SERPIHAN SESAL

Cinta apa yang sedang terjadi...
Seminggu tanpa berita...
Seminggu tanpa cerita...
Seminggu juga tanpa bicara...

Dan cinta sedang apakah dirimu,
Mengapa tak ada kabar,
Mengapa tak jua datang

Dimanakah dirimu berada,
Cinta jangan engkau tinggalkan aku,
Aku tau aku yang bersalah,
Ku pikir ku bisa tanpa mu,
Tapi aku tak sekuat itu,
Kumohon kau kembali ke peluk ku,
Namun bila engkau tak kembali,
Mungkin lebih baik ku mati saja,

Serpihan sesal - by : Maia Estianty

Tasya memetik gitarnya sambil melamun dan bersenandung, menyanyikan lagu pilu, yang diciptakan oleh Maia Estianty itu. Hatinya kini hampa dan hidupnya tak berwarna lagi. Air mata tak pernah kering membasahi wajahnya. Menyesal? Iya! Itulah yang Tasya rasakan saat ini. Jika dia dapat kembali memutar waktu, dia tak akan pernah meminta Rey untuk meninggalkannya. Merasa kuat dan bisa tanpa Rey? Itu hanya pembohongan pada dirinya sendiri. Kenyataannya, dia rapuh tanpa Rey.

"Woiy!" seru Febri mengagetkan Tasya yang sedari tadi melamun di depan jendela kamarnya dan melihat keluar, entah apa yang sedari dia lihat. Namun pandangannya kosong, hanya nama Rey yang memenuhi isi kepalanya saat ini.

"Ngagetin aja lo Feb." Tasya memperhatikan gitarnya dan memetiknya asal. "Darimana lo?" tanya Tasya menatap Febri yang sudah duduk di tepi ranjangnya.

"Dari kampus lah, emang lo! Di dalam kamar terus kayak ayam bertelur. Keluar yok!" ajak Febri yang merasa iba melihat keterpurukan Tasya.

"Males ah!" jawab Tasya berdiri, meletakkan gitarnya lantas membanting tubuhnya yang kini terlihat kurus dan layu di tempat tidur.

Febri ikut merebahkan tubuhnya di samping Tasya, mereka berdua diam menatap langit-langit kamar.

"Feb, apa Rey masih mencintai gue ya?" tanya Tasya sedih mengingat wajah tampan Rey saat tersenyum manis padanya. Buliran air bening mengalir di ujung mata Tasya.

"Pasti Sya, gue tahu, Rey bukan tipe cowok yang mudah jatuh cinta. Apalagi, lo tahu sendiri, bagaimana dia selama ini menjaga hatinya hanya buat lo seorang. Walaupun hidupnya di keliling cewek cantik," ujar Febri mencoba menenangkan hati Tasya.

Meskipun begitu, tetap saja Tasya masih berharap untuk dapat bertatap muka dengan Rey. Dia akan melakukan apapun agar Rey memaafkannya dan kembali lagi padanya.

"Gue kangen sama dia Feb, kira-kira dia masih mikirin gue nggak ya Feb?" ujar Tasya, menoleh kepada Febri.

"Pasti Sya, gue jamin, pasti hingga saat ini, dia masih sangat mencintai lo. Apalagi, dia selalu memberikan benda ataupun barang-barang ke lo, meskipun secara diam-diam, tapi itu tandanya dia masih memperhatikan lo. Ya nggak?" Febri menguatkan hati Tasya.

"Ya, lo bener Feb." Tasya menghela napas berat, lantas dia memejamkan matanya.

"Malam ini jatah lo main di cafe kan Sya?" tanya Febri mengingatkan Tasya, bahwa malam ini adalah jatah dia mengisi live music.

"Ya Feb, makanya tadi gue latihan sendiri," sahut Tasya tanpa membuka matanya.

"Ya udah, entar malam gue temanin. Sekalian gue sama Ranggaz mau makan di cafe Cherry." Febri bangkit dari duduknya saat menerima sebuah pesan singkat dari kekasihnya.

Tubuhnya menegang, lalu dia melirik Tasya sekilas dan membalas pesan singkat dari Ranggaz. Hati Febri kalut, bibirnya kaku dan saat ini dia ingin melepaskan tangisannya. Namun dia tak mampu melakukan itu di depan Tasya. Dia memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Di sebuah kamar yang cukup luas dan dilengkapi dengan peralatan medis, tubuh Rey membujur di tempat tidur. Wajahnya pucat pasih, tubuhnya kurus kering hingga lingkaran hitam mengelilingi matanya. Mora terus saja menangis di dalam pelukan Hito. Heldy, Beril, Gibran dan Ranggaz selalu setia menjaga Rey. Sudah dua hari ini Rey tak sadarkan diri. Namun jantungnya masih berdetak normal.

"Andaikan bisa, Mama ingin menukar posisimu sama Mama, Rey. Biarkan Mama yang menanggung rasa sakitmu, biar Mama yang tersiksa dengan penyakit yang bersarang di dalam dirimu, Mama nggak bisa terus melihatmu menderita seperti ini," ujar Mora di dalam pelukan Hito.

"Maaaaa, jangan bicara seperti itu. Rey cuma lelah, dia nggak papa Ma. Dia cuma tidur," ucap Hito menghibur Mora.

Namun Mora bukanlah anak kecil yang dapat dikelabuhi, dia punya mata yang dapat melihat, dan dia melihat, bahwa Rey tersiksa dengan peralatan medis yang menancap serta menempel pada tubuhnya.

"Ma," panggil Tius yang baru saja masuk ke dalam kamar Rey.

Hito melepaskan dekapannya, lantas Tius berbisik di telinga Mora. "Tapi Pa, sebelum Rey tak sadarkan diri, dia nggak mau dibawa ke rumah sakit. Dia meminta dirawat di sini," bantah Mora saat Tius membisikkan, telah menyetujui, jika tim medis yang merawat Rey akan memindahkannya ke rumah sakit.

"Ma, peralatan di sini kurang memadai. Tolong, jangan egois. Pikirkan keadaan Rey sekarang. Ini demi Rey," bujuk Tius memegang kedua lengan Mora agar memandangnya.

Mora menoleh kebelakang, menyapu pandangannya ke semua teman Rey. Anggukan persetujuan diawali oleh Heldy dan disusul dengan yang lainnya.

"Tante, ini demi kebaikan Rey. Kami yakin, Rey akan lebih baik jika dipindahkan ke rumah sakit. Di sana, Rey akan mendapatkan perawatan yang intensif," timpal Ranggaz membujuk Mora.

"Ya sudah, jika itu demi kesembuhan Rey." Akhirnya Mora menyetujui keputusan Tius untuk memindahkan Rey ke rumah sakit.

Semua sibuk membantu perpindahan Rey. Hito duduk lemas di ruang tengah apartemen, sambil memegang sebuah cincin pertunangan Rey dan Tasya. Keinginan Rey selalu terngiang di benak Hito. Mora menyentuh bahu Hito dan duduk di sampingnya.

"Ma," lirih Hito menyandarkan kepalanya di bahu Mora.

Mora menahan air matanya agar tak tumpah, namun sekuat apapun dia menahannya, tetap saja air matanya selalu lolos. Dia mengelus kepala Hito dan menciumnya penuh kasih sayang.

"Apa Hito jahat jika memenuhi permintaan Rey, Ma?" tanya Hito bingung dan Ragu.

"Bagaimana dengan kata hatimu?" Bukannya menjawab, Mora justru bertanya balik kepada Hito.

"Hito bingung Ma, Hito takut jika memenuhi permintaan Rey, sama artinya Hito menyakiti hati Rey. Dan, bagaimana jika sampai Tasya tahu yang sebenarnya, apa hatinya nggak semakin hancur dan kecewa, Ma?" ujar Hito menangis dalam pelukan Mora.

"Jika kakakmu sudah memutuskan sesuatu, itu berarti dia sudah memikirkan benar-benar risikonya. Kalau Rey meminta itu padamu, berarti, Rey sangat mempercayaimu. Lakukan apa yang menurutmu baik, dan jangan kamu jadikan Rey sebagai beban. Rey, sudah mengikhlaskan Tasya, dan dia menitipkan cintanya kepadamu, Nak. Lanjutkan perjuangan cintanya yang belum usai, bawa impiannya sampai di penghujung kebahagian yang sudah selama ini dia angankan. Hanya kamu yang dapat Rey percaya." Mora mengelus kepala Hito yang bersandar di dadanya. Hito menumpahkan segala beban di hatinya dalam dekapan wanita yang sudah menyayangi dan membesarkannya seperti ibu kandungnya sendiri.

Hito adalah bayi yang ditinggalkan orangtuanya di rumah sakit saat Rey berusia 3 bulan. Karena Mora dan Tius merasa iba dengan bayi mungil tak berdosa itu, akhirnya Hito diangkat sebagai anak mereka. Seiring berjalannya waktu, keakraban Hito dan Rey melebihi saudara kandung. Raihan benar-benar menyayangi adik kecilnya itu, meski mereka tak dilahirkan dalam satu rahim, namun air susu yang mengalir di darah mereka sama.

"Ma, sebelum Rey tak sadarkan diri, dia memberikan ini kepada Hito." Hito memperlihatkan cincin pertunangan Rey dan Tasya kepada Mora.

Hati Mora bergetar hebat saat menyadari jika Rey sudah benar-benar merelakan semuanya. Mora mengangguk dan berkata, "simpanlah ini, hingga tiba waktunya. Mama dan Papa percaya, jika kamu mampu membasuh luka di hati Tasya, atas jejak yang Rey tinggalkan. Bahagiakan gadis itu, Sayang."

Hito hanya dapat mengangguk, berusaha menerima takdirNya. Jika memang ini adalah takdir Tuhan yang sudah digariskan kepadanya, Hito akan menjalankan sesuai sekenario yang Tuhan ciptakan untuknya.

"Tan, ambulan yang membawa Rey ke rumah sakit sudah jalan." Beril memberi tahu Mora, jika ini waktunya mereka menyusul Rey ke rumah sakit.

"Baik Beril, kita berangkat sekarang." Mora berdiri menyusul Tius yang sudah lebih dulu berada di luar apartemen.

Beril duduk di samping Hito dan menepuk punggungnya agar adik dari sahabat baiknya itu dapat tenang. "Ini bukan akhir segalanya To, lo harus bisa lebih tegar dan kuat di depan Tante dan Om. Jangan menambah beban hati mereka karena melihat lo terpuruk. Gue yakin, kalau Rey melihat keadaan lo sekarang, pasti dia akan marah besar."

Hito mendongakkan kepalanya menatap Beril. Seulas senyum terbaik dari bibir Beril, menguatkan hati Hito. "Bener kata lo Ril, gue nggak bisa begini terus. Mama butuh sandaran yang kuat, Mama butuh gue Ril."

Beril mengangguk mantap dan menepuk-nepuk punggung Hito pelan. "Cuci muka lo, terus kita susul yang lain ke rumah sakit," titah Beril membantu Hito bangkit dari sofa.

Malam pun tiba, seperti yang sudah Febri katakan. Kini dia duduk menunggu Ranggaz di meja cafe tempat Tasya live music.

"Hai, maaf, kamu udah lama menunggu?" tanya Ranggaz yang langsung duduk di sebelah Febri.

"Lumayan," jawab Febri lemas. "Gimana keadaan Rey? Apa dia belum sadar juga?" tanya Febri sedikit berbisik agar tak ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.

"Kondisinya semakin melemah, sampai tadi aku tinggal ke sini, dia belum sadar juga. Dia sekarang dipindahkan ke rumah sakit, untuk mendapatkan perawatan intensif," jelas Ranggaz yang tak kalah pelannya dengan Febri.

"Aku kasihan sama Tasya, semakin hari dia makin terpuruk. Nggak ada semangat untuk dia hidup, andai Rey tak melarang untuk kita bicara sama Tasya, sudah aku bongkar rahasia yang menyesakkan dada ini," gumam Febri sembari melihat Tasya yang sudah cek sound di atas podium.

Wajahnya yang sayu dan matanya yang sembab tak dapat tertutupi, meskipun tersamarkan oleh make up tipis.

"Sudahlah, kita turuti saja kemauan Rey. Mungkin Rey nggak mau lihat Tasya semakin sedih, jika melihat kondisinya sekarang," ujar Ranggaz mengelus rambut Febri penuh kasih sayang.

"Selamat malam pengunjung cafe Cherry. Terima kasih atas kedatangannya di cafe ini. Pada malam ini, saya akan membawakan beberapa lagu. Untuk pembukaannya, saya akan menyanyikan lagu Jangan Hilangkan Dia dari Rossa."

Musik melantun indah seiring syair dinyanyikan oleh Tasya.

Karna malam ini
Saat yang terindah bagi hidupku
Oh Tuhan jangan hilangkan dia
Dari hidupku selamanya

Sungguh ku tak ingin
Hatiku jadi milik yang lainnya
Ku bersumpah kau sosok yang tak mungkin kutemukan lagi

Apa jadinya jika tanpamu disini
Lebih baik aku mati saja

Jangan Hilangkan Dia- by: Rossa

Ranggaz dan Febri dapat menangkap rasa yang ada dalam setiap bait lagu, yang Tasya bawakan. Tak terasa air mata Tasya, lagi-lagi tumpah tak terbendung. Semua ingatannya bersama Rey masih melekat indah di dalam memorinya. Apalagi, tempat ini begitu bersejarah bagi mereka. Sungguh, tersiksa batin Tasya saat ini.

'Ketahuilah satu hal, apapun yang terjadi, bagaimanapun nanti kita kedepannya, kamu harus tahu, cuma kamu wanita satu-satunya yang aku cintai dengan segenap jiwa dan ragaku. Sekalipun aku nggak ada di hadapanmu, aku akan tetap mencintai kamu.'

Kata-kata Rey selalu Tasya ingat sampai kapanpun, dia tak akan melupakannya.

"Aku di sini masih setia menunggumu dan akan selalu sabar menunggumu, Darling. Seperti janji yang sudah pernah aku ucapkan kepadamu." Tasya membatin usai menyanyikan lagu yang memilukan hati siapapun yang mendengarkannya. Dia mengingat akan janjinya kala itu saat bersama Rey.

'Aku akan selalu bersedia menunggu kamu kembali dan menyiapkan bahuku saat kamu merasa lelah. Aku selalu siapkan dekapan hangat untuk kamu, agar kamu selalu nyaman berada di sisiku. Sampai kapanpun, aku akan selalu mencintai kamu dan akan selalu setia bersama kamu.'

"Sayang, aku nggak tega lihat Tasya seperti itu," ujar Febri mendongakkan wajahnya ke atas, agar air matanya tak keluar.

Namun sia-sia, air matanya tetap tumpah meski dia sudah menahannya. Ranggaz menghapus air mata Febri dengan tisu dan merangkul kekasihnya agar tak lagi bersedih karena merasa iba kepada sahabat baiknya.

Ranggaz menyadarkan kepala Febri pada bahunya. "Sudah, kamu jangan ikut sedih begini. Kalau Tasya lihat, dia akan semakin terpuruk dan sedih. Sudah ya, senyum dong." Ranggaz mengelus kepala Febri dan memintanya untuk tidak menangis lagi.

Tasya yang melihat perhatian dan perlakuan Ranggaz kepada Febri dari podium, semakin sedih mengingat saat Rey memperlakukannya dengan sangat manis. Tasya merindukan saat-saat seperti itu dengan Rey.

"Kamu dimana sih Rey? Aku sangat merindukanmu." Tasya membatin sambil terus menatap Ranggaz dan Febri.

Tengah malam, Tasya pulang bersama Febri. Sampai di depan rumah Tasya, Febri melihat Tasya tak kunjung turun dari mobilnya. Dia melihat Tasya melamun menyandarkan kepalanya di kaca pintu mobil.

"Sya, lo mau turun atau mau ikut gue pulang ke rumah?" ucap Febri menyadarkan Tasya dari lamunannya.

"Eh iya, sorry Feb." Tasya melepaskan sabuk pengamannya. "Makasih ya Feb," ucap Tasya lantas dia keluar dari mobil Febri.

"Ya, langsung tidur ya Sya. Besok pagi gue jemput lo, kita berangkat ke kampus bareng," seru Febri melambaikan tangannya kepada Tasya.

Tasya hanya mengangguk dan membalas melambaikan tangan kepada Febri. Seiring kepergian Febri, Tasya masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju ke kamarnya dan menghempaskan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Tasya menatap langit-langit kamarnya sambil meraba lehernya yang terpasang kalung pemberian Rey saat malam terakhir Rey mengantarnya pulang.

"I miss you so much, Darling."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top