KAMU PILIHANKU
Raihan Pov
Aku duduk di kursi roda, menatap ke luar jendela. Senangnya melihat sepasang pemuda yang sedang berjalan di taman samping ruang perawatanku. Sang wanita membantunya mendorong kursi roda. Andaikan itu aku dan Tasya.
"Rey," panggil Mama menyentuh bahuku, menyadarkan lamunanku.
"Iya, Ma." Aku menoleh ke belakang.
Mama tersenyum, lantas duduk di sofa, samping tempatku duduk di kursi roda.
"Kamu sedang melihat apa?" tanya Mama ikut melihat keluar.
Aku menggeleng lantas menunduk. "Bukan apa-apa, Ma."
Mama mengelus wajahku pelan, belaian Mama yang selalu bisa membahagiakan hatiku. Saat aku merindukan Tasya, Mama yang terus membangkitkan semangatku.
"Ma," panggilku pelan menatap Mama serius.
"Iya, ada apa?" Mama menatap dan menggenggam tanganku.
"Apa benar, Hito sama Tasya sudah jadian?" tanyaku sedih.
Mama menunduk, senyum yang tadinya tersungging seketika pudar.
"Iya, Hito malam ini rencananya akan mengajak Tasya makan malam. Sekalian mempertanyakan keseriusan kepada Tasya, soal jalinan kasih mereka," jelas Mama.
Aku tersenyum tipis, dalam kesakitan yang tertahan di dada.
"Syukur deh kalau begitu, Rey lega," ujarku.
Lega karena Tasya sudah bisa menemukan penggantiku. Walaupun ada rasa sakit di hati, tapi setidaknya Tasya sudah sembuh dari luka yang aku tinggalkan dulu.
"Rey, mau istirahat, Ma," ucapku, lantas Mama membantuku mendorong kursi roda mendekati tempatku sehari-hari berbaring.
Setelah aku berbaring di tempat tidur, Mama menyelimutiku sebatas pinggang. Aku ingin istirahat sebentar, melepas sesak di dalam dada.
***
Samar-sama aku mendengar suara wanita berbincang lirih di sampingku. Aku mengejapkan mata dan perlahan berusaha membukanya, sudah berapa lama aku tertidur. Alat yang aku pakai bertambah, kemarin sebelum aku tidur, aku belum mengenakan selang oksigen di hidungku, tapi kenapa sekarang aku memakainya?
"Rey." Suara Papa, pandanganku masih buram, sebentar aku mengejapkan mata menyesuaikan cahaya yang ada di ruangan ini.
Pandanganku semakin jelas, aku melihat Papa, Mama, Febri dan Ranggaz berdiri mengelilingi tempat tidur, memerhatikanku. Apa tadi yang berbincang lirih Mama dan Febri? Mungkin saja.
"Haus." Aku berucap tapi tak keluar suara. Tenggorokanku rasanya kering.
Mama dengan cepat, langsung mengambilkan air minum dan tak lupa sekaligus sedotan. Dia langsung mengarahkan sedotan di depan bibirku, wajah mereka semua tegang, mata Febri sembap. Kenapa mereka?
"Sudah?" tanya Mama setelah aku melepaskan sedotan. Aku mengangguk lemas, tubuhku seperti tak bertualang.
Papa duduk di samping tempat tidurku, wajahnya kusam dan terlihat sangat lelah. Pasti Papa baru pulang dari dinas.
"Tante, aku panggilkan dokter dulu," ujar Ranggaz. Mama langsung mengangguk.
Ranggaz keluar, sedangkan Febri berpindah tempat berdiri di samping tempat tidurku yang masih kosong.
"Rey, lo denger gue nggak?" tanya Febri membungkukkan badannya menatapku.
Dia pikir gue tuli kali ya? Ya jelaslah, gue masih denger suaranya, walaupun suaranya kecil di telingaku. Aku mengangguk menjawab pertanyaan Febri. Entahlah, bibirku kelu saat ingin kubuka mengucap sesuatu. Aku memerhatikannya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Nih." Febri memerlihatkan foto Tasya sedang tersenyum lebar memakai piagam yang mengalung di lehernya, kebayanya terbalut toga hitam, aku ikut tersenyum bahagia.
Aku menatap Febri, tanganku sangat lemas saat ingin menggapai foto itu dari tangannya. Saat aku sedikit mengangkat tanganku, namun sayang, tanganku terjatuh di perutku. Febri langsung memegangkan foto itu di tanganku. Aku sangat bahagia bisa melihat fotonya saat wisuda.
"Cantik," ucapku parau memerhatikan foto di atas perutku.
"Buat semangat lo, biar cepet sembuh." Febri mengusap bahuku.
Sembuh??? Sangat kecil harapanku untuk itu. Kemoterapi hanya memperlambat penyebaran sel kanker di dalam tubuhku. Sudah setahun lebih aku di sini menjalani kemoterapi. Tapi apa hasilnya? Semakin hari, kondisiku semakin memprihatinkan. Entahlah, bagaimana jika aku tak memiliki orang-orang hebat yang selalu mendukung dan menjagaku, mungkin sudah lama aku pergi meninggalkan dunia ini. Aku masih berusaha bertahan, karena kehendakNya, dan alasanku, aku masih belum bisa melihat Mama dan Papa bersedih. Satu lagi harapan terbesarku saat ini, yaitu bertemu Tasya. Apakah aku masih sempat melihatnya lagi? Jika Tuhan mengizinkan, aku percaya, tak ada yang mustahil.
***
Author Pov
Rey terus memerhatikan foto Tasya, jari-jemarinya sekarang kurus, terlihat seperti hanya tulang terbalut kulit. Tangannya mengusap-usap wajah Tasya yang ada di gambar itu. Selepas kepergian Ranggaz dan Febri dari ruang inapnya, tak bosan-bosannya dia terus memandangi foto itu. Hati Mora dan Tius tersayat-sayat pedih, ketika menatap Rey dari sofa. Karena sedari tadi, dia terus memerhatikan foto itu, tanpa bersuara sedikitpun. Mereka bisa apa sekarang untuk Rey? Hanya berdoa, meminta kepada Sang Maha Pencipta agar segera mengangkat penyakit Rey, dan membiarkan putranya itu kembali menjalani kesehariannya seperti dulu lagi.
"Assalamualaikum," sapa suara yang baru saja masuk.
"Waalaikumsalam," jawab mereka berbarengan, namun suara Rey terdengar lemah.
Rey melihat Hito berjalan menghampiri orangtuanya yang duduk di sofa sedari tadi berbincang kecil. Dia menyimpan foto Tasya di balik selimutnya, agar Hito tak melihat, jika dia sedari tadi sedang memerhatikan wajah cantik gadis yang kini sudah resmi menjadi kekasih adiknya itu.
"Ma, kapan Rey sadar?" tanya Hito karena setahu dia, beberapa hari yang lalu Rey kembali tak sadarkan diri.
Sampai-sampai semua cemas dan kalang kabut, memikirkan kondisi Rey yang tak kunjung siuman.
"Baru tadi, waktu Ranggaz sama Febri membesuk ke sini," jelas Mora mengelus lengan Hito yang berdiri di sampingnya.
"Sudah sana, temui dulu kakakmu," sela Tius.
"Iya, Pa."
Hito pun mendekati Rey, dan langsung duduk di kursi samping tempat tidurnya.
"Bagaimana keadaan lo, Rey? Apa yang lo rasakan saat ini?" tanya Hito prihatin melihat kondisi Rey yang semakin hari bukannya membaik, malah memburuk.
Rey tersenyum tipis, malas rasanya dia membuka mulut, merasakan keadaan tubuhnya sekarang yang semakin rapuh.
"Sudah makan?" tanya Hito.
Rey hanya menggeleng, menatap Hito sayu. Bukan berarti dia marah sama Hito, namun memang kondisinya sedang tidak baik. Tenggorokannya terasa sakit sampai membuatnya malas mengucapkan sesuatu.
"Rey, gue mau minta izin sama lo, buat ngelamar Tasya," ujar Hito menunduk, sesungguhnya hatinya tak tega menyampaikan hal ini kepala Rey.
Rey menggapai lengannya, dan mengelus lembut. Hito seperti mendapat jawaban, lantas ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Rey.
Dengan susah payah, Rey berucap, "Iya, doa ... gu ... gue ... me ... nyertai ... lo!" Suaranya berat dan terbata-bata.
Hito merasa sedih mendengar Rey memaksakan diri untuk berbicara dengannya. Suaranya serak, seperti tersangkut di tenggorokan.
"Makasih," ucapnya langsung memeluk Rey dan meneteskan air matanya.
Entahlah, mengapa ada sesuatu rasa bersalah menjalar ke seluruh tubuh Hito. Hanya dengan air mata, dia mengekspresikan perasaannya itu. Tius dan Mora yang sudah mengetahui rencana Hito akan melamar Tasya, hanya memberikan doa restu, sebagaimana perannya menjadi orangtua.
"Ka ... kapan?" tanya Rey setelah Hito menegakkan tubuh dan menyeka air matanya.
"Malam ini aku akan mengajaknya menikah. Kalau memang jawabannya 'Iya', barulah nanti saat acara lamaran resmi, akan menjadi kejutan buatnya. Aku sudah lama memikirkan ini, Rey," ujar Hito memang sudah jauh-jauh hari telah mematangkan rencananya itu.
Itu artinya jika memang Tasya benar menerima lamaran Hito, Tius dan Mora akan muncul di hadapannya. Dan semua rahasia mereka akan terbongkar. Bagaimana jika Tasya tahu kondisi Rey sekarang? Apakah dia akan tetap memilih Hito? Ataukah justru meninggalkannya dan kembali pada Rey? Rey tampak berpikir, dia belum siap untuk bertemu dengan Tasya.
"To," lirih Rey.
Hito semakin mendekatkan telinganya, agar lebih jelas mendengarkan ucapan Rey.
"To ... long, ja ... ngan ... ka-sih ... ta ... hu ... dia, tentang ... gu ... gue. Te ... tap ... ra ... ha ... siakan, kondisi ... gu ...e," ucap Rey susah payah dan terbata-batai.
Hito paham dengan maksud perkataan Rey itu. Rey tidak ingin Tasya mengetahui keadaannya saat ini, meski Hito sudah melamarnya nanti. Rey ingin, Tasya tetap menganggapnya pergi tanpa pesan, bagaikan ditelan bumi begitu saja.
"Iya, gue usahakan itu," sahut Hito tersenyum tipis padanya.
Rey mengangguk lemas, karena merasa lelah akhirnya dia memejamkan mata untuk beristirahat. Hito mengalihkan pandangannya ke sofa, melihat Tius dan Mora sedang memandang mereka. Mora tersenyum tipis, lantas Hito berdiri dan melangkah lebar mendekati Mora dan memeluknya, menuangkan segala perasaan yang dia tahan saat ini. Mora mengelus kepala Hito, menenangkan perasaannya yang sedang gundah.
"Sudah, kenapa harus menangis? Kayak anak kecil saja," cibir Tius menepuk-nepuk bahu Hito.
Mora menegakkan tubuhnya dan menyeka air mata Hito. Dia membelai wajah putra bungsunya dengan sayang.
"Sudah lega kan sekarang? Kakakmu sudah merestuimu. Tunggu apa lagi? Kejarlah cintamu, Nak. Raihlah kebahagiaan bersamanya," ucap Mora mendorong semangat Hito.
Meski di dalam hatinya masih sedikit memiliki rasa berat, namun mendengar ucapan Rey kepada Hito tadi, sudah cukup meyakinkannya, jika Rey sudah benar-benar ikhlas melepaskan Tasya untuk Hito.
"Sudah, jangan menangis lagi. Nggak malu kalau ketahuan Tasya menangis begini?" sela Tius mengacak-acak rambut Hito.
"Ah Papa," rengek Hito lalu memeluk Tius.
Tius tersenyum membalas pelukannya dan mengacak rambut belakang Hito. Dalam tidurnya, Rey masih samar-samar mendengar pembicaraan mereka.
'Ya Allah, jika memang ini takdirku, Insya Allah hamba ikhlas. Terima kasih atas waktuMu yang panjang untukku, sampai hamba dapat memastikan jika wanita yang hamba cintai mendapatkan lelaki yang tepat dan baik.'
Doa itu, Rey ucap dalam hati, dengan perasaan sedih namun juga turut bahagia untuk adiknya serta Tasya.
***
Tempat yang romantis di rooftop restoran berbintang, Hito telah menyiapkan sebuah tempat spesial untuk Tasya. Hanya ada satu meja dan dua kursi dihias begitu cantik. Taburan kelopak bunga mawar berceceran di lantai, red carpet melapisi jalan menuju ke meja itu. Lilin-lilin kecil tersusun rapi di samping red carpet sebagai cahaya jalan. Satu buah lilin dan alat makan secukupnya tertata rapi di atas meja.
"Feb, lo mau bawa gue ke mana sih? Kenapa harus tutup mata segala?" protes Tasya saat Febri menutup matanya dengan kain hitam ketika menaiki lift.
Tanpa bantuan teman, acara Hito ini tak dapat sempurna. Febri bertugas menjemput Tasya dan mendandaninya secantik mungkin. Sedangkan Ranggaz dan kawan-kawan yang lain, menanti kehadiran Tasya di rooftop bersama Hito.
"Sssssttttt ... sudah, diem aja deh lo. Nanti juga bakalan tahu."
Sesampainya lift di lantai teratas, Febri masih harus membimbing Tasya berjalan menaiki tangga menuju ke rooftop. Ketika kaki Tasya sudah menginjak red carpet, di ujung karpet sana, Hito sudah duduk di kursi memangku gitarnya. Hito mulai memetik gitarnya dan Febri membuka penutup mata Tasya. Betapa terkejutnya Tasya, melihat tempat yang sudah didekorasi hingga sedemikian rupa, membuat tempat itu indah dan romantis.
Dengarkanlah wanita pujaanku
Malam ini akan kusampaikan
Hasrat suci kepadamu dewiku
Dengarkanlah kesungguhan ini
Tasya terkejut lantas membekap mulutnya dengan kedua tangan. Hito mulai menyanyikan sebuah lirik yang mengartikan tanda lamaran.
Aku ingin, mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
S
aat menyanyikan lirik itu, mata Hito menatap Tasya tulus dan bersungguh-sungguh memintanya. Tasya masih termangu di tempatnya, memerhatikan Hito, dengan air mata bahagia menggantung di pelupuknya.
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini
Akulah yang terbaik untukmu
Petikan gitar dilanjutkan oleh Gibran yang ada di tepi rooftop bersama teman-teman yang lain. Sedangkan Hito berdiri, meletakkan gitarnya. Sambil melantunkan lagunya, dia berjalan setapak demi setapak mendekati Tasya.
Dengarkanlah wanita impianku
Malam ini akan kusampaikan
Janji suci satu untuk selamanya
Dengarkanlah kesungguhan ini
S
ampai di depan Tasya, Hito langsung berlutut, memegang kedua tangan Tasya.
Aku ingin, mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini
Akulah yang terbaik untukmu
Hito mengecup tangan Tasya mesra. Perasaan Tasya saat ini bercampur aduk, hingga bibirnya kelu, dia mengekspresikan kebahagiaannya dengan air mata.
Akulah yang terbaik untukmu
Janji Suci - by : Yovie and Nuno
Lirik terakhir Hito nyanyikan sangat mendalam, sembari membuka sebuah benda beledu merah berbentuk mawar, berisikan cincin berlian yang sangat cantik. Tasya sudah tak mampu lagi untuk berkata-kata. Ini adalah sebuah lamaran yang tak terduga dan sangat romantis.
"Putri Natasha Asmara, maukah kamu menikah denganku?" mohon Hito menengadahkan wajahnya, tampak tegang dan serius.
Semua teman-teman mereka juga ikut tegang menanti jawaban Tasya. Febri sampai meremas-remas ujung kemeja Ranggaz, tak sabar untuk mendengar jawaban Tasya.
"Bebb, jangan diremas begitu. Nanti lusuh," tegur Ranggaz sedikit berbisik.
Febri lantas melepaskan kemeja Ranggaz. "Maaf Sayang, aku deg-degan banget," ucap Febri kini gantian menggigit-gigit kukunya.
Ranggaz tersenyum dan merangkulnya. Mungkin dengan begitu, kekasihnya itu akan lebih tenang.
Sedangkan Tasya masih berdiam, tak melakukan hal apa pun. Dia malah menatap Hito yang sudah tegang menunggu jawabannya.
"Hito, apa kamu bersungguh-sungguh?" tanya Tasya memastikan.
Hito tersenyum dan mengangguk. "Iya Tasya, aku sangat bersungguh-sungguh dan tak main-main."
"Aku belum pernah bertemu keluargamu dan belum pernah sekalipun bertatap muka dengan orangtuamu. Apakah aku bisa yakin jika apa yang kamu lakukan ini serius? Apa jaminannya?" tanya Tasya masih mempertimbangkan keputusannya.
"Aku janji, besok malam akan datang ke rumahmu bersama kedua orangtuaku. Itu kejutan kedua untukmu," ujar Hito meyakinkan Tasya.
Tasya masih sedikit ragu dan masih mempertimbangkan lagi. Dia tak ingin gagal untuk yang kali kedua. Lamarannya dulu berujung pada perpisahan, kali ini dia tak ingin hal buruk menimpanya lagi.
"Jika aku menerimamu, apa kamu siap untuk segera menikahiku?" tanya Tasya sebelum menerima lamaran Hito.
"Iya, aku siap. Memang itu tujuanku. Setelah acara lamaran resmi, orangtuaku datang ke rumahmu, kita akan langsung merencanakan pernikahannya. Jika perlu, kamu akan langsung aku bawa ke KUA." Tasya tertawa kecil, sudah cukup puas jawaban Hito baginya.
Lantas Tasya mengulurkan tangan ke depan Hito, agar Hito memakaikan cincinnya.
"Iya, aku mau menikah denganmu," jawab Tasya melegakan hati semuanya yang ada di sana.
Suasana rooftop yang tadinya tegang, kini menjadi hiruk-pikuk. Tepuk tangan dan siulan memenuhi tempat itu. Hito pun langsung memakaikan cincinnya di jari manis Tasya. Semua bergembira, Hito berdiri lantas mengangkat Tasya dan memutarkan tubuhnya, mengekspresikan kebahagiaan mereka.
Melihat itu semua, Febri yang tadinya ikut tertawa bahagia dan bersorak gembira, seketika diam. Ranggaz melihatnya terdiam meneteskan air mata.
"Bebb, ada apa?" tanya Ranggaz cemas merengkuh bahunya.
Febri menyeka air matanya. "Aku sedih, mengingat Rey," ujarnya.
Ranggaz mengerti perasaan Febri, meski mereka berbahagia untuk Hito dan Tasya, tak dapat dipungkiri, jika di benak mereka masih mengingat Rey yang sedang melawan penderitaannya sendiri. Ranggaz langsung memeluk Febri, dan Febri pun membalas pelukannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top