tersenyum menanggapi candaan yang mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya untuk mereka. Terlihat beberapa dokter dan perawat yang masuk di ruangan itu. Semua menyadari keadaan semakin terasa mencekam, Tasya menggenggam tangan Rey kuat. Hatinya takut dan sangat ketakutan. Apakah kali ini dia akan kehilangan Rey untuk selamanya?
Rey menggenggam tangan Mora dan membalas genggaman tangan Tasya, lantas menciumnya bersamaan. Memandang bergantian semua wajah keluarga dan para sahabatnya, rasa syukur tak pernah henti ia ucapkan karena ia sudah dilahirkan di keluarga yang baik dan sangat menyayanginya. Perlahan tapi pasti mata itu mulai terpejam, genggaman tangan mulai melemah. Grafik di monitor yang awalnya seperti rumput yang bergoyang sekarang berubah seperti tanah lapang. Reihan telah berpulang kepangkuan sang pencipta untuk selamanya.
"Reihannnn .... " Tasya langsung histeris menyadari itu. Dia berusaha mengguncangkan tubuh Rey kuat.
Dia yang merasa paling menderita karena baru saja bertemu dengan laki-laki yang sempat sangat dicintainya, dan kini mengantarkannya pulang ke pangkuan Ilahi.
Hito menghampiri dan merengkuh pundak Tasya. Membawanya dalam dekapannya. Dia juga sedih melihat panutannya selama ini pergi untuk selamanya. Mora juga ikut menangis dalam dekapan Tius. Febri pun sama, dia sudah berada dalam dekapan Ranggaz. Heldy dan Beril ikut mengantar kepergian Rey dengan doa. Heldy mendekat, menyatukan kedua tangan Rey di atas perut, menutup wajah Rey, agar matanya tertutup rapat.
"Tenanglah kamu di sana anakku. Om selalu mendoakanmu yang terbaik, terima kasih untuk semangat dan kerjasamanya DJ Rey." Heldy mencium kening Rey.
Heldy mundur dan bergantian dengan teman-teman yang lain. Diantara teman-temannya, yang paling bersedih adalah Beril, karena baru saja, dia hampir seharian ini selalu menemani Rey, mengobrol banyak hal dan kini tak terduga, ternyata itu kebersamaan mereka tuk terakhir kalinya.
"Rey, tenanglah di sana. Kita semua menyayangi lo." Beril memeluk Rey untuk yang terakhir kalinya.
Tim medis semua mendekat dan melepas semua alat yang ada di tubuh Rey. Tasya tak sadarkan diri, Mora terus menangis histeris dalam pelukan Tius, tak kalah sedihnya hingga Ranggaz membawa Febri duduk di sofa dan selalu memeluknya, berusaha menenangkannya.
Ruang inap Rey terdengar menyayat hati. Siapa yang tak sedih saat ditinggalkan seseorang yang sangat dicintai. Karena setiap pertemuan selalu memiliki akhir perpisahan, entah itu ditinggalkan ataupun kematian. Hanya Tuhan yang tahu akan berakhir seperti apa hidup setiap hambaNya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top