SELAMAT TINGGAL MASA LALU
Hito memetik gitarnya di bawah pohon yang rindang, di taman rumah Tasya. Tasya merebahkan tubuhnya begitu saja di padang rumput hijau sembari bernyanyi sesuai intro yang Hito petik. Kurang lebih satu tahun bersama Hito, hati Tasya yang hampa sedikit demi sedikit mulai terisi dengan perhatian yang Hito berikan. Dinginnya hati kini mulai kembali menghangat dengan sanjungan dan pujian Hito.
Sebelumnya tak ada yang mampu
Mengajakku untuk bertahan
Di kala sedih
Sebelumnya ku ikat hatiku
Hanya untuk aku seorang
Sekarang kau di sini hilang rasanya
Semua bimbang tangis kesepian
Tasya menatap wajah tampan Hito, perasaannya lebih baik saat bersamanya, Tasya menemukan kenyamanannya lagi, setelah Rey pergi tanpa kabar.
Kau buat aku bertanya
Kau buat aku mencari
Tentang rasa ini
Aku tak mengerti
Akankah sama jadinya
Bila bukan kamu
Lalu senyummu menyadarkanku
Kau cinta pertama dan terakhirku
Bibir Hito tersenyum saat Tasya mencolek hidung mancungnya saat menyanyikan bait 'Kau cinta pertama dan terakhirku'.
Sebelumnya tak mudah bagiku
Tertawa sendiri di kehidupan
Yang kelam ini
Sebelumnya rasanya tak perlu
Membagi kisahku saat ada yang mengerti
Sekarang kau di sini hilang rasanya
Semua bimbang tangis kesepian
Tasya beranjak dari berbarinya, dia duduk bersila di samping Hito dan menyandarkan kepala di bahunya. Tasya ingin menikmati kebersamaannya dengan Hito. Dia tak ingin masa kelamnya terulang lagi, Tasya berharap Hito tak seperti Rey, yang akan meninggalkannya begitu saja tanpa ada kabar.
Bila suatu saat kau harus pergi
Jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik
Karena senyummu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku
Cinta Pertama dan Terakhir - by : Sherina
Bait terakhir yang dinyanyikan Tasya membuatnya takut. Takut jika Hito akan pergi darinya. Hito mengusap kepala Tasya lembut dan mengecup pucuk kepalanya, rasanya hati Tasya gemetar dan nyaman. Tasya memejamkan matanya, tangannya ia lingkarkan di lengan Hito.
"Hito?" panggil Tasya lembut tetap masih memejamkan matanya.
"Hemmm," gumam Hito masih terus mengelus kepala Tasya sangat lembut.
"Kamu dari mana sih?" tanya Tasya membuat Hito tak mengerti apa maksud pertanyaan Tasya itu.
"Maksud kamu apa?" tanya Hito menegakkan tubuh Tasya agar menghadap padanya.
Tasya menatap ke dalam manik mata Hito, dia tersenyum sangat manis lantas Tasya berkata, "Kenapa kamu dikirim Tuhan saat hidupku sedang terpuruk. Apa kamu malaikat tak bersayap?" tanya Tasya dengan wajah polos menatap wajah Hito sampai memiringkan kepalanya.
Hito tertawa lepas melihat wajah lugu Tasya, dia mencubit pipi Tasya gemas, hingga Tasya mengaduh dan mengelus pipinya yang memerah karena cubitan gemas Hito.
"Iya, aku malaikat tak bersayap yang Tuhan kirimkan buat membangkitkan mayat hidup seperti kamu," seru Hito beranjak dari duduknya.
Tasya mengikuti Hito yang berjalan mendekati air mancur yang ada di tengah taman tersebut. Dia mengajak Tasya duduk di bangku bawah pohon yang berdaun lebat, hingga udara di sekelilingnya terasa sejuk meski siang ini matahari bersinar terik.
"Tasya, aku boleh berkata sesuatu sama kamu?" ujar Hito sangat hati-jati agar Tasya tak tersinggung dengan apa yang akan dia katakan nanti.
"Iya, boleh. Tanya saja To," sahut Tasya duduk santai di sebelah Hito, sambil menatap wajahnya yang tampak serius.
Hito menghela napasnya dalam, lalu dia sedikit memutar tubuhnya agar mereka dapat saling berhadapan. Hito menggenggam tangan Tasya erat, dengan penuh percaya diri, Hito berkata, "Aku mencintai kamu, jangan tanya alasannya apa, karena aku sendiri tak tahu. Aku tulus, terlepas dari masa lalu kamu dan masa kelabu kamu. Aku ingin kamu mengawali cerita baru bersamaku. Tutuplah cerita lamamu, bukalah lembar baru bersamaku," pinta Hito tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam terlepas dari permintaan Rey.
Keterbiasaannya bersama Tasya membuat cinta di dalam hati Hito terpupuk dengan sendirinya. Tanpa paksaan dan tanpa bujukan dari pihak manapun. Air mata Tasya menggantung di pelupuknya. Mungkin inilah waktunya untuk dia merelakan masa lalunya agar dia dapat melanjutkan cerita hidupnya yang sempat tertahan karena kehilangan Rey. Raihan, nama itu akan selalu memiliki tempat tersendiri di dalam hati Tasya. Meskipun dia menutup cerita lamanya, namun cintanya kepada Raihan tak akan dapat semudah itu dia lupakan.
"Hito, aku masih bingung dengan perasaanku. Aku merasa nyaman denganmu, tapi hatiku masih setengah hati menerima kehadiranmu," jujur Tasya yang berharap Hito akan memahami kejujurannya.
"Aku akan membantumu untuk membuka hati, agar kamu dapat menerima kehadiranku sepenuh hatimu," ucap Hito mengelus rambut Tasya dan menatap wajahnya lekat.
"Terima kasih untuk bersabar selama ini," ucap Tasya dengan senyum yang mengembang disudut bibirnya.
"Aku akan selalu bersabar menanti, aku dan kamu berubah menjadi kita." Hito membawa Tasya ke dalam pelukkannya, mereka berdua merasakan rasa nyaman yang sama dalam setiap dekapan yang menenangkan.
"Ayo, kita buat hari ini menjadi milik kita." Hito membantu Tasya bangun dari duduknya. Tasya yang terlihat bingung hanya mengikutinya saja, ia percaya Hito bisa membuatnya bahagia dengan caranya sendiri.
"Tunggu di sini sebentar," pinta Hito.
Hito berlalu ke belakang rumah Tasya, dia sudah biasa datang ke tempat ini, jadi sudah tak asing lagi menjamah tempat ini.
"Pak pinjam dulu ya," izin Hito pada penjaga rumah Tasya.
"Iya, Den. Hati-hati di jalan," pesannya sebelum Hito pergi.
Hito kembali menghampiri Tasya yang masih setia menunggunya di halaman, Hito menuntunnya sampai ke hadapan Tasya.
"Kita jalan-jalan ya. Naik ini biar romantis." Hito menepuk-nepuk jok sepeda.
"Naik ini?" tanya Tasya bingung. "Aku naik di mana? Ini nggak ada boncengannya, To."
"Kamu duduk di sini, nah biar nggak sakit, pakai ini buat alas ya?" Hito melepas jaketnya dan meletakkannya di sepeda. "Nah, sekarang kamu duduk sini." Hito menepuk-nepuk besi depan yang sudah dialasi jeket miliknya.
"Ini nggak apa-apa aku dudukin, To?" tanya Tasya ragu.
"Nggak apa-apa yang penting kamu nyaman. Ayo buruan naik, nanti keburu kesorean loh."
Hito sudah siap duduk di atas sepeda, Tasya juga sudah siap di boncengan depan.
"Aku berat loh, To."
"Nggak apa-apa, aku kan superman. Siap ya?" Tasya mengangguk sebagai jawaban.
Hito dan Tasya menyusuri jalanan komplek rumah Tasya, jika sore menjelang, banyak ibu-ibu yang membawa anaknya jalan-jalan ke taman. Pandangan Hito lurus ke depan, Tasya dapat merasakan hembusan napas Hito yang memburu karena berada tepat di sisi kiri pipi Tasya dan debaran jantung Hito yang berdetak cepat seperti memburu.
Tasya hanya bisa memejamkan matanya, membiarkan angin menerpa wajah ayu miliknya. Hito benar, ia harus bisa membuka hati untuk cinta yang baru, hidupnya harus tetap melangkah maju, meningglkan kenangan yang akan menjadi arsip, yang suatu saat bisa kembali dibuka untuk memberikan arti bahwa ia mampu dan kuat melewati ini semua, memberikan kekuatan lagi bahwa ada seseorang yang dengan setia menemaninya membasuh luka dan mengobatinya, memberikan memori baru betapa berharganya hidup ini untuk disia-siakan.
"Kita sampai, ayo turun." Hito memberikan ruang untuk Tasya turun.
"Kita ngapain ke sini? aku lagi diet loh," tolak Tasya saat ia tahu Hito mengajaknya ke kedai es krim.
"Satu cup es krim, nggak akan buat kamu gendut, Sya." Hito mengacak rambut Tasya pelan.
"Please jangan es krim, mending aku diajak makan yang pedes-pedes deh." Tasya lagi-lagi menolak.
"Yang ada perut kamu sakit, Tasya. Aku jamin es krim ini bebas lemak. Eh, nggak bebas juga sih, seenggaknya es krim ini pakai susu yang rendah lemak, jadi aman dikonsumsi. Ayo lah, nggak pakai nolak." Hito sedikit menarik tangan Tasya untuk masuk ke dalam.
"Selamat sore, selamat datang di kedai Fress." Penjaga toko memberikan senyum, sapa dan salam pada Hito dan Tasya.
"Terima kasih." Hito menundukkan kepalanya membalas salam itu.
"Kamu tunggu sini, aku pesankan es krim buat kamu."
Hito memesankan ice cream vanila dengan toping potongan strowbery dan kiwi di atasnya. Sedangkan miliknya ditaburi kacang almond dan saus coklat. Dia hanya ingin membuat perasaan Tasya bahagia dengan memakan es krim ini.
"Es krim datang, kali ini aman dan tanpa efek samping." Hito meletakkan es krim milik Tasya di hadapannya. Wajah Tasya terlihat berseri saat melihat buah kesukaannya menjadi toping es krim.
"Terima kasih, To."
"Sama-sama cantik."
Tasya menikmati dengan lahap tiap suap yang masuk ke dalam mulutnya, hati terasa senang dan pikiran meresa tenang. Dalam diam Hito terus memperhatikannya, ada sesuatu yang rasanya ingin dia keluarkan dalam hatinya. Rasa yang awalnya biasa menjadi luar biasa, rasa yang awalnya hanya ingin menjaga menjadi ingin selalu bersama. Cinta datang karena terbiasa bersama, cinta datang karena takdir Tuhan yang memang menyatukannya.
"Maaf." Hito menghapus sisa es krim yang ada di sudut bibir Tasya. Seperti dalan sinetron, perempuan yang mendapatkan perlakuan itu akan merasa istimewa dan jatuh cinta, tapi untuk saat ini, cinta Tasya masih berpegang teguh pada sosok Raihan, walaupun dalam hatinya tak memungkiri bahwa Hito membuat dirinya merasa nyaman. Hanya waktu yang bisa menjawab sejauh apa hubungan mereka nantinya ke depan.
"Aku kenyang, enak banget ternyata. Kapan-kapan ajak aku ke sini lagi ya," pinta Tasya.
"Siap, pasti diantar. Ayo kita pulang, kali ini aku nggak takut kalau kamu jadi berat," ucap Hito bergurau.
"Jadi tadi kamu bohongin aku ya kalau aku nggak berat?" Tasya memalingkan wajahnya kesal dengan bibir yang sudah manyun-manyun.
"Ih, itu bibir minta banget di cium ya," ucap Hito, reflek Tasya merapatkan bibirnya kuat. "Udah, ayo kita pulang, kali ini kamu naik di belakang ya, biar ngerasain sensasi yang beda," imbuhnya sambil menarik tangan Tasya untuk keluar dari kedai.
Hito lebih dulu naik untuk memberikan keseimbangan saat Tasya ikut naik dan berdiri di kaki kuda. Tasya sedikit ragu untuk berpegangan, dia hanya menyentuh ragu bahu Hito.
"Pegangan yang benar ya, aku nggak akan tanggung jawab kalau kamu jatuh. Aku sudah memperingatkanmu ya."
"Iya," jawabnya singkat.
"Oke, siap meluncur."
Tak sampai 10 menit, Hito dihadapkan dengan jalanan menurun. Dia sempat menghentikan sejenak sebelum melintasi jalanan itu.
"Masih mau seperti ini atau pegangan yang kuat?" tanyanya dengan tatapan lurus ke depan.
"Jadi ini yang kamu bilang udah nggak takut kalau aku tambah berat?"
"Hhhmm."
Akhirnya Tasya memilih pegangan yang erat pada leher Hito. Dia juga lebih memilih cari aman daripada harus terjatuh karena tak mendengarkan Hito. Tangan mungil itu sudah melilit sempurna di leher Hito. Hito sudah mulai mengayuh sepedanya sedikit kencang untuk menikmati angin senja saat itu.
"Aku terbang, aku terbang bersama masalaluku yang terbawa angin dan meninggalkanku. Haruskah dia menjadi angan yang entah hinggap di mana. Karena daun yang jatuh tak pernah membenci angin, begitupun aku yang tak akan pernah membenci Rey, yang sudah meninggalkanku tanpa kabar dan pesan." Tasya tertegung menikmati angin, samar-samar dia juga mendengar suara Hito yang memintanya untuk berpegangan lebih kuat.
Sampainya di rumah Tasya, Hito langsung berpamitan pulang. Bukan pulang ke apartemen, namun pulang ke rumah sakit tempat Rey dirawat. Perlahan Hito menurunkan knop pintu, di dalam ruangan itu ada Mora, Beril, Ranggaz dan Febri yang menemani Rey. Hito menutup pintunya kembali sangat pelan agar tak meninbulkan gaduh, setelah dia masuk ke dalam.
"Ma," sapa Hito mengecup kening Mora lantas menyapa yang lainnya juga.
"Kakakmu baru saja tidur, jangan diganggu dulu," kata Mora mengingatkan Hito saat dia sudah duduk di samping tempat Rey berbaring.
"Iya Ma," jawab Hito menatap wajah Rey yang semakin pucat dan lingkaran hitam di matanya semakin tampak jelas.
Hito mengangkat tangan Rey yang terbebas dari jarum infus. Dia mengelus dan menempelkan di pipinya.
"Gue udah melakukan apa yang lo mau. Tinggal menunggu waktunya saja," ucap Rey dengan bibir bergetar.
Mora mengelus punggung Hito agar dia tenang dan tak meneteskan air mata di hadapan Rey. Itu akan membuat Rey rapuh dan bersedih.
"Maaf Ma," ucap Hito dengan suaranya yang tertahan di tenggorokan.
"Kamu sudah makan?" tanya Mora sedikit berbisik pada Hito.
Hito hanya menggeleng, memang sedari tadi pagi dia belum sempat mengisi perutnya dengan nasi. Hanya es krim yang mengganjal perutnya saat tadi bersama Tasya.
"Makan dulu sana, jangan sampai kamu sakit," titah Mora mengelus kepala Hito lembut dan mengecup pucuk kepalanya penuh kasih sayang.
"Ma?" panggil Hito memutar tubuhnya menghadap Mora yang berdiri di belakangannya.
"Iya," jawab Mora menatap ke dalam mata Hito yang tersirat kesedihan di balik sorot mata bahagianya.
"Hito mau cerita sesuatu," ucap Hito yang Mora dapat memahami, pasti tak jauh dari ceritanya dengan Tasya.
Segala apapun yang dia lakukan bersama Tasya, Hito selalu berusaha terbuka dengan Mora. Dia ingin Mora mengikuti perkembangan hubungannya dengan Tasya. Jika sewaktu-waktu Rey mempertanyakan, Hito dapat meminta bantuan Mora untuk menjelaskan tanpa harus menyinggung perasaan Rey. Bagaimanapun, Hito tahu, jika cinta Rey kepada Tasya sangat besar dan kuat, hingga detik inipun, Hito tahu jika Rey juga masih mencintai Tasya.
"Iya, nanti ya? Sekarang kamu makan dulu sana." Mora tersenyum sangat manis meski matanya tak dapat dibohongi jika dia sedang bersedih.
"Gue temenin yuk To," ujar Beril.
"Yang, aku nemenin Hito sama Beril ya? Kamu di sini aja nemenin Tante Mora," bisik Ranggaz kepada Febri.
"Iya," jawab Febri tersenyum manis.
Ranggaz menyusul Hito dan Beril yang sudah lebih dulu ke luar. Sedangkan Febri dan Mora mengobrol kecil untuk mengusir kesunyian di ruangan tersebut. Sesampainya mereka di salah satu tempat makan di dekat rumah sakit, Hito tampak melamun. Ada suatu beban yang sedang ia pikirkan.
"Ngelamun aja lo! Kenapa?" tanya Beril menyenggol bahu Hito agar tersadar dari lamunannya.
Hito meraup wajahnya, sambil mendesah kasar. Ranggaz dan Beril saling memandang tak mengerti.
"Gue berasa jadi orang jahat buat kakak gue sendiri. Dengan lancang gue jatuh cinta sama cewek yang sangat dia cintai," ujar Hito merasa bersalah kepada Rey.
Ranggaz menepuk bahu Hito, memberikannya semangat dan nasihat. "Lepaskan beban pikiran buruk lo itu, To. Rey, sudah mengikhlaskan Tasya buat lo. Gue yakin, dia juga akan ikut bahagia, jika sampai suatu saat lo bisa meminangnya."
Hito menatap Beril dan Ranggaz bergantian. Mereka tersenyum dan Beril mengangguk menyetujui ucapan Ranggaz.
"Ya, gue akan terus berusaha buat mewujudkan keinginan Rey," tekat bulat Hito.
Malam hari yang sunyi dan dingin, Tasya duduk di depan cermin hias. Dia melihat kalung yang menggantung di lehernya dari pantulan dirinya di cermin itu.
"Maaf Rey, sudah waktunya aku melanjutkan hidupku," kata Tasya dengan air mata menggantung di pelupuknya sambil tangannya perlahan melepas kalung pemberian Rey itu.
Bukan maksud hati untuk melupakan, hanya saja Tasya ingin belajar lebih ikhlas melepaskan apa yang memang tidak ditakdirkan untuknya. Mempertahankan sesuatu yang bukan miliknya sama saja menyakiti hati yang seharusnya bisa lebih bahagia. Rey mungkin memang bukan untuknya, tapi dia sudah memberikan warna yang indah dalam setiap langkah yang dia tempuh selama ini.
"Rey, terima kasih untuk rasa cinta yang pernah ada diantara kita. Kamu akan tetap tinggal di hati ini." Tasya memegangi dadanya. "Menempati sisi kosong hati yang memang menjadi tempatmu saat ini. Aku selalu berdoa agar kamu menjadi laki-laki yang hebat, semua harapanmu tercapai dan yang pasti kamu selalu bahagia. Hanya satu permintaanku kali ini, aku ingin bertemu denganmu, memelukmu dan mengucapkan maaf mungkin untuk yang terakhir kalinya. Terima kasih cinta." Airmata luluh begitu saja, membasahi figura foto yang dirinya dan Rey tersenyum bahagia. Inilah saatnya menyimpan kenangan dalam kotak masalalu.
Tasya memasukkan semua barang-barang pemberian Rey termasuk kalung itu dan menyimpannya di dalam lemari.
"Selamat tinggal masa lalu, aku harap harimu lebih menyenangkan setelah denganku." Sekuat hati Tasya memberikan senyumannya yang tulus.
"Aku selalu mencintaimu, apapun keadaanku, Tasya," ucap hati yang tak pernah mati akan cintanya yang sejati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top