KENYATAAN
Hingga siang tiba, barulah Rey dapat diperbolehkan pulang. Selama perjalanan ke rumah, Hito dan Rey sama-sama diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tibalah mereka di pelataran rumah, namun tak langsung turun dari mobil.
"To, muka gue kelihatan pucet nggak?" tanya Rey bercermin.
Hito menoleh memperhatikan wajah kakaknya yang sebenarnya terlihat sangat pucat. Setetes air mata luluh tak tertahankan. Hatinya masih sangat hancur, apalagi saat dia menatap wajah Rey, kata-kata sang dokter yang memberitahunya tentang kenyataan pahit itu, selalu terngiang.
"Nggak kok," dusta Hito.
"Okay, kita turun yuk? Dan ingat ya, kata gue. Jangan bilang apapun sama Mama, kalau kita dimarahi Mama karena semalam nggak pulang, bilang kita tidur di studio. Paham?" gertak Rey sambil menunjuk Hito tajam.
Hito hanya mengangguk patuh, ini saatnya dia membalas semua kebaikan kakaknya, sebelum semuanya terlambat. Rey mengacak rambut Hito dan berkata, "bagus, adik kecil yang pintar. Udah, jangan beri gue tampang culun lo. Senyum." Rey menarik kedua sudut bibir Hito.
Tak ingin kehilangan sang kakak, Hito pun memeluk Rey dan menumpahkan air matanya di dada Rey. Mati-matian Rey menahan air matanya agar tak terjatuh. Dia mengelus kepala Hito dan membiarkan adiknya itu menangis sepuasnya. Hingga beberapa menit berlalu, akhirnya Hito melepaskan pelukannya.
"Udah?" tanya Rey dengan senyuman terbaiknya.
Hito mengangguk dan menghapus air matanya. "Pakai kacamata ini. Biar mata sembab lo nggak kelihatan Mama." Rey memberikan kacamatanya untuk menutupi mata Rey yang memerah dan sembab karena menangis sepanjang malam tadi.
Mereka pun turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Rey menarikkan salah satu koper Hito, seperti tak terjadi sesuatu. Hito tahu, Rey melakukan itu agar Mora tak menaruh kecurigaan kepadanya.
"Mamaaaaaa," pekik Rey setelah melewati pintu. "Mamaaaaa, anak bontot Mama, udah Rey bawa pulang nih."
Mora yang sudah dari semalam menunggu mereka di ruang tengah hanya duduk dan menahan emosinya. Rey menghampirinya dan dia sudah dapat menebak jika mamanya kini siap memuntahkan amarahnya. Rey duduk bersebelahan dengan Hito, siap mendengarkan ocehan Mora. Wajah Mora yang sudah mengeras dan melipatkan tangannya di depan dada, membuat mereka diam menunduk.
"Dari mana saja kalian?!" tanya Mora mengawali amarahnya. Rey dan Hito tak berani menjawab, mereka masih saja diam dan menunduk. "Kalian itu udah bikin Mama khawatir setengah mati, sampai Mama nggak bisa tidur. Jam segini baru pulang tanpa ada kabar. Tidur dimana kalian semalam? Hah?!" gertak Mora menatap tajam kepada Hito dan Rey bergantian.
Rey menyenggol Hito dan berbisik, "deketin Mama."
Hito melepas kacamata hitamnya, berdiri lebih dulu dan duduk di sebelah Mora. "Maafin kita Ma, semalam kita keasyikan main di klub, lihat Rey DJ. Terus pulang dari klub, kita langsung ke studio," dusta Hito.
"Kamu juga, seharusnya pulang dulu ke rumah, bukan langsung ikut main kakakmu. Mama itu udah masak buat kalian," omel Mora sembari berlinangan air mata.
Rey yang tak tega melihat Mora menangis, lantas mendekati Mora dan menghapus air matanya. Rey duduk di sebelah Mora, hingga kini Mora diapit oleh kedua anaknya. Rey dan Hito bersamaan memeluk Mora dari samping untuk menenangkan hati sang ibu.
"Ma, maafin kita ya? Udah buat Mama nangis dan nungguin kita semalaman. Mamaku yang cantik dan seksi, masa sih udah gede masih aja cengeng," gurau Rey yang memang selalu bisa meluluhkan hati Mora saat sedang marah.
Hito terkekeh mendengar rayuan maut sang kakak yang selalu bisa mengembalikan senyum Mora dikala dia menangis.
"Kalian ini memang anak-anak Mama yang paling bandel dan nakal." Mora menarik telinga Rey dan Hito bersamaan.
Hito yang melihat Rey kesakitan lantas menahan tangan Mora. "Mama, jangan sakiti Rey. Sini, biar Hito aja yang di jewer Mama." Hito mengarahkan tangan Mora agar menjewer kedua telinganya.
Mora yang melihat pengorbanan Hito, yang tak ingin melihat Rey kesakitan hanya tersenyum dan memeluknya penuh kerinduan. "Kamu tahu nggak, Mama itu udah kangen banget sama kamu. Mama udah nggak sabar pengen meluk kamu dari kemarin, saat kamu bilang mau pulang. Tapi, malah kamu langsung main sama kakakmu. Mama tuh jengkel tahu," ujar Mora dalam pelukan Hito.
Hito membalas pelukan rindu Mora. "Hito juga sangat kangen sama Mama. Apalagi Papa. Maaf ya Ma," ucap Hito bersalah.
"Ya sudah, kalian pasti belum makan. Mama tadi sudah masak buat kalian. Kita makan siang bersama yuk?" ajak Mora melepas pelukannya pada Hito.
Rey ikut merasakan kebahagiaan Mora yang dapat kembali berkumpul bersama Hito. Mora lebih dulu bangkit dan melenggang ke ruang makan untuk menyiapkan makan siang. Sedangkan Rey dan Hito masih bertahan di ruang tengah.
"Lo lihat kebahagiaan Mama kan? Apa lo tega, jika Mama sampai tahu?" seru Rey kepada Hito, yang bermaksud jika Mora sampai tahu penyakitnya selama ini.
Hito hanya menggeleng, lantas Rey merangkulnya dan mengajaknya ke ruang makan.
"Ayo Rey ... Hito ... kita makan siang," seru Mora sangat bahagia sambil menuangkan air minum dalam gelas.
Meski Tius belum pulang dari dinas, namun tak mengurangi rasa bahagia Mora menyambut kedatangan Hito. Makan siang hari ini pun penuh senda gurau dan tawa. Berbagai cerita Hito bawa untuk menghangatkan suasana makan siang kali ini.
***
Awan siang hari ini tampak mendung, Hito yang sedang menonton televisi bersama Mora di ruang tengah, terlihat akrab dan manja. Mora begitu memanjakan Hito, tangannya membelai kepala Hito yang berbaring di pangkuannya. Rey yang baru saja turun dari kamarnya, langsung duduk di sofa dan melempar Hito dengan kacang.
"Dasar! Manja lo!" goda Rey.
"Mamaaaaaa," adu Hito manja karena Rey melemparinya kacang.
"Reeeeeey," seru Mora mengingatkan.
Rey hanya menjulurkan lidahnya, meledek Hito. Handphone Rey tampak ramai karena ia sedang chating bersama Tasya. Rey sesekali tersenyum sendiri membaca pesan Tasya yang terkesan marah namun juga manja. Hito dan Mora saling memandang dan tersenyum memandang Rey yang sibuk dengan handphone-nya.
Iya, Sweety. Okay, sebagai permohonan maaf ku, nanti malam setelah kamu pulang dari cafe aku jemput ya? Kalau hari ini aku nggak bisa keluar. Maaf.
Tulis Rey untuk Tasya. Sudah hampir tiga hari ini Rey tak menemui Tasya. Sejak kepulangan Hito, Rey selalu menemaninya dan Mora di rumah tanpa keluar sekejap pun, meski itu hanya ke studio.
"Cailah Ma, dunia berasa milik Rey sama Tasya ya? Kita tuh kayak ngontrak," celetuk Hito menyindir Rey.
"Maklum sajalah To, kan kakakmu sama Tasya lagi merasakan manisnya cinta," ujar Mora menimpali sindiran Hito, lantas mereka tertawa bersama meledek Rey.
Rey hanya tersenyum karena kepalanya entah mengapa tiba-tiba sangat berat dan sakit. Rey memegangi kepalanya, darah mengalir dari hidungnya, semua pandangan mengabur. Hito yang melihat itu segera beranjak dari pangkuan Mora, dengan sigap dia menahan tubuh Rey sebelum merosot.
"Raihaaaaaaaaaan!!!!" teriakan histeris Mora yang terdengar terakhir di telinga Rey.
Isak tangis memilukan hati mengusik telinga Rey. Perlahan dia membuka matanya, dinding yang putih, sebuah lambu penyekat ruangan menutupi brankar yang sedang ia tempati saat ini.
"Mama," lirihnya segera bangkit ketika mendengar Mora menangis histeris sembari berteriak.
Rey segera membuka lambu tersebut, dia melihat Hito kualahan menenangkan Mora yang sudah tersungkur di lantai. Rey menebak, pasti Mora sudah mengetahui hal tersebut.
"Mama," panggil Rey menyadarkan Mora.
Mora seperkian detik menghentikan tangisannya menatap Rey yang berdiri di depannya. Dia kembali menangis sembari berdiri dan berteriak di depan Rey. "Kamu bilang sama Dokter ini, kalau kamu sehat Rey. Dokter ini dengan seenaknya memvonis kamu dengan penyakit yang mematikan. Mama tahu betul bagaimana kamu Rey. Dokter ini mencoba membohongi Mama dengan menunjukan hasil palsu ini. Mama akan tuntut rumah sakit ini." Mora menunjukan selembar kertas hasil laboratorium milik Rey.
Hito ikut menangis melihat bagaimana Mora tak siap menerima kenyataan ini. Rey hanya diam, hatinya bergetar hebat saat melihat Mora begitu histeris mengetahui kenyataan pahit ini.
"Ma ... Mama! Dengerin Rey dulu!" Rey menghentikan tubuh Mora yang selalu memberontak.
Rey mendekap tubuh sang mama, agar Mora dapat tenang. Setelah Mora dapat menghentikan tangisannya sejenak, barulah Rey dapat menumpahkan air matanya karena merasa takut tak lagi dapat menyentuh dan melihat Mora. "Apa yang dikatakan Dokter itu benar, Ma. Maaf, Rey sudah merahasiakan ini sejak dua tahun lalu. Dan sudah beberapa kali ini Rey juga mengikuti saran Dokter untuk melakukan kemoterapi."
Bagaikan disambar petir di siang bolong, tubuh Mora kembali merosot ke lantai. Dia semakin histeris tak mampu lagi menopang tubuh dengan kedua kakinya. Rey hanya dapat menangis dan membiarkan Mora mengeluarkan sesak di dadanya. Hito merosotkan tubuhnya di dinding, dan menangis sejadi-jadinya sambil menutup wajahnya. Setelah semua tenang, Rey dibantu seorang suster berbaring kembali di brankar. Sedangkan Mora dan Hito duduk di kursi menghadap Dokter yang selama ini menangani Rey. Untuk menjaga kondisi Rey agar tetap stabil, sementara waktu ini, Dokter memberinya infus. Sembari menunggu infus habis, Dokter yang bernama Fajar itu menjelaskan kondisi Rey yang sebenarnya kepada Mora dan Hito.
Sudah tiba waktunya Tasya keluar dari cafe. Malam yang mendung tak memudarkan semangat Tasya untuk menunggu Rey di depan cafe. 15 menit Tasya menunggu, Rey belum juga datang. Sudah sekian kali Tasya menghubungi Rey, namun tak ada yang menjawab panggilannya. Tasya mengirimkan pesan, Rey juga tak membalasnya.
"Kemana sih, Rey? Katanya mau jemput. Biasanya sebelum aku selesai, kamu juga sudah datang," gumamnya terus memandangi handphone-nya.
Tiga puluh menit Tasya menunggu, hingga cafe sepi tak ada orang lagi. Lampu-lampu di cafe tersebut pun sudah dimatikan. Tinggal penerangan lampu jalan yang menyinari Tasya malam ini. Dengan perasaan jengkel dan marah, Tasya masih tetap setia menunggu Rey. Entah mengapa hatinya berkata agar tetap menunggu Rey di sini. Hingga dua jam Tasya berdiri di depan cafe, air matanya jatuh seiring air hujan turun dari langit. Tubuh Tasya basah kuyup, namun dia tetap berdiri dan bertahan hingga Rey datang. Air matanya yang selalu turun tersamarkan oleh air hujan yang menerpanya. Hingga penantiannya pun tak sia-sia. Rey turun dari mobil yang berhenti di depan Tasya. Dia membawakan payung dan melindungi Tasya dari guyuran hujan.
"Maaf telat," ucap Rey sambil memasangkan jaketnya ke tubuh Tasya.
Tasya mendongakkan kepalanya menatap Rey tajam penuh amarah. Matanya memerah karena menangis bercampur air yang masuk ke dalam matanya. Rey, sadar jika kali ini dia salah dan dia siap menerima apapun yang akan keluar dari bibir Tasya.
"Aku bisa tanpa kamu," lirih Tasya namun masih dapat Rey dengar meski suaranya beradu dengan gemericik air hujan.
Rey menghela napas dalam, hatinya sakit saat Tasya mengucapkan kata itu. Rey beranggapan bahwa Tasya dapat menjalani hidup ini tanpa dirinya.
"Apa mau kamu sekarang?" tanya Rey yang siap menerima keputusan Tasya.
"Tinggalkan aku," jawab Tasya tanpa memandang Rey. Meski Rey tahu bahwa itu bukanlah keinginan Tasya yang sesungguhnya, namun jika itu adalah keputusan Tasya, Rey akan menghargainya.
"Baik, jika itu mau kamu." Kata bibir tak sesuai dengan kata hati. Itulah yang kini sedang dialami Rey dan Tasya.
Hati mereka masih sama-sama saling mencintai dan menginginkan. Karena emosi dan ego, terucaplah kata perpisahan itu.
"Sekarang aku antar kamu pulang. Kali ini saja dan untuk yang terakhir kalinya aku mengantarmu pulang," kata Rey menusuk hingga ke ulu hati Tasya.
Mengapa Rey tak berusaha mempertahankannya? Padahal di dalam hati Tasya menjerit, ingin berteriak agar Rey memberontak untuk menolak permintaan Tasya tersebut dan mempertahankannya. Namun sayang, Rey justru menyetujui keinginannya untuk berpisah.
Sepanjang perjalanan mengantar Tasya pulang, suasana di dalam mobil hening. Tak ada percakapan diantara mereka. Tiba di pelataran rumah Tasya, Rey menghentikan mobilnya dan turun dari mobil untuk memayungi Tasya dan mengantarnya sampai di depan pintu.
"Terima kasih," ucap Tasya.
"Ya, sama-sama," balas Rey yang terkesan dingin dan Tasya merasa jika kini diantara mereka ada jarak yang membentang jauh.
Rey memutar tubuhnya berniat untuk meninggalkan rumah Tasya, sedangkan Tasya sudah menyentuh gagang pintu.
"Tasya," panggil Rey menahan Tasya.
Bagaikan ditusuk dengan pedang yang mengangah, hati Tasya sangat sakit karena tak biasanya Rey hanya memanggilnya nama. Dimanakah panggilan manis itu? Apa Rey benar-benar tak sudi lagi memanggilnya dengan sapaan 'Sweety'? Apa hubungan mereka memang sudah benar-benar berakhir? Tasya memutar tubuhnya, menahan sesak di dadanya. Rey mendekati Tasya dan memberikan sebuah kalung berliontin gitar kecil yang sangat manis.
"Anggaplah ini kado terakhir dari aku. Maaf jika selama ini aku belum bisa menjadi pria yang sempurna untuk kamu. Jaga dirimu baik-baik." Rey mencium kening Tasya sebelum dia meninggalkan rumah tersebut.
Setelah Rey pergi meninggalkan rumah Tasya, Tasya menjatuhkan tubuhnya di lantai dan berteriak sekuat tenaganya, "Raihaaaaaaaaan!!! Aku masih sangat mencintaimu!"
Tanpa diduga oleh Tasya, ternyata Rey masih mendengarkan teriakan itu karena dia menghentikan mobilnya di balik dinding pagar rumah Tasya. Rey menangis sejadi-jadinya di dalam mobil.
"Maafkan aku Sweety, aku juga masih sangat mencintaimu. Kamu masih kekasihku sampai nanti, sampai maut menjemputku, kamu masih tetap akan selalu aku cintai." Rey, meninggalkan rumah Tasya.
***
Kutatap dua bola matamu
Tersirat apa yang kan terjadi
Kau ingin pergi dariku
Meninggalkan semua kenangan
Menutup lembaran cerita
Oh sayangku ...
Aku tak mau...
Ku tau semua akan berakhir
Tapi ku tak rela lepaskanmu
Kau tanya mengapa aku tak ingin pergi darimu
Dan mulutku diam membisu...
Salahkah bila diriku terlalu mencintaimu
Jangan tanyakan mengapa
Karena aku tak tau
Salahkah Aku Terlalu Mencintaimu - by : Ratu
Rey memetik gitarnya, membayangkan kejadian malam itu saat bersama dengan Tasya. Sejak perpisahannya dengan Tasya beberapa hari lalu, Rey meminta untuk rumah yang mereka tempati dikosongkan, dan kini, mereka semua pindah di apatemen, salah satu aset Tius.
"Rey, makan dulu yuk?" ajak Mora yang tak dapat menutupi kesedihannya.
Sejak berpisah dengan Tasya, hidup Rey hampa dan tak ada semangat lagi. Rey, pasrah dengan jalan yang sudah ditakdirkan untuknya.
"Iya Ma," sahut Rey, meletakkan gitarnya, lantas mengikuti Mora ke ruang makan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top