MERANA
Semua sahabat Rey tak pernah sekalipun absen mendatanginya. Mereka silih berganti untuk selalu ada buat Rey. Beril, selalu menghibur Rey dengan semua foto dan video Tasya yang dia ambil diam-diam. Heldy selalu membawa laptop kesayangannya, dan memperlihatkan hasil remix-nya kepada Rey, agar Rey dapat memberikan saran dan referensi musik untuknya. Sesekali Rey ikut menciptakan remix yang dapat didengarkan teman-temannya dan Hito. Hito pun sengaja selalu membawa hasil remix Rey, agar dapat dia putar saat bersama Tasya. Hitung-hitung menghibur Tasya yang selalu merindukan hasil remix Rey, meski tanpa dia tahu yang sebenarnya, jika remix itu memang hasil ciptaan Rey.
"Bagaimana kabarnya?" tanya Rey saat Hito duduk di samping brankar.
Semua teman-teman Rey yang berada di ruangan itu melihat Hito dan Rey bergantian. Beril dan Ranggaz saling berpandangan, entah apa yang akan mereka jawab. Hari-hari bersama Tasya membuat Hito mulai nyaman dan perlahan dia mulai tertarik untuk menyelami hati Tasya lebih dalam.
"Dia sekarang lebih baik. Awalnya memang susah membangkitkan dia dari keterpurukan, tapi berkat bantuan teman-teman, gue bisa sedikit demi sedikit membasuh luka di hatinya," jawab Hito yang sadar telah menyakiti hati Rey, sambil menunduk karena tak sanggup menatap wajah Rey.
Namun Rey sudah mengikhlaskan Tasya, jika memang pada akhirnya dia mencintai Hito, karena itu juga kemauannya. Ranggaz menghampiri Hito dan menepuk bahunya untuk menyalurkan semangat.
"Apa gue masih bisa melihatnya?" pinta Rey menatap Hito dengan matanya yang sayu dan tubuhnya yang semakin kurus, kepala Rey sudah plontos tak ada rambut yang tersisa karena efek kemoterapi yang ia jalani selama ini.
Hito menyapu pandangannya kesemua teman-teman yang ada di sana. Terutama Heldy, dia mengangguk, disusul Beril, Gibran dan Hito menoleh ke belakang, melihat Ranggaz yang memegangi bahunya. Ranggaz menepuk bahu Hito, menyetujui teman-tannya.
Akhirnya Hito ikut mengangguk, "gue akan atur waktunya. Lo mau lihat dia dimana?" tanya Hito melihat seulas senyum tipis dari bibir Rey yang memucat.
"Ajak dia ke studio, gue ada lagu buat dia," pinta Rey membuat Hito menatapnya bingung.
"Tapi Rey? Lo nggak bisa keluar dari sini. Bagaimana kalau Mama sama Papa tahu? Pasti gue dimarahi," tolak Hito takut akan membuat Mora dan Tius marah karena membawa Rey keluar dari rumah sakit.
Rey menatap ke jendela, "gue bosen To, hanya berbaring di ruangan ini. Gue pengen keluar, kulit gue udah kangen tersentuh panasnya mata hari. Hidung gue, sampai lupa bagaimana rasanya menghirup udara sejuk di pagi hari. Jangan sampai mata gue lupa, wajah dunia ini To," seru Rey membuat Hito tak mampu menolak permintaannya.
"Kita nanti akan bantu lo, To," seru Heldy disetujui yang lain.
Hito menghela napasnya dalam, lantas dia berdiri dari tempat duduknya. "Gue akan coba bicara sama Mama dulu ya Rey."
Tak hanya dengan Mora, Hito juga akan mencoba meminta izin pada Dokter Fajar. Tanpa Hito, Rey dan yang lain tahu, Mora mendengar percakapan mereka dari balik pintu kamar perawatan Rey. Hito membuka pintu, ternyata Mora sudah menangis di depan pintu.
"Mama?" lirih Hito terkejut. Sebelum Rey melihat Mora menangis, Hito langsung menutup pintunya.
Mora langsung memeluk Hito dan menangis di dekapannya. Hito semakin tak tenang jika Mora sudah seperti ini, pasti ada sesuatu dengan Rey.
"Mama? Katakan sesuatu. Jangan buat Hito ketakutan, Ma," pinta Hito menegakkan tubuh Mora.
Mora menghapus air matanya, lantas mengajak Hito duduk di bangku yang ada di depan ruang rawat Rey. Perasaan Hito semakin tak karuan, saat Mora menggenggam tangannya sangat erat.
"Mama?! Tolong jangan diam saja. Ada apa ini?" tanya Hito tak sabar ingin mengetahui sesuatu dari Mora.
"Hito," lirih Mora sambil sesenggukan dan terus menghapus air matanya yang tak pernah terbendung.
"Iya Maaaa? Ada apa? Bicara saja, jangan buat Hito takut Ma." Hati Hito di selimuti rasa ketakutan yang luar biasa, apa lagi sepertinya Mora sangat berat untuk berbicara.
"Rey," ucapan Mora menggantung, membuat jantung Hito semakin terpacu kencang. "Kata Dokter ...." Lagi-lagi Mora menangis tak kuasa mengatakan apapun kepada Hito.
Air mata Hito tertahan di pelupuknya, "Ma ... katakan, ada apa? Dokter bilang apa? Ada apa dengan Rey?" desak Hito.
Mora memeluk Rey sangat erat, tubuhnya gemetar dan berbisik di telinga Hito, "kata Dokter Fajar, Rey nggak akan bisa bertahan lama lagi, Hito."
Seluruh tubuh Hito seketika lemas, seperti tak memiliki tulang. Dadanya sesak dan bibirnya bergetar menahan tangisannya.
"Mama sudah mendengar permintaan dia kepadamu dan teman-temannya tadi. Mama nggak mau itu menjadi permintaan Rey untuk yang terakhir kalinya. Mama mau Rey selalu meminta apapun itu, Mama akan menurutinya, selama itu membuat hatinya bahagia," kata Mora masih memeluk tubuh Hito yang lemas karena mendengar ucapannya tadi.
"Jangan katakan itu Ma, itu bukan permintaan terakhir Rey. Rey akan terus bersama kita, sampai dia punya keluarga, dan Mama bisa lihat cucu dari hasil pernikahan Rey," hibur Hito yang belum dapat menerima kenyataan.
Mora hanya mengangguk dan terus mengusap air matanya yang tak henti-hentinya mengalir. Selain pasrah, apa yang dapat Mora perbuat? Segala usaha sudah dia lakukan, jika Tuhan berkehendak, siapapun tak mampu menolaknya. Mora mulai menata hatinya untuk mengikhlaskan Rey, jika sewaktu-waktu Tuhan akan mengambilnya dari sisi Mora.
"Sudah, jangan bersedih lagi. Mama akan memintakan izin pada Dokter Fajar, agar Rey bisa keluar sementara dari rumah sakit." Mora menghapus air mata Hito yang membasahi wajah tampannya.
"Hito?" lirih Mora menatap ke dalam manik mata Hito.
"Iya Ma," sahut Hito menggenggam erat tangan Mora.
"Jangan pernah tinggalkan Mama, kalau seandainya nanti Rey sudah meninggalkan Mama. Cuma kamu yang Mama dan Papa punya," pinta Mora menggetarkan hati Hito.
Hito semakin menggenggam erat tangan Mora, air matanya terus mengalir hingga menetesi tangan Mora yang berada di genggamannya.
"Hito nggak akan pernah meninggalkan Mama sama Papa. Ini janji Hito Ma, Hito akan selalu ada di samping Mama," kata Hito tulus.
Mora menangkup pipi Hito sambil tersenyum disela tangisannya. Lalu Mora mengecup kening Hito penuh kasih sayang, hingga Hito dapat merasakannya sampai di dalam detak jantung.
"Ya sudah, Mama izinkan dulu sama Dokter Fajar. Kamu tunggu saja di kamar Rey ya." Mora beranjak dari duduknya. Dia menghapus air matanya dan menghela napas dalam sebelum dia melenggang pergi ke ruang Dokter Fajar.
Sebelum Hito masuk ke ruang rawat Rey, dia lebih dulu membasuh wajahnya, agar tak terlihat sehabis menangis.
***
Melalui proses panjang dan atas bantuan teman-temannya, akhirnya kini Rey dapat duduk di ruang tersembunyi yang ada di dalam studio. Ditemani Beril dan Gibran, Rey menunggu Hito untuk mengajak Tasya masuk ke studio itu.
"Rey, mereka sudah mau sampai di sini," kata Beril setelah mendapat pesan singkat dari Ranggaz.
Agar tak menimbulkan kecurigaan pada Tasya, Hito dan teman-temannya sengaja agar Ranggaz mengajak Febri juga. Itupun Febri juga sudah mengetahui rencana mereka semua.
"Gue deg-degan, sama kayak waktu lamaran di cafe dulu," kata Rey memegangi dadanya.
Beril dan Gibran hanya tersenyum dan berjongkok di samping kursi roda Rey. Mereka dapat memahami bagaimana perasaan Rey saat ini. Antara rindu, cinta, namun juga harus merelakan.
"Gue udah pasang beberapa kamera di ruangan ini. Jadi nanti lo bisa setiap waktu lihat videonya," ujar Beril sedikit berbisik.
"Makasih ya Ril, lo emang selalu bisa diandalkan kalau soal dokumentasi," puji Rey menepuk bahu Beril bangga.
Sedangkan di depan studio, Heldy dan Andika sudah menunggu Hito dan Ranggaz. Tak berapa lama, akhirnya Mobil Hito berhenti di pelataran.
"Turun yuk!" ajak Hito kepada Tasya.
Tasya melihat studio yang penuh kenangannya bersama Rey dulu. Lagi-lagi dia harus mengingat Raihan, setelah beberapa bulan ini hatinya sudah mulai membaik karena kehadiran Hito.
"Hey! Malah bengong. Ayo turun!" ajak Febri yang sudah keluar dari mobil Hito.
Tasya dengan ragu melepas sabuk pengamannya, sedangkan Hito dan Ranggaz sudah lebih dulu menyapa Andika dan Heldy yang duduk bersantai di bangku akar kayu jati di depan studio.
"Feb, gue di sini aja ya? Ngapain sih kita ke sini?" tanya Tasya yang tak ingin kembali mengingat kenangannya dulu bersama Rey di tempat itu.
"Tasya sayang, gue tadi kan udah bilang sama lo, kalau Ranggaz mau ngajakin Hito belajar remix musik DJ. Ya ... sini tempatnya," jelas Febri membukakan pintu untuk Tasya.
"Tapi Feb, emang nggak ada studio lain ya? Kenapa harus di sini sih?" protes Tasya yang masih saja enggan untuk turun dari mobil.
"Kan Ranggaz emang latihannya di studio ini Sya. Lagian Om Heldy juga nongkrongnya di sini. Kamu kenapa sih? Nggak mau lihat Hito belajar remix? Hmm?" desak Febri memaksa Tasya agar turun dari mobil.
Dengan sangat malas akhirnya Tasya ikut menyusul masuk ke ruang studio. Dari balik kaca tempat Rey bersembunyi, dia dapat melihat Tasya sangat jelas, namun dari luar, kaca itu terlihat gelap.
"Dia masih sama sepeti yang dulu, cantik," gumam Rey saat Tasya masuk ke ruang studio.
Mata Rey berkaca-kaca, tangannya terulur menyentuh kaca yang dia harap menembus hingga menyentuh wajah cantik wanita yang kini masih menempati tahta tertinggi di hatinya, selain Mora.
"Iya, dia masih sama seperti dulu, hanya sekarang terlihat lebih kurus," timpal Gibran diangguki oleh Rey.
"Sya, sini! Duduk!" Febri menarik tangan Tasya agar duduk di sebuah kursi samping ruang Rey bersembunyi.
Dari situ, Rey dapat melihatnya lebih jelas dan entah mengapa bagaikan magnet yang aktif, hati Tasya merasakan keberadaan Rey. Dia menoleh ke kaca sampingnya, sambil menyentuh kalung pemberian Rey.
"Rey," lirih Tasya yang mengingat semua kenangannya dulu saat bersama Rey di ruangan itu.
Wajah Tasya terlihat jelas di mata Rey, namun sayang, kaca tebal menghalangi Rey untuk menyentuh wajahnya langsung. Rey bahagia, ternyata kalung pemberiannya terpasang indah di leher Tasya, senyum tipis menghiasi bibir Rey.
"Sya, aku habis remix lagu, kamu coba dengerin dan nanti kamu kasih komentar ya?" kata Heldy yang sebenarnya remix itu hasil ciptaan Rey.
"Kenapa aku sih Om?" tanya Tasya memalingkan wajahnya menoleh pada Heldy yang duduk di depan komputer.
Heldy hanya tersenyum dan mulai memutar remix yang Rey buat dan diisi dengan suara Ranggaz feat Gibran.
"Sya, hiraukan suara emas gue dan Gibran ya," celetuk Ranggaz yang berdiri di belakang turntable bersama Hito.
"Sejak kapan suara lo bagus! Dari dulu juga suara lo cempreng!" cerca Tasya membuat semua tergelak tawa.
Rey yang mendengar jawaban Tasya ikut tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dari dulu memang Tasya selalu seperti itu saat bersama Ranggaz. Bukannya marah, Ranggaz justru ikut tertawa.
"Nih Sya, aku puterin ya? Biar jadi contoh buat Hito. Katanya dia mau belajar DJ," seru Heldy siap menekan enter pada keyboard.
Jantung Tasya berdebar keras, ingatannya tentang Rey mulai terngiang di kepalanya. Heldy menekan tombol enter dan musik remix pun mulai melantun seirama dengan suara yang Gibran dan Ranggaz keluarkan. Ketukan demi ketukan selaras sesuai dengan nada lagu.
Kau, menyisakan tangis
Pertengkaran semalam, Diantara kita
Kini, ku harus berdiri
Ditepian hati, Bimbang tuk memilih
Seketika Tasya mengingat malam saat dia meminta Rey menjauhinya. Rey yang melihat wajah sendu Tasya ingin sekali mendekap dan mengecup keningnya. Tasya menunduk sambil memegangi kalung pemberian Rey.
'Rey, maafkan aku,' batin Tasya menyesali semua yang terjadi malam itu.
Kau harus tahu, Dalam hatiku bergetar
Waktu ku tahu, Kau terluka saat aku...
Buatmu menangis, Buatmu bersedih
Inginku memelukmu, dan ucapkan maaf
Maafkan aku, Maafkan aku, Maafkan aku...
Febri memeluk Tasya dari belakang, dia tahu bagaimana perasaan Tasya saat ini. Semua terdiam, tak kuasa melihat Tasya yang mulai menurunkan air matanya.
Aku, aku pun mencoba
Tuk beri yang terbaik, untuk kau miliki
Kini, Kau harus berdiri
Ditepian hati, Bimbang tuk memilih
Kubuat kau menangis, Buatmu bersedih
Ingin ku memelukmu, Dan ucapkan maaf
Maafkan aku...Buatmu menangis, Buatmu bersedih
Maaf - by : Jikustik
Hingga musik berhenti, Tasya memecahkan tangisannya.
"Gue kangen sama Rey! Gue mau Rey, Feb! Gue mau Rey!" pekik Tasya membuat Rey ikut menangis di balik kaca.
"Maafin aku, aku juga sangat merindukanmu," lirik Rey memegangi dadanya yang terasa sesak.
Gibran dan Beril menahan tubuh Rey agar tak terjatuh. Beril memeluk Rey, menyalurkan kekuatannya agar Rey tetap bertahan. Hito yang tak tega melihat Tasya histeris lantas mendekatinya dan mengelus kepalanya lembut. Tasya mendongak dengan wajahnya yang sudah basah air mata, lalu dia memeluk perut Hito, dengan ragu Hito membalas pelukan Tasya dan mengelus punggungnya agar lebih tenang. Febri tak kuasa menahan tangisannya, dia keluar dari studio sambil membekap mulutnya. Ranggaz yang melihat kekasihnya keluar, langsung mengejarnya.
"Sayang!" panggil Ranggaz menahan tangan Febri.
Febri langsung berhamburan di pelukan Ranggaz, dengan sabar dan penuh perhatian, Ranggaz membalas pelukannya sambil mengelus kepalanya lembut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top