MENGENANGMU
Di dalam ruang yang penuh dengan alat medis, Rey masih setia berbaring di tempat tidurnya. Bosan? Pastilah dirasakan Rey, namun itu semua terlupakan saat para sahabatnya datang membesuk. Kali ini Ranggaz, Febri dan Beril datang membawakannya buah anggur. Mora tersenyum menyambut kedatangan sahabat Rey itu.
"Bagaimana keadaannya Tante?" tanya Febri mencium pipi kanan dan kiri Mora. Yang lain menjabat tangannya dan menciumnya penuh rasa hormat.
"Rey, dari semalam nggak bisa tidur, tadi sama dokter disuntik, baru saja bisa tidur," jawab Mora mengecilkan suaranya.
Ranggaz dan Beril duduk di sofa, sedangkan Ebie duduk di samping tempat tidur Rey bersama Mora. Wajah kuyu dan pucat pasih tampak tercetak jelas pada Rey.
"Tan." Febri menyentuh lengan Mora, "Tante, sudah makan?" tanya Febri perhatian.
Karena selama Tius dinas, Mora menjaga Rey sendiri. Tito bisa menemani, sepulang dia bekerja, itu pun hanya bisa menemani saat malam saja, menggantikan Mora agar sang mama dapat tidur untuk menjaga staminanya.
"Sudah," jawab Mora mengangguk lemah.
Wajahnya terlihat lelah dan kurang tidur. Kantong matanya tampak berat dan hitam. Febri merasa tak tega melihat keadaan Mora yang seperti itu.
"Tante tidur saja dulu, biar aku gantiin jaga Rey," titah Febri.
Mora menatap Rey yang memejamkan matanya. Sudah beberapa hari, Rey tak dapat tidur karena kesakitan. Kadang, dia merintih hingga tubuhnya menggelinjang. Melihatnya seperti itu, hati Mora sedih dan sakit. Apalagi tubuhnya sekarang kurus dan kulitnya pun kusut.
"Tanteeee ...," panggil Febri pelan menyentuh lengan Mora.
Mora tersentak kaget karena dia sedang melamun. Dia menatap Febri dan tersenyum tipis padanya.
"Maaf, Tante kurang fokus," ucap Mora.
Febri mengangguk paham, pasti Mora saat ini sedang banyak pikiran. Namun Febri kagum dengannya, dia tetap tegar dan berusaha menyembunyikan kesedihannya dari Rey. Dia selalu bersikap tegar dan seolah-olah dia baik-baik saja.
"Tante rebahkan dulu tubuhnya sebentar. Mumpung Rey masih tidur Tan," bujuk Febri agar Mora beristirahat.
Mora mengangguk, tubuhnya yang letih memang butuh untuk direbahkan. Di ruangan itu, terdapat tempat tidur yang memang dikhususkan untuk penjaga pasien beristirahat. Walaupun tidurnya tidak nyenyak karena selalu kepikiran Rey, Mora tetap berusaha memejamkan matanya sejenak. Febri membenarkan selimut Rey, namun mata Rey malah terbuka.
"Rey?" panggil Febri pelan.
Rey tersenyum, "Feb, bagaimana kabar Tasya?" tanyanya lemah.
Febri menghela napas dalam, selalu itu yang Rey tanyakan saat dia datang. "Jangan pikirkan dia, sekarang Tito sudah bisa mengatasi kesedihan Tasya. Sesuai kemauan lo kan?"
Hati Rey terasa nyeri, namun memang itu yang dia inginkan, meski tak sesuai dengan kata hatinya. Rey hanya tersenyum, dia memalingkan pandangannya menatap ke luar jendela. Teriknya matahari di luar sana, membuat Rey rindu keadaan dunia. Sudah berbulan-bulan dia berbaring di ruangan ini, dia hanya bisa keluar ruangan dengan bantuan kursi roda. Kakinya terasa keram dan kaku saat berpijak di lantai, meskipun dia memaksakan, yang ada malah terasa nyeri.
"Feb, gue kangen sama dia. Apa dia masih kerja di kafe Cherry?" tanya Rey menatap dedaunan yang bergoyang karena hembusan angin di luar sana.
Bayangan Tasya saat tersenyum, selalu terngiang di otaknya. Rey tak bisa menghapus Tasya dari ingatannya, bahkan cintanya justru semakin besar dan kuat seiring rindunya yang tertimbun di sanubari.
"Iya Rey, bersama Tito. Kalau weekend, mereka sering perform bareng. Maaf, cuma cara itu yang bisa gue dan Ranggaz lakukan buat mempertemukan mereka," jelas Febri menunduk iba dengan kisah cinta Rey dan Tasya.
Andaikan saja, Febri dapat mengatakan ini semua kepada Tasya, mungkin sekarang keadaannya tidak seperti ini. Sampai kapan Febri dan yang lainnya akan memerankan sandiwara untuk menutupi sakitnya Rey dari Tasya? Apakah keadaan akan selalu begini? Bermain kucing-kucingan dengan Tasya mengenai keberadaan Rey? Mengapa, dunia yang katanya tak selebar daun kelor, namun bagi Rey dan Tasya seakan dunia ini sangat luas, hingga tak mengizinkan mereka untuk dapat bertemu? Sangat malang nasib Rey.
"Lo melakukan hal yang tepat Feb. Makasih," ucap Rey yang kini mengalihkan pandangannya ke wajah Febri yang merah menahan tangisannya.
Semuanya sudah di janji oleh Tius dan Mora, siapapun yang datang membesuk, tak ada yang boleh memperlihatkan kesedihannya dan bahkan air matanya pun tak boleh menetes di depan Rey. Itu akan membuat Rey marah dan rapuh. Rey tak ingin melihat semua orang yang menyayanginya sedih melihat keadaannya.
Ranggaz dan Beril yang melihat Rey sudah membuka mata, lantas mereka mendekat. Ranggaz berdiri di samping Febri, dan mengusap pinggungnya agar tegar.
"Sudah bangun lo?" sapa Beril menjabat tangan Rey.
Rey tersenyum dan mengangguk, "Ril, tolong naikin dikit tempat tidur gue. Gue mau duduk," pinta Rey.
Beril pun langsung menurutinya, hingga kini Rey berbaring namun seperti orang yang duduk bersandar.
"Gue bawa buah anggur, lo mau?" tawar Febri membuka plastik bungkus buang anggurnya.
"Boleh," jawab Rey.
Febri memberikan Rey satu per satu buah anggurnya. Jauh di dalam lubuk hati Rey yang paling dalam, sejujurnya, dia menginginkan Tasya yang mendampinginya. Dia ingin Tasya selalu menjaganya, membantunya saat makan, menemaninya ke taman yang ada di rumah sakit ini, namun itu semua hanyalah angan yang tak mungkin terjadi.
"Ril, lo bawa video saat gue sama Tasya main di pantai nggak? Gue mau lihat," tukas Rey ketika dia sudah sangat merindukan Tasya, hanya video dan foto-foto Tasya yang mengobati rindunya itu.
"Sebentar, gue lihat dulu." Beril mengambil tasnya yang ada di sofa. Lantas dia mengambil kameranya.
Beril tak pernah melupakan kameranya saat datang menjenguk Rey. Karena dia tahu, pasti Rey meminta agar dia memutarkan video saat momen indah bersama Tasya yang sempat dia abadikan.
"Kalau pas kalian di pantai, kayaknya gue simpan di memori lain deh Rey. Tapi ini ada video pas Tasya nyanyi sambil main gitar di kafe Cherry." Beril menatap kameranya sembari berjalan mendekati Rey.
"Coba lihat." Rey meminta kamera Beril, dia menggeser-geser foto dan terlihat beberapa di antaranya gambar dirinya bersama Tasya saat tertawa bersama hingga foto candid yang Beril ambil tanpa sepengetahuan mereka. Seulas senyum tertarik lebar di bibir Rey, menyadari hal itu, Febri, Beril dan Ranggaz saling berpandangan dan ikut tersenyum bahagia. Sudah lama, Rey tak tersenyum selebar itu.
"Mana videonya?" tanya Rey tak sabar ingin melihat Tasya bernyanyi sambil bermain gitar.
Di kafe itu, banyak kenangan terjadi antara Rey dan Tasya. Suka maupun duka sudah mereka lalui bersama, namun karena tak ingin melihat Tasya sedih karena kondisinya saat ini, Rey rela dibenci atau bahkan dilupakan Tasya.
"Sabar dong Rey, pelan-pelan gesernya. Nggak sabar banget sih lo," cibir Ranggaz menghibur Rey dengan sedikit gurauannya.
"Maklum, sudah kangen akut Nggaz," ujar Rey dipahami oleh mereka semua. "Nah, ini kah Ril?" tanya Rey, memperlihatkan kameranya kepada Beril.
"Iya, play aja!" titah Beril.
Biarpun hanya sebuah video, tapi itu terasa nyata bagi Rey. Dia seakan melihat Tasya bernyanyi dan bermain gitar untuknya. Senyumnya yang manis, penghayatan setiap lagu yang dinyanyikannya selalu sampai di hati penikmatnya.
Maafkan aku yang selalu menyakitimu
Mengecewakanmu dan meragukanmu
Tersadar aku bila kamu yang terbaik
Terima aku, mencintaiku apa adanya
Di antara beribu bintang hanya kaulah yang paling terang
Di antara beribu cinta pilihanku hanya kau sayang
Takkan ada selain kamu dalam segala keadaanku
cuma kamu ya hanya kamu yang selalu ada untukku
Di Antara Bintang - by : Hello Band
Tak terasa oleh Rey, air matanya menetes membasahi pipinya. Dadanya sesak terhimpit rindu yang sudah menggunung. Febri mengambilkan tisu dan mengelap pipi Rey, Ranggaz mendekat Rey dan merangkulnya, memberikan kekuatan dan menyalurkan semangat padanya. Beril mengelus punggung Rey, agar dia tak terisak karena itu akan menyebabkan pernapasannya terganggu. Rey bisa sesak napas karena hidungnya tertutup oleh lendir.
"Apakah gue masih punya kesempatan buat melihatnya?" gumam Rey menyentuh hati para sahabatnya.
Tak ada yang sanggup menjawab pertanyaan Rey itu. Semua diam membisu, apalagi Febri, dia sudah menahan tangisannya yang sudah sampai di tenggorokannya.
***
Lampu jalan menghiasi hari yang mulai gelap. Puluhan kendaraan silih berganti melewati jalan yang tak pernah sepi. Tito mengusap tengkuknya yang terasa kaku, lelah karena ia baru saja pulang bekerja. Kini dia juga harus menghadapi macet. Sungguh, melelahkan saat-saat seperti ini, harusnya 30 menit perjalanannya dari kantor sampai apartemen, karena macet, dia bisa menempuh satu atau bahkan kadang dua jam.
Dia juga masih harus ke kafe, menepati janjinya untuk makan malam bersama Tasya. Belum lagi, dia harus menggantikan Mora menjaga Rey. Mengingat Rey, terkadang membuat hati Hito sakit. Mengapa ini harus terjadi padanya? Cinta itu bagaikan magic, tiba-tiba datang menguasai rasa. Entah kapan dia datang, kadang kita tak menyadarinya, begitupun dengan Hito dan Tasya saat ini. Saat melawan kemacetan di jalan raya, handphone-nya berdering. Hito merogoh kantongnya, dia melihat layar flat-nya, ternyata dari Tasya. Tanpa menunggu lama, akhirnya dia menggeser tombol hijau pada layar datar itu.
"Hallo?" sapa Hito setelah menempelkan handphone-nya di telinga.
"Assalamualaikum." Tasya mengucapkan salam, terdengar bahagia.
"Waalaikumsalam," jawab Hito sembari menjalankan mobilnya sedikit demi sedikit.
"Kamu ada di mana sekarang?" tanya Tasya selalu itu hal pertama yang dia tanyakan saat menelepon.
Hito tersenyum, ternyata benar kata Rey. Tasya adalah tipe cewek yang posesif dan pencemburu.
"Masih di jalan. Ada apa?" sahut Hito lembut.
"Aku punya kabar bahagia buat kamu," seru Tasya girang terdengar dari nada bicaranya.
"Kabar apa?" desak Hito tak sabar ingin mengetahuinya.
"Sabar dulu dong, nanti saat makan malam, aku kasih tahu ya?" tahan Tasya sengaja ingin membuat Hito penasaran.
"Oke, jam tujuh, aku jemput di rumah ya? Dandan yang cantik." Terdengar tawa kecil dari ujung telepon Hito.
Beberapa bulan terakhir ini, sudah tampak terlihat perubahan Tasya. Kini dia semakin terbuka kepada Hito dan dia juga tak lagi mengurung diri. Tasya kembali tersenyum dan menjalani aktivitasnya seperti dulu saat bersama Rey. Kehadiran Hito, menyadarkan Tasya, jika jalan hidupnya masih panjang. Tanpa Rey, dia juga masih mampu mengukir cerita dalam kehidupan fana ini.
"Siap!" jawab Tasya diiringi tawanya.
"Oke, tutup dulu ya? Aku masih di jalan Suderman, kena macet nih," adu Tito.
"Iya, hati-hati ya? Assalamualaikum," pesan Tasya tak sabar ingin segera bertemu dengan Hito dan menceritakan kabar yang akan dia sampaikan kepadanya nanti.
"Waalaikumsalam," jawab Hito, panggilan pun terputus.
Setelah mengantri cukup panjang, kini akhirnya mobil Hito dapat terbebas dari kerumunan dengan mobil yang lainnya. Berbagi jalan dengan pengendara roda dua bahkan pejalan kaki, semakin membuat jalanan sempit. Hito segera melajukan mobilnya ke apartemen.
Sesampainya di apartemen, ketika pertama membuka pintu, Hito merasa apartemen ini hanya dia yang menempati. Mora menghabiskan hari-harinya di rumah sakit menemani Rey, sedangkan Tius jarang pulang, karena pekerjaannya sebagai pilot. Saat pulang bekerja seperti ini, apartemen masih gelap, sepi dan Hito merindukan saat-saat keluarganya berkumpul bersama. Foto-foto kebersamaan mereka yang terpajang di dinding dan bufet, semakin menyiksa batin Hito. Dia membanting tubuhnya di sofa panjang ruang tamu, mata Hito memandang foto keluarga yang tergantung besar di dinding, ada Mora yang duduk, diampit oleh tiga pria tampan. Semua tersenyum tipis, menyiratkan kebahagiaan. Tius terlihat gagah memakai jas hitam dan hem putih berdasi merah sesuai dengan busana yang dipakai Mora. Sedangkan dirinya dan Rey berdiri mengapit kedua orangtuanya, tampan mengenakan jas hitam senada dengan Tius, namun bedanya mereka tak memakai dasi. Hanya kemeja yang di dalamnya, satu kancing dibuka. Keluarga yang sempurna.
"Kapan kita bisa berkumpul bersama seperti dulu lagi?" gumam Hito meneteskan air matanya karena sudah terlalu sesak menahannya di dada.
"Rey?" lirih Hito menatap lekat wajah tampan kakaknya.
Hito menghela napas dalam, lantas dia menabahkan hatinya, bangkit dari sofa dan beranjak ke kamarnya untuk bersiap makan malam bersama Tasya.
***
Kelap-kelip lampu warna-warni menghiasi tempat ini. Penerangan temaram memperkuat suasana romantis. Apalagi jika tempat ini terbuka, beratapkan langsung dengan langit gelap bertaburan banyak bintang. Hito duduk di depan Tasya, dia memperhatikan paras cantik yang berlapis make up tipis, sedang menikmati makan malamnya.
"Hito? Kenapa kamu lihatin aku begitu?" tegur Tasya salah tingkah dipandang Hito seperti sorot mata mengagumi.
Hito tersadar, dia tersenyum dan menggenggam tangan Tasya erat.
"Sya, apa kamu sudah siap menjalin hubungan serius sama aku?" tanya Hito penuh harapan.
Tasya termangu, bergeming memandang mata Hito dalam, dia melihat keseriusan dari tatapan mata Hito yang meneduhkan.
"Hito, maaf, bukannya aku tidak mau. Tapi, apakah tidak terlalu cepat?" Tasya masih merasa trauma dengan kegagalannya dulu bersama Rey.
Mengingat hal itu, membuat hati Tasya tersayat perih dan sakit. Tasya hanya tidak ingin merasakan hal yang sama untuk yang kali kedua. Hito dapat memahami Tasya, tapi niatnya ini benar-benar tulus terlepas dari bayangan Rey.
"Sya, percayalah denganku. Aku benar-benar serius sama kamu." Hito menatap Tasya memohon, tangannya menggenggam kedua tangan Tasya.
Tasya kebingungan untuk menjawab, durinya untuk saat ini belum siap. Karena Tasya belum banyak tahu tentang keluarga Hito.
"To, apa tidak sebaiknya kita saling mengenal lebih jauh lagi? Aku saja belum kenal keluarga kamu, dan kamu juga baru saja kan, mengenal keluargaku?" Tasya berusaha mengalihkan jawabannya.
Memang Hito selama ini belum pernah mempertemukan Tasya dengan keluarganya. Itu karena Rey, jika saat ini Hito memperkenalkan Tasya kepada orangtuanya, pasti Tasya langsung bisa mengenali mereka. Hito belum siap jika harus memperkenalkan saat ini.
"Baiklah, kita jalani dulu," jawab Hito melepaskan genggaman tangannya.
Tasya merasa tak tega melihat wajah menunduk Hito. Tapi bagaimana lagi? Tasya harus mengenal semua tentang Hito sebelum dia menyerahkan hidupnya kepada Hito.
"Oh iya, aku kan tadi mau menyampaikan kabar bahagia," sela Tasya mengalihkan kesedihan Hito.
Hito mengangkat wajahnya menatap Tasya, dia tersenyum tipis. Masih ada rasa kecewa tampak di raut wajahnya.
"Oh iya, kabar apa tadi yang ingin kamu sampaikan?" Hito menyandarkan tubuhnya lemas di kursi.
Tasya tersenyum lebar, "Aku besok akan mengikuti sidang, dan setelah itu aku akan lulus!" pekik Tasya bahagia.
"Oh iya?!!!" seru Hito menegakkan tubuhnya ikut bahagia mendengar kabar itu. "Selamat ya?" ucap Hito bahagia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top