KEHADIRANMU, BEGITU BERARTI
Tasya sudah berdiri di halte bus depan kampus. Dia sudah memutuskan untuk melanjutkan hidupnya, itu berarti dia juga melanjutkan kuliahnya dengan baik. Ternyata benar bahwa waktu berhasil mengobati luka yang pernah ada, walaupun tidak sepenuhnya hilang, setidaknya sudah berkurang dan sudah membuatnya mengerti serta memahami hatinya sendiri.
"Tasya."
Tasya tersenyum bahagia saat melihat siapa yang dinantinya datang. Tasya langsung masuk kedalam mobil.
"Udah lama nunggu ya?" tanya si pengemudi yang tak lain adalah Hito.
"Nggak kok, ya baru setengah jam lalu," jawab Tasya.
"Itu lama, Tasya." Hito mengacak rambut Tasya.
"Hito, ihh, rambut aku kan jadi berantakan." Dengan wajah kesal Tasya merapikan kembali rambutnya.
"Hehehe, maaf. Gimana ujiannya hari ini?" tanya Hito.
Hito juga salah satu alasan bagi Tasya untuk melanjutkan kuliahnya setelah terbengkalai beberapa bulan lalu karena mencari Raihan. Hito yang membuat Tasya mengerti arti perjuangan, bahkan kehidupan Hito menjadi inspirasi bagi Tasya untuk memotivasi diri. Hito yang menghargai usaha keras orangtua angkatnya selalu berhasil membuat Tasya terkagum-kagum dibuatnya.
"Ya lumayan, yang aku pelajari semalam keluar semua. Nanti langsung ke cafe ya, To. Aku udah janjian sama Febri disana."
"Iya. Aku senang akhirnya kamu mau melanjutkan lagi kuliahmu, aku juga senang kamu nggak lagi terpuruk dengan masalahmu itu." Hito melirik sekilas pada Tasya.
Sedikit banyak Tasya sudah menceritakan semua pada Hito, tentang siapa dia sebelum Hito mengenalnya dan kenapa dia menjadi seperti itu.
Hito sempat sedih saat Tasya menyalakan Rey atas kepergiannya. Bahkan Hito ingin sekali membongkar semuanya dan membuat Tasya tak lagi salah paham dengan menghilangnya Rey dari hidupnya. Memberitahu bahwa seberapa menderitanya Rey menahan rindu pada perempuan yang saat ini sedang bersamanya. Tapi Hito bisa apa? Dia hanya bisa menjalankan amanah yang diberikan Rey padanya. Setidaknya dia sudah berhasil membuat Tasya tidak lagi menyalakan Rey atas menghilangnya dia dari hidup Tasya.
"Kan kamu yang ngajarin aku buat bisa mengerti dan memahami keadaan. Jangan egois dengan merasa bahwa hidup ini kejam cuma karena nggak bisa memberikan apa yang kita mau. Makasih ya, To." Tasya tersenyum tulus padanya.
"Iya sama-sama. Oh ya, hari ini aku tetakhir kerja di cafe, aku diterima kerja disalah satu perusahan, jadi aku bisa jarang bisa antar kamu kesini, mungkin kalau pulang aku masih bisa jemput kamu."
"Oh ya? Wah selamat ya To. Akhirnya ijaza kamu kepakai juga buat kerja dikantoran. Nggak apa-apa itu mah. Kamu nggak usah pusing mikirin gimana aku nanti."
"Aku nggak mungkin nggak mikirin kamu Tasya. Sekarang kamu udah jadi tanggung jawab aku. Nggak ada salahnya kan aku menjaga wanita yang aku cintai?" tanya Hito tepat disasaran. Tasya hanya tersenyum simpul menanggapinya.
Hito memarkir mobilnya di depan cafe cherry, dia melihat mobil Ranggaz sudah terparkir disana. Mereka langsung mengahampiri Ranggaz dan Febri yang asik berbincang disana.
"Lama amat sih, Sya. Sampe lumutan gur nungguin lo," omel Febri.
"Ujian gue baru selesai, Feb. Lo mah enak jadwalnya cuma satu, gua kan ada dua."
"Aku kesana dulu ya." Hito berpamitan.
"Eh eh, gimana, Sya?" tanya Febri. Pertanyaan itu terdengar ambigu, karena Tasya pun tak mengerti apa yang dimaksudnya. Tasya hanya memperlihatkan ekspresi kebingungannya.
"Lo sama Hito, dia udah nembak lo belum?" Febri terdengar tak sabar.
Tasya sekilas melihat kearah panggung, ada Hito yang sedang mempersiapkan gitarnya untuk perform. "Dia udah sering nembak gue, cuma gue belum bisa ngasih jawaban atas pernyataan cintanya itu." Tasya membalas senyuman Hito dari atas panggung.
"Rey? Apa Rey yang membuat lo belum bisa menerima Hito buat bisa ngisi hati lo?"
"Rey dan Hito itu dua orang yang berbeda, mereka punya tempat yang istimewa dihati gue, tapi Rey udah nggak lagi menempati tahta tertinggi di hati gue. Tapi bukan Hito juga yang menempati tahta itu. Tahta itu masih kosong tak berpenghuni." Tasya meremas bajunya.
"Aduh, kebanyakan filosofi nih. Langsung ajalah ribet bener," ucap Febri kesal.
Ranggaz yang mendenger pembicaraan dua perempuan disisinya ini hanya tersenyum dan enggan ikut berkomentar.
Petikan gitar mulai terdengar melodi yang indah. Tangan lihai Hito memainkan dengan sempurna. Satu buah lagu akan dia bawakan untuk menghibur semua pengunjung cafe cherry.
akhirnya ku menemukanmu
saat hati ini mulai meragu
akhirnya ku menemukanmu
saat raga ini ingin berlabuh
ku berharap engkau lah
jawaban sgala risau hatiku
dan biarkan diriku
mencintaimu hingga ujung usiaku
Jika nanti ku sanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau di sampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku
Akhirnya ku menemukanmu
Saat hati ini mulai meragu
Akhirnya ku menemukanmu
Saat raga ini ingin berlabuh
***
Perlahan mata itu kembali terbuka setelah sehariian ini terpejam, langit senja terlihat indah saat warna orange mulai masuk kedalam celah jendela yang tidak tertutup sempurna oleh tirai.
"Kamu sudah bangun sayang?" Mora selalu menemani buah hatinya tanpa lelah. Walaupun wajahnya terlihat semakin tirus dan tubuhnya juga semakin kurus karena tak memperhatikan kondisinya sendiir.
"Rey haus ma," ucap Rey lirih.
Mora mengambilkan minuman diatas nakas dan tak lupa sedotan untuk memudahkan Rey minum.
"Ini kamu minum obatnya sekalian ya sayang biar cepet sembuh."
"Rey kangen Tasya ma."
Bukannya langsung menuruti keinginan mamanya, Rey justru mengucapkan kata yang seketika membuat Mora tertegun. Mora tersenyum meski hatinya sakit saat Rey berucap demikian. Dia mengelus pipi Rey dan mencium keningnya.
"Rey, Mama mengerti, tapi, kamu sudah memutuskan memilih jalan ini. Tidak ada yang salah dalam kisah ini, mungkin inilah yang dinamakan takdir." Mora menitikan air matanya.
Tangan Rey terulur menghapus air mata yang membasahi pipi Mora. Benar kata Mora, ini adalah keputusannya dan jalan yang sudah dia ambil. Tapi, apakah Rey salah, jika merindukan Tasya?
"Maaf Ma," ucap Rey merasa berdosa telah membuat Mora menangis.
Mora mengangguk diiringi senyumannya. Dia mengarahkan sedotannya ke bibir Rey dan membantunya meminum obat.
Entahlah, harus berapa lama lagi dia berbaring di tempat ini. Dia merasa seperti orang yang tak berguna, jangankan menemui Tasya, pergi ke kamar mandi pun, Rey harus dibantu.
"Selamat sore," sapa seseorang yang baru saja datang masih lengkap mengenakan baju tugasnya.
Rey tersenyum simpul melihat siapa yang datang. Pria dewasa itu langsung mengecup kening Mora dan beralih mengecup kening putranya.
"Ah Papa, emang Rey anak kecil. Dicium segala," gerutu Rey yang memang dari dulu selalu memprotes Tius saat dia memberikan kecupan kasih sayang untuk putranya itu.
Terkadang Tius melupakan satu hal, jika kini anaknya sudah tumbuh menjadi pria remaja yang tampan dan banyak penggemar wanita. Tius tertawa kecil begitupun Mora.
"Maaf Sayang, kadang Papa lupa kalau kamu sudah besar." Rey melengoskan wajahnya kesal, selalu papanya menganggapnya masih bocah.
"Padahal kan Rey sudah pernah tunangan, udah tahu rasanya jatuh cinta, sudah pernah merasakan menjaga seorang wanita. Tapi Papa selalu saja memperlakukan Rey seperti bocah. Apa karena sekarang Rey tidak bisa apa-apa, jadi Papa mengira Rey ini bayi," gumam Rey, meski suaranya pelan namun Tius dan Mora dapat mendengarnya.
Hati Tius tersentuh oleh ucapan Rey, lantas dia menarik kursi dan duduk di sebelah tempat Rey berbaring. Tius menarik napasnya dalam.
"Maaf, bukan maksud Papa seperti itu Rey," ucap Tius menyesal menundukkan kepalanya.
Rey tersenyum tipis lalu menoleh melebarkan lagi bibirnya. "Ah Papa gitu aja baper. Rey kan bercanda Pa, nggak serius ngomong seperti itu," imbuh Rey sekadar ingin menggoda papanya.
Tius menegakkan kepalanya, menatap Rey lantas dia memegang pinggang Rey dan mulai menggelitik kecil. Tubuh Rey menggelinjang, hingga meliuk-liuk saat Tius sedikit menaikkan tangannya hingga ke ketiak Rey. Rey dapat kembali melepaskan tawanya, dia sejenak melupakan rasa sakitnya bahkan dia melupakan Tasya karena Rey hanya ingin menikmati kebersamaannya bersama kedua orangtuanya.
"Sudah Papa, nanti Rey bisa kesakitan," bela Mora menahan tangan Tius.
Tius menghentikan gelitikkannya, hingga Rey juga tak lagi menghindar. Tawa Tius dan Rey mengisi ruangan tersebut, Mora yang melihat hanya dapat bersyukur, ada hikmah di balik cobaanNya. Rey dan Tius semakin dekat bahkan Tius juga lebih sering meluangkan waktu untuk menemani Rey. Sesingkat apa pun waktunya istirahat bahkan libur, Tius gunakan untuk menemani Rey.
"Assalamualaikum," ucap salam seseorang yang baru datang.
Semua menoleh melihat siapa yang baru saja masuk. Senyum kebahagiaan tak dapat tertutupi walaupun dia berusaha bersikap biasa saja.
"Nah ini Pa, yang baru saja masuk di PT. Indo Jaya," sahut Rey bersikap biasa saat di depan Hito.
Meski di dalam hatinya ada rasa iri, namun Rey menepisnya dan menghempaskan jauh agar tak memiliki perasaan dengki kepada adiknya.
"Serius? Hito sudah keterima kerja?" Tius menatap Hito menanti pembenaran dari mulut Hito sendiri.
"Iya Pa, baru juga kemarin pemberitahuannya. Mulai kerjanya sih besok," jelas Hito langsung mendapat pelukan bangga dari Tius.
"Selamat ya Nak, akhirnya ilmu yang kamu dapat bermanfaat untuk orang lain." Tius menepuk-nepuk punggung Hito.
Ketulusannya menyayangi Hito sama seperti tulusnya kasih sayangnya kepada Rey. Tak ada perbedaan diantara kedua putranya. Karena Tius menyadari, bahwa air susu yang mengalir ke dalam tubuh Hito kini telah mengental menjadi darah itu adalah air susu yang sama dengan yang di hisap Rey, yang tak lain ASI dari istrinya, Mora.
"Sini, gue punya hadiah buat lo," seru Rey melambai agar Hito mendekatinya.
Hito duduk di samping Rey, menatap kakaknya membuat Hito sedih, apakah dia sudah jahat kepada Rey, karena sudah mencintai gadis yang sama? Entahlah, tapi Hito tak ingin Rey menjadi penghalang rasa cintanya kepada Tasya. Itu kan yang Rey mau?
"Nih, pakai mobil gue. Sama ini tabungan gue. Gue wariskan semua aset dan harta benda gue buat lo. Percuma kalau gue kasih ke Papa, dia sudah punya semuanya. Jadi sekarang lo harus gunakan ini sebaik-baiknya." Rey memberikan selembar kertas berserta tanda tangannya di atas materai. Disaksikan oleh Mora, Heldy dan ada tanda tangan seorang notaris ditambah ada cap sah dari notaris tersebut.
Hito menerima kertas itu, dia menatap Mora meminta persetujuannya.
"Nggak usah mandang Mama seperti itu. Lo udah gede, lo harus bisa memutuskan semuanya sendiri. Jangan sedikit-sedikit Mama, mau memutuskan apa-apa, cari Mama lagi. Kalau nggak Mama ke Papa, kalau nggak Papa, ujung-ujungnya ke gue. Mulai sekarang, apa pun yang lo putuskan itu adalah pilihan jalan hidup lo. Nih ambil." Rey melepaskan kertas yang sudah diterima Hito.
Pantaskah Hito menerima semua ini? Cintanya sudah ia rampas, apakah harta bendanya juga akan ia kuasai?
"Benar kata kakakmu To, kamu sudah dewasa, contohlah kakakmu. Dia dapat memutuskan jalan hidupnya sendiri," ujar Tius mengacak rambut Hito.
Hito menoleh menatap Mora, mamanya mendekat dan menggenggam tangan Hito.
"Ini ada juga tanda tangan Mama, itu tandanya Mama sudah mengizinkan Rey untuk mewariskan harta bendanya buat kamu. Ambillah, itu semua yang tertera di daftar sekarang milik kamu," imbuh Mora meyakinkan Hito agar menerima semua yang Rey berikan kepadanya.
Hito tidak dapat berkata apa pun, dia langsung memeluk Rey dan menangis di atas dada Rey. Rasa bersalah dan berdosa menjalar ke seluruh tubuhnya. Apakah dia pantas mendapatkan semua ini? Sedangkan apa yang sudah dia lakukan dan berikan untuk kakaknya? Selalu Rey yang memberikan sesuatu, apakah selalu seorang kakak yang memberi?
"Ngapain nangis, kayak bocah aja. Tuh gue kasih modal buat lo nikah nanti. Kapan lo mau ngelamar mantan gue." Meski perih hatinya mengucapkan kata 'MANTAN' untuk menyebut Tasya, namun Rey tetap berusaha tersenyum. Sampai kapan pun Tasya tidak akan menjadi mantan bagi Rey, Tasya tetaplah satu-satunya orang yang Rey cintai bahkan yang akan selalu memenuhi ruang hatinya.
Hito menegakkan tubuhnya dan menyeka air matanya. Haruskah dia melakukan itu semua?
"Gue udah sering nyatakan cinta sama dia, tapi belum ada jawabannya," jelas Hito sedih seperti anak kecil yang sedang mengeluarkan kekecewaannya.
Rey tertawa kecil, begitupun Tius dan Mora. Bukan menertawakan nasib Hito, namun tertawa karena mimik wajah Hito yang seakan-akan sedang merajuk.
"Sabar, pasti nanti dapat jawabannya," sela Mora menaikkan kembali keyakinan Hito.
"Berarti hubungan lo gantung dong? Pacaran nggak, tapi TTM gitu? Wah ... wah ... wah, ternyata mantan terindah gue, kukuh juga hatinya. Gue pria beruntung, soalnya dulu sekali tembak langsung klepek-klepek," cerita Rey mengenang masa lalunya.
Hito tertarik dengan cerita masa awal Rey mendekati Tasya. Mungkin dari cerita Rey, Hito mendapat referensi untuk menangguhkan perasaan Tasya.
"Terus apa aja yang lo lakukan dulu saat PDKT sama Tasya?" tanya Hito tak sabar mendengarkan cerita Rey.
Mora dan Tius menggelengkan kepalanya, ada-ada saja yang selalu dilakukan kedua anaknya itu. Dari kecil Rey selalu memberikan arahan bahkan hingga petuah untuk Hito. Walaupun dirinya juga belum tentu bisa melakukan, asal adiknya mampu, Rey bangga melihatnya.
"Nih ya ... dulu itu gue sering ngajakin Tasya main ke studio. Mengenal kehidupan gue dulu, terus lama kelamaan, dia mulai terbuka dan dia mengenalkan kebiasaannya. Dari situlah, gue mulai berpikir, gue akan selalu ada buat dia, meskipun bukan gue yang dia inginkan, tapi gue yang akan terus bersamanya. Dari situlah Tasya mulai tergantung dengan kehadiran gue, bahkan gue sengaja agar dia selalu tergantung sama gue. Hingga apa pun yang dia lakukan tak bisa tanpa gue. Ya ... memang lo akan sedikit kerepotan dengan cara itu, Tasya akan sering merengek, merajuk bahkan dia akan sering ngambek jika lo tidak selalu ada saat dia membutuhkan lo. Tapi itu sesuatu hal yang dapat meyakinkan lo, jika dia tidak akan mudah berpaling ke hati yang lain, karena dia sudah tergantung sama lo. Gue suka cara seperti itu." Rey bercerita sangat antusias, terlihat dari wajahnya yang cerita dan sumringah.
"Pantes kalau dia susah move on, la ... wong cara lo seperti itu!" celah Hito mulai memahami, mengapa Tasya sangat sulit melupakan Rey.
Rey terkekeh, ini adalah caranya mencintai Tasya, meski pada akhirnya dia juga yang membuat Tasya tersiksa oleh caranya mencintai.
"Itu tips buat lo!" imbuh Rey mengacak rambut Hito.
"Susah Rey, PR buat gue, kalau harus membuat Tasya membuka hatinya kembali. Sampai detik ini saja, dia masih belum bisa menerima kehadiran gue," tukas Hito sedih.
"Lo pasti bisa! Lo cuma perlu mencintai dia dengan cara lo. Itu nggak akan susah buat Tasya menerima kehadiran lo. Dia cuma butuh seseorang yang bisa mengerti dia." Rey menepuk pundak Hito lemah.
Tius dan Mora hanya memperhatikan dalam diam, mereka memahami sekali seperti apa kedua anak mereka. Terlihat dari sorotan matanya, ada Rey yang sejatinya belum ingin melepaskan Tasya dan ada Hito yang merasa bersalah karena merebut mutiara terindah kakaknya. Tapi mereka selalu memegang teguh amanah dan keputusan yang sudah di ambil, tak peduli dengan apa yang terjadi kedepannya, semua sudah menjadi pilihan. Itu yang selalu Tius ajarkan pada kedua putranya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top